BALADA
SWANDARU GENI
Bab IV:
Hilangnya Seorang Swandaru Geni
Babak – 03
Sementara
itu langit di bumi Mataram yang sebenarnya cukup cerah masih belum sepenuhnya
terang karena lolosnya Ki Saba Lintang yang juga membawa tongkat baja putih
sebagai symbol dan senjata utama Perguruan Kedung Jati.
Ternyata
istana menganggap hal itu sebagai sesuatu yang patut mendapat perhatian
sehingga melalui Adipati Anom, Agung Sedayu mendapat perintah untuk mengejar Ki
Saba Lintang dan menangkapnya hidup atau mati serta mengambil pusaka tongkat
baja putih itu untuk di simpan di istana Mataram atau mungkin nanti di serahkan
ke Kadipaten Jipang. Untuk pelaksanaan lebih rinci, Agung Sedayu diperintahkan
berhubungan dengan Ki Patih Mandaraka yang memang mempunyai banyak pengetahuan
tentang tongkat baja putih itu.
Melalui
serangkaian pembicaraan dan berbagai pertimbangan yang sungguh-sungguh,
ternyata tugas untuk menyelidiki keberadaan Ki Saba Lintang itu akan di lakukan
oleh Glagah Putih dan Rara Wulan. Kekerasan hati Rara Wulan agar diijinkan ikut
mengembara bersama Glagah Putih melahirkan keputusan keluarga agar keduanya
terlebih dahulu menikah sebelum menjalankan tugas yang belum diketahui batas
akhirnya itu.
Pernikahan
itu kemudian dilakukan dengan sangat sederhana dan hanya di hadiri beberapa
keluarga dan kerabat dekat. Dengan resmi sebagai suami istri, maka tidak ada
kekuatiran yang berlebihan dalam diri keluarga Glagah Putih maupun orangtua
Rara Wulan. Usai pernikahan yang sederhana itu, Agung Sedayu sengaja mengajak
semuanya ke padepokan Jati Anom sebelum melepas Glagah Putih dan Rara Wulan
dalam sebuah pengembaraan.
Pagi itu, bersama
tiga orang cantrik Ki Widura sengaja ikut sibuk menangkap beberapa ekor ikan
gurame yang sudah besar untuk menu makan siang. Kehadiran beberapa tamunya yang
sudah menginap beberapa hari di padepokan membuat hatinya begitu gembira
sehingga ia bahkan hampir saja ikut turun masuk ke empang.
Akan tetapi
belum kakinya menyentuh air, Ki Widura terpaksa membatalkan niatnya ketika seorang
cantrik berlari-lari kecil menghampirinya.
“Guru, ada
seorang tamu yang hendak bertemu. Agaknya cukup penting”, - kata cantrik itu.
“Siapa?
Apakah kau mengenalnya?”, - tanya Ki Widura.
“Tamu itu
mengaku dari lereng Muria guru, agaknya ia cukup lelah setelah berkuda
seharian. Sekarang ini ia ditemui kakang Glagah Putih dan yang lain”, - cantrik
itu menjawab cukup rinci.
“Baiklah,
aku akan segera kesana”
Ki Widura
segera melangkah ke arah pendapa setelah sebelumnya sempat mencuci tangan dan
kakinya. Dari kejauhan ia melihat seekor kuda yang cukup tegar dan ditambatkan
di sebuah patok bambu yang memang diperuntukkan bagi kuda-kuda para tamu. Di
pendapa terlihat Glagah Putih, Rara Wulan bahkan bersama Pandan Wangi dan Sekar
Mirah telah duduk menemui seorang tamu yang berpakaian panjang semacam jubah.
Dengan
tersenyum lebar Ki Widura segera naik ke pendapa dan menyambut tamunya yang
juga berdiri sambil mengucap salam. Ki Widura merasakan sebuah keramahan dan
ketulusan yang memancar dari wajah tamunya itu.
“Selamat
datang di padepokan kecil ini Ki Sanak, maaf kami tidak dapat menyambut
kedatangan Ki Sanak dengan lebih baik lagi”, - Ki Widura membuka pembicaraan
setelah semuanya duduk.
“Ah, Ki
Widura terlalu merendah. Aku yakin bahwa ketenangan dan keteduhan padepokan ini
adalah justru harta yang sangat berharga dan sering di rindukan oleh mereka
yang pernah berkunjung kesini”, - jawab tamunya tidak kurang ramahnya.
Ki Widura
tertawa dan mereka semua yang mendengar perkataan itu tersenyum.
Sebelum
berbicara lebih lanjut, Ki Widura justru menoleh kepada Sekar Mirah - ,”Ajaklah
suamimu untuk bergabung disini Mirah”
Sekar Mirah
justru menoleh dan berpandangan dengan Pandan Wangi, tetapi Pandan Wangilah
yang kemudian menjawab pelan - ,”Paman,
sebenarnya kakang Agung Sedayu sedang bersama Gilang untuk berlatih membidik di
sungai kecil belakang padepokan. Hanya saja ia berpesan agar jangan diganggu.
Apakah aku harus menyusulnya?”
Ki Widura
mengerutkan keningnya, ada keraguan yang menyelinap dalam hatinya. Panggraitanya
seolah mengatakan bahwa kedatangan tamu yang belum dikenalnya ini pastilah ada
hubungannya dengan keberadaan Agung Sedayu di padepokan ini.
Akan tetapi mata
mereka semua yang berada di padepokan itu segera menangkap sesosok tubuh yang
berjalan cepat dan tergesa-gesa menuju pendapa dan di belakangnya seorang anak
sedang berlari-lari kecil menyusulnya. Orang itu adalah Agung Sedayu yang di
ikuti Gilang Pamungkas di belakangnya.
Belum sempat
Ki Widura menyapa dan hendak memperkenalkannya kepada tamunya, tiba-tiba saja
Agung Sedayu membuat sebuah gerakan sehingga mereka yang hadir di pendapa itu
terperanjat. Ketika kaki kanan Agung Sedayu sudah menyentuh tangga pendapa, saat
itu pula tubuhnya membungkuk rendah dengan kedua tangan yang melakukan gerak
sembah di depan wajahnya. Tubuh yang sudah dalam sikap sempurna melakukan
penghormatan itu tiba-tiba saja meluncur bergerak cepat menyusuri lantai
pendapa dan berhenti tepat di depan tamu yang baru saja datang. Gerak sembah
dan penghormatan itu sama sekali tidak berubah sehingga seolah-olah ia merupakan
sebuah patung yang bergeser cepat.
Hal itu
ternyata juga membuat hati tamu yang baru datang itu sangat terperanjat. Dengan
tidak kalah cepat, tamu itu segera melakukan gerak yang sama, sehingga ketika
tubuh Agung Sedayu berhenti didepannya, maka iapun sudah dalam sikap yang sama,
yaitu sikap sembah yang sempurna.
Kedua orang
itu kini duduk berhadapan hanya dalam jarak satu jengkal dengan sikap yang sama
tiada beda. Mereka sama-sama melakukan gerak sembah sebagai penghormatan kepada
orang di depannya. Setelah beberapa saat mereka mengangkat wajah dan mata
keduanya saling menatap dan tanpa bisa dihindari masing-masing memuji dalam
hati betapa mata orang yang dihadapannya menyimpan beribu potensi yang masih
belum bisa dikenali.
Suasana
hening itu kemudian di pecahkan oleh tepuk tangan dan teriakan dari Gilang yang
sangat terpesona dengan gerakan yang baru saja ditunjukkan kedua orang itu.
Segera Agung
Sedayu tersadar dan kemudian berdesis pelan.
“Kiai, selamat
datang dan mewakili semua yang ada disini terimalah hormat kami”
Agaknya,
tamu itu tidak tahan dengan suasana kaku itu, segera ia mendekat dan menurunkan
tangan Agung Sedayu agar melepas sikap hormatnya sambil berkata.
“Ah, sungguh
sangat berlebihan, Ki Agung Sedayu, aku sungguh tidak pantas menerima
penyambutan ini. Aku hanyalah tamu yang belum dikenal dan mampir kesini karena
ada sedikit keperluan”
Agung Sedayu
segera mempersilahkan semuanya agar kembali duduk. Sebelum Ki Widura bertanya,
Agung Sedayu justru memperkenalkan tamunya itu kepada semua yang hadir.
“Paman
Widura dan semuanya, berilah hormat kepada tamu kita yang bernama Kiai Garda
ini. Beliau sesungguhnya adalah murid tertua dari guru Kiai Gringsing”, -
katanya penuh keyakinan.
Betapa
terkejutnya hati Ki Widura, Sekar Mirah, Pandan Wangi dan Glagah Putih mendengar
perkataan Agung Sedayu. Sungguh sama sekali diluar dugaan bahwa Kiai Gringsing
pernah menerima seorang murid lain, bahkan yang terlebih dahulu. Akan tetapi
bahwa Agung Sedayu telah mengatakan itu dengan nada sungguh-sungguh dan penuh
keyakinan sehingga mereka pun segera berdiri menghormat dan menyalaminya secara
bergatian.
Sementara Rara Wulan dan Gilang yang tidak terlalu memahami pembicaraan itu, akhirnya ikut bergabung sambil tersenyum-senyum.
Setelah
semuanya kembali duduk, Kiai Garda yang merasa jengah dengan penyambutan itu
segera berkata kepada Ki Widura sebagai tuan rumah.
”Ki Widura,
aku sungguh merasa terhormat dengan penyambutan sanak kadang disini.
Sesungguhnya, aku bukanlah murid utama dari guru Kiai Gringsing. Sejujurnya,
sewaktu usiaku masih sekitar tujuh tahun guru pernah menolongku dan memberiku
setetes pengetahuan tentang ilmu pengobatan, sama sekali bukan olah kanuragan.
Sekalipun demikian, rasa hormat dan cintaku kepada guru membuat aku terkadang
merasa sebagai murid beliau. Inilah barang yang diberikan kepadaku yang aku kira
Ki Widura dan yang lain mengenalinya”
Sambil
bergeser Kiai Garda segera mengambil sesuatu dari ikat pinggangnya dan
diserahkannya kepada Ki Widura. Sebuah cambuk kecil berjuntai panjang!
Dengan
sekilas pandang saja Agung Sedayu dan Ki Widura segera meyakini bahwa cambuk
itu memang tidak berbeda dengan yang mereka miliki, hanya saja ukurannya lebih
kecil. Sementara Glagah Putih yang duduk agak jauh dari Ki Widura tidak sempat
melihatnya dengan teliti.
Ketika Ki
Widura mengembalikan cambuk kecil itu ke tangan pemiliknya, tiba-tiba saja Kiai
Garda menoleh ke arah Gilang yang duduk disebelah Glagah Putih.
“Gilang,
kemarilah ngger, bukankah namamu Gilang?”, - tanyanya dengan wajah berseri.
“Benar Kiai,
namaku Gilang”, - jawab Gilang sambil bergeser mendekat.
“Ah, jangan
panggil aku dengan sebutan Kiai, panggil saja aku paman Garda sebagaimana kalau
kau memanggil paman Agung Sedayu atau pamanmu Glagah Putih. Setuju? ”, - kata
Kiai Garda sambil tersenyum.
Gilang tidak
menjawab dan hanya membalas tersenyum, tetapi ia kemudian duduk di sebelah Kiai
Garda.
“Ki Widura,
aku mohon ijin untuk berbicara kepada Ki Agung Sedayu selaku murid utama guru
Kiai Gringsing”, - suara Kiai Garda berubah lebih bersungguh-sungguh - ,”Sesungguhnya,
cambuk kecil pemberian guru ini telah puluhan tahun bersamaku tanpa aku bisa
mempergunakannya. Selama ini aku menyimpannya sebagai kenangan dan sebagai
penghormatanku kepada beliau, akan tetapi hari ini aku melihat bahwa cambuk ini
akan lebih cocok di tangan seseorang yang memang pantas memegang dan
mempergunakannya”
Kiai Garda
berhenti sejenak, matanya kemudian sempat singgah ke wajah Pandan Wangi yang
duduk di sebelah Sekar Mirah.
“Juga karena
Ki Swandaru tidak ada disini, aku mohon kerelaan dan kesaksian Nyi Pandan Wangi
bahwa aku akan menyerahkan cambuk warisan guru Kiai Gringsing ini kepada
Gilang. Untuk pemanfaatannya lebih lanjut, biarlah Ki Agung Sedayu yang nanti
mengarahkannya”, - Kiai Garda berbicara cepat seolah dia tidak mau ada yang
menyela.
Demikianlah,
Kiai Garda segera menyerahkan cambuk kecil berjuntai panjang itu kepada Gilang
yang menerimanya dengan mata berbinar-binar karena rasa gembira yang tak
tertahankan. Berulang kali ia mengucapkan terimakasih dan bahkan dengan tidak
sabar, ia kemudian berpaling kepada Agung Sedayu dan bertanya.
“Paman,
apakah paman Agung Sedayu bisa mengajariku sekarang?”, - tanyanya penuh harap.
Mereka semua
yang mendengar itu tertawa, sementara Agung Sedayu justru menangkap ada kegelisahan
di hati Kiai Garda sehingga tercermin dalam sikap agak tergesa-gesa. Ia
kemudian berkata kepada Gilang.
“Gilang,
temuilah kakang Wita sekarang dan mintalah di ajari cara mempergunakannya.
Nanti pada saatnya pasti paman akan mengajarimu. Sementara kami masih akan
berbicara dengan paman Garda”, - kata Agung Sedayu.
Tanpa
diulang dua kali, Gilang langsung menghambur meninggalkan pendapa itu untuk
mencari cantrik Wita yang biasanya bermain dan berlatih bersama-sama.
Sementara pendapa
itu tiba-tiba saja diliputi oleh suasana yang bersungguh-sungguh. Senyum yang
sebelumnya menghias wajah Kiai Garda seolah tersaput angin digantikan dengan
kerut wajah yang menunjukkan rasa was-was dan kuatir.
“Maaf Kiai,
apakah Kiai mengenal dan pernah berjumpa dengan kakang Swandaru?”, - tiba-tiba
Pandan Wangi tidak bisa menahan hatinya untuk mengajukan pertanyaan.
Wajah Kiai
Garda terlihat menegang, akan tetapi hanya sejenak sebelum kemudian ia berusaha
bersikap biasa kembali. Ia masih mencari cara dan menata kalimat tentang
bagaimana harus memberitakan keadaan Swandaru terutama kepada Pandan Wangi
sebagai istrinya.
Tiba-tiba
saja ia menoleh kepada Agung Sedayu dengan wajah yang penuh tanda tanya.
“Maaf Ki, sebagaimana
Ki Agung Sedayu sudah mengetahui kedatanganku dipadepokan ini, apakah Ki Sedayu
juga sudah mengetahui keadaan Ki Swandaru saat ini?”
Salam,
No comments:
Post a Comment