BALADA
SWANDARU GENI
Bab IV:
Hilangnya Seorang Swandaru Geni
Babak – 12
Tanpa
menunda sama sekali, Sekar Mirah segera meningkatkan aliran hawa murni dalam
tubuhnya yang pada saat yang sama mampu melindungi indra pendengarannya dari
ledakan-ledakan kecil dan nyaring yang ada tepat di gendang telinganya. Dalam
waktu yang terhitung singkat ia sudah tidak terpengaruh serangan itu sama
sekali dan berdiri tegak sambil memandang tajam ke arah bayangan hitam di
depannya.
Demikian
juga yang dilakukan oleh Pandan Wangi dan Kiai Garda. Bagi keduanya, serangan
itu meskipun agak mengejutkan akan tetapi tidak terlalu berpengaruh atas
ketahanan jiwani mereka. Seperti yang dilakukan Sekar Mirah, mereka kini
berdiri sambil mengawasi bayangan hitam yang masih mencoba meningkatkan
serangannya dengan memperdengarkan suara tertawanya semakin tajam dan keras.
Kiai Garda
sempat mengerutkan keningnya ketika menatap raut wajah bayangan hitam yang
berdiri di hadapannya. Laki-laki itu masih terhitung muda, umurnya mungkin
tidak lebih dari umur Sekar Mirah sendiri. Wajahnya meskipun nampak keras, akan
tetapi pancaran matanya seolah-olah kosong dan sama sekali tidak menampakkan
kebengisan seperti yang di tampakkan oleh binatang kelelawar peliharaannya.
Bahkan Kiai Garda sempat menangkap ada guratan-guratan yang agak sulit untuk di
uraikan saat ini.
Sementara
itu Sekar Mirah ternyata menjadi tidak sabar ketika dilihatnya laki-laki
berbaju hijau gelap itu tidak juga menghentikan tertawanya. Dengan menggeram ia
melangkah maju sambil mengacungkan tongkat baja putihnya.
“Sudahlah Ki
Sanak, kau tidak akan mampu melumpuhkan kami dengan suara tertawamu itu. Yang
mungkin terjadi adalah kami akan semakin muak mendengarnya sehingga bisa
menyerangmu secara tiba-tiba”, - kata
Sekar Mirah dengan nada bersungguh-sungguh.
Lelaki itu
nampak terkejut dan menghentikan tertawanya secara tiba-tiba. Meskipun dalam
kegelapan, akan tetapi nampak betapa wajahnya dipenuhi kebingungan seolah ia
tidak sadar atas apa yang baru saja dilakukannya. Ia hanya berdiri tegak sambil
termangu-mangu, diam tak bergerak serta membisu.
“Nah,
sekarang marilah kita bicara. Siapakah kau dan mengapa menyerang kami dengan
tiba-tiba?”, - bertanya Sekar Mirah.
Wajah
laki-laki berpakaian gelap itu sama sekali tidak berubah, tetapi ia juga tidak
menjawab pertanyaan Sekar Mirah itu. Anehnya, matanya yang agak kemerah-merahan
itu memancarkan pandangan yang kosong seolah ia tidak tahu apa yang sedang
dihadapinya.
Sekar Mirah yang
merasa tidak dihiraukan itu menjadi semakin jengkel, kemarahan akibat telah
dipermainkan dengan bentuk-bentuk semu kembali terungkap. Sambil meloncat maju
ia berteriak memberi peringatan dan mengayunkan tongkatnya mengancam pundak
kanan laki-laki berbaju hijau gelap itu. Gerakan Sekar Mirah ini memang tidak
terlalu berbahaya karena hanya merupakan peringatan agar lawannya bersiap-siap
sebelum nanti memasuki pertarungan yang sesungguhnya.
Saat itulah
Kiai Garda kembali menangkap ada kesan keterkejutan pada wajah laki-laki
berpakaian gelap yang tiba-tiba saja menggerakkan kakinya melompat ke samping
sehingga terhindar dari ayunan senjata Sekar Mirah. Akan tetapi Sekar Mirah
tidak berhenti, tubuhnya segera melompat mengejar laki-laki berbaju hijau gelap
itu sambil mengayunkan senjatanya. Ayunan tongkat baja putih itu semakin keras
dan mulai menimbulkan kesiur angin yang tajam menerpa kulit tubuh lawannya.
Sadar akan
bahaya, laki-laki berpakaian serba gelap itu menjejakkan kakinya ke tanah dan
tubuhnya cepat sekali melenting ke atas sehingga tongkat Sekar Mirah yang
tadinya mengincar dada, kini justru terayun di bawah kedua kaki dan tubuhnya.
Sementara begitu kedua kaki laki-laki berpakaian gelap itu menginjak tanah dan
berjarak sekitar dua tombak dari Sekar Mirah, ternyata di tangan kanannya telah
tergenggam sebuah tombak pendek bermata tiga atau yang juga sering disebut
sebagai trisula.
Kiai Garda
dan Pandan Wangi mengerutkan keningnya melihat gerak melenting laki-laki
berpakaian gelap yang sangat ringan. Dengan sekali jejak dan tanpa
ancang-ancang, ternyata ia mampu melompat setinggi hampir tiga kali tinggi
tubuhnya dan sejauh kurang lebih dua tombak.
“Ilmu
meringankan tubuhnya sangat menarik”, - desis Pandan Wangi.
Sementara
itu, Sekar Mirah mencoba untuk semakin menekan lawannya. Dalam gebrakan awal ia
sudah melihat kelebihan lawannya dalam ilmu meringankan tubuh, karena itu ia
berusaha melibat laki-laki berpakaian gelap itu
agar bisa bertarung dalam jarak pendek. Tongkatnya berputar cepat dan
sekali-kali terayun keras mengancam bagian-bagian tubuh yang berbahaya.
Lawannya
terlihat menggerakkan senjata trisulanya dengan cepat sambil menggeser kakinya
ke samping. Ia berusaha mengambil jarak dengan melompat mundur sejauh mungkin,
akan tetapi Sekar Mirah terus mengejarnya dan menempelnya dengan ketat. Tidak
dapat dihindari, pertarungan jarak pendek itu mengakibatkan beberapa kali
benturan senjata yang mengakibatkan percikan api di udara.
Untuk
kesekian kali, Kiai Garda melihat betapa wajah laki-laki berpakaian hijau gelap
yang tadi terlihat kosong itu kini menampakkan keterkejutan. Tangannya yang
memegang tombak pendek atau trisula itu terlihat tergetar bahkan hampir saja
senjatanya itu terlepas. Benturan senjatanya dengan tongkat baja putih yang di
pegang Sekar Mirah itu mampu membuat wajah kosongnya berubah. Ia merasakan
tenaga yang sangat besar membentur tenaganya dan seolah menyentuh pula syaraf
kesadarannya.
“Nah Ki
Sanak, apakah sekarang kau bersedia menjawab pertanyaan kami? Atau kita harus
melanjutkan pertarungan hingga salah satu harus terkapar di tanah?,” – suara
Sekar Mirah terdengar semakin berat.
Sekar Mirah
melangkah maju sambil mengacungkan senjatanya. Akan tetapi, ia melihat betapa
wajah laki-laki berpakaian gelap itu kembali kosong seolah mengabaikan semua perkataannya.
Hal itu membangkitkan kemarahan Sekar Mirah, sehingga tanpa menunda lagi ia
melompat dan melancarkan serangan berbahaya ke tubuh lawannya.
Kembali
pertarungan itu berlangsung dengan sengitnya di tengah udara malam yang mulai
dingin. Tongkat Sekar Mirah bagaikan gumpalan putih yang bergulung-gulung
mengurung dan hendak melumatkan lawannya dengan ayunan-ayunan yang sangat
keras. Dari beberapa kali benturan yang terjadi, Sekar Mirah menyakini bahwa ia
mempunyai sedikit kelebihan dalam hal tenaga dibanding lawannya. Karena itu ia
sengaja tidak memberi kesempatan lawannya untuk menghindar atau paling tidak
membenturkan senjata keduanya.
Laki-laki
berpakaian gelap itu ternyata cukup ulet, betapapun ia dikurung dan dihujani
Sekar Mirah dengan serangan beruntun, ia masih mampu menghindarinya dengan
baik. Pertarungan jarak pendek itu meskipun sedikit menyulitkannya akan tetapi
gerak menghindar atau menepis senjata lawan kesamping dikuasainya dengan sangat
baik. Tongkat baja putih itu kadang hanya berjarak tiga-empat jari dari kulit
tubuhnya, hanya saja sama sekali belum menyentuhnya. Sementara, sodokan atau
ayunan tongkat yang seolah tidak mungkin dihindarinya ternyata masih bisa
ditepis dan dibelokkan arahnya dengan tombak pendek bermata tiga ditangannya.
Sekar Mirah
seolah menjelma menjadi seekor burung rajawali ganas yang terbang berputaran
sambil mengancam lawan dengan kuku-kukunya yang tajam. Akan tetapi lawannya
yang berpakaian gelap itu juga berubah menjadi seekor ular yang sangat licin
dan selalu mampu menghindari serangannya dengan gerak kepala yang cepat dan tubuhnya
yang gesit.
Pertarungan
itu meningkat dengan sangat cepat. Watak Sekar Mirah yang pada dasarnya memang
tidak sabaran serta kegusarannya melihat lawan yang tidak mau berbicara dan
seolah mengabaikannya itu membuat tandangnya semakin keras. Dengan cepat ia
meningkatkan tenaga cadangannya sehingga berpengaruh pada kecepatan maupun
derasnya ayunan tongkatnya.
Laki-laki
itu semakin terdesak dan beberapa kali hampir saja tubuhnya tersambar tongkat baja
putih itu. Akan tetapi agaknya laki-laki itu juga mempunyai pengalaman yang
sangat luas dan tidak gampang menyerah. Betapapun sulit keadaannya, ia masih
saja mampu menghindar dengan gerakan yang kadang-kadang tidak terduga.
Kiai Garda
dan Pandan Wangi yang berada di luar arena mengamati pertarungan itu tanpa
berkedip. Selain mengagumi tenaga dan gerak tongkat Sekar Mirah yang
bergulung-gulung mengurung lawan, perhatian mereka lebih banyak tertuju pada
laki-laki berpakaian gelap yang masih saja mampu menghindari semua serangan
Sekar Mirah.
Gerakan-gerakannya
begitu aneh dan jarang mereka lihat, laki-laki itu sangat menguasai keseluruhan
anggota tubuhnya sehingga setiap gerakan kecil dari anggota tubuhnya mampu
merubah posisi dan menghindari serangan yang mengancamnya. Terkadang ketika
tidak ada kesempatan lagi untuk melompat mundur, laki-laki itu mampu
mengecilkan perutnya dengan cepat sehingga tongkat Sekar Mirah berselisih tiga,
empat jari tanpa menyentuh tubuhnya. Dikesempatan lain, ia mampu menekuk pinggangnya
kedalam dan semua gerakan itu terjadi dengan sendirinya untuk menghindari semua
serangan ke arahnya.
Ketika
laki-laki itu mempunyai kesempatan, ia segera melontarkan tubuhnya jauh
kebelakang untuk mengambil jarak. Hanya saja, Sekar Mirah memang sengaja
menempel dan melompat menyusulnya sambil mempersiapkan sebuah serangan susulan.
Tetapi
jantung Sekar Mirah tiba-tiba berdegup kencang dan dengan cepat ia terpaksa
menghentikan seluruh serangannya. Ia benar-benar terperanjat bukan kepalang dan
ingatannya langsung tertuju pada kemampuan Agung Sedayu suaminya. Dihadapannya
kini berdiri bukan hanya satu laki-laki berpakaian gelap yang selama ini
menjadi lawannya, melainkan ada tiga orang.
Ketiga
lawannya itu semuanya berpakaian gelap dan menggenggam senjata trisula ditangan
kanannya. Tidak ada yang berbeda satu sama yang lain, mirip tanpa cela.
“Apakah
orang ini juga menguasai aji Kakang Kawah Adi Ari-ari sebagaimana kakang Agung
Sedayu?”, - Sekar Mirah masih belum bisa menguasai kejutan perasaannya.
Belum hilang
rasa terkejutnya, Sekar Mirah terpaksa melompat menghindar jauh untuk mengambil
jarak. Lawannya yang sudah berubah menjadi tiga orang itu tiba-tiba
menyerangnya sambil melakukan gerak melompat saling silang untuk mengaburkan
penilaian lawan. Tombak pendek bermata tiga itu kini ada tiga buah ditangan
tiga lawan yang berbeda serta menyerangnya dari tiga arah yang berbeda pula.
Kini keadaan
menjadi berbalik sama sekali, Sekar Mirahlah yang sekarang dikurung dan didera
serangan dari segala penjuru. Sembilan mata tombak itu kini menari-nari
mengitari tubuhnya sehingga ia tidak mempunyai kesempatan untuk balas
menyerang. Dengan menggeram Sekar Mirah meningkatkan tenaga cadangannya hampir
sampai ke puncak sambil memutar tongkat baja putihnya membentuk benteng yang
melindungi tubuhnya dari serangan yang datang. Tercipta kabut putih yang
bergulung-gulung menimbulkan suara menderu-deru disertai angin tajam yang
menyebar ke segala arah.
Bukan main
kagumnya Kiai Garda melihat tandang Sekar Mirah yang disertai peningkatan
tenaga cadangannya. Putaran tongkat itu begitu rapat dan tidak ada yang mampu
menembusnya, disaat yang sama putaran itu merupakan pertahanan yang justru bisa
mematikan lawan jika terjadi benturan.
Demikianlah,
pertempuran itu meskipun bertambah sengit akan tetapi untuk sesaat seolah tidak
terjadi perubahan. Agaknya laki-laki berpakaian gelap itu cukup menyadari
betapa berbahayanya putaran tongkat baja putih ditangan perempuan yang menjadi lawannya.
Dengan mengandalkan kecepatan geraknya, laki-laki berpakaian gelap itu berusaha
menghindari terjadinya benturan senjata dan terus mencoba mengurung serta mencari
celah untuk bisa menembus putaran itu tanpa membenturnya.
Keringat
mulai mengucur deras di wajah Sekar Mirah, sambil terus bertarung ia mencoba
mengingat-ingat apa yang pernah di dengarnya tentang aji Kakang Kawah Adi Ari-ari
dari suaminya Agung Sedayu yang menguasai ajian ini dengan sangat baik.
Terlebih peristiwa yang baru saja terjadi atas munculnya ribuan kelelawar itu
semakin memperkuat kecurigaannya.
Karena itu,
Sekar Mirah berusaha memusatkan segenap nalar budinya untuk memperhatikan
keadaan lawannya. Peningkatan nalar budi untuk mempertajam aji sapta panggraita
itu sedikit banyak mempengaruhi gerak putaran tongkatnya yang sedikit melamban.
Hal itu terlihat oleh lawannya yang segera meningkatkan serangannya yang datang
membadai. Ada sedikit lubang-lubang yang tercipta akibat gerak lamban Sekar
Mirah. Dalam sekejab, waktu itu dimanfaatkan lawan dengan sebaik-baiknya, tombak
pendek bermata tiga itu secara bersamaan melakukan gerakan menusuk yang sangat
cepat dengan sasaran tubuh bagian atas Sekar Mirah.
Gerakan
laki-laki berpakaian gelap itu begitu cepat dan bertenaga serta datang dari
tiga arah yang berlawanan. Agaknya Sekar Mirah terlambat menyadari melambannya
gerak putaran tongkatnya, sehingga kini justru sangat membahayakan dirinya yang
terancam serangan ganas dari tiga tombak pendek bermata trisula itu.
Kiai Garda
dan Pandan Wangi terpekik kecil melihat keadaan yang sangat gawat yang sedang
di alami Sekar Mirah. Sebagai orang yang berada di luar pertarungan, sebenarnya
mereka sangat memahami apa yang sedang di lakukan oleh lawannya. Akan tetapi
ada rasa segan untuk berteriak memberi peringatan kepada Sekar Mirah tentang
apa yang sedang dihadapinya. Hal ini terjadi karena - meskipun tidak berjanji -
sejak awal pertarungan ini bagaikan perang tanding antara dua orang yang sedang
bergerak di arena. Jiwa ksatria mereka mencegahnya untuk ikut campur meskipun
dengan hanya memberi peringatan. Kini Sekar Mirah berada pada keadaan yang
sangat mengancam jiwanya.
Degup jantung
Pandan Wangi berdetak kencang, kedua pedang tipis di tangannya bergetar. Rasanya
ia tidak mungkin berdiam diri melihat keadaan Sekar Mirah yang terancam
nyawanya. Tanpa berpikir panjang lagi ia segera menarik nafas pendek-pendek dan
menyimpannya di dada, dalam sekejab ia sudah mengetrapkan dan berada pada
puncak kemampuan ajian Asta Sewu.
“Biarlah
Sekar Mirah marah dan tersinggung karena tindakanku. Aku hanya tidak bisa
melihatnya mati dalam pertarungan ini,” – geram Pandan Wangi dalam hati.
Salam,
Ries
No comments:
Post a Comment