BALADA
SWANDARU GENI
Bab 4:
Hilangnya Seorang Swandaru Geni
Babak – 01
-------
Mohon ijin
kangmas n mbokayu,
Edisi ini
masuk ke Bab III – tentang lenyapnya seorang Swandaru Geni. Ah, bagaimana
mungkin seorang SG bisa lenyap, ia berbadan besar, bernyali besar dan kemampuan
kanuragannya cukup mumpuni?
Sebagaimana
kita yakini, diatas langit masih ada langit. SG bisa saja tokoh nomor satu di
Kademangan Sangkal Putung, akan tetapi di dunia persilatan khususnya di bang
wetan, bisa jadi ia hanyalah anak pupuk bawang yang selalu merepotkan induk
semangnya agar bisa melindunginya.
Kemanakah
sebenarnya SG?
Monggo di
simak nggih….masih puanjaaaangg.. J
J J
--------
Wajah
Swandaru yang sebenarnya sedang letih terlihat semakin pucat, hatinya seketika
ingin memberontak dan menolak saran Kiai Garda untuk pulang. Akan tetapi
sebelum ia membuka mulut, ia merasakan sentuhan tangan Kiai Garda di dadanya
seolah sedang menenangkan degup jantungnya yang memang berdetak kencang
mengikuti hatinya yang bergejolak.
“Tenanglah
Ki Swandaru, tolong dengarkan penjelasanku terlebih dahulu,” – suara Kiai Garda
terdengar sareh dan memberikan ketenangan - ,”Jangan bereaksi berlebihan agar
kondisi fisik Ki Swandaru tidak terpengaruh. Aku sama sekali tidak mempunyai
pamrih atau niat buruk dengan memberikan saran agar Ki Swandaru pulang. Jika Ki
Swandaru bertekad untuk meneruskan pengembaraan ini, tentu saja tidak ada yang
bisa mencegah. Akan tetapi demi kebaikan Ki Swandaru sendiri, cobalah Ki
Swandaru menjawab beberapa pertanyaanku terlebih dahulu”
Mata
Swandaru memandang tajam ke wajah Kiai Garda yang kini terlihat sangat
bersungguh-sungguh.
“Apakah yang
hendak Kiai tanyakan?”
“Baiklah,
aku menganggap bahwa kepergian Ki Swandaru adalah untuk napak tilas jejak guru
Kiai Gringsing dengan harapan bisa memperoleh pengalaman baru, meningkatkan
kemampuan olah kanuragan sehingga bisa melampaui Ki Agung Sedayu selaku kakak
seperguruan. Apakah betul begitu?”
Swandaru
menarik nafas dalam-dalam, ia tidak dapat memungkiri bahwa itulah tujuan
utamanya mengembara. Ia sulit untuk menjawab pertanyaan itu sehingga memilih
untuk menundukkan kepalanya.
“Apakah jika
sudah memperoleh ilmu kanuragan yang tinggi, Ki Swandaru hendak menantang
perang tanding ulang dengan Ki Agung Sedayu? Bagaimana jika kemudian Ki
Swandaru masih juga kalah, apakah Ki Swandaru hendak mengulangi perjalanan
napak tilas lagi?”
Swandaru
terdiam, akan tetapi tanpa sadar kepalanya menggeleng lemah.
“Maaf Ki,
apakah Ki Agung Sedayu menolak membimbing Ki Swandaru untuk bisa meningkatkan
kemampuan dalam olah kanuragan?”, - tanya Kiai Garda kemudian.
Swandaru
sedikit mengangkat wajahnya sambil menjawab - ,”Kakang Agung Sedayu selalu
menyediakan waktu untukku Kiai, bahkan ia menawariku untuk menguasai beberapa
ajian baru. Hanya saja aku menolaknya, mungkin ini akibat sikapku yang
cenderung tinggi hati”
Kiai Garda
tersenyum mendengar jawaban Swandaru.
“Berapakah
umur putra Ki Swandaru sekarang?”
“ Sekitar 11
tahun Kiai”
“Apakah Ki
Swandaru yakin bahwa istri Ki Swandaru seorang diri mampu membimbing anak yang
dalam usia itu sebenarnya justru masa-masa kelebihan energi. Bagaimana dengan
tugas-tugasnya sebagai seorang istri seorang pejabat Kademangan? Ah, aku kira
Ki Swandaru lebih tahu betapa berat tugas seorang ibu sekaligus istri seorang
yang penting di Kademangan. Ia terkadang bahkan tidak sempat merawat dan
menikmati kesenangan bagi dirinya sendiri”
Kata-kata
Kiai Garda itu semakin membuat hati Swandaru semakin merasa bersalah. Mendadak
is melihat bahwa keputusan mengembara ini adalah keputusan penuh emosi yang
tidak mempertimbangkan dampak lebih jauh.
“Ki
Swandaru”, - suara Kiai Garda kini seolah-olah bergema di gendang telinga
Swandaru - ,”Menurut keyakinanku, andai guru Kiai Gringsing masih ada, beliau
pasti tidak berkenan dengan keputusan Ki Swandaru untuk mengembara ini. Ki
Swandaru sudah di kelilingi oleh orang-orang dan keluarga yang baik dan tidak
sepantasnya Ki Swandaru justru melangkah menjauh untuk mencari hal yang tidak
pasti. Ibarat Ki Swandaru ingin menangkap seekor burung gagak yang sedang
beterbangan di udara, ternyata Ki Swandaru bahkan melepas burung Rajawali yang sudah
ada dalam genggaman. Betapa sayangnya!”
Kiai Garda
ternyata seorang yang sangat piawai dan mendalami pola pikir manusia pada
umumnya. Perkataan dan perumpamaan yang kadang agak panjang dan bahkan
melingkar ternyata mampu menyentuh simpul-simpul kesadaran seorang Swandaru
yang memang sedang dalam persimpangan jalan.
Malam
merambat tanpa ada yang bisa menghalangi, suara belalang dan burung malam
justru merupakan hiasan yang semakin menegaskan bahwa inilah saat yang tepat
untuk menilai ulang perbuatan masa lalu, kemudian bersimpuh mohon ampunan kepada
Yang Menciptakan Hidup dan Kehidupan. Malam tidak pergi, ia hanya bersembunyi
karena datangnya pagi dan akan muncul lagi ketika sang waktu kembali
memanggilnya.
Pagi itu
seluruh keluarga Ki Demang Krikilan dan beberapa perangkat Kademangan berkumpul
di pendapa. Dengan wajah penasaran dan haru mereka terpaksa melepas seseorang
yang telah berjasa membantu Kademangan itu lepas dari bencana.
Sambil
menjulurkan dan menggenggam erat tangan tamunya Ki Demang berkata - ,“Sesungguhnya
kami sangat berharap Ki Swandaru bisa tinggal lebih lama atau bahkan menetap di
Kademangan ini. Kami sangat berterimakasih atas bantuan dan pengorbanan Ki
Gupala”
Suara Ki
Demang yang bersungguh-sungguh itu ditanggapi Swandaru dengan senyuman. Ia
sudah memantapkan diri untuk pulang Ke Sangkal Putung setelah tergolek dan
berdiam di Kademangan Krikilan ini selama tujuh hari.
Putra tertua
Ki Demang dan Nyi Sulastri yang ikut mengantar kepergian Swandaru sempat
bertanya - ,”Kemanakah sebenarnya tujuan Ki Gupala?”
“Ah,
sebenarnya aku hanya ingin mengembara dan melihat luasnya bumi Mataram ini
saja”, - jawab Swandaru sekenanya.
“Kalau
begitu, kami minta Ki Gupala untuk mampir lagi di Kademangan ini di lain
waktu”,- yang terdengar kemudian adalah suara halus dari menantu Ki Demang.
Sebenarnyalah,
hati Swandaru sempat berdebar-debar ketika mendengar suara itu dan kemudian
menyalami tangan halusnya. Akan tetapi sambil menggeram dalam hati dan dengan
penuh kesadaran ia segera menukas perasaan yang tidak pada tempatnya itu.
Ternyata Ki
Demang telah menyiapkan seekor kuda untuk Swandaru. Meskipun sebenarnya
Swandaru ingin berjalan kaki, tetapi ia tidak bisa menolak kebaikan itu.
Setelah meninggalkan halaman Kademangan, Swandaru berkuda perlahan-lahan di
iringi Kiai Garda disampingnya yang sengaja mengantarnya hingga meninggalkan
batas padukuhan terakhir.
“Apakah Kiai
hendak pulang ke lereng Muria secepatnya?”, - tanya Swandaru ketika mereka
hendak berpisah - ,” Jika Kiai ada waktu, sebelum pulang aku persilahkan untuk
mampir ke Kademangan Sangkal Putung. Bahkan jika waktu kita luang, aku ingin
memperkenalkan Kiai dengan kakang Agung Sedayu yang sekarang berdiam diri di
Tanah Perdikan Menoreh”
Kiai Garda
tersenyum - ,”Sesungguhnya aku juga sedang mempertimbangkan hal itu Ki
Swandaru. Baiklah, sebelum pulang ke lereng Muria aku akan justru ke selatan
untuk mengunjungi Kademangan Sangkal Putung. Rasanya aku juga ingin menengok
gubug guru Kiai Gringsing di Dukuh Pakuwon. Mungkin pekan akhir di bulan ini”
Setelah
mengucapkan terimakasih, Swandaru mulai memacu kudanya meskipun tidak terlalu
cepat. Matahari baru saja naik dan hari masih cukup pagi. Bentangan sawah sudah
mulai berubah warna menjadi kekuningan dan agaknya awal bulan atau pertengahan
bulan depan tanaman padi ini sudah bisa di panen.
Sambil terus
memacu kudanya Swandaru menengadahkan wajahnya ke langit yang terlihat biru
bersih. Beberapa kelompok awan putih, terlihat berjalan beriringan perlahan
ditiup angin yang berhembus lembut. Bahkan awan putih tersebut terkadang
membentuk sebuah lukisan yang berubah-ubah.
Swandaru
ingat suatu sore ketika ia dan Pandan Wangi duduk di pematang sawah sambil memperhatikan
perubahan bentuk awan. Mereka pernah bergurau dan berdebat, ketika Pandan Wangi
menilai bentuk awan itu adalah seekor naga, Swandaru menyangkal dan menyebut
bahwa bentuk itu lebih cocok sebagai cacing raksasa. Tidak ada yang mau
mengalah, tetapi akhirnya Swandaru menyerah sambil tertawa terpingkal-pingkal
sekaligus menahan rasa sakit akibat cubitan Pandan Wangi di pinggangnya.
“Ah”, -
Swandaru tiba-tiba saja berdesah - ,”Bagaimana mungkin aku mengabaikan seorang
Pandan Wangi yang begitu baik dan penuh pesona itu. Sungguh beruntung aku
bertemu Kiai Garda yang menyarankan aku untuk kembali pulang. Kenyataannya
sekarang ini aku begitu rindu dengan istri dan juga anakku”
Tanpa sadar,
Swandaru memacu kudanya agar berlari lebih cepat.
“Musim
kemarau tidak lama lagi akan berakhir”, - Swandaru sempat berangan-angan - ,”Dengan
kuda ini, aku kira aku akan sudah sampai di Sangkal Putung sekitar sepekan. Saat
itu aku kira musim panen di Sangkal Putung juga belum dimulai dan aku mengajak
Pandan Wangi dan Gilang untuk ikut melakukan kerja panen di sawah”
Angan-angan
itu membuat Swandaru membedal kudanya agar berlari lebih kencang. Kuda yang
diberikan anak tertua Ki Demang adalah kuda yang sangat baik dan bahkan terbaik
di Kademangan Krikilan. Anak Ki Demang merawat sendiri kuda itu sejak lahir sehingga
kuda itu tumbuh kekar dan kuat.
Ketika
matahari sudah melewati puncaknya dan mulai turun ke barat, Swandaru baru saja
melewati sebuah bulak panjang. Di ujung bulak itu tumbuh sebuah pohon preh yang
cukup rimbun serta ada parit kecil yang mengalirkan air dengan cukup deras.
Swandaru memutuskan berhenti sejenak untuk memberi kesempatan kudanya minum di
air parit yang cukup jernih itu, sementara ia turun dan berteduh di bawah
pohon.
Angin yang
berhembus lembut membuat tubuh Swandaru yang belum pulih sepenuhnya dari luka
yang dideritanya itu merasa nyaman. Ia memutuskan untuk beristirahat sedikit
lebih lama sementara kudanya yang sudah minum air sepuasnya itu di tuntunnya
untuk ikut berteduh di bawah pohon yang rimbun itu.
Saat duduk
melepas penat itu tiba-tiba mata Swandaru menangkap melesatnya sebuah benda
hitam dari udara langsung menuju ke arahnya. Benda hitam yang ternyata adalah
burung gagak itu dengan tiba-tiba saja hinggap tepat di depannya dalam jarak
sekitar satu setengah tombak. Burung gagak itu mempunyai semacam mahkota atau
cengger yang tinggi dan indah berwarna hitam kemerahan, sementara bagian tubuh
lainnya berwarna hitam pekat.
Begitu hinggap
di tanah burung gagak aneh itu kemudian membungkukkan badannya dalam-dalam
dengan cara mematukkan paruhnya berulangkali ke tanah di depannya. Sementara kedua
sayapnya terkembang penuh seolah ia sedang memberi penghormatan atau selamat
datang kepada Swandaru.
Kuda
tunggangan yang di pakai Swandaru terlihat agak terkejut lalu bergeser agak
menjauh. Akan tetapi kuda itu kemudian diam dan asyik memakan rumput yang
tumbuh liar di tepi parit.
Swandaru
yang melihat kedatangan burung yang tiba-tiba itu awalnya amat terkejut. Akan
tetapi begitu dilihatnya burung itu sedemikian aneh dan seolah mengenal sopan
santun, ia menjadi sangat tertarik. Ia tetap duduk, akan tetapi kini
punggungnya sudah tidak bersandar di batang pohon preh lagi, melainkan tegak.
Burung itu
meloncat kecil-kecil mendekat lalu melakukan gerak penghormatan yang sama.
Sesaat kemudian ia membalikkan badannya dengan loncatan-loncatan yang kecil
menjauh menuju sebuah jalan kecil di samping bulak panjang, lalu berbalik menghadap
Swandaru dan kembali melakukan penghormatan. Gerakan itu dilakukan berulang
kali, sehingga Swandaru merasa bahwa agaknya burung gagak itu sedang
mengundangnya agar ia mau mengikutinya.
Dengan hati
berdebar-debar Swandaru kemudian berdiri dan melangkah pelan menapaki jalan
setapak itu. Burung gagak aneh itu masih juga melakukan gerakan yang sama
berulangkali, ia mendekat melakukan penghormatan lalu kemudian menjauh dan
berbalik lagi sambil melakukan penghormatan kembali. Semakin lama semakin
menjauh dari pohon preh itu, sementara Swandaru yang di dorong oleh rasa heran
dan penasaran terus saja mengikutinya.
Kuda yang
menjadi tunggangan dari Swandaru tiba-tiba nampak gelisah. Kuda itu sudah minum
cukup banyak dan makan cukup kenyang, akan tetapi hingga matahari mulai condong
ke barat, ia tidak melihat tuannya yang sedari pagi bersamanya.
Ia meringkik
keras berulang kali.
Salam,
No comments:
Post a Comment