Saturday, April 1, 2017

BALADA SWANDARU GENI - Babak-9


Dalam pada itu di halaman samping rumah Ki Demang Sangkal Putung suasana menjelang pagi itu terasa semakin menegangkan. Agung Sedayu yang sudah sekian lama duduk mematung menghadapi dua buah jambangan itu wajahnya tiba-tiba terlihat menegang.

Meskipun ia tidak bisa melihat secara langsung apa yang sedang di lakukan oleh orang yang melancarkan ilmu sejenis Tunda Bantala itu, akan tetapi simpul panggraitanya bergetar dan mata batinnya meyakini bahwa kali ini penyerangnya sedang melakukan serangan pamungkas yang sangat mengerikan. Jauh lebih ganas dibandingkan dengan apa yang sudah di rasakan sebelumnya.

Agung Sedayu yang biasanya selalu diliputi keraguan itu tiba-tiba saja memustuskan untuk membalas serangan itu tanpa banyak pertimbangan lagi. Sebenarnyalah Agung Sedayu sangat mengkhawatirkan keadaan Swandaru karena ia bisa membayangkan betapa parah akibat dari serangan ilmu sejenis teluh ini. Kali ini ia kembali dihadapkan sebuah keadaan dimana tidak ada lagi pilihan selain melawan.

“ Untunglah aku sempat mengenali dan melatih getaran yang pernah disalurkan oleh Ki Lurah Wira Sembada sebelum ia meninggal. Agaknya inilah saatnya aku harus menerapkan alas Daya Rambatan untuk menahan serangan ini “, - Agung Sedayu membatin dalam hati.

Selanjutnya dengan cepat Agung Sedayu menegakkan punggung untuk lebih memusatkan nalar budinya. Pandangannya lurus ke arah jambangan sebelah kanan dan dalam sekejab meluncurlah sinar ke merah-merahan dari kedua matanya langsung menembus isi dalam jambangan.

Air dan semua isi dalam jambangan yang terletak di sebelah kanan itu terlihat bergolak dan bahkan kemudian mendidih. Tetapi Agung Sedayu sudah memantabkan hati dan tidak mau melepaskan serangannya, dari matanya masih meluncur sinar kemerah-merahan yang semakin pekat seolah berkesinambungan.

Udara di halaman samping itu terasa ikut mendidih.

Pada saat yang bersamaan itulah keris dari Ki Among Rogo dan Ki Among Roso yang di namakan sepasang Kiai Sadha Geni itu meluncur secepat tatit menembus pusat pusaran dalam jambangan itu.
Keheningan di pagi buta itu tiba-tiba saja dipecahkan oleh dua buah ledakan yang memekakkan telinga. Menyusul jerit kesakitan yang menyayat, tetapi juga disertai suara sumpah serapah dari kedua orang saudara seperguruan itu.

Ruangan sempit itu kini terlihat porak-poranda, jambangan utama yang dijadikan sarana untuk pelepasan Aji Susuhing Bantala itu pecah berantakan dan isinya terlihat berhamburan. Bahkan akibat getar ledakan yang sedemikian keras, puluhan genteng yang tepat berada diatas ruangan itu ikut pecah dan berjatuhan ke tanah.

Tanpa mereka ketahui penyebabnya, Kiai Sodho Geni yang meluncur dan menghantam pusat pusaran dalam jambangan itu telah menyebabkan ledakan yang sangat keras.

Tetapi pada saat yang bersamaan dada mereka terasa diremas dan dihantam oleh kekuatan dahsyat yang tidak terlawan, terasa panas bagai di hantam anakan gunung berapi.

Sambil menunduk, kedua tangan mereka memegangi dada yang seperti hampir pecah, anehnya keduanya masih sempat meneriakkan sumpah serapah entah ditujukan kepada siapa. Tetapi tubuh keduanya terlihat lemah, darah sudah terlalu banyak mengalir dan tenaga sudah terkuras habis.

Akibat benturan ilmu yang menimbulkan suara ledakan itu, kedua saudara seperguruan itu terhempas keras membentur dinding belakang. Tubuhnya ambruk dan basah dipenuhi ceceran darah, muncratan air dan aneka ubo-rampe dalam jambahan yang berhamburan ke segala arah akibat ledakan.

Betapapun kedua orang itu berusaha hendak bangkit, tetapi remasan dan rasa nyeri di dada mereka tak mampu mendukung niat mereka. Terlebih tubuh mereka memang sudah terlalu lemah.
Ki Among Roso yang meskipun lebih muda tetapi ia biasanya lebih tenang dalam menghadapi masalah. Dengan tubuh lemah ia berusaha menata perasaannya dan mencoba mengatasi rasa nyeri di dadanya. Kedua tangannya mengusap-usap dadanya bermaksud hendak mengurangi rasa nyeri yang timbul.

Tiba-tiba usapannya terhenti ketika dirasakan ada sesuatu yang benda keras menghambat gerak tangannya. Ketika menelitinya lebih jauh, Ki Among Roso itu justru berteriak histeris dan mengumpat sejadi-jadinya. Ia seolah ingin menumpahkan rasa marah, kecewa dan putus asanya melalui umpatan yang keluar dari mulutnya semakin lama semakin menjadi-jadi.

“ Benar-benar anak iblis, setaaan! “, - teriaknya seolang melolong panjang.

“ Matilah kau Swandaru ! “

Suaranya semakin lama semakin melemah, sementara Ki Among Rogo yang melihat adiknya bagaikan orang gila sempat terheran-heran. Sepengatahuannya, terluka parah bukanlah hal yang baru dalam petualangan mereka dalam dunia hitam termasuk kali ini. Tetapi ia tidak pernah melihat adiknya itu menjadi bagaikan orang gila dan putus asa seperti kali ini.

“ Among Roso, kenapa kau? “, - ia mencoba berteriak meskipun dengan suara yang lemah.

Ki Among Roso yang masih berteriak dan mengumpat-umpat itu seolah tidak mendengar pertanyaan kakak seperguruannya itu. Ia masih mengeluarkan kata-kata kotor dan bahkan kini dengan suara terisak karena tangis. Agaknya ia tidak mampu mengatasi perasaanya yang terguncang.

Tetapi bagaimanapun juga tubuhnya yang semakin lama semakin lemah itu tidak mampu mendukung rasa marahnya untuk terus bergerak dan memaki-maki. Perlahan-lahan ia terdiam sambil terus terisak.

“ Kakang Among Rogo “, - kali ini suaranya terpatah-patah dan kini benar-benar di iringi sebuah tangisan,” – cobalah lihat dada kirimu. Apakah Kiai Sodho Geni juga menancap seperti yang aku alami? “

Kalimat itu di ucapkan dengan suara yang lemah dan patah-patah oleh Ki Among Roso. Tetapi bagi telinga Ki Among Rogo kalimat itu terdengar bagaikan ledakan petir di langit yang sambung menyambung.

Terlebih ketika tangannya meraba dada kiri dan disadarinya bahwa pusaka Kiai Sodho Geni ternyata memang tertancap di dada sebelah kiri dan bahkan hampir terbenam menyisakan gagangnya saja.
Kini ruangan itu kembali dipenuhi suara-suara sumpah serapah yang lebih keras. Ki Among Rogo yang memang mempunyai pembawaan lebih kasar mengeluarkan geraman dan umpatan yang tidak pantas di dengar banyak orang. Tetapi umpatan itu berlangsung tidak lama lalu berganti dengan isak tangis yang menyayat sebagaimana yang terjadi dengan adiknya, Ki Among Roso.

Tubuh, perasaan dan semangat mereka tiba-tiba saja langsung meredup tak tersisa.

Bagi mereka berdua, keris Kiai Sodho Geni adalah pusaka yang mereka junjung dan sembah dalam setiap ritual yang mereka lakukan. Sudah beberapa kali pusaka itu meminum darah mereka melalui irisan di tangan untuk melepaskan ajian pamungkas Susuhing Bantala.

Tetapi kini Kiai Sodho Geni tertancap di dada kiri hampir menembus jantung keduanya tanpa mereka kehendaki.

Inilah pantangan dalam perguruan mereka yang menandakan punahnya seluruh ilmu yang sudah mereka pelajari selama puluhan tahun !

Salam,

No comments:

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...