Saturday, July 8, 2017

BSG - BAB.IV -HSSG - Babak-03

BALADA SWANDARU GENI
Bab IV: Hilangnya Seorang Swandaru Geni
Babak – 03



Sementara itu langit di bumi Mataram yang sebenarnya cukup cerah masih belum sepenuhnya terang karena lolosnya Ki Saba Lintang yang juga membawa tongkat baja putih sebagai symbol dan senjata utama Perguruan Kedung Jati.


Ternyata istana menganggap hal itu sebagai sesuatu yang patut mendapat perhatian sehingga melalui Adipati Anom, Agung Sedayu mendapat perintah untuk mengejar Ki Saba Lintang dan menangkapnya hidup atau mati serta mengambil pusaka tongkat baja putih itu untuk di simpan di istana Mataram atau mungkin nanti di serahkan ke Kadipaten Jipang. Untuk pelaksanaan lebih rinci, Agung Sedayu diperintahkan berhubungan dengan Ki Patih Mandaraka yang memang mempunyai banyak pengetahuan tentang tongkat baja putih itu.


Melalui serangkaian pembicaraan dan berbagai pertimbangan yang sungguh-sungguh, ternyata tugas untuk menyelidiki keberadaan Ki Saba Lintang itu akan di lakukan oleh Glagah Putih dan Rara Wulan. Kekerasan hati Rara Wulan agar diijinkan ikut mengembara bersama Glagah Putih melahirkan keputusan keluarga agar keduanya terlebih dahulu menikah sebelum menjalankan tugas yang belum diketahui batas akhirnya itu.


Pernikahan itu kemudian dilakukan dengan sangat sederhana dan hanya di hadiri beberapa keluarga dan kerabat dekat. Dengan resmi sebagai suami istri, maka tidak ada kekuatiran yang berlebihan dalam diri keluarga Glagah Putih maupun orangtua Rara Wulan. Usai pernikahan yang sederhana itu, Agung Sedayu sengaja mengajak semuanya ke padepokan Jati Anom sebelum melepas Glagah Putih dan Rara Wulan dalam sebuah pengembaraan.


Pagi itu, bersama tiga orang cantrik Ki Widura sengaja ikut sibuk menangkap beberapa ekor ikan gurame yang sudah besar untuk menu makan siang. Kehadiran beberapa tamunya yang sudah menginap beberapa hari di padepokan membuat hatinya begitu gembira sehingga ia bahkan hampir saja ikut turun masuk ke empang.


Akan tetapi belum kakinya menyentuh air, Ki Widura terpaksa membatalkan niatnya ketika seorang cantrik berlari-lari kecil menghampirinya.


“Guru, ada seorang tamu yang hendak bertemu. Agaknya cukup penting”, - kata cantrik itu.

“Siapa? Apakah kau mengenalnya?”, - tanya Ki Widura.

“Tamu itu mengaku dari lereng Muria guru, agaknya ia cukup lelah setelah berkuda seharian. Sekarang ini ia ditemui kakang Glagah Putih dan yang lain”, - cantrik itu menjawab cukup rinci.


“Baiklah, aku akan segera kesana”


Ki Widura segera melangkah ke arah pendapa setelah sebelumnya sempat mencuci tangan dan kakinya. Dari kejauhan ia melihat seekor kuda yang cukup tegar dan ditambatkan di sebuah patok bambu yang memang diperuntukkan bagi kuda-kuda para tamu. Di pendapa terlihat Glagah Putih, Rara Wulan bahkan bersama Pandan Wangi dan Sekar Mirah telah duduk menemui seorang tamu yang berpakaian panjang semacam jubah.


Dengan tersenyum lebar Ki Widura segera naik ke pendapa dan menyambut tamunya yang juga berdiri sambil mengucap salam. Ki Widura merasakan sebuah keramahan dan ketulusan yang memancar dari wajah tamunya itu.


“Selamat datang di padepokan kecil ini Ki Sanak, maaf kami tidak dapat menyambut kedatangan Ki Sanak dengan lebih baik lagi”, - Ki Widura membuka pembicaraan setelah semuanya duduk.


“Ah, Ki Widura terlalu merendah. Aku yakin bahwa ketenangan dan keteduhan padepokan ini adalah justru harta yang sangat berharga dan sering di rindukan oleh mereka yang pernah berkunjung kesini”, - jawab tamunya tidak kurang ramahnya.


Ki Widura tertawa dan mereka semua yang mendengar perkataan itu tersenyum.


Sebelum berbicara lebih lanjut, Ki Widura justru menoleh kepada Sekar Mirah - ,”Ajaklah suamimu untuk bergabung disini Mirah”


Sekar Mirah justru menoleh dan berpandangan dengan Pandan Wangi, tetapi Pandan Wangilah yang  kemudian menjawab pelan - ,”Paman, sebenarnya kakang Agung Sedayu sedang bersama Gilang untuk berlatih membidik di sungai kecil belakang padepokan. Hanya saja ia berpesan agar jangan diganggu. Apakah aku harus menyusulnya?”


Ki Widura mengerutkan keningnya, ada keraguan yang menyelinap dalam hatinya. Panggraitanya seolah mengatakan bahwa kedatangan tamu yang belum dikenalnya ini pastilah ada hubungannya dengan keberadaan Agung Sedayu di padepokan ini.


Akan tetapi mata mereka semua yang berada di padepokan itu segera menangkap sesosok tubuh yang berjalan cepat dan tergesa-gesa menuju pendapa dan di belakangnya seorang anak sedang berlari-lari kecil menyusulnya. Orang itu adalah Agung Sedayu yang di ikuti Gilang Pamungkas di belakangnya.


Belum sempat Ki Widura menyapa dan hendak memperkenalkannya kepada tamunya, tiba-tiba saja Agung Sedayu membuat sebuah gerakan sehingga mereka yang hadir di pendapa itu terperanjat. Ketika kaki kanan Agung Sedayu sudah menyentuh tangga pendapa, saat itu pula tubuhnya membungkuk rendah dengan kedua tangan yang melakukan gerak sembah di depan wajahnya. Tubuh yang sudah dalam sikap sempurna melakukan penghormatan itu tiba-tiba saja meluncur bergerak cepat menyusuri lantai pendapa dan berhenti tepat di depan tamu yang baru saja datang. Gerak sembah dan penghormatan itu sama sekali tidak berubah sehingga seolah-olah ia merupakan sebuah patung yang bergeser cepat.


Hal itu ternyata juga membuat hati tamu yang baru datang itu sangat terperanjat. Dengan tidak kalah cepat, tamu itu segera melakukan gerak yang sama, sehingga ketika tubuh Agung Sedayu berhenti didepannya, maka iapun sudah dalam sikap yang sama, yaitu sikap sembah yang sempurna.


Kedua orang itu kini duduk berhadapan hanya dalam jarak satu jengkal dengan sikap yang sama tiada beda. Mereka sama-sama melakukan gerak sembah sebagai penghormatan kepada orang di depannya. Setelah beberapa saat mereka mengangkat wajah dan mata keduanya saling menatap dan tanpa bisa dihindari masing-masing memuji dalam hati betapa mata orang yang dihadapannya menyimpan beribu potensi yang masih belum bisa dikenali.


Suasana hening itu kemudian di pecahkan oleh tepuk tangan dan teriakan dari Gilang yang sangat terpesona dengan gerakan yang baru saja ditunjukkan kedua orang itu.


Segera Agung Sedayu tersadar dan kemudian berdesis pelan.


“Kiai, selamat datang dan mewakili semua yang ada disini terimalah hormat kami”


Agaknya, tamu itu tidak tahan dengan suasana kaku itu, segera ia mendekat dan menurunkan tangan Agung Sedayu agar melepas sikap hormatnya sambil berkata.


“Ah, sungguh sangat berlebihan, Ki Agung Sedayu, aku sungguh tidak pantas menerima penyambutan ini. Aku hanyalah tamu yang belum dikenal dan mampir kesini karena ada sedikit keperluan”


Agung Sedayu segera mempersilahkan semuanya agar kembali duduk. Sebelum Ki Widura bertanya, Agung Sedayu justru memperkenalkan tamunya itu kepada semua yang hadir.


“Paman Widura dan semuanya, berilah hormat kepada tamu kita yang bernama Kiai Garda ini. Beliau sesungguhnya adalah murid tertua dari guru Kiai Gringsing”, - katanya penuh keyakinan.


Betapa terkejutnya hati Ki Widura, Sekar Mirah, Pandan Wangi dan Glagah Putih mendengar perkataan Agung Sedayu. Sungguh sama sekali diluar dugaan bahwa Kiai Gringsing pernah menerima seorang murid lain, bahkan yang terlebih dahulu. Akan tetapi bahwa Agung Sedayu telah mengatakan itu dengan nada sungguh-sungguh dan penuh keyakinan sehingga mereka pun segera berdiri menghormat dan menyalaminya secara bergatian.


Sementara Rara Wulan dan Gilang yang tidak terlalu memahami pembicaraan itu, akhirnya ikut bergabung sambil tersenyum-senyum.


Setelah semuanya kembali duduk, Kiai Garda yang merasa jengah dengan penyambutan itu segera berkata kepada Ki Widura sebagai tuan rumah.


”Ki Widura, aku sungguh merasa terhormat dengan penyambutan sanak kadang disini. Sesungguhnya, aku bukanlah murid utama dari guru Kiai Gringsing. Sejujurnya, sewaktu usiaku masih sekitar tujuh tahun guru pernah menolongku dan memberiku setetes pengetahuan tentang ilmu pengobatan, sama sekali bukan olah kanuragan. Sekalipun demikian, rasa hormat dan cintaku kepada guru membuat aku terkadang merasa sebagai murid beliau. Inilah barang yang diberikan kepadaku yang aku kira Ki Widura dan yang lain mengenalinya”


Sambil bergeser Kiai Garda segera mengambil sesuatu dari ikat pinggangnya dan diserahkannya kepada Ki Widura. Sebuah cambuk kecil berjuntai panjang!


Dengan sekilas pandang saja Agung Sedayu dan Ki Widura segera meyakini bahwa cambuk itu memang tidak berbeda dengan yang mereka miliki, hanya saja ukurannya lebih kecil. Sementara Glagah Putih yang duduk agak jauh dari Ki Widura tidak sempat melihatnya dengan teliti.


Ketika Ki Widura mengembalikan cambuk kecil itu ke tangan pemiliknya, tiba-tiba saja Kiai Garda menoleh ke arah Gilang yang duduk disebelah Glagah Putih.


“Gilang, kemarilah ngger, bukankah namamu Gilang?”, - tanyanya dengan wajah berseri.


“Benar Kiai, namaku Gilang”, - jawab Gilang sambil bergeser mendekat.


“Ah, jangan panggil aku dengan sebutan Kiai, panggil saja aku paman Garda sebagaimana kalau kau memanggil paman Agung Sedayu atau pamanmu Glagah Putih. Setuju? ”, - kata Kiai Garda sambil tersenyum.


Gilang tidak menjawab dan hanya membalas tersenyum, tetapi ia kemudian duduk di sebelah Kiai Garda.


“Ki Widura, aku mohon ijin untuk berbicara kepada Ki Agung Sedayu selaku murid utama guru Kiai Gringsing”, - suara Kiai Garda berubah lebih bersungguh-sungguh - ,”Sesungguhnya, cambuk kecil pemberian guru ini telah puluhan tahun bersamaku tanpa aku bisa mempergunakannya. Selama ini aku menyimpannya sebagai kenangan dan sebagai penghormatanku kepada beliau, akan tetapi hari ini aku melihat bahwa cambuk ini akan lebih cocok di tangan seseorang yang memang pantas memegang dan mempergunakannya”


Kiai Garda berhenti sejenak, matanya kemudian sempat singgah ke wajah Pandan Wangi yang duduk di sebelah Sekar Mirah.


“Juga karena Ki Swandaru tidak ada disini, aku mohon kerelaan dan kesaksian Nyi Pandan Wangi bahwa aku akan menyerahkan cambuk warisan guru Kiai Gringsing ini kepada Gilang. Untuk pemanfaatannya lebih lanjut, biarlah Ki Agung Sedayu yang nanti mengarahkannya”, - Kiai Garda berbicara cepat seolah dia tidak mau ada yang menyela.


Demikianlah, Kiai Garda segera menyerahkan cambuk kecil berjuntai panjang itu kepada Gilang yang menerimanya dengan mata berbinar-binar karena rasa gembira yang tak tertahankan. Berulang kali ia mengucapkan terimakasih dan bahkan dengan tidak sabar, ia kemudian berpaling kepada Agung Sedayu dan bertanya.


“Paman, apakah paman Agung Sedayu bisa mengajariku sekarang?”, - tanyanya penuh harap.


Mereka semua yang mendengar itu tertawa, sementara Agung Sedayu justru menangkap ada kegelisahan di hati Kiai Garda sehingga tercermin dalam sikap agak tergesa-gesa. Ia kemudian berkata kepada Gilang.

“Gilang, temuilah kakang Wita sekarang dan mintalah di ajari cara mempergunakannya. Nanti pada saatnya pasti paman akan mengajarimu. Sementara kami masih akan berbicara dengan paman Garda”, - kata Agung Sedayu.


Tanpa diulang dua kali, Gilang langsung menghambur meninggalkan pendapa itu untuk mencari cantrik Wita yang biasanya bermain dan berlatih bersama-sama.


Sementara pendapa itu tiba-tiba saja diliputi oleh suasana yang bersungguh-sungguh. Senyum yang sebelumnya menghias wajah Kiai Garda seolah tersaput angin digantikan dengan kerut wajah yang menunjukkan rasa was-was dan kuatir.


“Maaf Kiai, apakah Kiai mengenal dan pernah berjumpa dengan kakang Swandaru?”, - tiba-tiba Pandan Wangi tidak bisa menahan hatinya untuk mengajukan pertanyaan.


Wajah Kiai Garda terlihat menegang, akan tetapi hanya sejenak sebelum kemudian ia berusaha bersikap biasa kembali. Ia masih mencari cara dan menata kalimat tentang bagaimana harus memberitakan keadaan Swandaru terutama kepada Pandan Wangi sebagai istrinya.


Tiba-tiba saja ia menoleh kepada Agung Sedayu dengan wajah yang penuh tanda tanya.


“Maaf Ki, sebagaimana Ki Agung Sedayu sudah mengetahui kedatanganku dipadepokan ini, apakah Ki Sedayu juga sudah mengetahui keadaan Ki Swandaru saat ini?”





Salam,

No comments:

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...