Hati Agung Sedayu menjadi sedikit berdeba-debar, tetapi segera ditindasnya perasaan yang tidak pada tempatnya itu.
Sementara Ki Widura, Sekar Mirah dan Ki Demang Sangkal Putung memilih berdiam diri meskipun sesunguhnya mereka menyayangkan penolakan Swandaru itu, tetapi mereka berusaha memahami alasannya.
“ Tentu aku tidak keberatan adi Swandaru,” – keheningan itu dipecahkan suara Agung Sedayu,” – Apalagi pada dasarnya Pandan Wangi sudah memiliki bekal yang teramat banyak, sehingga yang diperlukan nanti hanyalah petunjuk tentang laku yang harus di jalani. Pada hari pertama hingga empat hari kedepan, Pandan Wangi masih bisa melakukan kegiatan seperti biasanya disiang hari. Hanya pada malam hari ia sepenuhnya akan berada di sanggar sebelum kemudian melakukan pengangkatan Glugut Pring Wulung hingga dini hari”
Agung Sedayu berhenti sejenak sebelum kemudian meneruskan ucapannya.
“ Wangi, laku ini meskipun tergolong berat bagi seorang perempuan tetapi aku yakin kau mampu menuntaskannya. Selain berpuasa disiang hari dan sore hanya makan beberapa empon-empon yang sudah kau lakukan, nanti ada beberapa tambahan jenis empon-empon yang harus kau campur dengan madu sebelum di makan. Menjelang hari ke lima hingga ke tujuh, maka kau harus sepenuhnya berada disanggar dan melakukan pati geni di akhir laku”
Demikianlah, Agung Sedayu memberi petunjuk dan uraian dengan cukup rinci dan di dengar oleh semua yang hadir disitu. Mereka sadar bahwa agaknya laku yang akan ditempuh Pandan Wangi akan cukup berat selain ia harus ketanggungan mengangkat glugut yang mengeram di kaki suaminya.
“Sayang, aku tidak bisa ikut menunggui lakumu sepenuhnya Wangi. Malam nanti aku dan Sekar Mirah harus kembali ke Menoreh karena sebenarnya ada beberapa hal yang harus aku tangani di barak pengawal khusus itu. Tetapi pada hari kelima, aku dan Sekar Mirah akan kembali lagi ke Sangkal Putung, syukurlah kalau Ki Jayaraga mau aku ajak kesini,” – Agung Sedayu menyudahi paparannya.
“Aku menunggu kedatanganmu kakang,” – sebelum Swandaru menjawab ternyata Pandan Wangi sudah berdesis lirih.
“ Tetapi bukankah paman Widura tidak terburu-buru ke Jati Anom? Agaknya kakang Swandaru memerlukan teman terutama ketika kangmbok Pandan Wangi di sanggar,” – terdengar suara Sekar Mirah agak ragu.
Ki Widura tampak tersenyum.
“ Ah, aku memang tidak mempunyai pekerjaan ngger. Aku bisa saja sarapan pagi disini lalu makan siang nanti aku menikmati ikan bakar dari empang padepokan di Jati Anom yang memang letaknya tidak terlalu jauh “
Semua yang mendengar jawaban Ki Widura tersenyum kecil. Tidak terkecuali Swandaru yang kemudian berdesis pelan.
“Terimakasih paman “
oo0oo
Padang ilalang itu terbentang sangat luas dari ujung ke ujung seolah tak bertepi. Saat itu sudah masuk ke musim kemarau sehingga jika dipandang dari atas bukit, maka padang rumput itu bagaikan hamparan permadani kuning raksasa. Sementara langit sangat bersih, sehingga perpaduan warna biru langit dengan hamparan kuning terihat sangat indah di siang yang terik itu.
Di atas gumuk kecil dan dibawah pohon angsono yang rimbun, terlihat seseorang sedang duduk melepaskan lelah sambil bersandar di batang pohon tersebut. Wajahnya terlihat berseri-seri, bibirnya terlihat sering mengecap seolah-olah senantiasa siap untuk melemparkan senyuman pada orang yang dijumpainya, pipinya yang sedikit gembul semakin menampakkan betapa orang tersebut sedang menikmati kebahagiaan.
Di atas gumuk kecil dan dibawah pohon angsono yang rimbun, terlihat seseorang sedang duduk melepaskan lelah sambil bersandar di batang pohon tersebut. Wajahnya terlihat berseri-seri, bibirnya terlihat sering mengecap seolah-olah senantiasa siap untuk melemparkan senyuman pada orang yang dijumpainya, pipinya yang sedikit gembul semakin menampakkan betapa orang tersebut sedang menikmati kebahagiaan.
Orang berumur hampir setengah baya itu memiliki tubuh yang agak gemuk cenderung kekar yang dibungkus dengan pakaian sederhana. Meskipun ia tidak nampak membawa senjata, tetapi sesungguhnya dilambungnya membelit cambuk berjuntai panjang sebagai ciri dan kebanggaan perguruannya. Ya, orang itu adalah Swandaru Geni.
“ Alangkah indahnya siang ini,” – gumamnya dalam hati,” – Aku jadi teringat saat pertama kali melakukan pengembaraan dengan Guru dan kakang Agung Sedayu ke Menoreh untuk menyusul Sidanti. Tidak disangka disitulah aku bertemu dengan Pandan Wangi"
Kenangan akan hal itu membuat bibirnya tersenyum, meskipun hatinya berbisik pelan,” - Semoga Pandan Wangi bisa memahami langkah yang aku ambil sekarang ini”
Tanpa sadar hatinya mendesah.
Beberapa hari yang lalu, ia memang terlibat pembicaraan yang bersungguh-sungguh dengan istrinya Pandan Wangi tentang niatnya untuk berkelana. Ia berusaha untuk dapat meyakinkan istrinya bahwa kepergiannya untuk mengembara ini murni didasarkan pada niat untuk memperbaiki diri dan kemampuannya.
“Aku minta pengertianmu Wangi, selama ini aku sering salah dalam menilai orang karena kepicikanku sendiri. Jangankan kepada orang-orang atau musuh yang baru aku kenal, bahkan kepada orang terdekat dan keluargaku saja aku sering salah menilai diri. Kidung Panguripan itu membuat mata dan hatiku lebih terbuka betapa luas dan besarnya anugrah yang diberikan Yang Maha Agung kepada kita, tetapi sesungguhnya apa yang kita ketahui dan pahami amatlah sedikit”
“ Wangi, aku berjanji pengembaraanku ini tidak lebih dari satu tahun, dan apapun yang terjadi aku akan pulang sebelum batas itu. Anggaplah, aku ini seorang prajurit yang sedang bertugas di daerah lain, bukan untuk berperang melainkan untuk meningkatkan kemampuan agar ia bisa menerima tugas dan tanggung-jawabnya dengan lebih baik lagi di kelak kemudian hari”
Pandan Wangi menundukkan kepalanya dalam-dalam, hatinya gelisah dan risau untuk menanggapi niat suaminya itu.
Salam,
No comments:
Post a Comment