Thursday, July 20, 2017

BSG - BAB.IV - HSSG - Babak-10

BALADA SWANDARU GENI
Bab IV: Hilangnya Seorang Swandaru Geni
Babak – 10



Setelah mengikat tali kudanya ke batang pohon yang tumbuh agak jauh dari mulut hutan itu, ketiganya segera berdiri berjajar sambil memandang lurus ke depan. Mata dan telinga mereka pasang sebaik-baiknya sementara tangan mereka sudah siap bergerak menghunus senjata apabila diperlukan.


“Aku merasa aneh, apakah Nyai berdua juga merasakan keanehan ini?”, - desis Kiai Garda.


“Keanehan yang mana Kiai?”, - tanya Sekar Mirah dan Pandan Wangi berbarengan.


“Bau ini!”, - suara Kiai Garda tercekat dan terdengar terburu-buru.


Bukan main terperanjatnya kedua perempuan yang mempunyai banyak kelebihan itu, mereka kini seolah baru tersadarkan. Bau itu datang sedemikian mendadak tanpa mereka sadari dan langsung menyengat indra penciuman mereka. Dalam sekejab hampir saja ketiganya memuntahkan isi perutnya akibat bau yang sedemikian busuk, bahkan lebih busuk dari bangkai yang sudah berumur beberapa hari.


Akan tetapi mereka bertiga bukanlah orang kebanyakan, karena itu dengan cepat mereka segera menutup indra penciumannya dan mengatur nafas melalui mulut. Seandainya terlambat sedikit saja, agaknya bau itu akan menyerang syaraf kesadaran sehingga selain memuntahkan isi perut, mereka akan sulit untuk berkonsentrasi.


Dengan perasaan tegang ketiganya kembali memandang lurus ke mulut hutan yang agaknya adalah sumber munculnya bau busuk dan menyengat itu. Tetapi hingga beberapa saat ternyata tidak ada kejadian apapun.


Kiai Garda tidak mau kehilangan kewaspadaan, ia merasakan ada sesuatu yang sedang mengintai dan belum memunculkan diri. Sesuatu yang mempunyai kesan sangat mendirikan bulu roma, hanya saja ia sendiri belum tahu apakah gerangan makhluk pengintai itu dan bagaimana bentuknya.


Setelah membuat pertimbangan beberapa saat, akhirnya Kiai Garda maju tiga langkah ke depan sambil berbisik kepada Sekar Mirah dan Pandan Wangi.


“Nyi berdua, aku akan mencoba memunculkan makhluk yang mengintai dan menunggu kita lengah. Tolong agak mundur dan berdiri merapat untuk bisa saling menjaga”

Sekar Mirah dan Pandan Wangi tidak menjawab melainkan langsung bergeser dan berdiri saling merapat tepat di belakang Kiai Garda. Keduanya memang merasakan ada sesuatu yang sedang mengintai mereka, akan tetapi seperti juga Kiai Garda, mereka tidak tahu apa dan dimanakah makhluk pengintai itu berada.


Sambil berdiri tegak, Kiai Garda menundukkan wajahnya dalam-dalam sementara kedua tangannya berdedekap di depan dada. Ia mencoba mengerahkan semua simpanan yang ada dalam dirinya, terutama dengan mengetrapkan ajian sapta pandulu, sapta pangganda dan sapta panggraita untuk dapat mengetahui keadaan yang masih gelap di hadapannya. Gelap dalam arti sesungguhnya bahwa senja mulai memasuki waktu malam, sementara bahaya apa yang  sedang mengancam mereka juga terasa masih gelap.


Tidak lama kemudian Kiai Garda sudah melepaskan sikap sedekap tangannya dan kini sudah berdiri seperti biasa. Akan tetapi ia kemudian bergeser dan berjalan pelan-pelan mendekati kudanya yang bernama Turangga Kliwon. Tangan Kiai Garda kemudian meraih sesuatu dari buntalan kain yang tergantung di pelana kudanya dan dengan cepat ia kemudian kembali ke tempatnya berdiri.


Di tangan kiri Kiai Garda kini ada segenggam garam kasar yang ternyata selalu dibawanya dalam setiap pengembaraannya.


Sekar Mirah dan Pandan Wangi yang tidak tahu apa yang akan dilakukan Kiai Garda itu hanya bisa mengerutkan keningnya tanpa bertanya. Mereka berdua sadar, bahwa saat-saat seperti ini tidak tepat untuk mengajukan sebuah pertanyaan karena akan mengganggu pemusatan pikiran dan tenaga Kiai Garda. Tetapi keduanya kemudian melihat betapa mulut Kiai Garda bergerak-gerak tanpa suara seolah sedang mengucapkan sebuah matra atau doa, yang kemudian di tiupkan ke arah tangan kirinya yang sedang  menggenggam garam itu. Kiai Garda seolah sedang memasukkan daya matra dan kekuatan doanya ke dalam garam yang ada di genggaman tangannya.


Setelah menarik nafas dalam-dalam Kiai Garda sudah pada puncak pemusatan lakunya, lalu dengan gerak cepat tangan kanannya mengambil sebagian garam tersebut dan di lemparkannya ke atas dan ke  segala penjuru. Demikian dilakukannya berulang-ulang sehingga garam kasar di tangannya itu tersisa sedikit saja.


Lemparan Kiai Garda itu ternyata di lambari kekuatan cadangan yang besar, sehingga meskipun hanya berbentuk garam, akan tetapi butiran-butiran itu melesat ke udara bagaikan kerikil yang mempunyai bobot dan mempunyai jarak jangkau cukup jauh dan tinggi. Udara di tepi hutan itu dipenuhi oleh butiran putih di segala penjuru yang meluncur cepat ke udara, sesaat kemudian terdengar ledakan-ledakan kecil yang susul-menyusul berulang kali. Garam itu ternyata meledak di udara pada posisi saat lemparan mencapai puncak ketinggian. Meskipun ledakan itu tidak terlalu keras, akan tetapi karena banyaknya ledakan yang mungkin mencapai ratusan dan saling susul-menyusul, maka getaran ledakan itu membuat seisi dada bergetar.


Bersamaan dengan ledakan-ledakan kecil itu, terdengar suara bergemuruh seolah jerit kemarahan yang membahana dan menyakitkan telinga. Suasana di hutan itu terasa sangat mencekam dan mendirikan bulu kuduk siapapun yang berada di sekitar hutan ini.


Sambil menunggu apa yang akan muncul, Kiai Garda sempat berbisik lirih kepada Sekar Mirah dan Pandan Wangi - ,”Nyai berdua, cepat segera telan ramuan pelemah racun yang kemarin aku berikan. Aku merasakan ada hawa beracun sedang menghampiri kita”


Tanpa menunggu jawaban, Kiai Garda sendiri segera meraih dua butir obat pelemah racun dari kantong ikat pinggangnya dan langsung menelannya. Dengan cepat Sekar Mirah dan Pandan Wangi segera melakukan hal yang sama dengan menelan dua butir ramuan obat yang diberikan Kiai Garda sebelumnya.


Ketika baru saja butir terakhir melewati kerongkongan ketiganya, tiba-tiba langit di pinggiran hutan itu dipenuhi kegelapan yang pekat. Puluhan atau bahkan ratusan suara terdengar nyaring dan berkaok-kaok memekakkan telinga dibarengi bau yang menusuk tajam. 


Dengan gerak naluriah, ketiganya segera mengangkat wajahnya memandang ke arah langit. Saat itulah mereka melihat pemandangan yang belum pernah mereka lihat seumur hidup. Gelap di langit bukan karena tertutup oleh awan hitam yang pekat, melainkan ada ratusan atau bahkan mungkin ribuan binatang terbang yang sedang mengepakkan sayapnya secara berbarengan dan kini sedang menukik menuju ke arah ketiganya.


“Kelelawar!”, - teriak ketiganya bersamaan sambil meloncat mundur beberapa langkah.


Betapa tercekatnya hati Kiai Garda, rintangan yang kini ada di depannya ini benar-benar sesuatu yang sangat tidak biasa. Segera tangannya meraih sesuatu di punggungnya dan kini ia telah menggenggam sebuah tongkat berwarna kehitaman yang di beri nama Galih Wulung. Sambil mempersiapkan diri Kiai Garda masih sempat mempertajam pemusatan aji sapta pandulu dan panggraitanya.


Tetapi kesempatan untuk menilai dan membuat pertimbangan dalam menghadapi situasi ini memang sangat terbatas. Sekar Mirah dan Pandan Wangi yang juga sudah menggenggam senjata di tangan masing-masing itu tiba-tiba saja terpaksa bergerak ketika tubuhnya disambar puluhan kelelawar yang mengeluarkan suara mencicit dan gaduh.


Pandan Wangi menggeram, disaat hatinya di penuhi oleh rasa kuatir atas nasib Swandaru, kini ternyata ia harus menghadapi rintangan yang aneh, akan tetapi tidak bisa di hindarinya. Karena itu, tiba-tiba saja ia tidak dapat menahan diri lagi, kedua pedangnya berputaran dengan cepat sementara kakinya berloncatan membentuk formasi segi delapan yang akan menjadi ajang pertarungannya melawan ratusan atau bahkan ribuan kelelawar yang menyambarnya dari segala penjuru itu.


Kiai Garda dan Sekar Mirah yang mengambil jarak agar bisa bertarung dengan leluasa itu sempat melihat betapa sambil berteriak keras tubuh Pandan Wangi berkelebat cepat sambil pedangnya berputaran menyambar-nyambar. Dalam sekejab, puluhan kelelawar terbelah tubuhnya dan darah memuncrat ke segala arah. Akan tetapi Pandan Wangi tidak mau berhenti, ia benar-benar ingin memuntahkan segala rasa marah dan kecewa yang selama ini mencekam jantungnya kepada ratusan kelelawar yang kini mengerumuninya. Ia ingin menumpahkan segala rasa kecewa dan bahkan rasa kemarahan atas sikap suaminya selama ini, yang juga bercampur dengan rasa kuatir karena nasib suami yang belum diketahuinya hingga saat ini. Bahwa sekarang yang ada di depannya adalah gerombolan kelelawar yang sedang menyerangnya, hal itu justru membuat panas darah Pandan Wangi meningkat dengan cepat. Pandan Wangi seolah menemukan saluran yang tepat untuk mengungkap semua rasa yang selama ini terpedam perih di dalam dadanya.


Dalam gerak yang serba cepat, tiba-tiba ayunan tangan Pandan Wangi yang menggenggam sepasang pedang tipis itu jumlahnya berubah menjadi ratusan bahkan ribuan layaknya jumlah kelelawar itu. Bergerak melenting ke samping, melejit ke atas dan berputar pada sumbu kakinya dengan pedang tipis yang menebas serta berputar membantai setiap kelelawar yang berada dalam jarak jangkaunya. Setiap kali kedua pedangnya berkelebat, saat itu pula puluhan kelelawar meregang nyawa setelah tubuhnya terbelah dan memancarkan darah segar. Pandan Wangi bagaikan malaikat yang mempunyai ribuan tangan dan siap mencabut ribuan kelelawar yang menyerangnya itu.


Dalam awal gebrakan Pandan Wangi langsung mengetrapkan ajian Asta Sewu.


“Bukan main!”, - desis Kiai Garda.


Betapa kagumnya Kiai Garda melihat gerak Pandan Wangi yang serba cepat dan tanpa ragu-ragu itu. Tangannya benar-benar berubah menjadi ribuan dan membuat perisai yang sangat rapat melindungi tubuhnya. Meski tidak ada satupun kelelawar yang mampu menembus putaran sepasang pedang tipis Pandan Wangi, akan tetapi cipratan darah kelelawar itu terpercik ke segala arah. Hebatnya, hingga sekian lama ternyata pakaian di tubuh Pandan Wangi masih bersih tanpa ada noda darah dari kelelawar yang terbantai itu. Ini menunjukkan betapa putaran pedang Pandan Wangi sangat rapat menjaga tubuhnya, bukan saja dari kelelawar yang menyerangnya melainkan juga dari  cipratan darah yang memercik ke arahnya. Sebagai akibatnya, kedua pedang Pandan Wangi kini warnanya benar-benar merah terlumuri darah!


Puluhan dan bahkan ratusan bangkai kelelawar itu kini berserakan di tanah.


Sementara Sekar Mirah yang melihat tandang Pandan Wangi yang seolah waringuten itu jadi ikut terbawa arus. Ia sedikit banyak bisa merasakan perasaan yang membebani istri kakaknya itu yang kini sedang menumpahkannya kepada gerombolan kelelawar yang menyerangnya. Dengan menggeretakkan giginya, Sekar Mirah membuang semua rasa jijik kepada kelelawar-kelelawar itu dan tongkat baja putih berputar dengan sangat cepat.


Sekar Mirah sadar bahwa ia tidak dapat bergerak dan melompat-lompat dengan cepat sebagaimana yang dilakukan oleh Pandan Wangi. Karena itu ia mengandalkan tenaga cadangannya yang tersalur melalui tongkat baja putihnya. Tongkatnya berputar sangat cepat dan menimbulkan suara menderu-deru, sambaran anginnya sudah membuat gerombolan kelelawar itu bagaikan tersibak dan berjatuhan ke tanah. Sementara kepala tongkatnya dalam sekali ayun mampu meremukkan beberapa kelelawar dalam garis jangkauannya.


Meskipun tidak banyak berloncatan, akan tetapi karena posisinya memang sedang mempertahankan diri, maka Sekar Mirah memutuskan untuk hanya berputar di poros tubuh yang di tentukannya sendiri. Sementara putaran tubuh dan tongkatnya senantiasa menebar angin keras yang langsung membuat rontok gerombolan kelelawar yang menyerangnya itu.


Kiai Garda merasa sedikit lega melihat tandang dua orang perempuan yang menjadi teman seperjalanan-nya itu.


Awalnya ia merasa terbebani oleh rasa bertanggung-jawab dan kuatir atas keselamatan kedua perempuan itu, akan tetapi ternyata mereka bisa melindungi dirinya sendiri.


“Benar-benar perempuan yang sangat perkasa. Bahkan aku kira kemampuan keduanya tidak di bawah kemampuan Ki Swandaru”, - desis Kiai Garda dalam hati.


Melihat kenyataan itu Kiai Garda merasa lebih tenang dan karena itu sambil memutar tongkat Galih Wulungnya, ia-pun menghalau dan memukul roboh puluhan kelelawar dalam sekali ayun. Sadar akan jumlah kelelawar yang begitu banyak, Kiai Garda menyalurkan hawa murni dalam tubuhnya yang bisa menimbulkan suhu panas, sehingga setiap ayunan Galih Wulung kini membawa udara yang teramat panas. Udara panas itu seolah menyibak gerombolan kelelawar yang nekat menyerang dan sebagian bahkan terbakar hangus ketika tersentuh tongkat Galih Wulung.



Sambil terus bertarung Kiai Garda berusaha menajamkan indra perasa-nya melalui ajian sapta pandulu dan sapta  panggraita. Sesungguhnya ia merasa heran bahwa kelelawar-kelelawar itu seolah tidak mengenal takut sama sekali. Layaknya seekor binatang, seharusnya mereka masih mempunyai rasa takut ketika melihat gerombolan atau kawan-nya terbantai oleh mereka bertiga dan kini berserakan di tanah. Akan tetapi kelelawar itu dengan wuru terus menyerbu mereka seolah tiada habisnya.


Saat itulah, panggraita Kiai Garda saling bersentuhan dengan sangat halus dan syaraf penglihatannya segera melihat sesuatu yang selama ini lepas dari perhatian dan sikap kehati-hatiannya. Dicobanya untuk meyakinkan penggraitanya dan akhirnya dengan tergesa-gesa Kiai Garda segera meloncat mundur, mendekati Pandan Wangi dan Sekar Mirah yang masih terus bertarung.

“Bodohnya aku”, - geram Kiai Garda tanpa ada seseorangpun yang mendengar.




Salam,
Ries


No comments:

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...