Dalam kegelapan malam yang pekat Ki Among Roso masih melihat bayangan hitam yang berlari menjauh itu tersungkur dan mengeluh pendek.
“ Dasar tidak tahu di kasihani, sekarang matilah kau,” – Ki Among Roso mengomel panjang-pendek dan bermaksud melangkah turun tludakan untuk melihat korbannya. Tetapi sebelum kakinya melangkah lebih jauh, ia mendengar suara saudara tuanya berteriak memanggil namanya sambil mengumpat keras.
“ Benar-benar anak iblis “, - terdengar suara Ki Among Rogo yang cempreng dan keras, -“ Among Roso, cepat kesini, tinggalkan cecurut itu. Bantu aku, agaknya kita berhadapan dengan gembong iblis!”
Terpaksa Ki Among Roso membatalkan niatnya untuk melihat korban lemparan pisaunya. Ia merasa heran dan penasaran dengan teriakan saudara tuanya yang terdengar gugup. Biasanya pekerjaan mereka berjalan lancar meskipun dikerjakan sendiri-sendiri, apalagi kini landasan untuk menyerang sudah mereka lakukan bersama-sama sehingga menimbulkan kekuatan ganda yang jauh lebih besar.
Sambil melangkah mendekat, Ki Among Roso melihat wajah saudara tuanya begitu tegang dan memangdangi jambangan atau bejana air di depannya.
“ Gila!”, - tiba-tiba Ki Among Roso ikut berteriak dan mengumpat,-“Apa yang terjadi?”
Ki Among Rogo tidak menjawab, matanya tidak lepas dari air di dalam jambangan yang tiba-tiba terlihat bergolak. Awalnya air itu hanya berputaran di bagian pinggir, semakin lama semakin cepat sehingga terjadilah semacam pusaran di dalam bejana itu. Semakin lama semakin kuat.
Wajah kedua orang bersaudara itu terlihat tegang, mereka sadar agaknya korban mereka sedang melakukan perlawanan dan merupakan seseorang yang berkemampuan tinggi sehingga mampu memutar dan membuat gelombang air di dalam bejana.
“Among Roso, apakah Swandaru itu memang memiliki kemampuan iblis?”, - Among Rogo setengah berteriak.
“Tidak mungkin kakang,”- Ki Among Roso menjawab sambil melihat keadaan sekeliling,” Lihat, ublik sebelah kiri diatas dipan itu nyalanya tetap kecil seperti kemarin. Pasti ada seseorang yang sedang membantunya,”
Sebagai orang yang berpengalaman dan sangat menguasai ilmunya, kedua orang itu segera sadar bahwa agaknya mereka harus bekerja lebih keras untuk bisa berhasil.
Segera Ki Among Roso duduk bersila di sebelah kakaknya dan menghadapi bejana air yang sedang bergolak. Sambil terus menggumamkan mantra Ki Among Rogo mengambil dan membuka sebuah bungkusan dari sakunya, demikian pula dengan saudaranya Ki Among Roso.
Bungkusan di kedua tangan dua orang saudara seperguruan itu berupa bubuk, satu berwarna hitam dan satu lagi berwarna putih sebagaimana ciri masing-masing sesuai pakaiannya.
Sebenarnyalah bungkusan itu berisi darah dari ayam cemani yang sudah dikeringkan dan dicampur dengan pasir besi. Mereka jarang sekali menggunakannya kecuali korbannya memiliki kemampuan tinggi untuk melawan seperti kali ini.
Ketika melihat pusaran air dalam bejana itu melambat, segera secara bergantian mereka melempar dan memasukkan bungkusan itu ke dalam bejana berisi air reramuan itu. Kedua tangan mereka kini terentang sedikit melebar ke depan dengan telapak tangan menghadap ke bejana itu. Sambil terus menggumamkan mantra, tangan mereka bergetar naik-turun untuk menyalurkan kekuatan batin agar air dalam bejana itu bisa kembali tenang.
Air itu dalam bejana yang tadi bergolak kencang kini perlahan-lahan kelihatan lebih tenang. Kedua orang itu terlihat mengendalikan dan memusatkan serangan mereka. Tetapi itu tidak lama terjadi, karena kekuatan yang tidak mereka kenal itu tiba-tiba saja mampu menggoyang air itu sehingga kembali bergolak.
Demikianlah, pertarungan yang aneh itu berlangsung untuk waktu yang cukup lama. Meskipun udara diluar dingin tetapi tubuh kedua orang bersaudara seperguruan itu mulai dipenuhi oleh keringat, apalagi ruangan itu sudah dipenuhi asap dan aroma kemenyan yang menyengat. Hal ini membuat hati mereka panas dan semakin meningkatkan kemampuan mereka.
Seolah saling berjanji tiba-tiba saja tangan mereka kini bergandengan dan saling menggenggam.
Tangan kanan Ki Among Roso menggenggam tangan kiri kakaknya Ki Among Rogo. Sementara tangan mereka lainnya yang bebas terlihat bergetar keras sambil tetap melakukan gerakan naik-turun. Agaknya mereka sedang menggabungkan kekuatan yang ada dalam diri mereka untuk bisa menyerang dengan lebih kuat. Genggaman tangan itu terlihat semakin kuat, seiring keras dan cepatnya mereka dalam menggumamkan mantra.
Untuk beberapa saat keadaan tidak banyak berubah, tetapi kedua orang itu tidak gampang menyerah dan justru meningkatkan serangan semakin keras.
Sekitar sepenginangan, akhirnya mereka melihat pusaran air dalam bejana itu berangsur-angsur menjadi berkurang.
“Among Roso”, - suara Ki Among Rogo terdengar serak berat,- ”Agaknya kita berhasil”
Ki Among Roso tidak menjawab, keningnya terlihat berkerut sambil matanya tidak lepas dari isi bejana yang sudah tidak bergolak keras seperti tadi. Ketika pusaran air itu benar-benar hampir berhenti, tiba-tiba ia kembali mengumpat keras.
“Benar-benar anak setan”,- suaranya melengking,-“Belum kakang, lihat, jambe itu masih ada didalam jambang”
Ki Among Rogo terkejut, selama ini ia memang mengakui bahwa adiknya itu jauh lebih teliti dibanding ia yang ceroboh. Kini ia melihat betapa jambe yang birisi sebuah jarum emas itu memang masih tetap berada di dalam jambangan. Sementara ketika ia melihat ublik di sampingnya, nyalanya juga tidak banyak berubah.
“ Gila! “
Kedua orang saudara seperguruan itu saling berpandangan sambil menggeram. Baru kali ini mereka menghadapi perlawanan yang begitu keras.
“Kakang Among Rogo, agaknya lawan kita cukup mengerti ilmu kita. Tidak ada jalan lain, kita selesaikan dengan Aji Susuhing Bantala”, suara Ki Among Roso terdengar bergetar menahan kemarahan.
“Iblis!”
Salam,
No comments:
Post a Comment