Nyuwun duko poro kadang, mungkin ada kemiripan dengan cerita asli dari Ki SHM, tetapi insya Allah ini hanyalah batu loncatan ke alur cerita berikutnya. Sembah-nuwun,
*****
Meskipun tidak terucapkan, Ki Widura yang berdiri di sebelah Agung Sedayu dapat merasakan betapa keponakannya itu sedang diliputi amarah meskipun dengan cepat berusaha meredamnya lagi. Perubahan mimik wajah Agung Sedayu yang demikian cepat, diikuti desisan lirih itu menggambarkan perasaannya.
Sambil memeriksa dan membersihkan lincak bambu dimana Swandaru kemarin terjatuh, Agung Sedayu minta agar Ki Demang menyuruh pembantunya menyediakan beberapa peralatan yang ia sebutkan.
Ki Demang langsung beranjak menemui pembantunya, meskipun benaknya diliputi tanda tanya, tetapi ia percaya bahwa menantunya itu sedang mengupayakan pengobatan bagi Swandaru. Ia berusaha secepatnya bisa menyediakan apa yang diminta Agung Sedayu.
“Sedayu, apakah yang sebenarnya terjadi,” – Ki Widura bertanya setengah berbisik.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam, -“Paman Widura, cobalah paman pusatkan nalar budi sejenak dan tutuplah kesembilan lubang di tubuh kita sebagaimana pernah diajarkan Guru. Cobalah paman kenali suasana malam ini, apakah paman merasakan keanehan”
Ki Widura mengerutkan keningnya sambil memandang keadaan sekeliling. Tanpa banyak bertanya ia langsung duduk di tanah dan mengambil sikap bersila. Ditegakkannya punggung dan ditutupnya sembilan lubang dalam tubuhnya sementara kedua tangannya bersedekap di depan dada.
Sejenak Ki Widura sudah tenggelam dalam pemusatan nalar budinya. Ia diam seolah tidak bernafas karena ke sembilan lubang di tubuhnya telah di tutup rapat.
Ki Demang yang kemudian datang mendekat terheran-heran melihat Ki Widura duduk bersila tidak bergerak, sementara Agung Sedayu hanya berdiri sambil sesekali mengangkat wajah melihat langit yang disaput mendung tipis. Tetapi Ki Demang memilih diam tidak bertanya, ia hanya mendekat dan ikut berdiri di sebelah menantunya itu.
Tidak lama kemudian Ki Widura sudah membuka matanya, meskipun hanya sejenak tetapi keningnya sudah berkeringat.
Dengan gugup, ia bertanya, - “ Sedayu, apakah sebenarnya yang terjadi? Aku melihat badai itu, bergulung-gulung seperti ombak yang menghantam pantai susul menyusul. Sementara langit menggelap tetapi dipenuhi suara ledakan besar, kecil, susul menyusul, sangat mengerikan” –
Ki Widura mengusap peluh di keningnya, sementara wajah Agung Sedayu terlihat serius. Ki Demang yang baru saja datang mencoba mencerna pembicaraan mereka.
“Ayah Demang dan paman Widura”, - berkata Agung Sedayu lirih,- ” Agaknya adi Swandaru sedang di serang dengan ilmu hitam yang sejenis dengan Tunda Bantala”, -
“ Tunda Bantala?”,- Ki Demang dan Ki Widura mengulangi itu hampir bersamaan.
“ Ya, Tunda Bantala ”, - sahut Agung Sedayu yang kemudian melanjutkan kalimatnya, -” Meskipun masih perkiraan, tetapi aku yakin bahwa ilmu sejenis inilah yang sekarang menyerang adi Swandaru. Seharusnya pengaruhnya tidaklah sehebat ini, tetapi mungkin keadaan mental adi Swandaru sedang goncang saat diserang sehingga dengan mudah ia ambruk. Atau ilmu hitam ini memang berkekuatan teramat dahsyat, lebih kuat dari apa yang pernah aku alami dengan Sekar Mirah ketika di Menoreh dulu”
Ki Demang termangu-mangu, semuanya sungguh diluar pemikirannya. Dari kalimat terakhir Ki Demang maupun Ki Widura menyadari bahwa Agung Sedayu dan bahkan bersama Sekar Mirah pernah mengalami atau menghadapi ilmu hitam ini.
“Lalu…apa yang harus kita lakukan ngger?,” suara Ki Demang terbata-bata.
Agung Sedayu tidak segera menjawab pertanyaan Ki Demang, tetapi ia kemudian berkata lirih, -“Ayah Demang, mintalah Pandan Wangi dan Sekar Mirah untuk membisikkan doa pujian atas kebesaran dan kuasa Yang Maha Tunggal di telinga adi Swandaru secara terus menerus tanpa henti. Aku yakin adi Swandaru bisa mendengar meskipun ia mungkin belum sanggup untuk menirukan ataupun menyahut. Sementara itu apakah peralatan yang tadi aku minta sudah tersedia?”
Ki Demang Sangkal Putung tergagap.
*****
Sementara itu disebuah rumah yang letaknya terpencil beberapa petak dari ujung bulak panjang, aroma kemenyan menebar begitu kuat. Selain bau yang menyengat, ruangan itu hampir dipenuhi asap dupa, dua lampu minyak diletakkan di sebuah dipan di sudut ruangan.
“Kakang Among Rogo, sebaiknya pekerjaan ini kita selesaikan sekarang juga,”- berkata seorang yang berwajah tirus dan bersih dengan jenggot yang jarang tetapi panjang. Tubuhnya tinggi kekurusan dan dibalut dengan pakaian dan ikat kepala warna putih. Dari bibirnya selalu tersungging senyuman sinis yang membuat lawan bicaranya seolah merasa di ejek.
Orang yang disebut Among Rogo itu mendengus keras, wajahnya yang bulat dipenuhi rambut berewokan dengan bibir yang tertutupi kumis lebat. Perawakan tubuhnya sedikit pendek gempal alias melebar dengan otot-otot yang menonjol. Ia selalu mengenakan warna hitam termasuk ikat kepalanya. Sungguh berkebalikan dengan kawannya karena Ki Among Rogo ini wajahnya tidak pernah sekalipun menyunggingkan senyum. Terlalu menyeramkan.
Satu kesamaan dari kedua orang ini adalah kalung yang dikenakan, yaitu sebuah tali warna hitam dimana bandul yang dikaitkan adalah semacam tulang berbentuk taring.
“Among Roso”, - suara Among Rogo terdengar berat, serak dan menyakitkan telinga, - “sebaiknya kau tidak usah terlalu banyak omong. Segera kau kerjakan bagianmu, aku sudah menggarap tubuh fisiknya. Sekarang mari kita kirim serangan bersama-sama dan kedua kaki anak itu akan lumpuh dan tidak bisa dipakai lagi”
Senyum sinis tersungging di bibir Among Roso dan diikuti suara tertawa sumbang yang tidak terlalu keras.
“ Baiklah, kini bagianku untuk melemahkan jantungnya,” – suaranya kini terdengar berat menekan,-“ Aku akan mengirim cukup satu jarum emas ini agar Swandaru tidak langsung mati. Biarlah dia hidup di pembaringan dan menyesali perbuatannya karena telah mengkhianati keponakan Kanthil Kuning yang bernama Wiyati itu. Meskipun aku tidak mengenal Wiyati, tetapi bahwa Kanthil Kuning saudara angkat kita mati itu adalah karena pokal Swandaru,”
Ki Among Rogo hanya mendengus berat tanpa menyahut sepatah katapun.
Mereka berdua kemudian duduk bersila menghadapi sebuah bejana yang dalamnya berisi air yang telah dicampur dengan bunga dan reramuan. Tangan Ki Among Roso terjulur meraup segumpal kemenyan dan melemparkannya ke perapian sehingga semakin menyala dengan bau yang lebih tajam.
Sambil menggumamkan mantra-mantra, Ki Among Roso menyiapkan sebuah jambe yang sudah dibelah dan ditengahnya kemudian ia memasukkan sebuah jarum emas. Mata mereka sebentar terpenjam lalu terbuka lagi untuk memeriksa keaadaan air dan isi dalam bejana itu sambil terus membaca mantra-mantra.
Ketika merasa saatnya tiba, Ki Among Roso segera melemparkan jambe berisi jarum emas itu ke dalam bejana yang berisi air dan reramuan. Kembali mereka berdua memejamkan matanya dan membuka lagi untuk melihat isi bejana sambil terus menggumamkan mantra semakin kencang dan keras.
Malam itu suasana di bulak panjang di pinggir padukuhan Menganti terasa hening sebagaimana malam-malam sebelumnya.
Tetapi, tidaklah demikian dengan suasana rumah yang tidak jauh dari bulak itu. Rumah itu diliputi dengan ketegangan dan suasana yang menyeramkan yang sulit di ungkapkan dengan kata-kata.
Dalam ketegangan itu, tiba-tiba telinga Ki Among Roso menangkap gerak kaki yang diseret menjauhi rumah menuju halaman belakang. Gerakan itu begitu pelan dan hati-hati, tetapi mampu ditangkap oleh telinga Ki Among Roso.Tak ayal ia mengumpat sambil beranjak keluar rumah.
“Setan alas, apakah kau memang mau mati? Nih, terimalah pisau terbang beracunku!”
Sebuah pisau kecil berwarna kehitaman menyambar secepat tatit.
Salam,
*****
Meskipun tidak terucapkan, Ki Widura yang berdiri di sebelah Agung Sedayu dapat merasakan betapa keponakannya itu sedang diliputi amarah meskipun dengan cepat berusaha meredamnya lagi. Perubahan mimik wajah Agung Sedayu yang demikian cepat, diikuti desisan lirih itu menggambarkan perasaannya.
Sambil memeriksa dan membersihkan lincak bambu dimana Swandaru kemarin terjatuh, Agung Sedayu minta agar Ki Demang menyuruh pembantunya menyediakan beberapa peralatan yang ia sebutkan.
Ki Demang langsung beranjak menemui pembantunya, meskipun benaknya diliputi tanda tanya, tetapi ia percaya bahwa menantunya itu sedang mengupayakan pengobatan bagi Swandaru. Ia berusaha secepatnya bisa menyediakan apa yang diminta Agung Sedayu.
“Sedayu, apakah yang sebenarnya terjadi,” – Ki Widura bertanya setengah berbisik.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam, -“Paman Widura, cobalah paman pusatkan nalar budi sejenak dan tutuplah kesembilan lubang di tubuh kita sebagaimana pernah diajarkan Guru. Cobalah paman kenali suasana malam ini, apakah paman merasakan keanehan”
Ki Widura mengerutkan keningnya sambil memandang keadaan sekeliling. Tanpa banyak bertanya ia langsung duduk di tanah dan mengambil sikap bersila. Ditegakkannya punggung dan ditutupnya sembilan lubang dalam tubuhnya sementara kedua tangannya bersedekap di depan dada.
Sejenak Ki Widura sudah tenggelam dalam pemusatan nalar budinya. Ia diam seolah tidak bernafas karena ke sembilan lubang di tubuhnya telah di tutup rapat.
Ki Demang yang kemudian datang mendekat terheran-heran melihat Ki Widura duduk bersila tidak bergerak, sementara Agung Sedayu hanya berdiri sambil sesekali mengangkat wajah melihat langit yang disaput mendung tipis. Tetapi Ki Demang memilih diam tidak bertanya, ia hanya mendekat dan ikut berdiri di sebelah menantunya itu.
Tidak lama kemudian Ki Widura sudah membuka matanya, meskipun hanya sejenak tetapi keningnya sudah berkeringat.
Dengan gugup, ia bertanya, - “ Sedayu, apakah sebenarnya yang terjadi? Aku melihat badai itu, bergulung-gulung seperti ombak yang menghantam pantai susul menyusul. Sementara langit menggelap tetapi dipenuhi suara ledakan besar, kecil, susul menyusul, sangat mengerikan” –
Ki Widura mengusap peluh di keningnya, sementara wajah Agung Sedayu terlihat serius. Ki Demang yang baru saja datang mencoba mencerna pembicaraan mereka.
“Ayah Demang dan paman Widura”, - berkata Agung Sedayu lirih,- ” Agaknya adi Swandaru sedang di serang dengan ilmu hitam yang sejenis dengan Tunda Bantala”, -
“ Tunda Bantala?”,- Ki Demang dan Ki Widura mengulangi itu hampir bersamaan.
“ Ya, Tunda Bantala ”, - sahut Agung Sedayu yang kemudian melanjutkan kalimatnya, -” Meskipun masih perkiraan, tetapi aku yakin bahwa ilmu sejenis inilah yang sekarang menyerang adi Swandaru. Seharusnya pengaruhnya tidaklah sehebat ini, tetapi mungkin keadaan mental adi Swandaru sedang goncang saat diserang sehingga dengan mudah ia ambruk. Atau ilmu hitam ini memang berkekuatan teramat dahsyat, lebih kuat dari apa yang pernah aku alami dengan Sekar Mirah ketika di Menoreh dulu”
Ki Demang termangu-mangu, semuanya sungguh diluar pemikirannya. Dari kalimat terakhir Ki Demang maupun Ki Widura menyadari bahwa Agung Sedayu dan bahkan bersama Sekar Mirah pernah mengalami atau menghadapi ilmu hitam ini.
“Lalu…apa yang harus kita lakukan ngger?,” suara Ki Demang terbata-bata.
Agung Sedayu tidak segera menjawab pertanyaan Ki Demang, tetapi ia kemudian berkata lirih, -“Ayah Demang, mintalah Pandan Wangi dan Sekar Mirah untuk membisikkan doa pujian atas kebesaran dan kuasa Yang Maha Tunggal di telinga adi Swandaru secara terus menerus tanpa henti. Aku yakin adi Swandaru bisa mendengar meskipun ia mungkin belum sanggup untuk menirukan ataupun menyahut. Sementara itu apakah peralatan yang tadi aku minta sudah tersedia?”
Ki Demang Sangkal Putung tergagap.
*****
Sementara itu disebuah rumah yang letaknya terpencil beberapa petak dari ujung bulak panjang, aroma kemenyan menebar begitu kuat. Selain bau yang menyengat, ruangan itu hampir dipenuhi asap dupa, dua lampu minyak diletakkan di sebuah dipan di sudut ruangan.
“Kakang Among Rogo, sebaiknya pekerjaan ini kita selesaikan sekarang juga,”- berkata seorang yang berwajah tirus dan bersih dengan jenggot yang jarang tetapi panjang. Tubuhnya tinggi kekurusan dan dibalut dengan pakaian dan ikat kepala warna putih. Dari bibirnya selalu tersungging senyuman sinis yang membuat lawan bicaranya seolah merasa di ejek.
Orang yang disebut Among Rogo itu mendengus keras, wajahnya yang bulat dipenuhi rambut berewokan dengan bibir yang tertutupi kumis lebat. Perawakan tubuhnya sedikit pendek gempal alias melebar dengan otot-otot yang menonjol. Ia selalu mengenakan warna hitam termasuk ikat kepalanya. Sungguh berkebalikan dengan kawannya karena Ki Among Rogo ini wajahnya tidak pernah sekalipun menyunggingkan senyum. Terlalu menyeramkan.
Satu kesamaan dari kedua orang ini adalah kalung yang dikenakan, yaitu sebuah tali warna hitam dimana bandul yang dikaitkan adalah semacam tulang berbentuk taring.
“Among Roso”, - suara Among Rogo terdengar berat, serak dan menyakitkan telinga, - “sebaiknya kau tidak usah terlalu banyak omong. Segera kau kerjakan bagianmu, aku sudah menggarap tubuh fisiknya. Sekarang mari kita kirim serangan bersama-sama dan kedua kaki anak itu akan lumpuh dan tidak bisa dipakai lagi”
Senyum sinis tersungging di bibir Among Roso dan diikuti suara tertawa sumbang yang tidak terlalu keras.
“ Baiklah, kini bagianku untuk melemahkan jantungnya,” – suaranya kini terdengar berat menekan,-“ Aku akan mengirim cukup satu jarum emas ini agar Swandaru tidak langsung mati. Biarlah dia hidup di pembaringan dan menyesali perbuatannya karena telah mengkhianati keponakan Kanthil Kuning yang bernama Wiyati itu. Meskipun aku tidak mengenal Wiyati, tetapi bahwa Kanthil Kuning saudara angkat kita mati itu adalah karena pokal Swandaru,”
Ki Among Rogo hanya mendengus berat tanpa menyahut sepatah katapun.
Mereka berdua kemudian duduk bersila menghadapi sebuah bejana yang dalamnya berisi air yang telah dicampur dengan bunga dan reramuan. Tangan Ki Among Roso terjulur meraup segumpal kemenyan dan melemparkannya ke perapian sehingga semakin menyala dengan bau yang lebih tajam.
Sambil menggumamkan mantra-mantra, Ki Among Roso menyiapkan sebuah jambe yang sudah dibelah dan ditengahnya kemudian ia memasukkan sebuah jarum emas. Mata mereka sebentar terpenjam lalu terbuka lagi untuk memeriksa keaadaan air dan isi dalam bejana itu sambil terus membaca mantra-mantra.
Ketika merasa saatnya tiba, Ki Among Roso segera melemparkan jambe berisi jarum emas itu ke dalam bejana yang berisi air dan reramuan. Kembali mereka berdua memejamkan matanya dan membuka lagi untuk melihat isi bejana sambil terus menggumamkan mantra semakin kencang dan keras.
Malam itu suasana di bulak panjang di pinggir padukuhan Menganti terasa hening sebagaimana malam-malam sebelumnya.
Tetapi, tidaklah demikian dengan suasana rumah yang tidak jauh dari bulak itu. Rumah itu diliputi dengan ketegangan dan suasana yang menyeramkan yang sulit di ungkapkan dengan kata-kata.
Dalam ketegangan itu, tiba-tiba telinga Ki Among Roso menangkap gerak kaki yang diseret menjauhi rumah menuju halaman belakang. Gerakan itu begitu pelan dan hati-hati, tetapi mampu ditangkap oleh telinga Ki Among Roso.Tak ayal ia mengumpat sambil beranjak keluar rumah.
“Setan alas, apakah kau memang mau mati? Nih, terimalah pisau terbang beracunku!”
Sebuah pisau kecil berwarna kehitaman menyambar secepat tatit.
Salam,
No comments:
Post a Comment