BALADA
SWANDARU GENI
Bab IV:
Hilangnya Seorang Swandaru Geni
Babak – 10
Setelah
mengikat tali kudanya ke batang pohon yang tumbuh agak jauh dari mulut hutan
itu, ketiganya segera berdiri berjajar sambil memandang lurus ke depan. Mata
dan telinga mereka pasang sebaik-baiknya sementara tangan mereka sudah siap
bergerak menghunus senjata apabila diperlukan.
“Aku merasa
aneh, apakah Nyai berdua juga merasakan keanehan ini?”, - desis Kiai Garda.
“Keanehan
yang mana Kiai?”, - tanya Sekar Mirah dan Pandan Wangi berbarengan.
“Bau ini!”,
- suara Kiai Garda tercekat dan terdengar terburu-buru.
Bukan main
terperanjatnya kedua perempuan yang mempunyai banyak kelebihan itu, mereka kini
seolah baru tersadarkan. Bau itu datang sedemikian mendadak tanpa mereka sadari
dan langsung menyengat indra penciuman mereka. Dalam sekejab hampir saja
ketiganya memuntahkan isi perutnya akibat bau yang sedemikian busuk, bahkan
lebih busuk dari bangkai yang sudah berumur beberapa hari.
Akan tetapi
mereka bertiga bukanlah orang kebanyakan, karena itu dengan cepat mereka segera
menutup indra penciumannya dan mengatur nafas melalui mulut. Seandainya
terlambat sedikit saja, agaknya bau itu akan menyerang syaraf kesadaran
sehingga selain memuntahkan isi perut, mereka akan sulit untuk berkonsentrasi.
Dengan
perasaan tegang ketiganya kembali memandang lurus ke mulut hutan yang agaknya
adalah sumber munculnya bau busuk dan menyengat itu. Tetapi hingga beberapa
saat ternyata tidak ada kejadian apapun.
Kiai Garda
tidak mau kehilangan kewaspadaan, ia merasakan ada sesuatu yang sedang
mengintai dan belum memunculkan diri. Sesuatu yang mempunyai kesan sangat
mendirikan bulu roma, hanya saja ia sendiri belum tahu apakah gerangan makhluk
pengintai itu dan bagaimana bentuknya.
Setelah
membuat pertimbangan beberapa saat, akhirnya Kiai Garda maju tiga langkah ke
depan sambil berbisik kepada Sekar Mirah dan Pandan Wangi.
“Nyi berdua,
aku akan mencoba memunculkan makhluk yang mengintai dan menunggu kita lengah.
Tolong agak mundur dan berdiri merapat untuk bisa saling menjaga”
Sekar Mirah
dan Pandan Wangi tidak menjawab melainkan langsung bergeser dan berdiri saling
merapat tepat di belakang Kiai Garda. Keduanya memang merasakan ada sesuatu
yang sedang mengintai mereka, akan tetapi seperti juga Kiai Garda, mereka tidak
tahu apa dan dimanakah makhluk pengintai itu berada.
Sambil
berdiri tegak, Kiai Garda menundukkan wajahnya dalam-dalam sementara kedua
tangannya berdedekap di depan dada. Ia mencoba mengerahkan semua simpanan yang
ada dalam dirinya, terutama dengan mengetrapkan ajian sapta pandulu, sapta pangganda
dan sapta panggraita untuk dapat mengetahui keadaan yang masih gelap di
hadapannya. Gelap dalam arti sesungguhnya bahwa senja mulai memasuki waktu
malam, sementara bahaya apa yang sedang
mengancam mereka juga terasa masih gelap.
Tidak lama
kemudian Kiai Garda sudah melepaskan sikap sedekap tangannya dan kini sudah
berdiri seperti biasa. Akan tetapi ia kemudian bergeser dan berjalan
pelan-pelan mendekati kudanya yang bernama Turangga Kliwon. Tangan Kiai Garda
kemudian meraih sesuatu dari buntalan kain yang tergantung di pelana kudanya
dan dengan cepat ia kemudian kembali ke tempatnya berdiri.
Di tangan
kiri Kiai Garda kini ada segenggam garam kasar yang ternyata selalu dibawanya
dalam setiap pengembaraannya.
Sekar Mirah
dan Pandan Wangi yang tidak tahu apa yang akan dilakukan Kiai Garda itu hanya bisa
mengerutkan keningnya tanpa bertanya. Mereka berdua sadar, bahwa saat-saat
seperti ini tidak tepat untuk mengajukan sebuah pertanyaan karena akan
mengganggu pemusatan pikiran dan tenaga Kiai Garda. Tetapi keduanya kemudian
melihat betapa mulut Kiai Garda bergerak-gerak tanpa suara seolah sedang
mengucapkan sebuah matra atau doa, yang kemudian di tiupkan ke arah tangan kirinya
yang sedang menggenggam garam itu. Kiai
Garda seolah sedang memasukkan daya matra dan kekuatan doanya ke dalam garam
yang ada di genggaman tangannya.
Setelah
menarik nafas dalam-dalam Kiai Garda sudah pada puncak pemusatan lakunya, lalu
dengan gerak cepat tangan kanannya mengambil sebagian garam tersebut dan di
lemparkannya ke atas dan ke segala
penjuru. Demikian dilakukannya berulang-ulang sehingga garam kasar di tangannya
itu tersisa sedikit saja.
Lemparan
Kiai Garda itu ternyata di lambari kekuatan cadangan yang besar, sehingga
meskipun hanya berbentuk garam, akan tetapi butiran-butiran itu melesat ke
udara bagaikan kerikil yang mempunyai bobot dan mempunyai jarak jangkau cukup
jauh dan tinggi. Udara di tepi hutan itu dipenuhi oleh butiran putih di segala
penjuru yang meluncur cepat ke udara, sesaat kemudian terdengar ledakan-ledakan
kecil yang susul-menyusul berulang kali. Garam itu ternyata meledak di udara
pada posisi saat lemparan mencapai puncak ketinggian. Meskipun ledakan itu
tidak terlalu keras, akan tetapi karena banyaknya ledakan yang mungkin mencapai
ratusan dan saling susul-menyusul, maka getaran ledakan itu membuat seisi dada
bergetar.
Bersamaan
dengan ledakan-ledakan kecil itu, terdengar suara bergemuruh seolah jerit
kemarahan yang membahana dan menyakitkan telinga. Suasana di hutan itu terasa
sangat mencekam dan mendirikan bulu kuduk siapapun yang berada di sekitar hutan
ini.
Sambil
menunggu apa yang akan muncul, Kiai Garda sempat berbisik lirih kepada Sekar
Mirah dan Pandan Wangi - ,”Nyai berdua, cepat segera telan ramuan pelemah racun
yang kemarin aku berikan. Aku merasakan ada hawa beracun sedang menghampiri
kita”
Tanpa
menunggu jawaban, Kiai Garda sendiri segera meraih dua butir obat pelemah racun
dari kantong ikat pinggangnya dan langsung menelannya. Dengan cepat Sekar Mirah
dan Pandan Wangi segera melakukan hal yang sama dengan menelan dua butir ramuan
obat yang diberikan Kiai Garda sebelumnya.
Ketika baru
saja butir terakhir melewati kerongkongan ketiganya, tiba-tiba langit di
pinggiran hutan itu dipenuhi kegelapan yang pekat. Puluhan atau bahkan ratusan
suara terdengar nyaring dan berkaok-kaok memekakkan telinga dibarengi bau yang
menusuk tajam.
Dengan gerak
naluriah, ketiganya segera mengangkat wajahnya memandang ke arah langit. Saat
itulah mereka melihat pemandangan yang belum pernah mereka lihat seumur hidup.
Gelap di langit bukan karena tertutup oleh awan hitam yang pekat, melainkan ada
ratusan atau bahkan mungkin ribuan binatang terbang yang sedang mengepakkan
sayapnya secara berbarengan dan kini sedang menukik menuju ke arah ketiganya.
“Kelelawar!”,
- teriak ketiganya bersamaan sambil meloncat mundur beberapa langkah.
Betapa
tercekatnya hati Kiai Garda, rintangan yang kini ada di depannya ini
benar-benar sesuatu yang sangat tidak biasa. Segera tangannya meraih sesuatu di
punggungnya dan kini ia telah menggenggam sebuah tongkat berwarna kehitaman
yang di beri nama Galih Wulung. Sambil mempersiapkan diri Kiai Garda masih
sempat mempertajam pemusatan aji sapta pandulu dan panggraitanya.
Tetapi
kesempatan untuk menilai dan membuat pertimbangan dalam menghadapi situasi ini
memang sangat terbatas. Sekar Mirah dan Pandan Wangi yang juga sudah
menggenggam senjata di tangan masing-masing itu tiba-tiba saja terpaksa
bergerak ketika tubuhnya disambar puluhan kelelawar yang mengeluarkan suara
mencicit dan gaduh.
Pandan Wangi
menggeram, disaat hatinya di penuhi oleh rasa kuatir atas nasib Swandaru, kini
ternyata ia harus menghadapi rintangan yang aneh, akan tetapi tidak bisa di
hindarinya. Karena itu, tiba-tiba saja ia tidak dapat menahan diri lagi, kedua
pedangnya berputaran dengan cepat sementara kakinya berloncatan membentuk
formasi segi delapan yang akan menjadi ajang pertarungannya melawan ratusan
atau bahkan ribuan kelelawar yang menyambarnya dari segala penjuru itu.
Kiai Garda
dan Sekar Mirah yang mengambil jarak agar bisa bertarung dengan leluasa itu
sempat melihat betapa sambil berteriak keras tubuh Pandan Wangi berkelebat
cepat sambil pedangnya berputaran menyambar-nyambar. Dalam sekejab, puluhan
kelelawar terbelah tubuhnya dan darah memuncrat ke segala arah. Akan tetapi
Pandan Wangi tidak mau berhenti, ia benar-benar ingin memuntahkan segala rasa
marah dan kecewa yang selama ini mencekam jantungnya kepada ratusan kelelawar
yang kini mengerumuninya. Ia ingin menumpahkan segala rasa kecewa dan bahkan
rasa kemarahan atas sikap suaminya selama ini, yang juga bercampur dengan rasa
kuatir karena nasib suami yang belum diketahuinya hingga saat ini. Bahwa
sekarang yang ada di depannya adalah gerombolan kelelawar yang sedang
menyerangnya, hal itu justru membuat panas darah Pandan Wangi meningkat dengan
cepat. Pandan Wangi seolah menemukan saluran yang tepat untuk mengungkap semua
rasa yang selama ini terpedam perih di dalam dadanya.
Dalam gerak
yang serba cepat, tiba-tiba ayunan tangan Pandan Wangi yang menggenggam
sepasang pedang tipis itu jumlahnya berubah menjadi ratusan bahkan ribuan
layaknya jumlah kelelawar itu. Bergerak melenting ke samping, melejit ke atas
dan berputar pada sumbu kakinya dengan pedang tipis yang menebas serta berputar
membantai setiap kelelawar yang berada dalam jarak jangkaunya. Setiap kali
kedua pedangnya berkelebat, saat itu pula puluhan kelelawar meregang nyawa
setelah tubuhnya terbelah dan memancarkan darah segar. Pandan Wangi bagaikan
malaikat yang mempunyai ribuan tangan dan siap mencabut ribuan kelelawar yang
menyerangnya itu.
Dalam awal
gebrakan Pandan Wangi langsung mengetrapkan ajian Asta Sewu.
“Bukan main!”,
- desis Kiai Garda.
Betapa
kagumnya Kiai Garda melihat gerak Pandan Wangi yang serba cepat dan tanpa
ragu-ragu itu. Tangannya benar-benar berubah menjadi ribuan dan membuat perisai
yang sangat rapat melindungi tubuhnya. Meski tidak ada satupun kelelawar yang
mampu menembus putaran sepasang pedang tipis Pandan Wangi, akan tetapi cipratan
darah kelelawar itu terpercik ke segala arah. Hebatnya, hingga sekian lama
ternyata pakaian di tubuh Pandan Wangi masih bersih tanpa ada noda darah dari
kelelawar yang terbantai itu. Ini menunjukkan betapa putaran pedang Pandan
Wangi sangat rapat menjaga tubuhnya, bukan saja dari kelelawar yang
menyerangnya melainkan juga dari
cipratan darah yang memercik ke arahnya. Sebagai akibatnya, kedua pedang
Pandan Wangi kini warnanya benar-benar merah terlumuri darah!
Puluhan dan
bahkan ratusan bangkai kelelawar itu kini berserakan di tanah.
Sementara
Sekar Mirah yang melihat tandang Pandan Wangi yang seolah waringuten itu jadi ikut
terbawa arus. Ia sedikit banyak bisa merasakan perasaan yang membebani istri
kakaknya itu yang kini sedang menumpahkannya kepada gerombolan kelelawar yang
menyerangnya. Dengan menggeretakkan giginya, Sekar Mirah membuang semua rasa
jijik kepada kelelawar-kelelawar itu dan tongkat baja putih berputar dengan sangat
cepat.
Sekar Mirah
sadar bahwa ia tidak dapat bergerak dan melompat-lompat dengan cepat
sebagaimana yang dilakukan oleh Pandan Wangi. Karena itu ia mengandalkan tenaga
cadangannya yang tersalur melalui tongkat baja putihnya. Tongkatnya berputar sangat
cepat dan menimbulkan suara menderu-deru, sambaran anginnya sudah membuat
gerombolan kelelawar itu bagaikan tersibak dan berjatuhan ke tanah. Sementara
kepala tongkatnya dalam sekali ayun mampu meremukkan beberapa kelelawar dalam
garis jangkauannya.
Meskipun
tidak banyak berloncatan, akan tetapi karena posisinya memang sedang
mempertahankan diri, maka Sekar Mirah memutuskan untuk hanya berputar di poros
tubuh yang di tentukannya sendiri. Sementara putaran tubuh dan tongkatnya
senantiasa menebar angin keras yang langsung membuat rontok gerombolan
kelelawar yang menyerangnya itu.
Kiai Garda
merasa sedikit lega melihat tandang dua orang perempuan yang menjadi teman
seperjalanan-nya itu.
Awalnya ia
merasa terbebani oleh rasa bertanggung-jawab dan kuatir atas keselamatan kedua
perempuan itu, akan tetapi ternyata mereka bisa melindungi dirinya sendiri.
“Benar-benar
perempuan yang sangat perkasa. Bahkan aku kira kemampuan keduanya tidak di
bawah kemampuan Ki Swandaru”, - desis Kiai Garda dalam hati.
Melihat
kenyataan itu Kiai Garda merasa lebih tenang dan karena itu sambil memutar
tongkat Galih Wulungnya, ia-pun menghalau dan memukul roboh puluhan kelelawar
dalam sekali ayun. Sadar akan jumlah kelelawar yang begitu banyak, Kiai Garda
menyalurkan hawa murni dalam tubuhnya yang bisa menimbulkan suhu panas,
sehingga setiap ayunan Galih Wulung kini membawa udara yang teramat panas.
Udara panas itu seolah menyibak gerombolan kelelawar yang nekat menyerang dan
sebagian bahkan terbakar hangus ketika tersentuh tongkat Galih Wulung.
Sambil terus
bertarung Kiai Garda berusaha menajamkan indra perasa-nya melalui ajian sapta
pandulu dan sapta panggraita. Sesungguhnya
ia merasa heran bahwa kelelawar-kelelawar itu seolah tidak mengenal takut sama
sekali. Layaknya seekor binatang, seharusnya mereka masih mempunyai rasa takut
ketika melihat gerombolan atau kawan-nya terbantai oleh mereka bertiga dan kini
berserakan di tanah. Akan tetapi kelelawar itu dengan wuru terus menyerbu
mereka seolah tiada habisnya.
Saat itulah,
panggraita Kiai Garda saling bersentuhan dengan sangat halus dan syaraf
penglihatannya segera melihat sesuatu yang selama ini lepas dari perhatian dan
sikap kehati-hatiannya. Dicobanya untuk meyakinkan penggraitanya dan akhirnya dengan
tergesa-gesa Kiai Garda segera meloncat mundur, mendekati Pandan Wangi dan
Sekar Mirah yang masih terus bertarung.
“Bodohnya
aku”, - geram Kiai Garda tanpa ada seseorangpun yang mendengar.
Salam,
Ries
No comments:
Post a Comment