BALADA
SWANDARU GENI
Bab IV:
Hilangnya Seorang Swandaru Geni
Babak – 08
Suasana pagi
di padepokan kecil di Jati Anom itu terlihat tegang dan serba tergesa-gesa.
Sebelum tengah hari Kiai Garda, Pandan Wangi dan Sekar Mirah telah berada di
atas punggung kuda dan ketiganya siap berangkat untuk sebuah perjalanan yang
cukup panjang. Di kedua pinggang Pandan Wangi tergantung sepasang pedang tipis
yang senantiasa menemaninya, khususnya ketika dalam keadaan bahaya. Sedangkan
di punggung Sekar Mirah juga sudah terselip tongkat baja putih yang dibungkus dengan
selongsong kain.
“Hati-hatilah
Gilang, jangan bertindak semaumu. Kau harus menuruti semua petunjuk paman Agung
Sedayu”, - kata Pandan Wangi sambil memandang Gilang yang berdiri di
tengah-tengah antara Ki Widura dan Agung Sedayu.
“Ya
ibunda!”, - Gilang menjawab pendek.
Pandan Wangi
sempat memandang ke arah Agung Sedayu yang tersenyum tipis.
“Aku
titipkan Gilang kepadamu, kakang”, - kata Pandan Wangi lirih.
Setelah
berpamitan kepada semuanya, Kiai Garda, Pandan Wangi dan Sekar Mirah segera
memacu kudanya meninggalkan halaman padepokan. Tanpa sadar mereka memacu
kudanya dengan cukup kencang dan berharap secepat mungkin bisa mencapai tujuan.
Ketika sudah keluar dari Jati Anom dan melewati sebuah bulak panjang, kuda
ketiganya justru berderap semakin cepat sehingga menimbulkan debu-debu yang
beterbangan cukup tinggi di udara.
Sementara
itu, di padepokan ternyata Agung Sedayu kembali mengajak Gilang masuk ke
sanggar. Agaknya ia benar-benar ingin meyakinkan kemampuan Gilang agar rencana
yang ia susun nanti bisa terlaksana dengan baik.
Ki Widura sendiri
ternyata telah minta agar Glagah Putih dan Rara Wulan segera bersiap dan
berangkat pula menuju Mataram pagi ini.
“Sebenarnya
aku lebih senang jika kalian bisa di padepokan ini lebih lama. Tetapi keadaan
ini memang membuat kita harus segera melakukan tugas masing-masing tanpa bisa
ditunda lagi. Nah, kalian berdua berangkatlah, semoga tugas melacak keberadaan
Ki Saba Lintang dan tongkat baja putih itu bisa segera kalian tunaikan dengan
baik”, - berkata Ki Widura dengan nada dalam.
Glagah Putih
dan Rara Wulan tidak menjawab melainkan segera meraih dan mencium tangan Ki
Widura. Betapapun besarnya keinginan mereka berdua – terutama Glagah Putih –
untuk terlibat dalam kesulitan yang di alami Swandaru kali ini, akan tetapi
keduanya sadar akan tanggung-jawabnya di Mataram yang sudah tertunda beberapa
lama karena urusan pernikahan mereka yang cukup mendadak.
“Kapan Ayah
berangkat menuju goa kecil itu”, - Glagah Putih masih sempat bertanya.
Ki Widura mengangkat
wajahnya ke atas untuk melihat matahari sebelum menjawab pertanyaan anaknya itu
- ,”Aku masih mempunyai cukup waktu Glagah Putih. Begitu matahari mencapai
puncak dan mulai bergulir ke barat aku akan berangkat dan sebelum gelap aku
pasti sudah sampai di goa itu”
Glagah Putih
mengangguk-anggukkan kepalanya, bagaimanapun juga keadaan Ki Widura yang
umurnya terus merambat tua itu menjadi beban pikirannya. Akan tetapi iapun
sadar bahwa Ayahnya adalah seorang bekas prajurit yang mampu melindungi dirinya
sendiri dan bahkan di saat terakhir justru menyadap ilmu dari perguruan orang
bercambuk.
“Sudahlah,
berangkatlah mumpung matahari belum terlalu panas. Bukankah kau sudah tidak
perlu lagi berpamitan kepada kakangmu Agung Sedayu?”, - berkata Ki Widura.
“Kami pamit
Ayah, jaga diri Ayah baik-baik”, - kata keduanya hampir bersamaan.
Sejenak
kemudian dua ekor kuda yang tegar kembali berderap meninggalkan halaman
padepokan itu. Ki Widura masih berdiri di regol padepokan dan memandangi kedua
kuda itu berpacu menjauh dan akhirnya hilang di tikungan.
Suasana
padepokan yang tadinya ramai kini berubah sunyi setelah lima orang tamunya
berpamitan dalam waktu yang hampir bersamaan. Ki Widura sendiri setelah masuk
ke dalam biliknya dan mempersiapkan diri, segera ia memanggil dua cantrik
tertua yang biasanya diserahi tanggung-jawab ketika ia pergi meninggalkan
padepokan.
“Layanilah
Ki Agung Sedayu yang sekarang masih berada di sanggar bersama Gilang, sebaiknya
ada seorang yang berada di sekitar pintu sanggar agar bila Ki Agung Sedayu
memerlukan sesuatu kau bisa segera membantunya. Sebentar lagi aku akan pergi
dan mudah-mudahan besok siang sebelum matahari mencapai puncaknya aku sudah
kembali”, - berkata Ki Widura.
“Apakah aku
harus mempersiapkannya kuda untuk guru?”, - tanya salah satu cantrik itu.
Ki Widura
menggelengkan kepalanya - ,”Tidak, aku akan berjalan kaki”
Kedua
cantrik yang di anggap tertua itu terlihat mengerutkan keningnya, akan tetapi
mereka tidak bertanya lebih lanjut. Meskipun tidak mengetahui persoalan yang
sedang membelit guru dan tamu-tamu padepokannya, akan tetapi mereka merasakan
sesuatu yang cukup menggelisahkan.
Ki Widura
masih memberikan beberapa pesan kepada kedua cantrik itu sebelum kemudian
melangkah pergi meninggalkan halaman padepokan. Ia justru berputar melalui
pintu samping, kemudian menyusuri pematang sawah hingga sampai di sungai kecil
tempat Agung Sedayu dan Gilang berlatih membidik semalam.
Ki Widura
menyeberangi sungai kecil itu dan kemudian naik ke tanggul sungai yang tidak
terlalu tinggi. Tanpa tergesa-gesa kakinya terus melangkah menjauhi sungai itu
menyusuri jalan sempit yang jarang di lewati orang karena rumput ilalang mulai
tumbuh liar menutupi jalan itu. Ia masih cukup mengenal daerah ini meskipun
sudah lama sekali tidak menjamahnya.
Matahari
masih cukup terang ketika Ki Widura sampai pada sebuah hutan kecil di depannya.
Hutan itu tidak terlalu lebat, tetapi masih ada juga beberapa binatang buas di
dalamnya. Dibalik hutan itulah tujuan Ki Widura dimana ada sebuah sungai yang
sangat curam dan dibatasi tebing yang cukup tinggi di kedua sisinya. Meski
tidak terlalu jauh dari padepokan, tetapi sesungguhnya keberadaan sungai itu
termasuk terpencil dari sekitarnya.
Sebenarnya
matahari masih belum turun ke barat dan bahkan senja masih agak jauh ketika Ki
Widura berhasil menyeberangi hutan dan kemudian berdiri di sisi sungai yang
curam itu. Akan tetapi kondisi di pinggir hutan ini tentu saja suasananya lebih
gelap dari yang seharusnya.
Di tebing sungai
sebelah kiri itulah terdapat sebuah goa kecil yang menjadi tujuan Ki Widura.
Akan tetapi mulut goa itu kini agak tersamar karena tertutupi oleh sulur-sulur
ranting dan daun yang merambat. Konon goa ini meskipun kecil tetapi di dalamnya
mempunyai jalur yang panjang dan bahkan teramat panjang sehingga jika kita menemukan
jalur yang benar, maka jalur itu akan bisa tembus menuju dasar samudra.
“Aku tidak
percaya bahwa jalur panjang di dalam goa itu akan tembus ke dasar samudra.
Tetapi hingga se-tua ini, aku tidak pernah tahu bahwa kakang Sadewa menyimpan
dan menyempurnakan ilmu kanuragannya di dalam goa kecil ini. Untunglah Agung
Sedayu berhasil menyingkap puncak ilmu Sadewa juga di goa ini meskipun ada
beberapa bagian yang justru rusak karenanya”, - desis Ki Widura dalam hati.
Perlahan-lahan,
Ki Widura menuruni tebing yang curam itu dengan berpegangan pada batu-batu yang
menonjol atau bahkan sulur akar pohon yang bergelantungan menempel di dinding
tebing. Sebenarnyalah ini tidak mudah mengingat tebing itu sangat curam dan
suasana mulai redup meskipun senja belum turun. Meskipun memakan waktu yang
agak lama, akan tetapi akhirnya Ki Widura sampai juga di mulut goa dan
menyelusupkan tubuhnya masuk ke dalam. Ia sengaja tidak mau membabat daun
merambat yang menutupi mulut goa itu agar keberadaan goa itu tetap tersamarkan.
“Kedatanganku
ini berbeda dengan kedatangan Sedayu waktu itu yang memang sengaja lelaku untuk
menyempurnakan ilmunya. Semoga Yang Maha Agung memberi kemudahan dalam usahaku
untuk memperoleh ‘Tirto Panguripan’ di goa ini. Menurut Sedayu, air ajaib ini
berasal dari langit-langit ruang utama goa itu dan hanya menetes di tengah
malam saja”, - tanpa sadar Ki Widura mengucap doa.
Kini Ki
Widura merangkak menyusuri ruang dalam goa yang gelap dan lembab itu.
Sementara
itu Kiai Garda, Pandan Wangi dan Sekar Mirah memacu kudanya dengan membelakangi
matahari yang hampir terbenam. Betapapun kerasnya keinginan hati untuk terus
melaju, tetapi mereka harus mempertimbangkan kekuatan kuda-kuda mereka,
sehingga ketika langit mulai gelap dan sampai pada sebuah padang rumput yang
cukup luas, mereka memutuskan untuk beristirahat. Di tepi tanah lapang itu
kebetulan ada sebuah belik atau sumber air yang cukup jernih, sehingga bisa
mereka pergunakan pula untuk membersihkan diri sementara kuda-kuda mereka bisa minum
dan makan rumput sepuasnya.
Sambil duduk
di tanah terbuka itu, Kiai Garda mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dari ikat
pinggangnya. Dari bungkusan yang ternyata berisi beberapa butir ramuan yang
sudah di bentuk bulat-bulat berwarna hitam kecoklatan menyerupai pil itu, ia
menyerahkan kepada Pandan Wangi dan Sekar Mirah masing-masing dua butir.
“Nyi Pandan
Wangi dan Nyi Sekar Mirah, aku mempunyai beberapa butir ramuan yang bisa
menolak atau paling tidak melemahkan daya serangan yang mengandung racun. Pohon
beringin di kedua sisi Kali Belehan itu sesungguhnya menebarkan aura beracun
dalam artian tidak langsung membunuh akan tetapi mempengaruhi dan melemahkan
urat-syaraf kita sehingga kita tidak bisa berpikir dan bertindak jernih sebagaimana
biasanya”, - berkata Kiai Garda kepada keduanya - ,”Sebelum aku lupa, sebaiknya
ini aku serahkan sekarang sesuai pesan Ki Agung Sedayu. Hanya saja kita akan
makan ramuan ini sehari sebelum kita memasuki kawasan Kali Belehan itu, tidak
sekarang”
Pandan Wangi
dan Sekar Mirah segera menerima pemberian itu dan menyimpannya. Agaknya Agung
Sedayu dan Kiai Garda memang merencanakan tindakan mereka ini dengan seksama
hingga ke hal-hal yang paling kecil sekalipun.
“Agaknya
kemampuan Kiai Garda dalam hal pengobatan sudah menyusul atau bahkan melebih
Kiai Gringsing. Apakah memang Kiai mempelajarinya dari orang tua yang baik hati
itu?”, - tanya Sekar Mirah seolah sekedar untuk memecah kekakuan.
“Ah”, - Kiai
Garda mendesah secara tiba-tiba - ,”Tentu aku tidak bisa dibandingkan dengan
guru Kiai Gringsing itu. Seperti yang pernah aku ceritakan, perkenalanku dengan
guru hanyalah sebentar dan di saat aku masih bocah. Akan tetapi ternyata hal itu
sangat mempengaruhi jiwaku, sehingga ketika ada kesempatan untuk mempelajari
ilmu pengobatan, maka aku seolah tenggelam di dalamnya”
“Darimanakah
Kiai mempelajari ilmu pengobatan itu?”, - tanya Pandan Wangi.
Kiai Garda
nampak termangu-mangu, dengan nada ragu ia kemudian justru bertanya - ,”Apakah
Nyi Pandan Wangi pernah mendengar seseorang yang berjuluk Kiai Husadapati dari
Gunung Pandan?”
Pandan Wangi
dan Sekar Mirah mengerutkan keningnya sebelum kemudian menggelengkan kepalanya
- ,”Maaf Kiai, pengetahuanku tentang dunia luar dan tokoh kawentar memang sangat
miskin. Sesungguhnya aku belum pernah mendengar nama itu”
Kiai Garda
tersenyum - ,”Bukan salah Nyi Pandan Wangi maupun Nyi Sekar Mirah, sesungguhnya
Kiai Husadapati memang jarang menampakkan diri di keramaian dan beliau sengaja
menyepi di puncak Gunung Pandan hingga wafatnya. Aku sendiri beruntung mengenal
Kiai Husadapati saat beliau berkunjung ke Gunung Kidul untuk menjenguk kakek
Pandan Alas yang waktu itu sedang sakit. Mereka berdua memang bersahabat, dan
ketika aku menginjak remaja aku memutuskan mendaki Gunung Pandan untuk berguru
kepada beliau”
Malam mulai
turun dan kegelapan mulai menyelimuti seluruh padang rumput itu. Akan tetapi
langit yang bersih di musim kemarau itu masih bisa memberi penerangan yang
cukup sehingga mata mereka bisa melihat dengan cukup jelas keadaan di
sekitarnya.
Setelah
merasa cukup beristirahat, mereka memutuskan untuk terus berjalan meskipun
mungkin tidak harus memacu kudanya dengan cepat.
Dalam pada
itu, ketika malam terus bergulir, para cantrik di padepokan kecil Jati Anom
diliputi rasa gelisah. Salah seorang
cantrik yang hendak memasang lampu minyak di sanggar mendapati bahwa sanggar
itu kosong sama sekali dan bahkan pintu sanggar tertutup rapat serta di selarak
dari dalam.
“Apakah
tidak sebaiknya kita buka paksa saja pintunya kakang?”, - tanya salah satu
cantrik.
“Bukankah
kita sempat mengintip lewat celah dinding dan meyakini bahwa di dalam sama
sekali tidak ada orang?,” – kata cantrik yang lebih tua dengan ragu-ragu - ,”Apakah
kau yakin bahwa Ki Agung Sedayu tidak pernah keluar dari sanggar? Jangan-jangan
ia sudah keluar bersama Gilang tanpa kita ketahui”
“Aku yakin
tidak melihat keduanya keluar kakang. Sejak siang aku tidak kemana-mana karena
kakang menyuruh aku untuk melayani Ki Agung Sedayu dan karenanya aku hanya mengawasi
pintu sanggar dan regol itu saja”, - kata cantrik yang lebih muda.
Kedua
cantrik itu terlihat kebingungan. Mereka berdua memang meyakini bahwa Agung
Sedayu dan Gilang tidak terlihat meninggalkan padepokan baik melalui pintu
depan maupun pintu samping. Akan tetapi sanggar itu kenyataanya memang kosong
tidak ada siapapun di dalamnya dan pintu sanggar justru di selarak dari dalam.
“Kemanakah
Ki Agung Sedayu dan Gilang itu?”, - pertanyaan itu bagaikan kerumunan nyamuk
yang beterbangan mengitari telinga dan benak para cantrik.
Keduanya
seolah lenyap ditelan bumi.
Salam,
Ries
No comments:
Post a Comment