Saturday, April 22, 2017

BSG - Gilang Pamungkas - Babak-06

BALADA SWANDARU GENI
Gilang Pamungkas
Babak-06

______________________ 

Mohon maaf menyela sebentar kangmas & mbokayu,

Akhir-akhir ini saya senang melihat gandok ini begitu ramai dengan beberapa postingan para sanak kadang anggota ADBM yang ternyata beragam latar belakang dan profesinya, tetapi sama-sama mencintai karya sang maestro Ki SHM. Saya juga ikut membaca ulang cersil TW hehee…

Tetapi jujur saja tiba-tiba ada perasaan ‘sedikit’ bersalah karena selama ini saya memposting cersil BSG ini tanpa ijin ke Om Admin. Padahal gandok ini seharusnya di-khususkan untuk berkumpul dan membahas karya-karya Ki SHM yang memang fenomenal, sementara BSG hanyalah kisah sempalan fiksi yang jauh dari nilai-nilai sejarah.

Karena itu ketika beberapa teman kemudian memposting karya Ki SHM – meski judulnya lain – saya tiba-tiba saja seperti diingatkan. Saya kurang tahu alasannya, tetapi pada kenyataannya Mbah Man, Ki Jagabaya Amalindo atau (dulu) Nyi Flam juga memposting di Wall/Blog masing-masing.

Untuk itu, mulai edisi mendatang, BSG akan saya posting hanya di Wall FB pribadi saya saja. Bagi para sanak kadang yang masih ingin mengikuti cersil BSG, silahkan ‘Add’ pertemanan di FB saya. Cersil BSG ini sifatnya terbuka, bebas di share tanpa perlu minta ijin.

Satu hal lagi, saya menulis cersil ini murni sekedar selingan alias hobby, sehingga jadwal posting sangat tidak menentu. Ketika sibuk dengan pekerjaan, mungkin jadwal posting akan terputus-putus, tetapi di waktu luang saya akan posting sesering mungkin sesuai kemampuan menulis saya.

Semoga kecintaan atas cersil Nusantara – khususnya karya Ki SHM - akan semakin menular ke generasi yang lebih muda.

Salam,

_____________________


Malam itu udara di Kademangan Sangkal Putung cukup panas karena memang sudah memasuki musim kemarau. Batang padi sudah tegak menghijau karena ditanam beberapa pekan sebelum berakhirnya musim penghujan, dan para petani mulai mengatur aliran sungai yang diangkat naik untuk mengaliri persawahan mereka.

Menjelang wayah sepi uwong, dua prajurit dari Jati Anom yang berbaur dengan penjaga Kademangan sambil bermain macanan itu itu melihat Ki Widura dan Wahana memasuki halaman Kademangan. Keduanya melangkah dengan pelan seolah sedang menikmati udara malam sambil melemaskan kaki.

Melihat kedua prajurit yang ternyata masih belum tidur itu, Ki Widura segera menyapa.

“ Sebaiknya kalian beristirahatlah. Aku tadi sengaja mengajak angger Wahana untuk menikmati mangut ikan lele di warung Nyi Surti di padukuhan sebelah. Agaknya lidah angger Wahana tidak berbeda dengan lidahku, sehingga kami harus menambah dua piring”

Wahana hanya tertawa, lalu katanya kepada kedua prajurit itu.

“ Sudahlah, bukankan kalian sudah disediakan bilik untuk beristirahat? Besok pagi setelah matahari naik sepenggalah kita berempat akan pergi ke Jati Anom bersama dengan Nyi Pandan Wangi dan Gilang”

Kedua prajurit itu tidak menjawab dan hanya menganggukkan kepalanya.

Sementara Ki Widura dan Wahana langsung naik ke pendapa dimana Pandan Wangi sudah menyediakan minuman hangat serta pisang rebus sebagai pengisi perut.

Pandan Wangi masih harus membawa nampan yang berisi sisa-sisa minuman para tamunya itu ke dapur. Dilihatnya perempuan tengah baya yang selama ini membantu pekerjaan di dapur itu duduk terkantuk-kantuk atau bahkan sudah tertidur sambil bersandarkan tiang. Dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara gaduh, Pandan Wangi segera meletakkan nampan itu di amben bambu dan melangkah justru menuju pintu dapur menuju pakiwan belakang. Ia sengaja tidak mau membangunkan pembantunya yang agaknya sudah terlelap dalam mimpi meskipun hanya sambil duduk.

Di halaman belakang itu, Pandan Wangi segera mengendap-endap mencari tempat berlindung di kegelapan. Langit di Sangkal Putung malam itu terlihat bersih dan meskipun tidak ada sinar bulan tetapi suasana malam itu cukup terang bagi matanya.

Sambil menahan nafas, Pandan Wangi mencoba menyerap semua bunyi yang muncul akibat dari gerak yang ditimbulkannya. Tiba-tiba saja tubuhnya melesat cepat dari balik bayangan pohon ke bayangan pohon lainnya. Dengan hati-hati ia menyusupkan tubuhnya lalu berjongkok di balik rimbunnya  daun luntas yang menempel di pojok pagar halaman sebelah kanan.

Dari sini ia bisa mengawasi semua yang ada di halaman belakang itu tanpa ada satu jengkalpun yang terlewatkan.

Untuk beberapa saat Pandan Wangi duduk terdiam di balik rerimbunan itu sambil terus mengawasi keadaan. Pesan dan keterangan dari Ki Widura dan Wahana menjelang gelap tadi membuat hatinya sangat gelisah, karena itu ia memilih untuk meyakinkan apakah malam ini akan ada pergerakan sesuai yang diperkirakan oleh Ki Widura dan Wahana.

Malam terus bergulir dan Pandan Wangi tetap tak beranjak dari tempatnya sambil terus mengawasi keadaan. Meskipun hatinya di liputi kegelisahan tetapi ia mengeraskan diri untuk menunggu jika perlu hingga pagi hari. Pandan Wangi sangat menyadari bahwa dibutuhkan kesabaran tingkat tinggi untuk melakukan pengintaian seperti yang saat ini sedang ia lakukan.

Menjelang tengah malam, telinga Pandan Wangi menangkap langkah-langkah lembut dari pintu butulan samping menuju halaman belakang. Sesosok bayangan berjalan pelan menuju pakiwan, tetapi mata Pandan Wangi yang tajam bisa melihat bahwa wajah orang itu beberapa kali menengok ke kanan dan ke kiri seolah sedang memeriksa keadaan.

Ketika sudah berada di pintu pakiwan, bayangan itu tidak segera masuk, bahkan tiba-tiba saja ia meloncat ringan menjauhi pakiwan dan berlindung di balik sebuah pohon sawo kecik yang berdiri tidak jauh dari pakiwan itu. Bayangan itu seolah hilang tertelan batang pohon sawo yang cukup besar.

Suasana kembali sunyi seolah tidak ada makhluk hidup yang hadir di halaman belakang itu. Tetapi mata Pandan Wangi bisa melihat bahwa sosok bayangan itu masih melekat di pohon dan belum bergerak. Agaknya bayangan itu juga sedang memeriksa keadaan sebelum mungkin bergerak lebih lanjut. Karena itu mata Pandan Wangi sama sekali tidak berkedip, ia tidak mau kehilangan bayangan itu barang sekejab.

Sejenak kemudian, udara di halaman belakang rumang Ki Demang Sangkal Putung itu di pecahkan oleh bunyi lembut yang menyayat hati. Suaranya melengking dan berulang-ulang membuat siapapun yang mendengarnya merasa sedih bahkan merinding. Suara burung Kedasih.

Bersamaan dengan selesainya suara itu, bayangan itu terlihat melompat mendekati dinding belakang dan kembali bersembunyi di balik pohon pisang yang tumbuh bergerombol di pojok kiri. Ia berdiam diri sambil kembali mengamati keadaan.

Tidak lama berselang, muncul kembali suara burung kedasih yang tidak kalah menyayat hati dibanding suara sebelumnya. Hanya saja kali ini suara itu munculnya dari luar pagar halaman belakang Ki Demang Sangkal Putung. Pandan Wangi segera menyadari bahwa agaknya bunyi itu merupakah sebuah jawaban atas suara burung kedasih yang pertama dan isyarat akan hadirnya orang lain di halaman belakang ini.

“Untunglah aku sudah menunggu di sini terlebih dahulu, mudah-mudahan mereka tidak mengetahui kehadiranku”, - desis Pandan Wangi dalam hati.

Bayangan hitam yang tadi bersembunyi dibalik pohon pisang itu terlihat bergeser dan kini menempel di pagar halaman belakang. Tubuhnya tertutup bayangan tembok dan berjarak hanya sekitar tiga-empat tombak dari tempat Pandan Wangi bersembunyi.

Pandan Wangi menahan nafas dan berusaha menyamarkan dirinya dengan lebih baik. Ia ingat dan berusaha mematuhi pesan Ki Widura maupun Wahana untuk tidak berbuat apapun agar tidak merusakkan rencana yang sore tadi mereka susun.

Ketika suara burung kedasih itu terdengar lagi, ternyata jaraknya sudah sedemikian dekat dengan pagar halaman belakang itu.

“Kakang Suwadi, kaukah itu?”, - terdengar bayangan dari balik pagar itu berbisik lirih .

Tidak terdengar jawaban, tetapi tiba-tiba saja sebuah bayangan berkelebat dan langsung berbaring di atas pagar halaman belakang Ki Demang Sangkal Putung. Gerakannya cukup cepat dan ketika ia membaringkan tubuhnya ke bibir pagar, maka tubuhnya itu langsung menyatu seolah ia adalah bagian dari pagar batu itu sendiri.

Sambil berdesis pelan, bayangan yang baru datang itu langsung bertanya.

“Bagaimana, apakah sebaiknya kita bergerak malam ini?”

Bayangan yang ada di dalam pagar itu tidak langsung menjawab. Ia masih berusaha mengawasi keadaan dan ketika merasa aman ia kemudian berkata.

“Sebaiknya jangan malam ini kakang, para pengawal disini jumlahnya cukup banyak dan mudah digerakkan. Besok pagi mereka akan pergi ke Jati Anom, aku kira itulah saat terbaik untuk mencegatnya di tengah jalan”

“ Kau yakin? “

“ Ya “

“Siapa saja yang akan berangkat?”

“Hanya Pandan Wangi, bocah itu beserta Ki Widura dan Wahana yang sombong itu”

“ Kau tahu kapan akan berangkat?”

“ Pagi menjelang matahari naik sepenggalah “

Mereka terdiam, suasana kembali sunyi dan hembusan angin yang pelan itu tidak mampu menyejukkan udara yang memang cukup panas.

“Aku harus kembali kakang”

“Baiklah, aku akan laporkan kepada Ki Juwono dan orang-orang aneh itu”

Bayangan yang baru datang itu langsung melompat dan menghilang diluar pagar. Sementara bayangan pertama, mengendap-endap mendekati pakiwan dan masuk ke dalamnya. Beberapa saat kemudian terdengar suara gemericik air, agaknya orang itu sedang mencuci wajah atau kakinya. Tidak lama kemudian bayangan itu sudah berjalan menuju pintu butulan dimana ia sebelumnya datang. Langkahnya begitu tenang seolah tidak ada kejadian apa-apa yang dialami sebelumnya.

Pandan Wangi masih diam ditempatnya dan menunggu beberapa saat. Ketika telinganya sudah tidak mendengar apapun yang mencurigakan dan yakin bahwa bayangan yang kembali lewat pintu butulan itu sudah bergerak menjauh, ia segera keluar dari persembunyiannya. 

Perlahan-lahan ia berjalan menuju pintu dapur dan bermaksud untuk kembali masuk ke dalam rumah.

“Ternyata dugaan paman Widura tepat sekali “, - desisnya dalam hati.

Sambil menenangkan hatinya yang gelisah Pandan Wangi segera masuk ke dapur dan bermaksud menutup pintu. Tetapi bukan main terperanjatnya Pandan Wangi ketika dilihatnya sesosok bayangan melesat mendekat sambil berdesis lirih.



Salam, 

No comments:

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...