Friday, July 14, 2017

BSG - BAB.IV - HSSG - Babak-07

BALADA SWANDARU GENI
Bab IV: Hilangnya Seorang Swandaru Geni
Babak – 07



Gilang termangu-mangu, agaknya melempar dengan mempergunakan ranting adalah sesuatu yang diluar jangkauan nalarnya. Selain lunak, ranting mempunyai bobot yang sangat ringan sehingga akan sulit dijadikan sebagai senjata lempar. Andai terkena sasaranpun akibatnya tidak akan terasa sebagaimana jika menggunakan batu kerikil apalagi jika menggunakan pisau kecil yang berderet di pinggangnya.


Agung Sedayu yang memahami apa yang dipikirkan Gilang segera berkata untuk memberi dorongan semangat dalam diri bocah kecil itu.


“Gilang, aku akan menunjukkan sesuatu kepadamu, akan tetapi jangan berpikir ini suatu pameran. Sebagai manusia, kita dilarang untuk membanggakan diri apalagi pamer, karena sesungguhnya diri kita ini sangat kecil di hadapan Yang Maha Agung. Semua kemampuan yang kita miliki sifatnya adalah titipan yang setiap saat bisa saja hilang jika Yang Maha Agung menghendaki. Mengertikah kau Gilang?”


“Ya paman, aku selalu mengingat itu karena ibunda juga sering mengatakan”, - jawab Gilang tanpa ragu.


“Bagus”


Agung Sedayu mengangguk, tangannya kemudian memetik beberapa lembar daun sono yang masih menempel di ranting yang ada di tangannya. Meskipun ranting dan daun itu sudah jatuh ke tanah akan tetapi masih belum terlalu kering. Agaknya ranting itu bukan jatuh dengan sendirinya, mungkin terenggut oleh tangan-tangan mereka yang bermain atau berkunjung ke tepian sungai ini beberapa hari yang lalu.


“Gilang, lihatlah dengan seksama, ini adalah daun pohon sono. Benar-benar daun yang lembek sebagaimana layaknya daun. Nah aku akan mempergunakan daun ini sebagai senjata lempar atau senjata bidik. Sekali lagi, aku bukan bermaksud pamer melainkan untuk memberikan keyakinan dan semangat kepadamu bahwa selembar daun tipis saja bisa sebagai senjata lempar, apalagi sebatang ranting”, - suara Agung Sedayu terdengar bersungguh-sungguh.


Agung Sedayu kemudian menyerahkan beberapa buah kerikil di tangannya dan minta Gilang agar melemparkan ke udara sebagaimana mereka biasa berlatih.



Dengan dada berdebar-debar karena dipenuhi rasa penasaran, tangan Gilang kemudian melempar empat buah kerikil menyebar di udara. Gerakannya cepat dan gesit sebagaimana biasanya kalau sedang berlatih. Sekejab kemudian, tangan Agung Sedayu juga menyusul terayun sedemikian cepatnya  bahkan hampir tidak dapat diikuti oleh mata Gilang.


Sesaat kemudian terdengar suara ledakan di udara sebanyak empat kali berturut-turut hampir secara bersamanaan seolah tiada jeda. Anehnya suara yang muncul itu menandakan bahwa yang berbenturan adalah antara dua buah benda yang sama-sama keras, sama sekali bukan antara batu kerikil dengan daun tipis yang mulai mengering itu.


Mulut Gilang ternganga, sementara jantungnya berdentangan kencang tak beraturan, wajahnya menunjukkan antara rasa heran dan kekaguman yang tidak bisa ia sembunyikan lagi.


“Paman Agung Sedayu memang luar biasa, rasanya tidak ada yang bisa menyamainya”, - desis Gilang dalam hati.


“Bagaimana paman bisa melakukannya?”


Akhirnya dari mulut yang ternganga itu terdengar sebuah kalimat yang meluncur begitu saja seolah tidak terpikirkan.


Dalam keadaan biasa, Agung Sedayu tentu akan tersenyum melihat sikap Gilang yang masih bocah itu, akan tetapi kini wajahnya terlihat begitu bersungguh-sungguh. Tanpa menjawab pertanyaan Gilang, ia justru sibuk mematahkan beberapa ranting di tangannya itu menjadi kira-kira satu setengah panjang jari orang dewasa.


“Gilang, ingatlah yang baru saja kau pelajari tentang bagaimana membangkitkan puncak fokus atas daya bidik kita. Rasakan energi yang mengalir deras antara mata dan kedua tanganmu yang kemudian telah kau kunci sewaktu kita tadi memusatkan nalar dan budi. Ketika sasaran itu telah kita kunci langkah selanjutnya dalam hal ini adalah menyalurkan tenaga cadangan yang ada dalam tubuh kita untuk membuat ranting atau daun itu menjadi kaku dan penuh tenaga, sehingga pantas sebagai senjata bidik. Ingatlah urutan ini Gilang!”


Suara Agung Sedayu terdengar begitu bersungguh-sungguh layaknya seorang guru yang sedang memberi nasehat terakhir kepada anak didiknya sebelum berpisah. Suatu hal yang belum di lihat maupun di alami oleh Gilang.


“Aku harus mengatakan kepadamu bahwa meskipun kau masih kecil, akan tetapi aku yakin kau mampu melakukannya Gilang. Aku akan membantumu agar dasar tenaga cadangan yang ada pada dirimu cukup untuk membuat ranting itu menjadi keras dan menjadikannya sebagai senjata bidik. Kau harus bersungguh-sungguh Gilang, karena kita akan menolong Ayahmu yang kini dalam kesulitan”  


“Menolong Ayah? Kesulitan semacam apakah yang di alami Ayah paman?”, - wajah Gilang kini justru terlihat cemas.


Agung Sedayu yang melihat kecemasan membayang di wajah Gilang itu tidak dapat berbuat lain. Ia merasa bahwa sebaiknya bocah ini tahu tentang keadaan yang sebenarnya, dengan demikian justru mengobarkan semangatnya untuk berlatih dan menolong orang tuanya.


“Marilah, aku akan menceritakan keadaan Ayahmu sambil kita berlatih. Sekarang, cobalah kau timang-timang ranting ini untuk mengenali sifat lunak dan bobotnya, lalu mari kita buat ranting itu menjadi kaku dan mempunyai bobot yang pantas, sebelum nanti kau menggunakannya sebagai senjata lontar”, - berkata Agung Sedayu lebih lanjut.


Malam itu mereka berdua menghabiskan waktu untuk berlatih seharian hingga menjelang pagi. Gilang seolah bocah yang tidak mengenal lelah sama sekali, apalagi ketika kemudian mengetahui betapa Ayahnya kini di sekap oleh sesuatu yang masih samar. Dengan bersungguh-sungguh ia mengikuti petunjuk Agung Sedayu dan bahkan mengulanginya berkali-kali tanpa diminta.


“Aku harus tumbuh dengan baik sebagaimana Raden Bagus Wanabaya yang mengagumkan itu”, - tanpa sadar muncul bayangan wajah seorang pemuda berkumis tipis yang membuatnya kagum karena kemampuannya.


Agaknya sifat selalu ingin bersaing dan tidak mau di bawah bayang-bayang orang lain dari Ayahnya sedikit banyak menempel pada diri Gilang. Hal inilah yang memacu semangatnya untuk berlatih dengan sungguh-sungguh.


Sebelum langit timur di penuhi warna jingga, Agung Sedayu mengajak Gilang pulang ke Padepokan. Bagaimanapun juga ia memperhitungkan kondisi fisik Gilang yang masih bocah, meskipun sebenarnya Gilang juga sudah terbiasa tidak tidur semalaman terutama ketika ada teman berlatihnya.


Mereka masih sempat membersihkan diri, bersuci dan melakukan kuwajibannya sebelum kemudian membaringkan tubuhnya meski hanya sesaat.


Pagi itu suasana di padepokan kecil Jati Anom yang biasanya sejuk terasa sedikit panas meskipun matahari belum naik hingga sepengalah. Tanpa berjanji, setelah bangun dari tidur mereka semua sudah berkumpul di pendapa untuk mematangkan rencana perjalanan menuju Kali Belehan.


Akan tetapi, Agung Sedayu yang agak terlambat bergabung itu justru kemudian minta waktu untuk mengajak Pandan Wangi dan Gilang kembali memasuki sanggar.


“Silahkan Kiai Garda mengatur dan mematangkan rencana perjalanan ini, sementara aku perlu sedikit waktu tambahan di sanggar dengan Gilang dan ibunda-nya. Mudah-mudahan perhitungan kita tidak meleset”


“Silahkan Ki Agung Sedayu, kita sama-sama berdoa semoga kita masih mempunyai waktu yang cukup”, - jawab Kiai Garda.


Ki Widura, Sekar Mirah, Glagah Putih dan Rara Wulan yang sudah mengetahui rencana perjalanan mereka hanya bisa mengangguk-angguk sambil berdoa dalam hati. Persoalan yang membelit Swandaru kali ini sungguh pelik dan sama sekali di luar jangkauan nalar mereka. Akan tetapi mereka mempercayakan sepenuhnya penyelesaian masalah ini kepada Agung Sedayu dan Kiai Garda yang telah menyusun rencananya.


“Ayah, apakah tidak sebaiknya aku dan Rara Wulan ikut bergabung menuju Kali Belehan? Aku kira menghadap kepada Ki Patih di Mataram masih dapat aku lakukan setelah persoalan ini selesai”, - kata Glagah Putih kepada Ki Widura.


Ki Widura terlihat menggelengkan kepalanya meskipun pelan - ,”Jangan Glagah Putih, seperti kata kakangmu Agung Sedayu, sebaiknya kau memang harus secepatnya menghadap Ki Patih agar tidak timbul tanda tanya jika kau terlambat. Selebihnya, kita juga belum tahu seberapa lama persoalan di Kali Belehan itu selesai. Bukankan begitu Kiai?”


Kiai Garda yang mendengar pertanyaan itu menarik nafas dalam-dalam.


”Sebaiknya memang begitu Ki Widura. Angger Glagah Putih dan Rara Wulan sudah di bebani tugas yang tidak kalah pentingnya di Mataram, sementara itu biarlah kita yang disini mengusahakan kebebasan Ki Swandaru. Aku kira Ki Agung Sedayu bisa melihat dua kepentingan itu agar bisa berjalan bersama-sama”


Sementara itu Kiai Garda justru menengok kepada Sekar Mirah - ,”Maaf Nyi, apakah kita harus mampir dulu ke Sangkal Putung untuk memberi tahu Ki Demang?”


Sekar Mirah mengerutkan keningnya, tetapi ia justru balik bertanya.


 ”Bagaimana sebaiknya Kiai? Saat ini rasanya waktu sedemikian berharga”, - desisnya lirih.


Ki Widura yang mendengar pembicaraan itu akhirnya ikut bersuara.


“Mirah, bukankah aku berangkat menyusul kalian besok pagi sementara hari ini aku masih mempersiapkan beberapa hal seperti rencana suamimu dan Kiai Garda? Nah, biarlah besok saja sambil menuju Kali Belehan aku mampir ke Sangkal Putung untuk mengabarkan keadaan ini kepada Ki Demang”


Sekar Mirah mengangguk-angguk sambil memikirkan kemungkinan yang terbaik. Akan tetapi ia kemudian mengambil keputusan yang disampaikan kepada semua yang ada di pendapa itu.


“Paman Widura, aku kira sebaiknya kita tidak perlu memberitahu Ayah terlebih dahulu. Selain waktu yang sangat mendesak, aku kuatir hal itu justru akan membebani perasaan Ayah sementara ia justru sama sekali tidak bisa membantu. Biarlah seusai persoalan di Kali Belehan itu aku yang mengabarkannya kepada Ayah di Sangkal Putung”


Semua yang duduk di pendapa itu hanya bisa mengangguk-angguk tanda setuju.


Sementara itu di dalam sanggar wajah Pandan Wangi dipenuhi oleh butiran keringat akibat pengerahan hawa murni yang berlebihan. Sambil duduk bersila kedua tangan Pandan Wangi menempel di punggung Gilang yang duduk membelakangi-nya dengan sikap tenang. Dikenalinya aliran hawa murni yang mengalir deras dari kedua tangan Pandan Wangi itu.


“Gilang, buka dan sapalah semua syaraf dalam tubuh hingga bagian-bagian yang terkecil  seperti latihan kemarin. Sadarilah bahwa semua perintah selalu dikendalikan oleh niat dan hatimu, hati adalah diri sejati-mu yang sesungguhnya. Sekarang, kenalilah sifat aliran hawa murni yang disalurkan ibunda-mu itu dengan baik, terima dengan penuh kesadaran. Terimalah aliran itu tanpa perlawanan, terima dengan terbuka dan penuh rasa percaya. Kenali sifatnya dengan baik, sehingga suatu saat jika ibundamu mengalirkan hawa murni lagi, maka tubuhmu akan menerimanya seketika tanpa menimbang apapun lagi. Ini adalah kunci keberhasilan kita Gilang, kau harus percaya bahwa hawa murni ibundamu itu akan membantumu. Terima dengan ikhlas dan penuh rasa syukur”, - suara Agung Sedayu yang pelan terdengar bergaung di telinga Gilang dan Pandan Wangi.


Demikianlah, proses pengenalan dan penyaluran hawa murni ini masih berlangsung beberapa saat sebelum kemudian Agung Sedayu meminta keduanya menyudahi. Meskipun sebenarnya bukan sesuatu yang terlalu menguras tenaga, akan tetapi hal itu termasuk baru bagi Pandan Wangi sehingga ketika ia hendak bangkit berdiri, tiba-tiba tubuhnya limbung hampir saja terjatuh.


“Wangi!”


Dengan sigap Agung Sedayu melompat dan menangkap tubuh Pandan Wangi sehingga tidak sampai terjatuh.



Salam,

Ries

No comments:

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...