Monday, April 10, 2017

BSG - Sebuah Perjalanan - Babak-28

BALADA SWANDARU GENI
Sebuah Perjalanan
Babak-28

_____________________________________________________________________

Nyuwun pangapunten kangmas lan mbokayu…

Mulai edisi ini, plot cerita akan meloncat-loncat dan tidak melulu menyorot perjalanan si tambun Swandaru Geni saja. Ada baiknya kita juga melihat perkembangan daerah/ tokoh-tokoh lain yang terkait, yang insya Allah akan merajut jalinan cerita yang menarik dan nyambung.

_____________________________________________________________________


Pagi itu kesibukan warga Kademangan Krikilan meningkat tajam. Para pengawal hilir mudik untuk menyampaikan pesan dari para pimpinan Kademangan dan juga menangani sisa-sisa pertempuran malam sebelumnya yang begitu mencekam.

Beberapa warga tidak ketinggalan ikut membantu untuk membersihkan halaman banjar dan bahkan kemudian menyelenggarakan puluhan jenasah untuk dikuburkan di makam padukuhan, termasuk mayat Hantu Laut dan adik seperguruannya serta tiga orang muridnya. Sedang dua orang murid Hantu Laut yang juga merupakan anak kandung Ki Demang di angkat menggunakan pedati dan dimakamkan di makam Kademangan.

Diantara para pengawal dan warga Kademangan itu, ada yang tidak kuasa menahan kesedihan dan airmatanya. Ada puluhan terluka dan belasan pengawal yang harus gugur dalam pertarungan tadi malam dan mereka adalah kawan dan saudara dari warga Kademangan. Ki Jagabaya dan anak tertua Ki Demang Krikilan juga sangat berduka, tetapi mereka menguatkan diri dan justru mencoba menghibur teman dan saudara-saudara mereka yang gugur.

“Kita semua sangat kehilangan dan sedih dengan gugurnya kawan-kawan kita. Kita harus menghormati, mengenang dan mendoakan jiwa kawan-kawan kita itu sebagai pahlawan. Mereka adalah bebanten bagi Kademangan kita ini, jasa mereka tidak boleh kita lupakan”

Tampak seorang perempuan yang rambutnya sudah memutih berusaha menenangkan seorang wanita muda yang menangis sesenggukan. Wajah wanita muda itu sangat pucat dan basah oleh air mata yang mengalir tiada henti, sementara perutnya tampak membesar. Salah satu dari para pengawal yang gugur dan di kebumikan pagi ini adalah suami yang baru menikahinya delapan bulan yang lalu, tetapi kini suaminya itu gugur sementara ia dalam keadaan mengandung.

Pagi itu seluruh warga Kademangan Krikilan diselimuti duka yang mendalam.

Di pendapa banjar, seorang tabib padukuhan telah mencoba menahan arus darah yang terus menerus keluar pada luka Swandaru yang dikenal sebagai Ki Gupala. Tetapi agaknya usahanya tidak terlalu berpengaruh karena darah masih saja terus mengalir.

Kiai Garda yang keadaannya sudah cukup pulih ikut memeriksa luka Swandaru yang masih belum sadarkan diri. Ia menggeleng-gelengkan kepala, melihat luka yang di akibatkan oleh luwuk yang di lambari ilmu api dari Watu Gempal.

Agaknya obat tabur dari tabib itu tidak terlalu banyak membantu.

Karena itu, Kiai Garda terpaksa mengambil alih dan mencoba membersihkan luka itu kembali. Ketika dirasa sudah cukup bersih, diatas luka itu ia menaburkan bubuk halus yang diambilnya dari ikat pinggangnya yang lebar. Dengan dibantu oleh muridnya yang tertua, Kiai Garda dengan cepat juga membuat ramuan dari dedaunan yang dihancurkan untuk nanti di borehkan ke luka Swandaru jika sudah kering.

“ Keadaannya sangat parah, mudah-mudahan aku masih bisa menolong Ki Gupala”, - desisnya dalam hati.

Luka Ki Demang sendiri mesipun sangat parah tetapi sama sekali tidak mengkuatirkan karena itu adalah luka wajar akibat senjata biasa.

Karena itu Kiai Garda memutuskan untuk membawa tubuh Ki Demang dan Swandaru yang terluka itu ke Kademangan agar bisa merawatnya langsung. Menjelang matahari naik sepengalah, keduanya dinaikkan ke pedati untuk dibawa ke Kademangan.

Dalam rombongan yang kembali ke Kademangan itu, terdapat menantu Ki Demang yang bernama Nyi Sulastri, yang ikut naik ke pedati dan menemani ayah mertuanya dan Swandaru yang masih belum sepenuhnya sadarkan diri. Beberapa kali ia menyeka keringat yang kadang muncul dan mengembun baik di dahi Ki Demang Krikilan ataupun di kening tamu padukuhan yang bernama Ki Gupala itu.

Di Kademangan sendiri beberapa warga secara gotong royong sedang memperbaiki bangunan samping yang tadi malam terbakar karena ulah anak murid Hantu Laut.

ooOoo


Sementara itu, ribuan tombak jauhnya dari Kademangan Krikilan dimana Swandaru sedang tergolek karena lukanya, di sebuah sungai kecil yang penuh bebatuan nampak seorang anak laki-laki kecil sedang berloncatan diatas batu-batu licin itu dengan cepatnya.

Meskipun masih terbilang anak-anak, tetapi tubuhnya terlihat kuat dan tulang-tulangnya yang baik menopang geraknya yang cepat dan bertenaga. Peluh terlihat bercucuran di wajahnya, tetapi anak itu terus bergerak tanpa mengenal lelah. Tubuhnya beberapa kali berkelebat dan meloncat dari batu ke batu yang lain, dari ujung kembali ke ujung begitu seterusnya.

Ketika matahari hampir mencapai puncaknya, terdengar suara halus menyapanya. Suara yang begitu dikenalnya dan menjadi tumpuan hidupnya sehari-hari.

“Sudahlah anakku, beristirahatlah dulu”


Salam,


Bagi para sanak-kadang FB yang ketinggalan/ belum membaca seri-seri sebelumnya, silahkan bisa menikmatinya di blog sy;  http://pudjo-riswantoro.blogspot.co.id


1 comment:

widiaxa said...

Matur-nuwun sanget Ki-Pudjo-Riswantoro.. sehat selalu.

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...