Thursday, July 6, 2017

BSG - BAB IV - Babak 01 - Hilangnya Seorang SG

BALADA SWANDARU GENI
Bab 4: Hilangnya Seorang Swandaru Geni
Babak – 01


------- 

Mohon ijin kangmas n mbokayu,

Edisi ini masuk ke Bab III – tentang lenyapnya seorang Swandaru Geni. Ah, bagaimana mungkin seorang SG bisa lenyap, ia berbadan besar, bernyali besar dan kemampuan kanuragannya cukup mumpuni?
Sebagaimana kita yakini, diatas langit masih ada langit. SG bisa saja tokoh nomor satu di Kademangan Sangkal Putung, akan tetapi di dunia persilatan khususnya di bang wetan, bisa jadi ia hanyalah anak pupuk bawang yang selalu merepotkan induk semangnya agar bisa melindunginya.

Kemanakah sebenarnya SG?

Monggo di simak nggih….masih puanjaaaangg.. J J J


--------  



Wajah Swandaru yang sebenarnya sedang letih terlihat semakin pucat, hatinya seketika ingin memberontak dan menolak saran Kiai Garda untuk pulang. Akan tetapi sebelum ia membuka mulut, ia merasakan sentuhan tangan Kiai Garda di dadanya seolah sedang menenangkan degup jantungnya yang memang berdetak kencang mengikuti hatinya yang bergejolak.


“Tenanglah Ki Swandaru, tolong dengarkan penjelasanku terlebih dahulu,” – suara Kiai Garda terdengar sareh dan memberikan ketenangan - ,”Jangan bereaksi berlebihan agar kondisi fisik Ki Swandaru tidak terpengaruh. Aku sama sekali tidak mempunyai pamrih atau niat buruk dengan memberikan saran agar Ki Swandaru pulang. Jika Ki Swandaru bertekad untuk meneruskan pengembaraan ini, tentu saja tidak ada yang bisa mencegah. Akan tetapi demi kebaikan Ki Swandaru sendiri, cobalah Ki Swandaru menjawab beberapa pertanyaanku terlebih dahulu”


Mata Swandaru memandang tajam ke wajah Kiai Garda yang kini terlihat sangat bersungguh-sungguh.


“Apakah yang hendak Kiai tanyakan?”


“Baiklah, aku menganggap bahwa kepergian Ki Swandaru adalah untuk napak tilas jejak guru Kiai Gringsing dengan harapan bisa memperoleh pengalaman baru, meningkatkan kemampuan olah kanuragan sehingga bisa melampaui Ki Agung Sedayu selaku kakak seperguruan. Apakah betul begitu?”


Swandaru menarik nafas dalam-dalam, ia tidak dapat memungkiri bahwa itulah tujuan utamanya mengembara. Ia sulit untuk menjawab pertanyaan itu sehingga memilih untuk menundukkan kepalanya.


“Apakah jika sudah memperoleh ilmu kanuragan yang tinggi, Ki Swandaru hendak menantang perang tanding ulang dengan Ki Agung Sedayu? Bagaimana jika kemudian Ki Swandaru masih juga kalah, apakah Ki Swandaru hendak mengulangi perjalanan napak tilas lagi?”


Swandaru terdiam, akan tetapi tanpa sadar kepalanya menggeleng lemah.


“Maaf Ki, apakah Ki Agung Sedayu menolak membimbing Ki Swandaru untuk bisa meningkatkan kemampuan dalam olah kanuragan?”, - tanya Kiai Garda kemudian.

Swandaru sedikit mengangkat wajahnya sambil menjawab - ,”Kakang Agung Sedayu selalu menyediakan waktu untukku Kiai, bahkan ia menawariku untuk menguasai beberapa ajian baru. Hanya saja aku menolaknya, mungkin ini akibat sikapku yang cenderung tinggi hati”


Kiai Garda tersenyum mendengar jawaban Swandaru.


“Berapakah umur putra Ki Swandaru sekarang?”

“ Sekitar 11 tahun Kiai”

“Apakah Ki Swandaru yakin bahwa istri Ki Swandaru seorang diri mampu membimbing anak yang dalam usia itu sebenarnya justru masa-masa kelebihan energi. Bagaimana dengan tugas-tugasnya sebagai seorang istri seorang pejabat Kademangan? Ah, aku kira Ki Swandaru lebih tahu betapa berat tugas seorang ibu sekaligus istri seorang yang penting di Kademangan. Ia terkadang bahkan tidak sempat merawat dan menikmati kesenangan bagi dirinya sendiri”


Kata-kata Kiai Garda itu semakin membuat hati Swandaru semakin merasa bersalah. Mendadak is melihat bahwa keputusan mengembara ini adalah keputusan penuh emosi yang tidak mempertimbangkan dampak lebih jauh.


“Ki Swandaru”, - suara Kiai Garda kini seolah-olah bergema di gendang telinga Swandaru - ,”Menurut keyakinanku, andai guru Kiai Gringsing masih ada, beliau pasti tidak berkenan dengan keputusan Ki Swandaru untuk mengembara ini. Ki Swandaru sudah di kelilingi oleh orang-orang dan keluarga yang baik dan tidak sepantasnya Ki Swandaru justru melangkah menjauh untuk mencari hal yang tidak pasti. Ibarat Ki Swandaru ingin menangkap seekor burung gagak yang sedang beterbangan di udara, ternyata Ki Swandaru bahkan melepas burung Rajawali yang sudah ada dalam genggaman. Betapa sayangnya!”


Kiai Garda ternyata seorang yang sangat piawai dan mendalami pola pikir manusia pada umumnya. Perkataan dan perumpamaan yang kadang agak panjang dan bahkan melingkar ternyata mampu menyentuh simpul-simpul kesadaran seorang Swandaru yang memang sedang dalam persimpangan jalan.


Malam merambat tanpa ada yang bisa menghalangi, suara belalang dan burung malam justru merupakan hiasan yang semakin menegaskan bahwa inilah saat yang tepat untuk menilai ulang perbuatan masa lalu, kemudian bersimpuh mohon ampunan kepada Yang Menciptakan Hidup dan Kehidupan. Malam tidak pergi, ia hanya bersembunyi karena datangnya pagi dan akan muncul lagi ketika sang waktu kembali memanggilnya.


Pagi itu seluruh keluarga Ki Demang Krikilan dan beberapa perangkat Kademangan berkumpul di pendapa. Dengan wajah penasaran dan haru mereka terpaksa melepas seseorang yang telah berjasa membantu Kademangan itu lepas dari bencana.

Sambil menjulurkan dan menggenggam erat tangan tamunya Ki Demang berkata - ,“Sesungguhnya kami sangat berharap Ki Swandaru bisa tinggal lebih lama atau bahkan menetap di Kademangan ini. Kami sangat berterimakasih atas bantuan dan pengorbanan Ki Gupala”


Suara Ki Demang yang bersungguh-sungguh itu ditanggapi Swandaru dengan senyuman. Ia sudah memantapkan diri untuk pulang Ke Sangkal Putung setelah tergolek dan berdiam di Kademangan Krikilan ini selama tujuh hari.


Putra tertua Ki Demang dan Nyi Sulastri yang ikut mengantar kepergian Swandaru sempat bertanya - ,”Kemanakah sebenarnya tujuan Ki Gupala?”

“Ah, sebenarnya aku hanya ingin mengembara dan melihat luasnya bumi Mataram ini saja”, - jawab Swandaru sekenanya.

“Kalau begitu, kami minta Ki Gupala untuk mampir lagi di Kademangan ini di lain waktu”,- yang terdengar kemudian adalah suara halus dari menantu Ki Demang.


Sebenarnyalah, hati Swandaru sempat berdebar-debar ketika mendengar suara itu dan kemudian menyalami tangan halusnya. Akan tetapi sambil menggeram dalam hati dan dengan penuh kesadaran ia segera menukas perasaan yang tidak pada tempatnya itu.


Ternyata Ki Demang telah menyiapkan seekor kuda untuk Swandaru. Meskipun sebenarnya Swandaru ingin berjalan kaki, tetapi ia tidak bisa menolak kebaikan itu. Setelah meninggalkan halaman Kademangan, Swandaru berkuda perlahan-lahan di iringi Kiai Garda disampingnya yang sengaja mengantarnya hingga meninggalkan batas padukuhan terakhir.


“Apakah Kiai hendak pulang ke lereng Muria secepatnya?”, - tanya Swandaru ketika mereka hendak berpisah - ,” Jika Kiai ada waktu, sebelum pulang aku persilahkan untuk mampir ke Kademangan Sangkal Putung. Bahkan jika waktu kita luang, aku ingin memperkenalkan Kiai dengan kakang Agung Sedayu yang sekarang berdiam diri di Tanah Perdikan Menoreh”


Kiai Garda tersenyum - ,”Sesungguhnya aku juga sedang mempertimbangkan hal itu Ki Swandaru. Baiklah, sebelum pulang ke lereng Muria aku akan justru ke selatan untuk mengunjungi Kademangan Sangkal Putung. Rasanya aku juga ingin menengok gubug guru Kiai Gringsing di Dukuh Pakuwon.  Mungkin pekan akhir di bulan ini”


Setelah mengucapkan terimakasih, Swandaru mulai memacu kudanya meskipun tidak terlalu cepat. Matahari baru saja naik dan hari masih cukup pagi. Bentangan sawah sudah mulai berubah warna menjadi kekuningan dan agaknya awal bulan atau pertengahan bulan depan tanaman padi ini sudah bisa di panen.

Sambil terus memacu kudanya Swandaru menengadahkan wajahnya ke langit yang terlihat biru bersih. Beberapa kelompok awan putih, terlihat berjalan beriringan perlahan ditiup angin yang berhembus lembut. Bahkan awan putih tersebut terkadang membentuk sebuah lukisan yang berubah-ubah.


Swandaru ingat suatu sore ketika ia dan Pandan Wangi duduk di pematang sawah sambil memperhatikan perubahan bentuk awan. Mereka pernah bergurau dan berdebat, ketika Pandan Wangi menilai bentuk awan itu adalah seekor naga, Swandaru menyangkal dan menyebut bahwa bentuk itu lebih cocok sebagai cacing raksasa. Tidak ada yang mau mengalah, tetapi akhirnya Swandaru menyerah sambil tertawa terpingkal-pingkal sekaligus menahan rasa sakit akibat cubitan Pandan Wangi di pinggangnya.


“Ah”, - Swandaru tiba-tiba saja berdesah - ,”Bagaimana mungkin aku mengabaikan seorang Pandan Wangi yang begitu baik dan penuh pesona itu. Sungguh beruntung aku bertemu Kiai Garda yang menyarankan aku untuk kembali pulang. Kenyataannya sekarang ini aku begitu rindu dengan istri dan juga anakku”


Tanpa sadar, Swandaru memacu kudanya agar berlari lebih cepat.


“Musim kemarau tidak lama lagi akan berakhir”, - Swandaru sempat berangan-angan - ,”Dengan kuda ini, aku kira aku akan sudah sampai di Sangkal Putung sekitar sepekan. Saat itu aku kira musim panen di Sangkal Putung juga belum dimulai dan aku mengajak Pandan Wangi dan Gilang untuk ikut melakukan kerja panen di sawah”


Angan-angan itu membuat Swandaru membedal kudanya agar berlari lebih kencang. Kuda yang diberikan anak tertua Ki Demang adalah kuda yang sangat baik dan bahkan terbaik di Kademangan Krikilan. Anak Ki Demang merawat sendiri kuda itu sejak lahir sehingga kuda itu tumbuh kekar dan kuat.


Ketika matahari sudah melewati puncaknya dan mulai turun ke barat, Swandaru baru saja melewati sebuah bulak panjang. Di ujung bulak itu tumbuh sebuah pohon preh yang cukup rimbun serta ada parit kecil yang mengalirkan air dengan cukup deras. Swandaru memutuskan berhenti sejenak untuk memberi kesempatan kudanya minum di air parit yang cukup jernih itu, sementara ia turun dan berteduh di bawah pohon.


Angin yang berhembus lembut membuat tubuh Swandaru yang belum pulih sepenuhnya dari luka yang dideritanya itu merasa nyaman. Ia memutuskan untuk beristirahat sedikit lebih lama sementara kudanya yang sudah minum air sepuasnya itu di tuntunnya untuk ikut berteduh di bawah pohon yang rimbun itu.



Saat duduk melepas penat itu tiba-tiba mata Swandaru menangkap melesatnya sebuah benda hitam dari udara langsung menuju ke arahnya. Benda hitam yang ternyata adalah burung gagak itu dengan tiba-tiba saja hinggap tepat di depannya dalam jarak sekitar satu setengah tombak. Burung gagak itu mempunyai semacam mahkota atau cengger yang tinggi dan indah berwarna hitam kemerahan, sementara bagian tubuh lainnya berwarna hitam pekat.


Begitu hinggap di tanah burung gagak aneh itu kemudian membungkukkan badannya dalam-dalam dengan cara mematukkan paruhnya berulangkali ke tanah di depannya. Sementara kedua sayapnya terkembang penuh seolah ia sedang memberi penghormatan atau selamat datang kepada Swandaru.


Kuda tunggangan yang di pakai Swandaru terlihat agak terkejut lalu bergeser agak menjauh. Akan tetapi kuda itu kemudian diam dan asyik memakan rumput yang tumbuh liar di tepi parit.


Swandaru yang melihat kedatangan burung yang tiba-tiba itu awalnya amat terkejut. Akan tetapi begitu dilihatnya burung itu sedemikian aneh dan seolah mengenal sopan santun, ia menjadi sangat tertarik. Ia tetap duduk, akan tetapi kini punggungnya sudah tidak bersandar di batang pohon preh lagi, melainkan tegak.


Burung itu meloncat kecil-kecil mendekat lalu melakukan gerak penghormatan yang sama. Sesaat kemudian ia membalikkan badannya dengan loncatan-loncatan yang kecil menjauh menuju sebuah jalan kecil di samping bulak panjang, lalu berbalik menghadap Swandaru dan kembali melakukan penghormatan. Gerakan itu dilakukan berulang kali, sehingga Swandaru merasa bahwa agaknya burung gagak itu sedang mengundangnya agar ia mau mengikutinya.


Dengan hati berdebar-debar Swandaru kemudian berdiri dan melangkah pelan menapaki jalan setapak itu. Burung gagak aneh itu masih juga melakukan gerakan yang sama berulangkali, ia mendekat melakukan penghormatan lalu kemudian menjauh dan berbalik lagi sambil melakukan penghormatan kembali. Semakin lama semakin menjauh dari pohon preh itu, sementara Swandaru yang di dorong oleh rasa heran dan penasaran terus saja mengikutinya.


Kuda yang menjadi tunggangan dari Swandaru tiba-tiba nampak gelisah. Kuda itu sudah minum cukup banyak dan makan cukup kenyang, akan tetapi hingga matahari mulai condong ke barat, ia tidak melihat tuannya yang sedari pagi bersamanya.


Ia meringkik keras berulang kali.



Salam,




No comments:

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...