BALADA
SWANDARU GENI
Gilang
Pamungkas
Babak-06
______________________
Mohon maaf
menyela sebentar kangmas & mbokayu,
Akhir-akhir
ini saya senang melihat gandok ini begitu ramai dengan beberapa postingan para
sanak kadang anggota ADBM yang ternyata beragam latar belakang dan profesinya,
tetapi sama-sama mencintai karya sang maestro Ki SHM. Saya juga ikut membaca
ulang cersil TW hehee…
Tetapi jujur
saja tiba-tiba ada perasaan ‘sedikit’ bersalah karena selama ini saya memposting
cersil BSG ini tanpa ijin ke Om Admin. Padahal gandok ini seharusnya di-khususkan
untuk berkumpul dan membahas karya-karya Ki SHM yang memang fenomenal,
sementara BSG hanyalah kisah sempalan fiksi yang jauh dari nilai-nilai sejarah.
Karena itu
ketika beberapa teman kemudian memposting karya Ki SHM – meski judulnya lain –
saya tiba-tiba saja seperti diingatkan. Saya kurang tahu alasannya, tetapi pada
kenyataannya Mbah Man, Ki Jagabaya Amalindo atau (dulu) Nyi Flam juga
memposting di Wall/Blog masing-masing.
Untuk itu,
mulai edisi mendatang, BSG akan saya posting hanya di Wall FB pribadi saya
saja. Bagi para sanak kadang yang masih ingin mengikuti cersil BSG, silahkan ‘Add’
pertemanan di FB saya. Cersil BSG ini sifatnya terbuka, bebas di share tanpa
perlu minta ijin.
Satu hal
lagi, saya menulis cersil ini murni sekedar selingan alias hobby, sehingga
jadwal posting sangat tidak menentu. Ketika sibuk dengan pekerjaan, mungkin
jadwal posting akan terputus-putus, tetapi di waktu luang saya akan posting
sesering mungkin sesuai kemampuan menulis saya.
Semoga
kecintaan atas cersil Nusantara – khususnya karya Ki SHM - akan semakin menular
ke generasi yang lebih muda.
Salam,
_____________________
Malam itu
udara di Kademangan Sangkal Putung cukup panas karena memang sudah memasuki
musim kemarau. Batang padi sudah tegak menghijau karena ditanam beberapa pekan sebelum
berakhirnya musim penghujan, dan para petani mulai mengatur aliran sungai yang
diangkat naik untuk mengaliri persawahan mereka.
Menjelang
wayah sepi uwong, dua prajurit dari Jati Anom yang berbaur dengan penjaga
Kademangan sambil bermain macanan itu itu melihat Ki Widura dan Wahana memasuki
halaman Kademangan. Keduanya melangkah dengan pelan seolah sedang menikmati
udara malam sambil melemaskan kaki.
Melihat
kedua prajurit yang ternyata masih belum tidur itu, Ki Widura segera menyapa.
“ Sebaiknya
kalian beristirahatlah. Aku tadi sengaja mengajak angger Wahana untuk menikmati
mangut ikan lele di warung Nyi Surti di padukuhan sebelah. Agaknya lidah angger
Wahana tidak berbeda dengan lidahku, sehingga kami harus menambah dua piring”
Wahana hanya
tertawa, lalu katanya kepada kedua prajurit itu.
“ Sudahlah,
bukankan kalian sudah disediakan bilik untuk beristirahat? Besok pagi setelah
matahari naik sepenggalah kita berempat akan pergi ke Jati Anom bersama dengan
Nyi Pandan Wangi dan Gilang”
Kedua
prajurit itu tidak menjawab dan hanya menganggukkan kepalanya.
Sementara Ki
Widura dan Wahana langsung naik ke pendapa dimana Pandan Wangi sudah
menyediakan minuman hangat serta pisang rebus sebagai pengisi perut.
Pandan Wangi
masih harus membawa nampan yang berisi sisa-sisa minuman para tamunya itu ke
dapur. Dilihatnya perempuan tengah baya yang selama ini membantu pekerjaan di
dapur itu duduk terkantuk-kantuk atau bahkan sudah tertidur sambil bersandarkan
tiang. Dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara gaduh, Pandan Wangi segera
meletakkan nampan itu di amben bambu dan melangkah justru menuju pintu dapur
menuju pakiwan belakang. Ia sengaja tidak mau membangunkan pembantunya yang
agaknya sudah terlelap dalam mimpi meskipun hanya sambil duduk.
Di halaman
belakang itu, Pandan Wangi segera mengendap-endap mencari tempat berlindung di
kegelapan. Langit di Sangkal Putung malam itu terlihat bersih dan meskipun
tidak ada sinar bulan tetapi suasana malam itu cukup terang bagi matanya.
Sambil
menahan nafas, Pandan Wangi mencoba menyerap semua bunyi yang muncul akibat
dari gerak yang ditimbulkannya. Tiba-tiba saja tubuhnya melesat cepat dari
balik bayangan pohon ke bayangan pohon lainnya. Dengan hati-hati ia menyusupkan
tubuhnya lalu berjongkok di balik rimbunnya daun luntas yang menempel di pojok pagar
halaman sebelah kanan.
Dari sini ia
bisa mengawasi semua yang ada di halaman belakang itu tanpa ada satu jengkalpun
yang terlewatkan.
Untuk
beberapa saat Pandan Wangi duduk terdiam di balik rerimbunan itu sambil terus
mengawasi keadaan. Pesan dan keterangan dari Ki Widura dan Wahana menjelang
gelap tadi membuat hatinya sangat gelisah, karena itu ia memilih untuk
meyakinkan apakah malam ini akan ada pergerakan sesuai yang diperkirakan oleh
Ki Widura dan Wahana.
Malam terus
bergulir dan Pandan Wangi tetap tak beranjak dari tempatnya sambil terus
mengawasi keadaan. Meskipun hatinya di liputi kegelisahan tetapi ia mengeraskan
diri untuk menunggu jika perlu hingga pagi hari. Pandan Wangi sangat menyadari
bahwa dibutuhkan kesabaran tingkat tinggi untuk melakukan pengintaian seperti
yang saat ini sedang ia lakukan.
Menjelang
tengah malam, telinga Pandan Wangi menangkap langkah-langkah lembut dari pintu
butulan samping menuju halaman belakang. Sesosok bayangan berjalan pelan menuju
pakiwan, tetapi mata Pandan Wangi yang tajam bisa melihat bahwa wajah orang itu
beberapa kali menengok ke kanan dan ke kiri seolah sedang memeriksa keadaan.
Ketika sudah
berada di pintu pakiwan, bayangan itu tidak segera masuk, bahkan tiba-tiba saja
ia meloncat ringan menjauhi pakiwan dan berlindung di balik sebuah pohon sawo
kecik yang berdiri tidak jauh dari pakiwan itu. Bayangan itu seolah hilang tertelan
batang pohon sawo yang cukup besar.
Suasana
kembali sunyi seolah tidak ada makhluk hidup yang hadir di halaman belakang
itu. Tetapi mata Pandan Wangi bisa melihat bahwa sosok bayangan itu masih
melekat di pohon dan belum bergerak. Agaknya bayangan itu juga sedang memeriksa
keadaan sebelum mungkin bergerak lebih lanjut. Karena itu mata Pandan Wangi sama
sekali tidak berkedip, ia tidak mau kehilangan bayangan itu barang sekejab.
Sejenak
kemudian, udara di halaman belakang rumang Ki Demang Sangkal Putung itu di
pecahkan oleh bunyi lembut yang menyayat hati. Suaranya melengking dan
berulang-ulang membuat siapapun yang mendengarnya merasa sedih bahkan
merinding. Suara burung Kedasih.
Bersamaan
dengan selesainya suara itu, bayangan itu terlihat melompat mendekati dinding
belakang dan kembali bersembunyi di balik pohon pisang yang tumbuh bergerombol
di pojok kiri. Ia berdiam diri sambil kembali mengamati keadaan.
Tidak lama
berselang, muncul kembali suara burung kedasih yang tidak kalah menyayat hati
dibanding suara sebelumnya. Hanya saja kali ini suara itu munculnya dari luar
pagar halaman belakang Ki Demang Sangkal Putung. Pandan Wangi segera menyadari
bahwa agaknya bunyi itu merupakah sebuah jawaban atas suara burung kedasih yang
pertama dan isyarat akan hadirnya orang lain di halaman belakang ini.
“Untunglah
aku sudah menunggu di sini terlebih dahulu, mudah-mudahan mereka tidak
mengetahui kehadiranku”, - desis Pandan Wangi dalam hati.
Bayangan
hitam yang tadi bersembunyi dibalik pohon pisang itu terlihat bergeser dan kini
menempel di pagar halaman belakang. Tubuhnya tertutup bayangan tembok dan
berjarak hanya sekitar tiga-empat tombak dari tempat Pandan Wangi bersembunyi.
Pandan Wangi
menahan nafas dan berusaha menyamarkan dirinya dengan lebih baik. Ia ingat dan
berusaha mematuhi pesan Ki Widura maupun Wahana untuk tidak berbuat apapun agar
tidak merusakkan rencana yang sore tadi mereka susun.
Ketika suara
burung kedasih itu terdengar lagi, ternyata jaraknya sudah sedemikian dekat
dengan pagar halaman belakang itu.
“Kakang
Suwadi, kaukah itu?”, - terdengar bayangan dari balik pagar itu berbisik lirih .
Tidak
terdengar jawaban, tetapi tiba-tiba saja sebuah bayangan berkelebat dan
langsung berbaring di atas pagar halaman belakang Ki Demang Sangkal Putung.
Gerakannya cukup cepat dan ketika ia membaringkan tubuhnya ke bibir pagar, maka
tubuhnya itu langsung menyatu seolah ia adalah bagian dari pagar batu itu
sendiri.
Sambil
berdesis pelan, bayangan yang baru datang itu langsung bertanya.
“Bagaimana,
apakah sebaiknya kita bergerak malam ini?”
Bayangan
yang ada di dalam pagar itu tidak langsung menjawab. Ia masih berusaha
mengawasi keadaan dan ketika merasa aman ia kemudian berkata.
“Sebaiknya
jangan malam ini kakang, para pengawal disini jumlahnya cukup banyak dan mudah
digerakkan. Besok pagi mereka akan pergi ke Jati Anom, aku kira itulah saat
terbaik untuk mencegatnya di tengah jalan”
“ Kau yakin?
“
“ Ya “
“Siapa saja
yang akan berangkat?”
“Hanya
Pandan Wangi, bocah itu beserta Ki Widura dan Wahana yang sombong itu”
“ Kau tahu
kapan akan berangkat?”
“ Pagi
menjelang matahari naik sepenggalah “
Mereka
terdiam, suasana kembali sunyi dan hembusan angin yang pelan itu tidak mampu menyejukkan
udara yang memang cukup panas.
“Aku harus
kembali kakang”
“Baiklah, aku
akan laporkan kepada Ki Juwono dan orang-orang aneh itu”
Bayangan
yang baru datang itu langsung melompat dan menghilang diluar pagar. Sementara
bayangan pertama, mengendap-endap mendekati pakiwan dan masuk ke dalamnya.
Beberapa saat kemudian terdengar suara gemericik air, agaknya orang itu sedang
mencuci wajah atau kakinya. Tidak lama kemudian bayangan itu sudah berjalan menuju
pintu butulan dimana ia sebelumnya datang. Langkahnya begitu tenang seolah
tidak ada kejadian apa-apa yang dialami sebelumnya.
Pandan Wangi
masih diam ditempatnya dan menunggu beberapa saat. Ketika telinganya sudah
tidak mendengar apapun yang mencurigakan dan yakin bahwa bayangan yang kembali
lewat pintu butulan itu sudah bergerak menjauh, ia segera keluar dari
persembunyiannya.
Perlahan-lahan ia berjalan menuju pintu dapur dan bermaksud untuk
kembali masuk ke dalam rumah.
“Ternyata
dugaan paman Widura tepat sekali “, - desisnya dalam hati.
Sambil
menenangkan hatinya yang gelisah Pandan Wangi segera masuk ke dapur dan
bermaksud menutup pintu. Tetapi bukan main terperanjatnya Pandan Wangi ketika
dilihatnya sesosok bayangan melesat mendekat sambil berdesis lirih.
Salam,
No comments:
Post a Comment