Saturday, April 1, 2017

BALADA SWANDARU GENI - Babak-2

Swandaru memejamkan matanya berusaha mengosongkan pikirannya agar bisa lebih tenang. Dalam keheningan malam menjelang pagi, ia bisa merasakan rabaan angin dingin mengusap segenap pori-pori tubuh, memberikan kesejukan. Meski dikejauhan, telinganya masih bisa menangkap suara cengkerik dan belalang yang mewarnai suasana saat itu.

“Anak-anakku, tidak ada lagi yang bisa aku ajarkan kepada kalian berdua. Meskipun masih ada beberapa hal yang mungkin belum kalian pelajari,  tetapi dasar-dasar ilmu yang ada di kitab ini sudah kalian miliki semuanya. Inilah saatnya kalian berdua harus lebih mandiri, siapa yang bersungguh-sungguh akan bisa menguasai ilmu yang ada di kitab ini dengan baik. Bacalah, resapilah dan latihlah…..masuklah ke kedalalaman jangan hanya berhenti di permukaan. Aku tentu masih bisa memberi beberapa petunjuk jika kalian memerlukan, tetapi ubuhku sudah semakin ringkih dan aku tidak bisa selalu mendampingi kalian berdua setiap saat”, - suara dan pesan gurunya serasa kembali mendesing tajam di telinga Swandaru yang masih memejamkan matanya itu.

“Guru…” kembali ia bergumam.

Ia bergeser ke halaman samping lalu duduk dengan menghenyakkan tubuhnya ke sebuah lincak bambu sehingga menimbulkan suara berderit. Tidak ada niatnya untuk segera masuk ke rumah dan menghabiskan sisa malam untuk beristirahat dan berbaring.

“Tidak mungkin Guru pilih kasih dengan lebih memperhatikan kakang Agung Sedayu. Aku tahu sifat Guru… lalu apakah artinya ‘masuk ke kedalaman dan jangan berhenti hanya di permukaan?’ Apakah aku selama ini hanya ada dipermukaan sementara kakang Sedayu sudah jauh ke kedalaman dan bahkan menyelam?”

Berbagai pikiran dan angan-angan berkecamuk di kepala Swandaru Geni. Meskipun ia tidak melakukan gerakan fisik yang menguras tenaga, akan tetapi tidak terasa pagi itu tubuhnya basah oleh keringat…agaknya hati dan pikirannya lebih lelah. Selama ini Swandaru memang lebih banyak menggunakan perasaan dan gerak fisiknya. Jarang sekali ia menggunakan nalar dan hatinya sehingga saat-saat seperti sekarang ini ternyata cukup berat baginya.

Swandaru menundukkan kepalanya, sambil duduk bersila ia berusaha menangkan diri. Memandangi kedua kakinya yang kokoh dan juga tangannya yang selama ini telah ia latih dengan tekun sehingga mampu memecahkan batu besar dengan sekali pukul.

“Apakah tubuhku yang gemuk ini menandakan kurangnya keprihatinanku dalam melakukan olah rasa dan memperdalam ilmu kanuragan”, - kembali ia mendesah.

Tidak bisa disangkal betapa selama ini porsi makan Swandaru hampir dua kali lipat dari kebanyakan orang pada umumnya. Terlebih sebagai anak seorang Demang yang kaya raya, menu yang di santapnya lebih banyak berupa daging dan ikan yang menjadi kegemarannya. Ia merasa menu itu memberi tenaga dan kekuatan bagi fisiknya.

Tetapi Swandaru merasa bahwa itu adalah hal yang pantas karena apa yang dia lakukan selama ini juga lebih berat dibandingkan kebanyakan orang. Ia berlatih lebih keras untuk perkembangan dirinya disamping harus berkeliling pula dan melatih kanuragan para pengawal Kademangan. Ia menghabiskan banyak tenaga sehingga adalah pantas jika harus mengimbanginya dengan menu makan yang layak.

Mata Swandaru terlihat redup, berbagai bayangan melintas simpang siur di benaknya sehingga ia kembali memilih menutup matanya. Ditegakkannya punggung dan dalam posisi duduk bersila, di ingatnya kembali ajaran semedi dari gurunya, Kiai Gringsing. Melakukan semedi adalah hal pertama yang di ajarkan gurunya saat mereka berdua belajar kanuragan, hanya saja saat itu Swandaru merasa semedi ini tidak menarik untuk selalu di latih. Ia lebih senang bergerak, meloncat dan melakukan gerak latihan fisik saat itu.

Swandaru mengatur nafasnya pelan-pelan dan lembut, ia tidak langsung melawan dan menghilangkan bayangan-bayangan yang datang silih berganti itu mengisi benaknya. Jika hal itu ia lakukan maka hanya akan mendatangkan pusing di kepalanya.

Diikutinya bayangan-bayangan yang sepintas datang lalu pergi, kemudian datang hal lain yang menyita segenap pikirannya dan sesaat kemudian juga melintas pergi. Ia biarkan semua itu dan berusaha lebih memusatkan perhatiannya pada keluar masuknya nafas, demikian lembut dan merasuk ke segenap bagian tubuhnya. Nafas ini memberikan sebuah tenaga dan suatu kehidupan.

Demikian hal itu berlangsung cukup lama dan Swandaru tenggelam dalam semedi yang dalam. Suara-suara binatang malam sudah mulai menghilang meskipun suasana masih gelap. Tubuh Swandaru yang tegak tak bergeming bagaikan sebuah patung yang justru membuat binatang malam enggan mendekat ataupun hinggap ditubuhnya.

Ketika pagi hampir menjelang, tiba-tiba saja wajah Swandaru terlihat pucat, bibirnya bergetar dan tubuhnya menggigil hebat. Dengan cepat ia mengurai kedua tangannya tetapi gerak kakinya tidak terkontrol sehingga ia jatuh tertelungkup ke depan saat kakinya tidak mampu menopang tubuhnya.

“Wangi!!” Swandaru menjerit.


Salam,

No comments:

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...