Monday, July 17, 2017

BSG - BAB.IV - HSSG - Babak-08

BALADA SWANDARU GENI
Bab IV: Hilangnya Seorang Swandaru Geni
Babak – 08



Suasana pagi di padepokan kecil di Jati Anom itu terlihat tegang dan serba tergesa-gesa. Sebelum tengah hari Kiai Garda, Pandan Wangi dan Sekar Mirah telah berada di atas punggung kuda dan ketiganya siap berangkat untuk sebuah perjalanan yang cukup panjang. Di kedua pinggang Pandan Wangi tergantung sepasang pedang tipis yang senantiasa menemaninya, khususnya ketika dalam keadaan bahaya. Sedangkan di punggung Sekar Mirah juga sudah terselip tongkat baja putih yang dibungkus dengan selongsong kain.


“Hati-hatilah Gilang, jangan bertindak semaumu. Kau harus menuruti semua petunjuk paman Agung Sedayu”, - kata Pandan Wangi sambil memandang Gilang yang berdiri di tengah-tengah antara Ki Widura dan Agung Sedayu.


“Ya ibunda!”, - Gilang menjawab pendek.


Pandan Wangi sempat memandang ke arah Agung Sedayu yang tersenyum tipis.


“Aku titipkan Gilang kepadamu, kakang”, - kata Pandan Wangi lirih.


Setelah berpamitan kepada semuanya, Kiai Garda, Pandan Wangi dan Sekar Mirah segera memacu kudanya meninggalkan halaman padepokan. Tanpa sadar mereka memacu kudanya dengan cukup kencang dan berharap secepat mungkin bisa mencapai tujuan. Ketika sudah keluar dari Jati Anom dan melewati sebuah bulak panjang, kuda ketiganya justru berderap semakin cepat sehingga menimbulkan debu-debu yang beterbangan cukup tinggi di udara.


Sementara itu, di padepokan ternyata Agung Sedayu kembali mengajak Gilang masuk ke sanggar. Agaknya ia benar-benar ingin meyakinkan kemampuan Gilang agar rencana yang ia susun nanti bisa terlaksana dengan baik.


Ki Widura sendiri ternyata telah minta agar Glagah Putih dan Rara Wulan segera bersiap dan berangkat  pula menuju Mataram pagi ini.


“Sebenarnya aku lebih senang jika kalian bisa di padepokan ini lebih lama. Tetapi keadaan ini memang membuat kita harus segera melakukan tugas masing-masing tanpa bisa ditunda lagi. Nah, kalian berdua berangkatlah, semoga tugas melacak keberadaan Ki Saba Lintang dan tongkat baja putih itu bisa segera kalian tunaikan dengan baik”, - berkata Ki Widura dengan nada dalam.


Glagah Putih dan Rara Wulan tidak menjawab melainkan segera meraih dan mencium tangan Ki Widura. Betapapun besarnya keinginan mereka berdua – terutama Glagah Putih – untuk terlibat dalam kesulitan yang di alami Swandaru kali ini, akan tetapi keduanya sadar akan tanggung-jawabnya di Mataram yang sudah tertunda beberapa lama karena urusan pernikahan mereka yang cukup mendadak.


“Kapan Ayah berangkat menuju goa kecil itu”, - Glagah Putih masih sempat bertanya.


Ki Widura mengangkat wajahnya ke atas untuk melihat matahari sebelum menjawab pertanyaan anaknya itu - ,”Aku masih mempunyai cukup waktu Glagah Putih. Begitu matahari mencapai puncak dan mulai bergulir ke barat aku akan berangkat dan sebelum gelap aku pasti sudah sampai di goa itu”


Glagah Putih mengangguk-anggukkan kepalanya, bagaimanapun juga keadaan Ki Widura yang umurnya terus merambat tua itu menjadi beban pikirannya. Akan tetapi iapun sadar bahwa Ayahnya adalah seorang bekas prajurit yang mampu melindungi dirinya sendiri dan bahkan di saat terakhir justru menyadap ilmu dari perguruan orang bercambuk.


“Sudahlah, berangkatlah mumpung matahari belum terlalu panas. Bukankah kau sudah tidak perlu lagi berpamitan kepada kakangmu Agung Sedayu?”, - berkata Ki Widura.


“Kami pamit Ayah, jaga diri Ayah baik-baik”, - kata keduanya hampir bersamaan.


Sejenak kemudian dua ekor kuda yang tegar kembali berderap meninggalkan halaman padepokan itu. Ki Widura masih berdiri di regol padepokan dan memandangi kedua kuda itu berpacu menjauh dan akhirnya hilang di tikungan.


Suasana padepokan yang tadinya ramai kini berubah sunyi setelah lima orang tamunya berpamitan dalam waktu yang hampir bersamaan. Ki Widura sendiri setelah masuk ke dalam biliknya dan mempersiapkan diri, segera ia memanggil dua cantrik tertua yang biasanya diserahi tanggung-jawab ketika ia pergi meninggalkan padepokan.


“Layanilah Ki Agung Sedayu yang sekarang masih berada di sanggar bersama Gilang, sebaiknya ada seorang yang berada di sekitar pintu sanggar agar bila Ki Agung Sedayu memerlukan sesuatu kau bisa segera membantunya. Sebentar lagi aku akan pergi dan mudah-mudahan besok siang sebelum matahari mencapai puncaknya aku sudah kembali”, - berkata Ki Widura.


“Apakah aku harus mempersiapkannya kuda untuk guru?”, - tanya salah satu cantrik itu.


Ki Widura menggelengkan kepalanya - ,”Tidak, aku akan berjalan kaki”


Kedua cantrik yang di anggap tertua itu terlihat mengerutkan keningnya, akan tetapi mereka tidak bertanya lebih lanjut. Meskipun tidak mengetahui persoalan yang sedang membelit guru dan tamu-tamu padepokannya, akan tetapi mereka merasakan sesuatu yang cukup menggelisahkan.


Ki Widura masih memberikan beberapa pesan kepada kedua cantrik itu sebelum kemudian melangkah pergi meninggalkan halaman padepokan. Ia justru berputar melalui pintu samping, kemudian menyusuri pematang sawah hingga sampai di sungai kecil tempat Agung Sedayu dan Gilang berlatih membidik  semalam.


Ki Widura menyeberangi sungai kecil itu dan kemudian naik ke tanggul sungai yang tidak terlalu tinggi. Tanpa tergesa-gesa kakinya terus melangkah menjauhi sungai itu menyusuri jalan sempit yang jarang di lewati orang karena rumput ilalang mulai tumbuh liar menutupi jalan itu. Ia masih cukup mengenal daerah ini meskipun sudah lama sekali tidak menjamahnya.


Matahari masih cukup terang ketika Ki Widura sampai pada sebuah hutan kecil di depannya. Hutan itu tidak terlalu lebat, tetapi masih ada juga beberapa binatang buas di dalamnya. Dibalik hutan itulah tujuan Ki Widura dimana ada sebuah sungai yang sangat curam dan dibatasi tebing yang cukup tinggi di kedua sisinya. Meski tidak terlalu jauh dari padepokan, tetapi sesungguhnya keberadaan sungai itu termasuk terpencil dari sekitarnya.


Sebenarnya matahari masih belum turun ke barat dan bahkan senja masih agak jauh ketika Ki Widura berhasil menyeberangi hutan dan kemudian berdiri di sisi sungai yang curam itu. Akan tetapi kondisi di pinggir hutan ini tentu saja suasananya lebih gelap dari yang seharusnya.


Di tebing sungai sebelah kiri itulah terdapat sebuah goa kecil yang menjadi tujuan Ki Widura. Akan tetapi mulut goa itu kini agak tersamar karena tertutupi oleh sulur-sulur ranting dan daun yang merambat. Konon goa ini meskipun kecil tetapi di dalamnya mempunyai jalur yang panjang dan bahkan teramat panjang sehingga jika kita menemukan jalur yang benar, maka jalur itu akan bisa tembus menuju dasar samudra.


“Aku tidak percaya bahwa jalur panjang di dalam goa itu akan tembus ke dasar samudra. Tetapi hingga se-tua ini, aku tidak pernah tahu bahwa kakang Sadewa menyimpan dan menyempurnakan ilmu kanuragannya di dalam goa kecil ini. Untunglah Agung Sedayu berhasil menyingkap puncak ilmu Sadewa juga di goa ini meskipun ada beberapa bagian yang justru rusak karenanya”, - desis Ki Widura dalam hati.


Perlahan-lahan, Ki Widura menuruni tebing yang curam itu dengan berpegangan pada batu-batu yang menonjol atau bahkan sulur akar pohon yang bergelantungan menempel di dinding tebing. Sebenarnyalah ini tidak mudah mengingat tebing itu sangat curam dan suasana mulai redup meskipun senja belum turun. Meskipun memakan waktu yang agak lama, akan tetapi akhirnya Ki Widura sampai juga di mulut goa dan menyelusupkan tubuhnya masuk ke dalam. Ia sengaja tidak mau membabat daun merambat yang menutupi mulut goa itu agar keberadaan goa itu tetap tersamarkan.


“Kedatanganku ini berbeda dengan kedatangan Sedayu waktu itu yang memang sengaja lelaku untuk menyempurnakan ilmunya. Semoga Yang Maha Agung memberi kemudahan dalam usahaku untuk memperoleh ‘Tirto Panguripan’ di goa ini. Menurut Sedayu, air ajaib ini berasal dari langit-langit ruang utama goa itu dan hanya menetes di tengah malam saja”, - tanpa sadar Ki Widura mengucap doa.


Kini Ki Widura merangkak menyusuri ruang dalam goa yang gelap dan lembab itu.


Sementara itu Kiai Garda, Pandan Wangi dan Sekar Mirah memacu kudanya dengan membelakangi matahari yang hampir terbenam. Betapapun kerasnya keinginan hati untuk terus melaju, tetapi mereka harus mempertimbangkan kekuatan kuda-kuda mereka, sehingga ketika langit mulai gelap dan sampai pada sebuah padang rumput yang cukup luas, mereka memutuskan untuk beristirahat. Di tepi tanah lapang itu kebetulan ada sebuah belik atau sumber air yang cukup jernih, sehingga bisa mereka pergunakan pula untuk membersihkan diri sementara kuda-kuda mereka bisa minum dan makan rumput sepuasnya.


Sambil duduk di tanah terbuka itu, Kiai Garda mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dari ikat pinggangnya. Dari bungkusan yang ternyata berisi beberapa butir ramuan yang sudah di bentuk bulat-bulat berwarna hitam kecoklatan menyerupai pil itu, ia menyerahkan kepada Pandan Wangi dan Sekar Mirah masing-masing dua butir.


“Nyi Pandan Wangi dan Nyi Sekar Mirah, aku mempunyai beberapa butir ramuan yang bisa menolak atau paling tidak melemahkan daya serangan yang mengandung racun. Pohon beringin di kedua sisi Kali Belehan itu sesungguhnya menebarkan aura beracun dalam artian tidak langsung membunuh akan tetapi mempengaruhi dan melemahkan urat-syaraf kita sehingga kita tidak bisa berpikir dan bertindak jernih sebagaimana biasanya”, - berkata Kiai Garda kepada keduanya - ,”Sebelum aku lupa, sebaiknya ini aku serahkan sekarang sesuai pesan Ki Agung Sedayu. Hanya saja kita akan makan ramuan ini sehari sebelum kita memasuki kawasan Kali Belehan itu, tidak sekarang”


Pandan Wangi dan Sekar Mirah segera menerima pemberian itu dan menyimpannya. Agaknya Agung Sedayu dan Kiai Garda memang merencanakan tindakan mereka ini dengan seksama hingga ke hal-hal yang paling kecil sekalipun.


“Agaknya kemampuan Kiai Garda dalam hal pengobatan sudah menyusul atau bahkan melebih Kiai Gringsing. Apakah memang Kiai mempelajarinya dari orang tua yang baik hati itu?”, - tanya Sekar Mirah seolah sekedar untuk memecah kekakuan.


“Ah”, - Kiai Garda mendesah secara tiba-tiba - ,”Tentu aku tidak bisa dibandingkan dengan guru Kiai Gringsing itu. Seperti yang pernah aku ceritakan, perkenalanku dengan guru hanyalah sebentar dan di saat aku masih bocah. Akan tetapi ternyata hal itu sangat mempengaruhi jiwaku, sehingga ketika ada kesempatan untuk mempelajari ilmu pengobatan, maka aku seolah tenggelam di dalamnya”


“Darimanakah Kiai mempelajari ilmu pengobatan itu?”, - tanya Pandan Wangi.


Kiai Garda nampak termangu-mangu, dengan nada ragu ia kemudian justru bertanya - ,”Apakah Nyi Pandan Wangi pernah mendengar seseorang yang berjuluk Kiai Husadapati dari Gunung Pandan?”


Pandan Wangi dan Sekar Mirah mengerutkan keningnya sebelum kemudian menggelengkan kepalanya - ,”Maaf Kiai, pengetahuanku tentang dunia luar dan tokoh kawentar memang sangat miskin. Sesungguhnya aku belum pernah mendengar nama itu”


Kiai Garda tersenyum - ,”Bukan salah Nyi Pandan Wangi maupun Nyi Sekar Mirah, sesungguhnya Kiai Husadapati memang jarang menampakkan diri di keramaian dan beliau sengaja menyepi di puncak Gunung Pandan hingga wafatnya. Aku sendiri beruntung mengenal Kiai Husadapati saat beliau berkunjung ke Gunung Kidul untuk menjenguk kakek Pandan Alas yang waktu itu sedang sakit. Mereka berdua memang bersahabat, dan ketika aku menginjak remaja aku memutuskan mendaki Gunung Pandan untuk berguru kepada beliau”


Malam mulai turun dan kegelapan mulai menyelimuti seluruh padang rumput itu. Akan tetapi langit yang bersih di musim kemarau itu masih bisa memberi penerangan yang cukup sehingga mata mereka bisa melihat dengan cukup jelas keadaan di sekitarnya.


Setelah merasa cukup beristirahat, mereka memutuskan untuk terus berjalan meskipun mungkin tidak harus memacu kudanya dengan cepat.


Dalam pada itu, ketika malam terus bergulir, para cantrik di padepokan kecil Jati Anom diliputi rasa  gelisah. Salah seorang cantrik yang hendak memasang lampu minyak di sanggar mendapati bahwa sanggar itu kosong sama sekali dan bahkan pintu sanggar tertutup rapat serta di selarak dari dalam.


“Apakah tidak sebaiknya kita buka paksa saja pintunya kakang?”, - tanya salah satu cantrik.


“Bukankah kita sempat mengintip lewat celah dinding dan meyakini bahwa di dalam sama sekali tidak ada orang?,” – kata cantrik yang lebih tua dengan ragu-ragu - ,”Apakah kau yakin bahwa Ki Agung Sedayu tidak pernah keluar dari sanggar? Jangan-jangan ia sudah keluar bersama Gilang tanpa kita ketahui”


“Aku yakin tidak melihat keduanya keluar kakang. Sejak siang aku tidak kemana-mana karena kakang menyuruh aku untuk melayani Ki Agung Sedayu dan karenanya aku hanya mengawasi pintu sanggar dan regol itu saja”, - kata cantrik yang lebih muda.


Kedua cantrik itu terlihat kebingungan. Mereka berdua memang meyakini bahwa Agung Sedayu dan Gilang tidak terlihat meninggalkan padepokan baik melalui pintu depan maupun pintu samping. Akan tetapi sanggar itu kenyataanya memang kosong tidak ada siapapun di dalamnya dan pintu sanggar justru di selarak dari dalam.


“Kemanakah Ki Agung Sedayu dan Gilang itu?”, - pertanyaan itu bagaikan kerumunan nyamuk yang beterbangan mengitari telinga dan benak para cantrik.


Keduanya seolah lenyap ditelan bumi.



Salam,

Ries 

No comments:

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...