BALADA SWANDARU GENI
Sebuah Perjalanan
Babak-14
Sebuah Perjalanan
Babak-14
Swandaru terlihat mengerutkan keningnya, ia menunggu penjelasan lebih lanjut dari laki-laki penunggu banjar padukuhan itu.
“Siapakah namamu Ki Sanak,” – penunggu banjar itu bertanya.
Swandaru agak gelagapan mendengar pertanyaan yang tidak diduganya itu. Dari mulutnya tiba-tiba saja meluncur jawaban yang bahkan tidak sempat ia pikirkan lebih jauh.
“ Gupala, Ki “
Penunggu banjar itu mengangguk-angguk sebelum kemudian ia berbicara cukup panjang.
“ Padukuhan ini termasuk dalam kademangan Krikilan, dan kami warga padukuhan ini hidup rukun dan saling tolong-menolong layaknya kehidupan di desa. Ki Demang mempunyai tiga orang anak yang kebetulan semuanya laki-laki. Anak Ki Demang yang tertua disiapkan untuk menggantikan Ki Demang yang memang sudah lanjut usianya, sementara dua adiknya sudah hampir lima tahun meninggalkan rumah untuk menimba olah kanuragan di daerah pesisir utara yang disebut Tuban”
Swandaru melihat penunggu banjar itu beberapa kali harus memperbaiki posisi duduknya, agaknya luka di bagian pinggangnya sangat mengganggu.
“Beberapa waktu yang lalu, kedua anak ki Demang yang pergi sejak remaja itu pulang dan kini menjelma menjadi dua anak muda yang tampan dan gagah luar biasa. Betapa bangganya keluarga Ki Demang dan juga warga kademangan ketika dalam suatu kesempatan kedua anak muda itu sempat menunjukkan kemampuan mereka dalam olah kanuragan. Mereka mampu bergerak dengan cepat dan tenaga pukulannya bisa meremukkan batu kali yang teramat keras”
“ Tetapi kebanggaan itu hanya muncul sesaat dan digantikan dengan kegelisahan yang teramat dalam bagi Ki Demang maupun warga Kademangan. Kemampuan tinggi kedua anak muda itu ternyata justru memunculkan sikap congkak dan memandang rendah orang lain. Yang lebih memprihatinkan adalah kedua anak muda itu ternyata tumbuh sebagai laki-laki yang sangat tidak menghargai perempuan. Beberapa gadis dan bahkan perempuan yang telah bersuami mereka ganggu dengan semena-mena. Puncaknya adalah ketika mereka ternyata juga berani mengganggu dan bahkan kemudian telah menodai kakak ipar mereka sendiri yang tidak lain adalah istri dari anak Ki Demang yang tertua”
Wajah Swandaru terlihat memerah ketika mendengar cerita penunggu banjar itu. Tanpa disadarinya ia menundukkan kepala, entah mengapa dadanya terasa berdebar-debar tanpa ia ketahui penyebabnya.
“Kejadian itu diketahui langsung oleh Ki Demang dan itu membuatnya sangat marah,” – penjaga banjar itu melanjutkan -,”Ki Demang dan anaknya yang pertama serta dibantu oleh beberapa pengawal kademangan kemudian berusaha untuk menghakimi kedua anak muda itu. Yang terjadi kemudian adalah pengeroyokan terhadap kedua anak muda yang ternyata melawan balik dengan sangat ganas. Beberapa pengawal terluka dan bahkan ada dua orang yang meninggal dunia di halaman Kademangan. Tetapi para pengawal dan warga terus berdatangan dalam jumlah yang banyak sehingga akhirnya kedua anak muda itu mengalami kesulitan dan berusaha melarikan diri”
“ Kedua anak muda itu terus berusaha lepas dari kejaran para pengawal dan akhirnya masuk ke padukuhan ini yang letaknya memang di ujung sebelum keluar Kademangan. Aku sendiri berbaur dengan para pengawal untuk ikut menyerang dan sempat melukai pundak salah satu anak muda itu. Tetapi akupun tidak luput dari tendangan mereka di lambungku yang membuat aku terlempar dan bahkan hampir pingsan. Hingga kini tulang-tulang di lambungku ini terasa sakit sekali, mungkin ada sebagian tulang yang retak”
Swandaru mendengarkan cerita penunggu banjar itu dengan hati yang terus berdebar-debar.
– “Mengapa cerita tentang keterlibatan seorang perempuan senantiasa membuat para lelaki gelap mata? Secantik apakah menantu Ki Demang itu?” – tiba-tiba hatinya ikut gelisah.
Sementara penjaga banjar yang memang tidak mengetahui isi hati Swandaru itu melanjutkan ceritanya.
“Bagaimanapun juga kedua anak muda itu kalah jumlah, sehingga tubuh merekapun akhirnya dipenuhi luka arang kranjang. Tetapi kami dan para pengawal juga cukup jeri, karena korban dari kami juga teramat banyak, bahkan ada tiga orang lagi yang meninggal dalam pengejaran itu. Merekapun akhirnya lepas dari pengejaran kami”
“Ah, sayang sekali,” – tanpa sadar Swandaru menyela -,”Pasti suatu saat mereka pasti akan datang lagi untuk membalas dendam”
“Benar Ki Gupala,” – penjaga banjar itu menyahut -,” bahkan sambil berlari mereka sempat meneriakkan ancaman bahwa mereka akan kembali dengan guru mereka dan akan mengambil kakak ipar atau istri anak Ki Demang yang pertama itu”
“Kurang ajar,” – Swandaru tiba-tiba saja menggeram, sikap tidak sabarnya seketika muncul,” – kapan mereka akan kembali ke Kademangan atau padukuhan ini Ki sanak?”
Penjaga banjar itu terlihat menyeringai menahan sakit dilambungnya sambil menjawab.
“Tadi pagi, Soma, salah satu warga kami tiba-tiba saja didatangi oleh kedua anak muda itu ketika sedang berada disawah. Badan mereka sudah terlihat bugar, agaknya mereka sudah sembuh dari luka-luka yang diderita sebelumnya. Kepada Soma mereka meninggalkan pesan agar malam nanti selepas sepi bocah, Ki Demang dan anak pertamanya membawa dan menyerahkan Nyi Sulastri, yaitu menantu Ki Demang, di banjar Padukuhan ini. Kalau kami menolak maka Kademangan Krikilan ini akan menjadi karang abang dan banjir darah karena mereka datang bersama guru dan beberapa saudara seperguruannya”
“Ah, itulah sebabnya sore ini pasar begitu sepi dan pintu-pintu rumah sudah banyak yang ditutup,” – Swandaru baru menyadari alasan atas keadaan yang tadi dilihatnya -,” lalu apa kata Ki Demang Ki?”
Dengan sedikit menggeram, penjaga banjar itu berkata,” – Sudah barang tentu Ki Demang dan kami semua menolak Ki Gupala, adalah teramat nista kalau kami menuruti keinginan seperti itu. Siang tadi semua perangkat Kademangan mengadakan pertemuan dan kini kami semua sedang merapatkan barisan pengawal. Ki Bekel dan Ki Jagabaya akan menjadi tumpuan utama di padukuhan ini untuk mengadakan perlawanan selain dari kademangan sendiri”
Tiba-tiba saja suaranya melemah,” – Sayang keadaan tubuhku masih tidak bisa leluasa digerakkan”.
Swandaru melihat semangat yang menyala-nyala dari penjaga banjar itu, hanya saja memang tubuhnya tidak mungkin di pergunakan untuk bertempur nantinya.
Ia berusaha menenangkan,” – Tentu nanti Ki Jagabaya akan mengatur perlawanan, sebaiknya Ki Sanak memang beristirahat”
Penjaga banjar itu mengangukkan kepalanya.
“Maaf Ki sanak, aku telah bercerita terlalu panjang. Hanya saja memang keadaan saat ini sangat mengkuatirkan, maka sebaiknya Ki Sanak istirahat saja disini, tidak di banjar. Silahkan kalau hendak membersihkan diri ke pakiwan. Agaknya ketela pohon yang direbus oleh keponakanku tadi juga hampir matang”
Swandaru mengangguk dan berdiri, tetapi sebelum melangkah ke pakiwan ia sempat bertanya.
“Siapakah guru kedua anak muda yang katanya dari pesisir Tuban itu Ki?”
Wajah penjaga banjar itu terlihat berubah sedikit pucat.
“Itulah yang mengkuatirkan kami semua Ki Gupala, menurut kabar guru kedua anak muda itu berilmu tinggi dan juga sangat kejam. Ia juga mempunyai julukan yang mendebarkan jantung”
“Apakah julukan guru kedua anak muda itu Ki?”
“Hantu Laut”
Salam,
No comments:
Post a Comment