BALADA SWANDARU GENI
Sebuah Perjalanan
Babak-24
Sebuah Perjalanan
Babak-24
Jantung Hantu Laut itu semakin berdebar-debar ketika melihat
sikap Kiai Garda yang sekarang tanpa ragu menyambut serangannya. Lawannya itu
tidak lagi selalu menghilang dan menghindar dari garis serangannya.
Sebagai tokoh yang berpengalaman, Hantu Laut itu menyadari bahwa
berdasarkan sikap yang baru saja ditunjukkan, agaknya lawannya itu sedang mempersiapkan
ajian untuk menahan serangannya. Maka dengan berteriak nyaring Hantu Laut itu
segera meluncur dan ayunan Kiai Djangkung Dhahana segera membelah udara disekitar
halaman banjar itu.
Serangan itu dilakukan dengan pengerahan tenaga yang sangat
besar dan bahkan mendekati puncak kekuatan Hantu Laut. Akibatnya, udara di
halaman banjar itu bagaikan terbakar dan orang-orang yang berdiri melingkar di
arena itu tanpa sadar harus mundur dan mengambil jarak lebih jauh.
Di pojok halaman itu berdiri serumpun pohon pisang dan beberapa
daun keringnya, yang biasa disebut klaras, ujung-ujungnya tepinya terlihat mulai
hangus menghitam. Bererapa daun kering yang berserakan di tanahpun mulai
menebar bau hangus meskipun belum mengeluarkan api.
Kiai Garda yang menyadari betapa berbahayanya serangan yang kali
ini, sengaja tidak menghilang sebagaimana sebelumnya. Beberapa kali ia
melenting-lenting tinggi dan cepat untuk menghindari serangan Hantu Laut itu sambil
berusaha meningkatkan lapis ajian yang sedang di terapkannya. Ia memang
memerlukan waktu beberapa saat sambil berusaha mencari celah untuk melakukan
serangan balik.
Hantu Laut yang melihat tubuh lawannya tidak menghilang
sebagaimana sebelumnya segera mengejar dan melandanya dengan serangan-serangan
ilmu api-nya. Meskipun ia menyadari bahwa lawannya akan menerapkan ajian baru,
tetapi ia begitu yakin bahwa ilmu api-nya akan mampu menghancurkan lawannya. Ia
hanya perlu untuk menyentuh dan membentur tubuh lawannya.
Sebuah serangan deras melanda Kiai Garda, keris Hantu Laut itu
terayun menyambar leher sambil menumpahkan percikan-percikn api panas yang
membakar udara. Tetapi Kiai Garda memang sudah mempersiapkan diri, dengan hati
tatag disambutnya serangan itu dengan merendahkan tubuhnya sambil memutar
tongkat Galih Wulung dengan gerakan cepat. Ketika ayunan itu melintas sejengkal
diatas kepalanya, tongkatnya segera menyodok ke arah dada lawan.
Hantu Laut itu melihat gerakan tongkat yang lurus mengarah
dadanya, dengansebat ia segera memiringkan tubuhnya sehingga terhindar dari
sodokan itu. Tetapi tangan kiri hantu itu tiba-tiba saja bergerak cepat berusaha
untuk menangkap dan meremas tongkat Galih Wulung itu sambil mengerahkan ilmu
api-nya hingga ke puncak. Ia bermaksud untuk merampas dan membakar tongkat
lawannya itu sebelum kemudian menyusuli dengan ayunan keris ke arah tubuh Kiai
Garda.
Gerakan kedua orang itu dilakukan dengan sangat cepat dan
sungguh Kiai Garda berada dalam keadaan yang sangat mengkuatirkan.
Udara malam yang panas itu tiba-tiba kembali dikoyak oleh
teriakan dan umpatan kasar justru dari mulut Hantu Laut. Dengan cepat ia melompat
jauh untuk mengambil jarak. Ia tidak bisa menyembunyikan wajahnya yang terlihat
sangat tegang dan penuh keheranan sambil sesekali menyeringai menahan sakit di
lengan kirinya.
“Gila, ilmu apa lagi yang kau terapkan kali ini Kiai?”,- nada
suaranya mengandung penasaran yang besar.
Kiai Garda tidak langsung menjawab, kesempatan itu
dipergunakannya untuk mengatur nafas sambil mempertajam pengetrapan ajian untuk
semakin tebal melapisi keseluruhan tubuhnya.
“ Aku hanya berusaha lepas dan tidak terbakar oleh apimu Hantu
Laut”, - setelah merasa siap Kiai Garda menjawab pertanyaan lawannya itu.
Sesungguhnya Hantu Laut itu merasa sangat penasaran, baru kali
ini ia berhadapan dengan lawan yang sedemikian ulet dan bahkan merepotkannya.
Ketika tangan kirinya tadi berusaha menangkap tongkat lawannya
dan hendak meremasnya agar terbakar dengan tenaga api-nya, tiba-tiba tangannya
itu terasa menyentuh benda keras yang teramat dingin. Tongkat kayu itu seolah
berubah menjadi tongkat yang terbuat dari batu salju yang sangat keras sekaligus teramat
dingin.
Dalam keterperanjatan yang sangat, tak terhindarkan lagi tangan
kiri Hantu Laut yang dilapisi ilmu api itu berbenturan dengan rasa dingin beku yang
mengalir dari tongkat Galih Wulung. Terdengar suara mendesis yang sangat tajam
dan panjang, tak ubahnya besi yang membara kemudian dimasukkan dalam gelombang
air dingin yang bahkan kemudian mengeluarkan asap yang cukup tebal.
Disaat masih diliputi rasa terkejut itu, Hantu Laut terlambat
untuk menghindar ketika Kiai Garda justru meloncat maju hendak menyarangkan
tangan kirinya ke dadanya. Dengan gerakan secepat yang mampu ia lakukan, hantu
itu menarik tubuhnya sambil tangan kanannya segera mengayunkan keris Kiai
Djangkung Dhahana untuk memapasi ayunan tangan kiri lawannya.
Gerakan Hantu Laut yang tergesa-gesa itu mampu menyelamatkan
dadanya dari serangan Kiai Garda. Tetapi ia sedikit terlambat sehingga tak
urung lengan kirinya kembali tersentuh oleh ajian Cunda Manik. Kiai Garda sendiri
agaknya masih cukup jeri untuk langsung memapaki keris yang mampu menaburkan
butiran panas itu, sehingga iapun terpaksa harus melompat mundur.
Wajah Hantu Laut itu terlihat tegang dan dipenuhi kemarahan.
“Pantaslah Ki Kalangan Abang mampus ditangan orang ini”, -
geramnya dalam hati.
Hantu itu segera menyiapkan diri untuk melakukan serangan
berikutnya. Meskipun ia sadar bahwa lawannya kali ini berilmu sangat tinggi,
tetapi hatinya sama sekali tidak gentar. Ia mempunyai keyakinan yang sangat
tinggi bahwa ilmu-ilmu yang mengendap dalam dirinya akan mampu menyelamatkannya
dan bahkan membunuh lawannya.
Ketika Hantu Laut itu hendak kembali melompat menyerang
lawannya, tiba-tiba udara malam itu kembali dirobek teriakan keras yang disusul
ledakan cambuk susul menyusul tiga kali.
Agaknya teriakan itu berasal dari mulut Watu Gempal yang sedang
meluncurkan serangan ke arah lawan. Tetapi yang membuat Hantu Laut dan Kiai
Garda mengerutkan keningnya adalah tiga ledakan cambuk yang datang susul
menyusul. Ledakan pertama dan kedua begitu keras memekakkan telinga sebagaimana
yang telah mereka dengar sebelumnya, hanya saja ledakan yang ketiga itu
terdengar jauh lebih pelan.
Tetapi ledakan ketiga ini justru seolah menghentak dada siapapun
yang mendengarnya. Seolah dada ini sedang di gencet dengan batu sebesar kerbau
dan membuat nafas tersengal-sengal.
Di lingkaran lain, terlihat Swandaru sedang terpojok disudut
halaman tanpa ada ruang gerak untuk menghindar sementara tubuh raksasa Watu
Gempal itu sedang melayang menerkamnya.
Salam,
Bagi poro sanak-kadang FB yang ketinggalan/ belum membaca seri-seri
sebelumnya, silahkan bisa menikmatinya di blog sy; http://pudjo-riswantoro.blogspot.co.id
1 comment:
Matur-nuwun Ki-Pujo-Riswantoro atas glodakannya.
Post a Comment