BALADA
SWANDARU GENI
Bab IV:
Hilangnya Seorang Swandaru Geni
Babak – 07
Gilang termangu-mangu,
agaknya melempar dengan mempergunakan ranting adalah sesuatu yang diluar
jangkauan nalarnya. Selain lunak, ranting mempunyai bobot yang sangat ringan
sehingga akan sulit dijadikan sebagai senjata lempar. Andai terkena sasaranpun
akibatnya tidak akan terasa sebagaimana jika menggunakan batu kerikil apalagi jika
menggunakan pisau kecil yang berderet di pinggangnya.
Agung Sedayu
yang memahami apa yang dipikirkan Gilang segera berkata untuk memberi dorongan
semangat dalam diri bocah kecil itu.
“Gilang, aku
akan menunjukkan sesuatu kepadamu, akan tetapi jangan berpikir ini suatu
pameran. Sebagai manusia, kita dilarang untuk membanggakan diri apalagi pamer,
karena sesungguhnya diri kita ini sangat kecil di hadapan Yang Maha Agung.
Semua kemampuan yang kita miliki sifatnya adalah titipan yang setiap saat bisa
saja hilang jika Yang Maha Agung menghendaki. Mengertikah kau Gilang?”
“Ya paman,
aku selalu mengingat itu karena ibunda juga sering mengatakan”, - jawab Gilang
tanpa ragu.
“Bagus”
Agung Sedayu
mengangguk, tangannya kemudian memetik beberapa lembar daun sono yang masih
menempel di ranting yang ada di tangannya. Meskipun ranting dan daun itu sudah
jatuh ke tanah akan tetapi masih belum terlalu kering. Agaknya ranting itu
bukan jatuh dengan sendirinya, mungkin terenggut oleh tangan-tangan mereka yang
bermain atau berkunjung ke tepian sungai ini beberapa hari yang lalu.
“Gilang,
lihatlah dengan seksama, ini adalah daun pohon sono. Benar-benar daun yang
lembek sebagaimana layaknya daun. Nah aku akan mempergunakan daun ini sebagai
senjata lempar atau senjata bidik. Sekali lagi, aku bukan bermaksud pamer
melainkan untuk memberikan keyakinan dan semangat kepadamu bahwa selembar daun
tipis saja bisa sebagai senjata lempar, apalagi sebatang ranting”, - suara
Agung Sedayu terdengar bersungguh-sungguh.
Agung Sedayu
kemudian menyerahkan beberapa buah kerikil di tangannya dan minta Gilang agar
melemparkan ke udara sebagaimana mereka biasa berlatih.
Dengan dada
berdebar-debar karena dipenuhi rasa penasaran, tangan Gilang kemudian melempar empat
buah kerikil menyebar di udara. Gerakannya cepat dan gesit sebagaimana biasanya
kalau sedang berlatih. Sekejab kemudian, tangan Agung Sedayu juga menyusul
terayun sedemikian cepatnya bahkan
hampir tidak dapat diikuti oleh mata Gilang.
Sesaat
kemudian terdengar suara ledakan di udara sebanyak empat kali berturut-turut
hampir secara bersamanaan seolah tiada jeda. Anehnya suara yang muncul itu
menandakan bahwa yang berbenturan adalah antara dua buah benda yang sama-sama keras,
sama sekali bukan antara batu kerikil dengan daun tipis yang mulai mengering
itu.
Mulut Gilang
ternganga, sementara jantungnya berdentangan kencang tak beraturan, wajahnya menunjukkan
antara rasa heran dan kekaguman yang tidak bisa ia sembunyikan lagi.
“Paman Agung
Sedayu memang luar biasa, rasanya tidak ada yang bisa menyamainya”, - desis
Gilang dalam hati.
“Bagaimana
paman bisa melakukannya?”
Akhirnya dari
mulut yang ternganga itu terdengar sebuah kalimat yang meluncur begitu saja
seolah tidak terpikirkan.
Dalam
keadaan biasa, Agung Sedayu tentu akan tersenyum melihat sikap Gilang yang
masih bocah itu, akan tetapi kini wajahnya terlihat begitu bersungguh-sungguh. Tanpa
menjawab pertanyaan Gilang, ia justru sibuk mematahkan beberapa ranting di tangannya
itu menjadi kira-kira satu setengah panjang jari orang dewasa.
“Gilang,
ingatlah yang baru saja kau pelajari tentang bagaimana membangkitkan puncak
fokus atas daya bidik kita. Rasakan energi yang mengalir deras antara mata dan
kedua tanganmu yang kemudian telah kau kunci sewaktu kita tadi memusatkan nalar
dan budi. Ketika sasaran itu telah kita kunci langkah selanjutnya dalam hal ini
adalah menyalurkan tenaga cadangan yang ada dalam tubuh kita untuk membuat
ranting atau daun itu menjadi kaku dan penuh tenaga, sehingga pantas sebagai
senjata bidik. Ingatlah urutan ini Gilang!”
Suara Agung
Sedayu terdengar begitu bersungguh-sungguh layaknya seorang guru yang sedang
memberi nasehat terakhir kepada anak didiknya sebelum berpisah. Suatu hal yang
belum di lihat maupun di alami oleh Gilang.
“Aku harus
mengatakan kepadamu bahwa meskipun kau masih kecil, akan tetapi aku yakin kau
mampu melakukannya Gilang. Aku akan membantumu agar dasar tenaga cadangan yang
ada pada dirimu cukup untuk membuat ranting itu menjadi keras dan menjadikannya
sebagai senjata bidik. Kau harus bersungguh-sungguh Gilang, karena kita akan
menolong Ayahmu yang kini dalam kesulitan”
“Menolong
Ayah? Kesulitan semacam apakah yang di alami Ayah paman?”, - wajah Gilang kini
justru terlihat cemas.
Agung Sedayu
yang melihat kecemasan membayang di wajah Gilang itu tidak dapat berbuat lain.
Ia merasa bahwa sebaiknya bocah ini tahu tentang keadaan yang sebenarnya,
dengan demikian justru mengobarkan semangatnya untuk berlatih dan menolong
orang tuanya.
“Marilah,
aku akan menceritakan keadaan Ayahmu sambil kita berlatih. Sekarang, cobalah
kau timang-timang ranting ini untuk mengenali sifat lunak dan bobotnya, lalu
mari kita buat ranting itu menjadi kaku dan mempunyai bobot yang pantas,
sebelum nanti kau menggunakannya sebagai senjata lontar”, - berkata Agung
Sedayu lebih lanjut.
Malam itu
mereka berdua menghabiskan waktu untuk berlatih seharian hingga menjelang pagi.
Gilang seolah bocah yang tidak mengenal lelah sama sekali, apalagi ketika
kemudian mengetahui betapa Ayahnya kini di sekap oleh sesuatu yang masih samar.
Dengan bersungguh-sungguh ia mengikuti petunjuk Agung Sedayu dan bahkan
mengulanginya berkali-kali tanpa diminta.
“Aku harus
tumbuh dengan baik sebagaimana Raden Bagus Wanabaya yang mengagumkan itu”, -
tanpa sadar muncul bayangan wajah seorang pemuda berkumis tipis yang membuatnya
kagum karena kemampuannya.
Agaknya
sifat selalu ingin bersaing dan tidak mau di bawah bayang-bayang orang lain
dari Ayahnya sedikit banyak menempel pada diri Gilang. Hal inilah yang memacu
semangatnya untuk berlatih dengan sungguh-sungguh.
Sebelum langit
timur di penuhi warna jingga, Agung Sedayu mengajak Gilang pulang ke Padepokan.
Bagaimanapun juga ia memperhitungkan kondisi fisik Gilang yang masih bocah,
meskipun sebenarnya Gilang juga sudah terbiasa tidak tidur semalaman terutama
ketika ada teman berlatihnya.
Mereka masih
sempat membersihkan diri, bersuci dan melakukan kuwajibannya sebelum kemudian
membaringkan tubuhnya meski hanya sesaat.
Pagi itu suasana
di padepokan kecil Jati Anom yang biasanya sejuk terasa sedikit panas meskipun
matahari belum naik hingga sepengalah. Tanpa berjanji, setelah bangun dari
tidur mereka semua sudah berkumpul di pendapa untuk mematangkan rencana
perjalanan menuju Kali Belehan.
Akan tetapi,
Agung Sedayu yang agak terlambat bergabung itu justru kemudian minta waktu
untuk mengajak Pandan Wangi dan Gilang kembali memasuki sanggar.
“Silahkan
Kiai Garda mengatur dan mematangkan rencana perjalanan ini, sementara aku perlu
sedikit waktu tambahan di sanggar dengan Gilang dan ibunda-nya. Mudah-mudahan perhitungan
kita tidak meleset”
“Silahkan Ki
Agung Sedayu, kita sama-sama berdoa semoga kita masih mempunyai waktu yang
cukup”, - jawab Kiai Garda.
Ki Widura,
Sekar Mirah, Glagah Putih dan Rara Wulan yang sudah mengetahui rencana
perjalanan mereka hanya bisa mengangguk-angguk sambil berdoa dalam hati.
Persoalan yang membelit Swandaru kali ini sungguh pelik dan sama sekali di luar
jangkauan nalar mereka. Akan tetapi mereka mempercayakan sepenuhnya penyelesaian
masalah ini kepada Agung Sedayu dan Kiai Garda yang telah menyusun rencananya.
“Ayah, apakah
tidak sebaiknya aku dan Rara Wulan ikut bergabung menuju Kali Belehan? Aku kira
menghadap kepada Ki Patih di Mataram masih dapat aku lakukan setelah persoalan
ini selesai”, - kata Glagah Putih kepada Ki Widura.
Ki Widura
terlihat menggelengkan kepalanya meskipun pelan - ,”Jangan Glagah Putih,
seperti kata kakangmu Agung Sedayu, sebaiknya kau memang harus secepatnya
menghadap Ki Patih agar tidak timbul tanda tanya jika kau terlambat.
Selebihnya, kita juga belum tahu seberapa lama persoalan di Kali Belehan itu
selesai. Bukankan begitu Kiai?”
Kiai Garda
yang mendengar pertanyaan itu menarik nafas dalam-dalam.
”Sebaiknya
memang begitu Ki Widura. Angger Glagah Putih dan Rara Wulan sudah di bebani
tugas yang tidak kalah pentingnya di Mataram, sementara itu biarlah kita yang
disini mengusahakan kebebasan Ki Swandaru. Aku kira Ki Agung Sedayu bisa
melihat dua kepentingan itu agar bisa berjalan bersama-sama”
Sementara
itu Kiai Garda justru menengok kepada Sekar Mirah - ,”Maaf Nyi, apakah kita
harus mampir dulu ke Sangkal Putung untuk memberi tahu Ki Demang?”
Sekar Mirah
mengerutkan keningnya, tetapi ia justru balik bertanya.
”Bagaimana sebaiknya Kiai? Saat ini rasanya
waktu sedemikian berharga”, - desisnya lirih.
Ki Widura
yang mendengar pembicaraan itu akhirnya ikut bersuara.
“Mirah,
bukankah aku berangkat menyusul kalian besok pagi sementara hari ini aku masih
mempersiapkan beberapa hal seperti rencana suamimu dan Kiai Garda? Nah, biarlah
besok saja sambil menuju Kali Belehan aku mampir ke Sangkal Putung untuk
mengabarkan keadaan ini kepada Ki Demang”
Sekar Mirah
mengangguk-angguk sambil memikirkan kemungkinan yang terbaik. Akan tetapi ia
kemudian mengambil keputusan yang disampaikan kepada semua yang ada di pendapa
itu.
“Paman Widura,
aku kira sebaiknya kita tidak perlu memberitahu Ayah terlebih dahulu. Selain
waktu yang sangat mendesak, aku kuatir hal itu justru akan membebani perasaan
Ayah sementara ia justru sama sekali tidak bisa membantu. Biarlah seusai persoalan
di Kali Belehan itu aku yang mengabarkannya kepada Ayah di Sangkal Putung”
Semua yang
duduk di pendapa itu hanya bisa mengangguk-angguk tanda setuju.
Sementara
itu di dalam sanggar wajah Pandan Wangi dipenuhi oleh butiran keringat akibat
pengerahan hawa murni yang berlebihan. Sambil duduk bersila kedua tangan Pandan
Wangi menempel di punggung Gilang yang duduk membelakangi-nya dengan sikap
tenang. Dikenalinya aliran hawa murni yang mengalir deras dari kedua tangan
Pandan Wangi itu.
“Gilang,
buka dan sapalah semua syaraf dalam tubuh hingga bagian-bagian yang terkecil seperti latihan kemarin. Sadarilah bahwa semua
perintah selalu dikendalikan oleh niat dan hatimu, hati adalah diri sejati-mu
yang sesungguhnya. Sekarang, kenalilah sifat aliran hawa murni yang disalurkan
ibunda-mu itu dengan baik, terima dengan penuh kesadaran. Terimalah aliran itu tanpa
perlawanan, terima dengan terbuka dan penuh rasa percaya. Kenali sifatnya dengan
baik, sehingga suatu saat jika ibundamu mengalirkan hawa murni lagi, maka tubuhmu
akan menerimanya seketika tanpa menimbang apapun lagi. Ini adalah kunci
keberhasilan kita Gilang, kau harus percaya bahwa hawa murni ibundamu itu akan
membantumu. Terima dengan ikhlas dan penuh rasa syukur”, - suara Agung Sedayu yang
pelan terdengar bergaung di telinga Gilang dan Pandan Wangi.
Demikianlah,
proses pengenalan dan penyaluran hawa murni ini masih berlangsung beberapa saat
sebelum kemudian Agung Sedayu meminta keduanya menyudahi. Meskipun sebenarnya
bukan sesuatu yang terlalu menguras tenaga, akan tetapi hal itu termasuk baru
bagi Pandan Wangi sehingga ketika ia hendak bangkit berdiri, tiba-tiba tubuhnya
limbung hampir saja terjatuh.
“Wangi!”
Dengan sigap
Agung Sedayu melompat dan menangkap tubuh Pandan Wangi sehingga tidak sampai
terjatuh.
Salam,
Ries
No comments:
Post a Comment