“Ya, Ajian Jaring Seta”, - Ki Waskita mengulangi,” – kadang dikenal juga sebagai Aji Jala Seta"
" Sesungguhnya ajian ini di khususkan untuk menampung atau menjaring serangan ilmu hitam semacam Tunda Bantala itu ngger. Seperti yang angger ketahui, ketika seseorang mampu menyelaraskan getar dalam dirinya dengan semesta, maka ia akan lebih mudah untuk menyatu, menyerap dan mengalirkan inti kekuatan alam. Sesungguhnya inilah dasar inti atas penguasaan kanuragan tingkat tinggi. Saat ini kau sudah hampir masuk di ambang itu ngger, hanya perlu sedikit tambahan laku maka kau akan melakukan sebuah lompatan yang jauh. Bahkan seumurmu, ini adalah pencapaian yang sangat cepat dibanding aku dulu”
“ Ah! “, - terdengar Agung Sedayu berdesis pelan.
“ Aku berkata yang sesungguhnya ngger. Jaring Seta atau Jala Seta ini hanya perlu pemahaman atas getaran asing yang muncul di sekitar kita. Dengan rajin mengasah panggraita, maka kita akan mampu merasakan dan membedakan jika ada getaran asing yang menyerang, untuk kemudian kita pilah, kumpulkan, pampatkan dan tampung. Itulah sebabnya ajian ini dinamakan Jaring atau Jala”
“ Intinya ngger, kalaupun nanti kau harus menjalani laku, itu adalah untuk memperdalam inti perbendaharaan ilmu yang sekarang sudah kau miliki. Bagimu, Jala Seta itu sudah tidak perlu laku, dengan apa yang sudah ada dalam dirimu nanti, maka kau hanya perlu menyalurkan tenaga inti ke sebuah benda sebagai sarana yang mempunyai sifat saring yang alami lalu mengendalikannya“
Malam itu adalah musim kemarau, tetapi Agung Sedayu merasakan sebuah kesejukan dan ketulusan sikap dari seorang Ki Waskita yang selamanya akan membuatnya tunduk.
Tiada kata lain yang terucap dalam diri Agung Sedayu selain rasa syukur dan terimakasih atas kesempatan yang terbuka dan diberikan kepadanya.
Sementara itu, Ki Among Rogo dan Ki Among Roso sudah pada puncak usahanya untuk melepaskan Aji Susuhing Bantala.
Meskipun secara fisik agak melemah akibat banyaknya darah yang keluar, tetapi kedua orang saudara seperguruan justru terlihat semakin garang dan menakutkan.
Semua ubo rampe sudah dimasukkan ke dalam jambangan berair dan menyisakan keris kecil yang masing-masing mereka genggam ditangan kanan. Dengan wajah dan pakaian yang terciprat darah segar, Ki Among Rogo menggeram dan mengawali gerak sambil mengangkat keris tepat di depan keningnya. Sekejab kemudian keris itu dengan cepat dicelupkan ke dalam jambangan yang sekarang isinya berwarna kemerahan, lalu kembali diangkatnya dan ditiup keras di depan mulutnya. Ki Among Roso senyusul melakukan hal yang sama sebagaimana kakak seperguruannya itu.
Hal itu mereka lakukan berulang kali tanpa henti dengan gumam mantra yang semakin keras dan sesekali sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Kedua tokoh golongan hitam ini seolah justru menemukan kesenangannya ketika mencium bau kemenyan, berselimutkan asap tebal dan bahkan tubuh yang berlumuran darah.
Beberapa saat kemudian mereka memperlambat gerakan sambil memeriksa isi dalam jambangan.
“ Kakang, lihat warna merah sudah mulai memudar menjadi keruh. Kali ini matilah kau Swandaru! ”, terdengar suara Ki Among Roso bergetar sambil menahan kelelahan. Senyum tipis kini nampak menghiasi bibirnya yang berlumuran darah.
Ki Among Rogo yang juga melihat isi jambangan itu hanya mendengus keras. Iapun merasakan keletihan yang sangat akibat banyaknya darah yang keluar sementara mereka harus terus bergerak dan mengetrapkan mantra-mantra tanpa ada hentinya. Tetapi hatinya menjadi lega.
“ Among Roso, kita istirahat sebentar “, - suara Ki Among Rogo terengah-engah sambil meletakkan keris kecil di sampingnya.
Senyum sinis Ki Among Roso kini mulai lagi menghiasi wajahnya, meskipun tidak menjawab tetapi ia setuju bahwa mereka memang memerlukan sedikit istirahat sebelum nanti melanjutkan kerja yang baru setengah jalan ini.
Setiap kali menerapkan ajian ini, maka taruhannya adalah tubuh yang ambruk karena kelelahan atau akibat darah yang terus mengucur.
Tetapi belum sempat Ki Among Roso bergeser lebih jauh dari tempatnya, tiba-tiba terdengar suara menderu yang semakin lama semakin keras. Dengan cepat ia kembali ke tempatnya dan betapa matanya terbelalak karenanya.
“ Iblis, gendruwo tetekan, setan alas! ”, - sumpah serapah keluar dari mulutnya ketika melihat isi jambangan.
Ki Among Rogo ikut terkaget-kaget dan terloncat dari tempat duduknya begitu melihat adiknya yang gugup. Dilihatnya isi dalam jambangan itu memang warnanya sudah tidak merah lagi, tetapi air keruh berikut isinya itu kini perlahan-lahan berputar pada pinggirannya seperti awal mula ia melihatnya. Semakin lama semakin keras dan bahkan membentuk sebuah pusaran air dengan cepatnya sehingga menimbulkan bunyi yang menderu.
Betapa jantung kedua saudara seperguruan itu berdegup semakin kencang. Wajahnya tegang dan bahkan tidak sempat lagi mengeluarkan kata-kata, kini hati mereka justru mulai dipenuhi rasa kuatir.
Tetapi sebagai tokoh golongan hitam yang sudah malang melintang di dunianya, mereka tidak gampang menyerah meskipun timbul rasa jerih yang tersembunyikan.
Tangan Ki Among Roso dengan cepat menggapai segenggam kemenyan dan melemparkannya ke anglo yang terletak di sisi kiri amben bambu yang dari tadi terus menyala. Asap kembali memenuhi ruangan itu di barengi bau khusus yang menyengat.
Segera keduanya mengambil posisi duduk menghadapi jambangan itu dan kembali melakukan tahapan penyerangan. Keris kecil itu kembali diletakkan diatas dahi sambil terus membaca mantra, dicelupkan dalam air jambangan yang bergolak lalu ditiup di depan mulut mereka dengan menggeram keras. Demikian dilakukan terus menerus dan berulang-ulang.
Pakaian dan wajah mereka sudah basah dipenuhi keringat dan darah. Geraman-geraman yang semakin keras menimbulkan suasana yang sangat menyeramkan. Tetapi kedua orang itu tidak berhenti dan terus melepas Aji Susuhing Bantala tanpa peduli tubuh mereka yang sebenarnya mulai melemah akibat banyaknya darah yang mengucur.
Mata Ki Among Roso semakin membelalak ketika melihat kenyataan bahwa usaha mereka seolah tak berpengaruh sama sekali. Pusaran air itu justru semakin kencang dan bahkan kini air berikut isi seluruh jambangan itu bagaikan mendidih.
“Kakang Among Rogo”, terdengar Among Roso berteriak panik dan terpatah-patah,” mungkin kita berhadapan dengan Aji Jala Seto seperti kata mendiang Guru! “
Ki Among Rogo terperanjat, tetapi ia tidak menjawab melainkan geramannya semakin keras dan kasar.
Demikianlah, telah terjadi pertarungan jarak jauh yang aneh pada malam menjelang dini hari itu. Kedua pihak tidak pernah bertemu atau berhadapan langsung, tetapi kini bertarung dengan taruhan nyawa. Aji Susuhing Bantala di lawan oleh Agung Sedayu dengan Ajian Jaring Seto yang dilandasi dengan permohonan perlindungan dan kepasrahan yang bulat kepada Yang Maha Agung.
Ketika pusaran dalam air itu tidak juga berhenti dan bahkan bagaikan mendidih, maka Ki Among Roso merasa tidak lagi ada pilihan lain. Ia kuatir sebentar lagi justru jambangan itulah yang tidak mampu menahan pusaran dan akhirnya pecah, maka sia-sialah usaha mereka.
Sambil bangkit mengambil posisi setengah berdiri, setengah berteriak ia memberi isyarat kepada saudara tuanya.
“Kakang Among Rogo, tidak ada pilihan lain. Kita harus menyusupkan piyandel kita bersama sama”
Sekali lagi Ki Among Rogo tidak menjawab, sambil menggeram keras ia mengambil posisi yang sama dengan berjongkok di depan jambangan berhadapan dengan adik seperguruannya itu.
Ketika darah sudah mengucur deras, ubo-rampe tak nampak akibat tertelan pusaran, sementara mantra telah di gumamkan ratusan kali dan tidak ada hasil, maka memang tidak ada pilihan lain.
Mata kedua orang yang tadinya terlihat merah itu kini terpenjam, tetapi geraman-geraman semakin keras. Mereka memusatkan dan menyalurkan seluruh kekuatan yang mereka miliki ke dalam keris kecil yang kini di genggaman tangan kanan dan ditempelkan di depan dahi.
Tubuh mereka bergetar, mulut yang berkomat-kamit itu tidak diketahui lagi apakah sedang menggumamkan mantra atau hanya berupa geraman-geraman yang tidak mempunyai arti.
Dalam keremangan, nampak kemudian keris kecil yang ditempelkan di dahi mereka itu mulai berubah menjadi kemerah-merahan. Semakin lama semakin merah dan kini bahkan seolah membara menimbulkan panas di sekelilingnya.
Ketika merasa waktunya tiba, maka Ki Among Roso memberi isyarat kepada kakaknya yang hanya menyambutnya dengan geraman keras.
Air dalam jambangan itu masih berputar dan bahkan mendidih. Di iringi teriakan keras, dengan cepat dan beringas Ki Among Roso melemparkan keris kecil membara itu untuk memecah pusat pusaran. Dalam sekejab keris kecil ditangan Ki Among Rogo juga meluncur dengan sasaran yang sama.
Seleret warna merah membara susul menyusul menghantam pusat pusaran dalam jambangan.
Malam menjelang pagi itu terdengar teriakan bergemuruh.
“ Terimalah Kiai Sodho Geni! “
Salam,
No comments:
Post a Comment