Saturday, April 1, 2017

BALADA SWANDARU GENI - Sebuah Perjalanan - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI
Sebuah Perjalanan
Babak-16
Suara tertawa itu masih menggema dan bergulung-gulung diatas udara halaman banjar padukuhan. Udara terasa menipis dan para pengawal merasakan betapa mereka kesulitan untuk bernafas karena sibuk dengan tekanan yang menyesakkan dada serta menyakiti telinganya.
Bahkan sesaat kemudian terdengar suara baru yang menyusul suara tertawa sebelumnya. Suara tertawa kedua ini melengking tinggi, meliuk-liuk penuh irama seolah-olah ia hendak menutup celah suara tertawa sebelumnya yang terdengar sumbang.
Meskipun terdengar berirama, tetapi justru suara kedua ini membawa pengaruh yang lebih kuat dibandingkan suara tertawa yang pertama. Telinga para pengawal itu seperti ditusuki puluhan jarum sementara disaat yang sama dada mereka semakin lama terasa akan meledak.
Gabungan suara itu membawa pengaruh yang besar atas diri para pengawal. Beberapa yang tidak tahan kemudian sudah mulai jatuh terduduk pada kedua kakinya, sementara beberapa yang lain berusaha bersandar dan melawan rasa sakit yang muncul. Ki Demang masih berusaha bertahan dan justru menghunus pedangnya dan memegangnya dengan erat untuk meningkatkan kekuatan jiwaninya.
“Tetapi jika suara tertawa ini berkelanjutan, pastilah kita semua akan tumbang”, - desis Ki Demang dalam hati dengan sangat kuatir.
Ditengah ketegangan itu tiba-tiba terdengar suara tembang yang meskipun lirih tetapi cukup jelas ditelinga yang mendengarnya. Sebuah tembang yang sarat makna, Dandang Gula.
………

Lamun sira ameguru kaki
Amiliha manungsa sanyata
Ingkang becik martabate
Sarta weruh ing ukum
Kang ibadah lan kang wirangi
Syukur oleh wong tapa ingkang wus amungkul
Tan gumantung liyan
Iku wajib guronana kaki
Sartane kawruhana

…….
Tembang itu awalnya mengalun lirih dan pelan, tetapi suara itu seolah datang sambil membawa hembusan angin yang sejuk dan mengusap telinga serta dada para pengawal.
Dengan cepat dada para pengawal itu terasa lapang dan telinga mereka terbebas dari tusukan-tusukan pedih yang menyakitkan. Pada saat yang sama, suara tembang itu bagaikan menebar tabir di sekitar halaman banjar itu sehingga suara tertawa yang muncul itu pecah tertolak dan membumbung keatas. Hanya gema kecil yang tidak berarti sempat terdengar ditelinga para pengawal tetapi sudah tidak membawa pengaruh yang berarti.
Sejenak kemudian para pengawal itu sudah mampu menyadari keadaan sepenuhnya.
Tetapi suasana malam itu kembali terkoyak oleh suara umpatan yang keras dan kasar.
“Anak iblis, agaknya kau sudah bosan hidup!,”
Belum habis gema suara itu, tanpa diketahui asalnya tiba-tiba saja dihalaman itu telah muncul dua sosok tubuh yang berdiri angker di hadapan para pengawal. Kedua orang itu muncul begitu saja tanpa diketahui dari arah mana datangnya, seolah mereka bangkit dari dalam tanah.
Keduanya mengenakan pakaian berwarna merah menyala dengan ujung lipatan berwarna hitam. Orang pertama yang bediri disebelah kanan bertubuh sedang dengan wajah dipenuhi kumis, jambang dan jenggot. Wajah berewokan itu diimbangi dengan sorot mata tajam berkilat yang kini menjadi kemerah-merahan agaknya sedang menahan amarah. Ia menggunakan ikat kepala hitam dan terlihat sangat garang. Kehadirannya yang tiba-tiba sangat menggetarkan para pengawal dan agaknya inilah orang yang disebut Hantu Laut.
Sementara orang kedua yang berdiri di sebelahnya justru membuat jantung para pengawal tercekat. Orang ini berwajah keras dengan kepala plontos tanpa dihiasi rambut sama sekali, wajahnya juga bersih tanpa ada kumis atau yang lain. Yang membuat para pengawal gentar adalah ukuran tubuh dari orang kedua yang baru datang itu. Ia tak ubahnya raksasa dalam cerita dongeng, dengan kepala plontos, tingginya hampir satu setengah kali orang normal sementara badannya yang lebar terlihat dipenuhi dengan otot dan urat-urat yang menonjol. Raksasa ini mengenakan pakaian yang lebih ringkas dan agaknya ia sengaja tidak mengancingkan baju bagian depan seolah ingin memamerkan bagian dada dan perutnya yang terlihat berbukit. Sementara kedua lengannya juga tidak tertutupi oleh kain sehingga otot-otot lengannya terlihat menonjol keras.
Begitu hadir di halaman banjar, raksasa itu tidak henti-hentinya menggeram sehingga suasana di halaman itu terasa sangat tegang.
Kiai Garda yang melihat kehadiran kedua orang itu segera maju untuk mewakili Ki Demang, dengan suara tenang ia menyapa.
“Selamat datang wahai Hantu Laut dan agaknya kau adalah adik seperguruannya yang berjuluk Watu Gempal. Aku sudah lama mendengar namamu dan beruntung malam ini bisa bertemu”
Terdengar raksasa itu menggeram keras, sementara beberapa sosok bayangan terlihat meluncur cepat menyusul dan berdiri di belakang dua sosok Hantu Laut dan adik seperguruannya itu. Kini seluruhnya ada tujuh orang termasuk dua anak muda anak dari Ki Demang Krikilan yang menjadi murid Hantu Laut.
Hantu Laut itu seolah tidak menghiraukan kehadiran murid-muridnya dan terus mengeluarkan umpatan-umpatan kasar ditujukan kepada Kiai Garda yang ia yakini telah memunahkan aji Gelap Ngamparnya.
“Setan alas, siapa kau? Apa hubunganmu dengan Pandan Alas, Hantu Gunung Kidul itu?”
Diam-diam dada Kiai Garda berdebar-debar, meskipun sudah tidak lagi di lambari ajian Gelap Ngampar, tetapi suara keras dari Hantu Laut itu mampu menekan perasaan orang yang mendengarnya.
Agaknya julukan Hantu Laut memang bukan sekedar nama kosong.
“Ah, kau berlebihan Hantu Laut. Ki Ageng Pandan Alas memang berasal dari Gunung Kidul, tetapi ia hanyalah seorang petani jagung, sama sekali bukan hantu”,- Kiai Garda mencoba mengimbangi pengaruh suara Hantu Laut itu.
“Lalu apa hubunganmu dengan petani jagung yang miskin itu?”, - tanya Hantu Laut itu masih dengan suara kasar.
Terdengar suara tertawa Kiai Garda, meskipun sebetulnya hatinya berdebar-debar tetapi ia ingin memberi kekuatan jiwani para pengawal yang ada di banjar padukuhan itu.
“Hantu Laut, sebenarnyalah Ki Ageng Pandan Alas adalah kakek guruku. Aku adalah murid dari Ki Demang Sarayuda dan Ki Demang Krikilan disini adalah kakak kandungku, sementara dua anakmuda yang menjadi muridmu itu adalah keponakanku. Sekarang aku minta serahkan kedua anakmuda itu kepada kami!”, - suara Kiai Garda tiba-tiba terdengar berat.
Terdengar suara geraman yang semakin keras dari mulut Watu Gempal, hampir saja ia melompat menyerang Kiai Garda yang berdiri tidak jauh di depannya sebelum ditahan oleh Hantu Laut.
“Sabarlah Watu Gempal, biarlah aku yang berkenalan dengan cucu Hantu Gunung ini. Aku ingin membuktikan apakah ia pantas disebut sebagai hantu gunung atau mungkin hanya badut gunung”
Kembali Kiai Garda tertawa, agaknya ia memang sengaja memancing kemarahan Hantu Laut itu.
“Hantu Laut, coba katakan darimana kau mencuri ajian Gelap Ngampar yang sumbang itu? Pastilah Pasingsingan akan merasa malu melihat ajiannya digunakan hanya untuk menakut-nakuti cucu petani jagung yang miskin ini”.
Agaknya Hantu Laut itu bukanlah orang yang sabar dan tidak terlalu jauh berbeda dengan adik seperguruannya yang bertubuh raksasa itu. Mendengar pertanyaan Kiai Garda itu dadanya menjadi panas dan tanpa menjawab, tiba-tiba saja tubuhnya terlontar bagaikan anak panah, meluncur deras sambil tangannya mengepal menghantam dada Kiai Garda.
Gerakan itu terlalu cepat dan hampir tidak tertangkap oleh mata para pengawal yang ada di halaman banjar itu. Mereka seolah melihat sosok merah yang berkelebat sebelum kemudian mendengar suara benturan yang cukup keras.
Terlihat kemudian Hantu Laut itu meloncat mundur dengan wajah menyeringai.

Salam,

No comments:

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...