BALADA SWANDARU GENI
Sebuah Perjalanan
Babak-28
Sebuah Perjalanan
Babak-28
_____________________________________________________________________
Nyuwun pangapunten
kangmas lan mbokayu…
Mulai edisi ini,
plot cerita akan meloncat-loncat dan tidak melulu menyorot perjalanan si tambun
Swandaru Geni saja. Ada baiknya kita juga melihat perkembangan daerah/
tokoh-tokoh lain yang terkait, yang insya Allah akan merajut jalinan cerita
yang menarik dan nyambung.
_____________________________________________________________________
Pagi itu kesibukan warga Kademangan Krikilan meningkat tajam.
Para pengawal hilir mudik untuk menyampaikan pesan dari para pimpinan
Kademangan dan juga menangani sisa-sisa pertempuran malam sebelumnya yang begitu
mencekam.
Beberapa warga tidak ketinggalan ikut membantu untuk
membersihkan halaman banjar dan bahkan kemudian menyelenggarakan puluhan
jenasah untuk dikuburkan di makam padukuhan, termasuk mayat Hantu Laut dan adik
seperguruannya serta tiga orang muridnya. Sedang dua orang murid Hantu Laut
yang juga merupakan anak kandung Ki Demang di angkat menggunakan pedati dan
dimakamkan di makam Kademangan.
Diantara para pengawal dan warga Kademangan itu, ada yang tidak
kuasa menahan kesedihan dan airmatanya. Ada puluhan terluka dan belasan
pengawal yang harus gugur dalam pertarungan tadi malam dan mereka adalah kawan
dan saudara dari warga Kademangan. Ki Jagabaya dan anak tertua Ki Demang
Krikilan juga sangat berduka, tetapi mereka menguatkan diri dan justru mencoba
menghibur teman dan saudara-saudara mereka yang gugur.
“Kita semua sangat kehilangan dan sedih dengan gugurnya
kawan-kawan kita. Kita harus menghormati, mengenang dan mendoakan jiwa
kawan-kawan kita itu sebagai pahlawan. Mereka adalah bebanten bagi Kademangan
kita ini, jasa mereka tidak boleh kita lupakan”
Tampak seorang perempuan yang rambutnya sudah memutih berusaha
menenangkan seorang wanita muda yang menangis sesenggukan. Wajah wanita muda
itu sangat pucat dan basah oleh air mata yang mengalir tiada henti, sementara
perutnya tampak membesar. Salah satu dari para pengawal yang gugur dan di
kebumikan pagi ini adalah suami yang baru menikahinya delapan bulan yang lalu,
tetapi kini suaminya itu gugur sementara ia dalam keadaan mengandung.
Pagi itu seluruh warga Kademangan Krikilan diselimuti duka yang
mendalam.
Di pendapa banjar, seorang tabib padukuhan telah mencoba menahan
arus darah yang terus menerus keluar pada luka Swandaru yang dikenal sebagai Ki
Gupala. Tetapi agaknya usahanya tidak terlalu berpengaruh karena darah masih
saja terus mengalir.
Kiai Garda yang keadaannya sudah cukup pulih ikut memeriksa luka
Swandaru yang masih belum sadarkan diri. Ia menggeleng-gelengkan kepala,
melihat luka yang di akibatkan oleh luwuk yang di lambari ilmu api dari Watu
Gempal.
Agaknya obat tabur dari tabib itu tidak terlalu banyak membantu.
Karena itu, Kiai Garda terpaksa mengambil alih dan mencoba
membersihkan luka itu kembali. Ketika dirasa sudah cukup bersih, diatas luka
itu ia menaburkan bubuk halus yang diambilnya dari ikat pinggangnya yang lebar.
Dengan dibantu oleh muridnya yang tertua, Kiai Garda dengan cepat juga membuat
ramuan dari dedaunan yang dihancurkan untuk nanti di borehkan ke luka Swandaru
jika sudah kering.
“ Keadaannya sangat parah, mudah-mudahan aku masih bisa menolong
Ki Gupala”, - desisnya dalam hati.
Luka Ki Demang sendiri mesipun sangat parah tetapi sama sekali
tidak mengkuatirkan karena itu adalah luka wajar akibat senjata biasa.
Karena itu Kiai Garda memutuskan untuk membawa tubuh Ki Demang
dan Swandaru yang terluka itu ke Kademangan agar bisa merawatnya langsung.
Menjelang matahari naik sepengalah, keduanya dinaikkan ke pedati untuk dibawa
ke Kademangan.
Dalam rombongan yang kembali ke Kademangan itu, terdapat menantu
Ki Demang yang bernama Nyi Sulastri, yang ikut naik ke pedati dan menemani ayah
mertuanya dan Swandaru yang masih belum sepenuhnya sadarkan diri. Beberapa kali
ia menyeka keringat yang kadang muncul dan mengembun baik di dahi Ki Demang
Krikilan ataupun di kening tamu padukuhan yang bernama Ki Gupala itu.
Di Kademangan sendiri beberapa warga secara gotong royong sedang
memperbaiki bangunan samping yang tadi malam terbakar karena ulah anak murid
Hantu Laut.
ooOoo
Sementara itu, ribuan tombak jauhnya dari Kademangan Krikilan
dimana Swandaru sedang tergolek karena lukanya, di sebuah sungai kecil yang
penuh bebatuan nampak seorang anak laki-laki kecil sedang berloncatan diatas
batu-batu licin itu dengan cepatnya.
Meskipun masih terbilang anak-anak, tetapi tubuhnya terlihat
kuat dan tulang-tulangnya yang baik menopang geraknya yang cepat dan bertenaga.
Peluh terlihat bercucuran di wajahnya, tetapi anak itu terus bergerak tanpa
mengenal lelah. Tubuhnya beberapa kali berkelebat dan meloncat dari batu ke
batu yang lain, dari ujung kembali ke ujung begitu seterusnya.
Ketika matahari hampir mencapai puncaknya, terdengar suara halus
menyapanya. Suara yang begitu dikenalnya dan menjadi tumpuan hidupnya
sehari-hari.
“Sudahlah anakku, beristirahatlah dulu”
Salam,
Bagi para sanak-kadang FB yang ketinggalan/ belum membaca
seri-seri sebelumnya, silahkan bisa menikmatinya di blog sy; http://pudjo-riswantoro.blogspot.co.id
1 comment:
Matur-nuwun sanget Ki-Pudjo-Riswantoro.. sehat selalu.
Post a Comment