Wednesday, July 26, 2017

BSG - BAB.IV - HSSG - Babak-12

BALADA SWANDARU GENI
Bab IV: Hilangnya Seorang Swandaru Geni
Babak – 12



Tanpa menunda sama sekali, Sekar Mirah segera meningkatkan aliran hawa murni dalam tubuhnya yang pada saat yang sama mampu melindungi indra pendengarannya dari ledakan-ledakan kecil dan nyaring yang ada tepat di gendang telinganya. Dalam waktu yang terhitung singkat ia sudah tidak terpengaruh serangan itu sama sekali dan berdiri tegak sambil memandang tajam ke arah bayangan hitam di depannya.


Demikian juga yang dilakukan oleh Pandan Wangi dan Kiai Garda. Bagi keduanya, serangan itu meskipun agak mengejutkan akan tetapi tidak terlalu berpengaruh atas ketahanan jiwani mereka. Seperti yang dilakukan Sekar Mirah, mereka kini berdiri sambil mengawasi bayangan hitam yang masih mencoba meningkatkan serangannya dengan memperdengarkan suara tertawanya semakin tajam dan keras.


Kiai Garda sempat mengerutkan keningnya ketika menatap raut wajah bayangan hitam yang berdiri di hadapannya. Laki-laki itu masih terhitung muda, umurnya mungkin tidak lebih dari umur Sekar Mirah sendiri. Wajahnya meskipun nampak keras, akan tetapi pancaran matanya seolah-olah kosong dan sama sekali tidak menampakkan kebengisan seperti yang di tampakkan oleh binatang kelelawar peliharaannya. Bahkan Kiai Garda sempat menangkap ada guratan-guratan yang agak sulit untuk di uraikan saat ini.


Sementara itu Sekar Mirah ternyata menjadi tidak sabar ketika dilihatnya laki-laki berbaju hijau gelap itu tidak juga menghentikan tertawanya. Dengan menggeram ia melangkah maju sambil mengacungkan tongkat baja putihnya.


“Sudahlah Ki Sanak, kau tidak akan mampu melumpuhkan kami dengan suara tertawamu itu. Yang mungkin terjadi adalah kami akan semakin muak mendengarnya sehingga bisa menyerangmu secara  tiba-tiba”, - kata Sekar Mirah dengan nada bersungguh-sungguh.


Lelaki itu nampak terkejut dan menghentikan tertawanya secara tiba-tiba. Meskipun dalam kegelapan, akan tetapi nampak betapa wajahnya dipenuhi kebingungan seolah ia tidak sadar atas apa yang baru saja dilakukannya. Ia hanya berdiri tegak sambil termangu-mangu, diam tak bergerak serta membisu.


“Nah, sekarang marilah kita bicara. Siapakah kau dan mengapa menyerang kami dengan tiba-tiba?”, - bertanya Sekar Mirah.


Wajah laki-laki berpakaian gelap itu sama sekali tidak berubah, tetapi ia juga tidak menjawab pertanyaan Sekar Mirah itu. Anehnya, matanya yang agak kemerah-merahan itu memancarkan pandangan yang kosong seolah ia tidak tahu apa yang sedang dihadapinya.


Sekar Mirah yang merasa tidak dihiraukan itu menjadi semakin jengkel, kemarahan akibat telah dipermainkan dengan bentuk-bentuk semu kembali terungkap. Sambil meloncat maju ia berteriak memberi peringatan dan mengayunkan tongkatnya mengancam pundak kanan laki-laki berbaju hijau gelap itu. Gerakan Sekar Mirah ini memang tidak terlalu berbahaya karena hanya merupakan peringatan agar lawannya bersiap-siap sebelum nanti memasuki pertarungan yang sesungguhnya.


Saat itulah Kiai Garda kembali menangkap ada kesan keterkejutan pada wajah laki-laki berpakaian gelap yang tiba-tiba saja menggerakkan kakinya melompat ke samping sehingga terhindar dari ayunan senjata Sekar Mirah. Akan tetapi Sekar Mirah tidak berhenti, tubuhnya segera melompat mengejar laki-laki berbaju hijau gelap itu sambil mengayunkan senjatanya. Ayunan tongkat baja putih itu semakin keras dan mulai menimbulkan kesiur angin yang tajam menerpa kulit tubuh lawannya.


Sadar akan bahaya, laki-laki berpakaian serba gelap itu menjejakkan kakinya ke tanah dan tubuhnya cepat sekali melenting ke atas sehingga tongkat Sekar Mirah yang tadinya mengincar dada, kini justru terayun di bawah kedua kaki dan tubuhnya. Sementara begitu kedua kaki laki-laki berpakaian gelap itu menginjak tanah dan berjarak sekitar dua tombak dari Sekar Mirah, ternyata di tangan kanannya telah tergenggam sebuah tombak pendek bermata tiga atau yang juga sering disebut sebagai trisula.


Kiai Garda dan Pandan Wangi mengerutkan keningnya melihat gerak melenting laki-laki berpakaian gelap yang sangat ringan. Dengan sekali jejak dan tanpa ancang-ancang, ternyata ia mampu melompat setinggi hampir tiga kali tinggi tubuhnya dan sejauh kurang lebih dua tombak.


“Ilmu meringankan tubuhnya sangat menarik”, - desis Pandan Wangi.


Sementara itu, Sekar Mirah mencoba untuk semakin menekan lawannya. Dalam gebrakan awal ia sudah melihat kelebihan lawannya dalam ilmu meringankan tubuh, karena itu ia berusaha melibat laki-laki berpakaian gelap itu  agar bisa bertarung dalam jarak pendek. Tongkatnya berputar cepat dan sekali-kali terayun keras mengancam bagian-bagian tubuh yang berbahaya.


Lawannya terlihat menggerakkan senjata trisulanya dengan cepat sambil menggeser kakinya ke samping. Ia berusaha mengambil jarak dengan melompat mundur sejauh mungkin, akan tetapi Sekar Mirah terus mengejarnya dan menempelnya dengan ketat. Tidak dapat dihindari, pertarungan jarak pendek itu mengakibatkan beberapa kali benturan senjata yang mengakibatkan percikan api di udara.


Untuk kesekian kali, Kiai Garda melihat betapa wajah laki-laki berpakaian hijau gelap yang tadi terlihat kosong itu kini menampakkan keterkejutan. Tangannya yang memegang tombak pendek atau trisula itu terlihat tergetar bahkan hampir saja senjatanya itu terlepas. Benturan senjatanya dengan tongkat baja putih yang di pegang Sekar Mirah itu mampu membuat wajah kosongnya berubah. Ia merasakan tenaga yang sangat besar membentur tenaganya dan seolah menyentuh pula syaraf kesadarannya.


“Nah Ki Sanak, apakah sekarang kau bersedia menjawab pertanyaan kami? Atau kita harus melanjutkan pertarungan hingga salah satu harus terkapar di tanah?,” – suara Sekar Mirah terdengar semakin berat.


Sekar Mirah melangkah maju sambil mengacungkan senjatanya. Akan tetapi, ia melihat betapa wajah laki-laki berpakaian gelap itu kembali kosong seolah mengabaikan semua perkataannya. Hal itu membangkitkan kemarahan Sekar Mirah, sehingga tanpa menunda lagi ia melompat dan melancarkan serangan berbahaya ke tubuh lawannya.


Kembali pertarungan itu berlangsung dengan sengitnya di tengah udara malam yang mulai dingin. Tongkat Sekar Mirah bagaikan gumpalan putih yang bergulung-gulung mengurung dan hendak melumatkan lawannya dengan ayunan-ayunan yang sangat keras. Dari beberapa kali benturan yang terjadi, Sekar Mirah menyakini bahwa ia mempunyai sedikit kelebihan dalam hal tenaga dibanding lawannya. Karena itu ia sengaja tidak memberi kesempatan lawannya untuk menghindar atau paling tidak membenturkan senjata keduanya.


Laki-laki berpakaian gelap itu ternyata cukup ulet, betapapun ia dikurung dan dihujani Sekar Mirah dengan serangan beruntun, ia masih mampu menghindarinya dengan baik. Pertarungan jarak pendek itu meskipun sedikit menyulitkannya akan tetapi gerak menghindar atau menepis senjata lawan kesamping dikuasainya dengan sangat baik. Tongkat baja putih itu kadang hanya berjarak tiga-empat jari dari kulit tubuhnya, hanya saja sama sekali belum menyentuhnya. Sementara, sodokan atau ayunan tongkat yang seolah tidak mungkin dihindarinya ternyata masih bisa ditepis dan dibelokkan arahnya dengan tombak pendek bermata tiga ditangannya.


Sekar Mirah seolah menjelma menjadi seekor burung rajawali ganas yang terbang berputaran sambil mengancam lawan dengan kuku-kukunya yang tajam. Akan tetapi lawannya yang berpakaian gelap itu juga berubah menjadi seekor ular yang sangat licin dan selalu mampu menghindari serangannya dengan gerak kepala yang cepat dan tubuhnya yang gesit.


Pertarungan itu meningkat dengan sangat cepat. Watak Sekar Mirah yang pada dasarnya memang tidak sabaran serta kegusarannya melihat lawan yang tidak mau berbicara dan seolah mengabaikannya itu membuat tandangnya semakin keras. Dengan cepat ia meningkatkan tenaga cadangannya sehingga berpengaruh pada kecepatan maupun derasnya ayunan tongkatnya.


Laki-laki itu semakin terdesak dan beberapa kali hampir saja tubuhnya tersambar tongkat baja putih itu. Akan tetapi agaknya laki-laki itu juga mempunyai pengalaman yang sangat luas dan tidak gampang menyerah. Betapapun sulit keadaannya, ia masih saja mampu menghindar dengan gerakan yang kadang-kadang tidak terduga.


Kiai Garda dan Pandan Wangi yang berada di luar arena mengamati pertarungan itu tanpa berkedip. Selain mengagumi tenaga dan gerak tongkat Sekar Mirah yang bergulung-gulung mengurung lawan, perhatian mereka lebih banyak tertuju pada laki-laki berpakaian gelap yang masih saja mampu menghindari semua serangan Sekar Mirah.


Gerakan-gerakannya begitu aneh dan jarang mereka lihat, laki-laki itu sangat menguasai keseluruhan anggota tubuhnya sehingga setiap gerakan kecil dari anggota tubuhnya mampu merubah posisi dan menghindari serangan yang mengancamnya. Terkadang ketika tidak ada kesempatan lagi untuk melompat mundur, laki-laki itu mampu mengecilkan perutnya dengan cepat sehingga tongkat Sekar Mirah berselisih tiga, empat jari tanpa menyentuh tubuhnya. Dikesempatan lain, ia mampu menekuk pinggangnya kedalam dan semua gerakan itu terjadi dengan sendirinya untuk menghindari semua serangan ke arahnya.


Ketika laki-laki itu mempunyai kesempatan, ia segera melontarkan tubuhnya jauh kebelakang untuk mengambil jarak. Hanya saja, Sekar Mirah memang sengaja menempel dan melompat menyusulnya sambil mempersiapkan sebuah serangan susulan.


Tetapi jantung Sekar Mirah tiba-tiba berdegup kencang dan dengan cepat ia terpaksa menghentikan seluruh serangannya. Ia benar-benar terperanjat bukan kepalang dan ingatannya langsung tertuju pada kemampuan Agung Sedayu suaminya. Dihadapannya kini berdiri bukan hanya satu laki-laki berpakaian gelap yang selama ini menjadi lawannya, melainkan ada tiga orang.


Ketiga lawannya itu semuanya berpakaian gelap dan menggenggam senjata trisula ditangan kanannya. Tidak ada yang berbeda satu sama yang lain, mirip tanpa cela.


“Apakah orang ini juga menguasai aji Kakang Kawah Adi Ari-ari sebagaimana kakang Agung Sedayu?”, - Sekar Mirah masih belum bisa menguasai kejutan perasaannya.


Belum hilang rasa terkejutnya, Sekar Mirah terpaksa melompat menghindar jauh untuk mengambil jarak. Lawannya yang sudah berubah menjadi tiga orang itu tiba-tiba menyerangnya sambil melakukan gerak melompat saling silang untuk mengaburkan penilaian lawan. Tombak pendek bermata tiga itu kini ada tiga buah ditangan tiga lawan yang berbeda serta menyerangnya dari tiga arah yang berbeda pula.


Kini keadaan menjadi berbalik sama sekali, Sekar Mirahlah yang sekarang dikurung dan didera serangan dari segala penjuru. Sembilan mata tombak itu kini menari-nari mengitari tubuhnya sehingga ia tidak mempunyai kesempatan untuk balas menyerang. Dengan menggeram Sekar Mirah meningkatkan tenaga cadangannya hampir sampai ke puncak sambil memutar tongkat baja putihnya membentuk benteng yang melindungi tubuhnya dari serangan yang datang. Tercipta kabut putih yang bergulung-gulung menimbulkan suara menderu-deru disertai angin tajam yang menyebar ke segala arah.


Bukan main kagumnya Kiai Garda melihat tandang Sekar Mirah yang disertai peningkatan tenaga cadangannya. Putaran tongkat itu begitu rapat dan tidak ada yang mampu menembusnya, disaat yang sama putaran itu merupakan pertahanan yang justru bisa mematikan lawan jika terjadi benturan.


Demikianlah, pertempuran itu meskipun bertambah sengit akan tetapi untuk sesaat seolah tidak terjadi perubahan. Agaknya laki-laki berpakaian gelap itu cukup menyadari betapa berbahayanya putaran tongkat baja putih ditangan perempuan yang menjadi lawannya. Dengan mengandalkan kecepatan geraknya, laki-laki berpakaian gelap itu berusaha menghindari terjadinya benturan senjata dan terus mencoba mengurung serta mencari celah untuk bisa menembus putaran itu tanpa membenturnya.


Keringat mulai mengucur deras di wajah Sekar Mirah, sambil terus bertarung ia mencoba mengingat-ingat apa yang pernah di dengarnya tentang aji Kakang Kawah Adi Ari-ari dari suaminya Agung Sedayu yang menguasai ajian ini dengan sangat baik. Terlebih peristiwa yang baru saja terjadi atas munculnya ribuan kelelawar itu semakin memperkuat kecurigaannya.


Karena itu, Sekar Mirah berusaha memusatkan segenap nalar budinya untuk memperhatikan keadaan lawannya. Peningkatan nalar budi untuk mempertajam aji sapta panggraita itu sedikit banyak mempengaruhi gerak putaran tongkatnya yang sedikit melamban. Hal itu terlihat oleh lawannya yang segera meningkatkan serangannya yang datang membadai. Ada sedikit lubang-lubang yang tercipta akibat gerak lamban Sekar Mirah. Dalam sekejab, waktu itu dimanfaatkan lawan dengan sebaik-baiknya, tombak pendek bermata tiga itu secara bersamaan melakukan gerakan menusuk yang sangat cepat dengan sasaran tubuh bagian atas Sekar Mirah.


Gerakan laki-laki berpakaian gelap itu begitu cepat dan bertenaga serta datang dari tiga arah yang berlawanan. Agaknya Sekar Mirah terlambat menyadari melambannya gerak putaran tongkatnya, sehingga kini justru sangat membahayakan dirinya yang terancam serangan ganas dari tiga tombak pendek bermata trisula itu.


Kiai Garda dan Pandan Wangi terpekik kecil melihat keadaan yang sangat gawat yang sedang di alami Sekar Mirah. Sebagai orang yang berada di luar pertarungan, sebenarnya mereka sangat memahami apa yang sedang di lakukan oleh lawannya. Akan tetapi ada rasa segan untuk berteriak memberi peringatan kepada Sekar Mirah tentang apa yang sedang dihadapinya. Hal ini terjadi karena - meskipun tidak berjanji - sejak awal pertarungan ini bagaikan perang tanding antara dua orang yang sedang bergerak di arena. Jiwa ksatria mereka mencegahnya untuk ikut campur meskipun dengan hanya memberi peringatan. Kini Sekar Mirah berada pada keadaan yang sangat mengancam jiwanya.


Degup jantung Pandan Wangi berdetak kencang, kedua pedang tipis di tangannya bergetar. Rasanya ia tidak mungkin berdiam diri melihat keadaan Sekar Mirah yang terancam nyawanya. Tanpa berpikir panjang lagi ia segera menarik nafas pendek-pendek dan menyimpannya di dada, dalam sekejab ia sudah mengetrapkan dan berada pada puncak kemampuan ajian Asta Sewu.


“Biarlah Sekar Mirah marah dan tersinggung karena tindakanku. Aku hanya tidak bisa melihatnya mati dalam pertarungan ini,” – geram Pandan Wangi dalam hati.



Salam,

Ries

No comments:

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...