Saturday, April 1, 2017

BALADA SWANDARU GENI - Babak-10


Pagi itu Kademangan Sangkal Putung turun hujan meskipun tidak terlalu lebat, bahkan ketika perlahan-lahan sinar mentari mulai menampakkan pesona jingganya di ufuk timur, masih tersisa gerimis yang memunculkan pelangi dengan pesona indahnya.

Kesejukan yang di tinggalkan malam masih terbawa hingga matahari naik sepengalah.
Sementara di rumah Ki Demang Sangkal Putung, terlihat Swandaru sudah mampu bersandar di pembaringan. Wajahnya sudah mulai terlihat kemerah-merahan, dan bahkan kini ia sedang menyantap bubur hangat untuk mengembalikan kondisi tubuhnya yang memang masih lelah.
Ki Demang, Pandan Wangi dan Sekar Mirah kini sudah tidak harus menungguinya bersama-sama, bahkan Sekar Mirah bisa mondar-mandir untuk melihat seisi rumah yang meninggalkan kenangan semasa kanak-kanaknya.

Wajah-wajah disekitarnya yang tadi malam begitu tegang dan kusut kini sudah kembali normal dan bersyukur bahwa keadaan Swandaru bisa pulih sedemikian cepatnya.

Ketika matahari memanjat semakin tinggi, terlihat beberapa ekor kuda masuk ke halaman rumah Ki Demang. Terlihat Agung Sedayu, Ki Widura dan seorang pengawal turun dari kudanya dengan pakaian basah kuyub akibat guyuran hujan pagi ini meskipun sebenarnya tidak terlalu deras.

Ki Demang yang menyambut mereka di halaman samping langsung mempersilahkan mereka ke pakiwan terlebih dahulu sambil menyuruh pembantunya untuk menyiapkan pakaian pengganti, sementara seorang pengawal itu langsung berpamitan.

Swandaru yang sebenarnya ingin bangkit dan menyambut kedatangan Ki Widura dan kakak seperguruannya itu terpaksa membatalkan niatnya ketika di cegah oleh Pandan Wangi.

“ Istirahatlah dulu kakang “, - katanya Pandan Wangi lembut,” – Paman Widura dan kakang Agung Sedayu masih akan ke pakiwan dulu karena pakaian keduanya basah kuyub. Sebentar lagi mereka pasti kesini “

Swandaru menarik nafas dalam-dalam, dari ayahnya - Ki Demang Sangkal Putung - ia sudah mendengar cerita bagaimana Agung Sedayu memunahkan ilmu yang di sebut Tunda Bantala dengan sarana dua buah jambangan berisikan babakan pohon kelor serta beberapa tumpukan serabut kelapa.
Betapa udara menjadi hangat dan bahkan panas sebelum kemudian salah satu jambangan yang terkena sorot mata Agung Sedayu yang kemerah-merahan itu kemudian meledak.

Meskipun ledakan itu sebenarnya cukup keras, tetapi isi dalam jambangan itu tidak keluar atau terloncat berhamburan. Seolah ledakan itu terjadi karena beban jambangan yang terbuat dari tanah liat itu terlalu berat, lalu retak dan pecah sementara isinya tetap ada di tempatnya.

Ketika di teliti, di jambangan yang tidak pecah mereka menemukan jambe berisi jarum emas yang tersangkut di sela-sela serabut kelapa atau sepet itu. Sementara, juga ditemukan beberapa gulungan rambut dengan bintik-bintik putih yang agaknya adalah bubuk beracun atau mungkin tumbukan dari macam-macam tulang.

Tengah Agung Sedayu dan yang lainnya memeriksa isi pecahan dalam jambangan itu, tiba-tiba saja mereka dikejutkan dengan langkah orang yang berlari cepat langsung masuk halaman. Tanpa memberi salam, pendatang itu langsung berteriak memanggil nama Ki Demang dengan nafas terengah-engah dan gugup.

“ Ki Jagabaya ! “

Wajah Ki Jagabaya yang baru saja datang itu terlihat tidak mampu menutupi kegugupannya. Ia lalu bercerita bahwa seorang warga Kademangan yang tinggal di padukuhan Menganti dan rumahnya terpencil dekat bulak panjang, dengan tubuh yang lemah akibat terkena lemparan pisau belati dipundaknya kini ada di rumah seorang tetangganya. Selanjutnya tetangga inilah yang melapor kepada Ki Jagabaya tentang adanya dua orang asing di rumah dekat bulak itu.

“ Menurut laporannya, kedua orang asing itu sedang berusaha mencelakai Ki Swandaru dengan ilmu teluh Ki Demang. Ia disekap selama beberapa hari sebelum akhirnya berhasil lolos meskipun di tubuhnya menancap pisau yang agaknya beracun. Kini aku sudah menyuruh tiga orang pengawal untuk menyiapkan kuda dan akan datang kesana untuk melihat. Bagaimana keadaan Ki Swandaru Ki Demang ?”, suara Ki Jagabaya tumpang suh akibat kegugupannya.

Saat itulah Agung Sedayu memutuskan untuk mendatangi rumah di dekat bulak itu bersama Ki Widura, Ki Jagabaya dan tiga orang pengawal. Sementara Ki Demang yang kemudian masuk ke rumah, melihat bahwa ternyata Swandaru sudah sadar dan kondisinya berangsur-angsur membaik.

Mendengar cerita ayahnya, kesadaran Swandaru bagaikan menukik sangat dalam melihat kenyataan bahwa kakak seperguruannya itu memang jauh melampaui kemampuannya.

Dalam ilmu kanuragan dan aji jaya kasantikan, ia sudah melihat betapa Agung Sedayu adalah orang yang tidak tertandingi. Kini bahkan dalam hal kawruh kajiwan dan ilmu teluh, Agung Sedayu telah mampu memunahkan serangan yang ditujukan kepadanya, dimana ia sama sekali tidak mampu berbuat apapun. Ia bahkan sesungguhnya tidak mengerti dan menyadari bahwa ia sedang diserang ilmu teluh.

Sayangnya, ketika kesadaran itu merasuk cukup dalam, di saat yang sama ada rasa entah sakit hati atau tidak terima akan hal itu.

Dari sudut hati Swandaru yang lain, masih timbul tekad untuk suatu ketika bisa mengungguli saudara tuanya itu dan kemudian menunjukkannya kepada orang-orang disekitarnya bahwa iapun patut di perhitungkan. Ia yakin suatu ketika kakak seperguruannya itu akan tunduk dan takhluk atas kelebihan yang ada padanya.

Tetapi Swandaru berusaha menyimpan rapat-rapat perasaan itu dalam hatinya.

Tidak lama kemudian Agung Sedayu dan Ki Widura sudah selesai dari pakiwan lalu memasuki bilik Swandaru bersama-sama dengan yang lain.

“ Bagaimana keadaanmu adi Swandaru “, – tanya Agung Sedayu sambil duduk di sisi pembaringan.
Swandaru mencoba tersenyum.

“ Aku tidak apa-apa kakang, hanya sedikit letih “, jawabnya pendek, lalu ganti bertanya,” - Bagaimana dengan orang-orang yang katanya melepaskan ilmu teluh kepadaku itu kakang? “

Agung Sedayu menarik nafas panjang, lalu katanya.

“ Ketika aku datang, kedua orang itu sudah terlihat sangat letih dan kehabisan darah. Ada bermacam-macam barang dan alat yang berhamburan di ruang tengah itu dan sebuah jambangan pecah dan mungkin itulah sarana yang dipakai untuk melepas ilmu teluhnya. Sebuah keris kecil yang agaknya adalah pusaka mereka menancap di dada kiri masing-masing, agaknya keris itu terlontar balik ketika terjadi ledakan yang memecahkan jambangan itu. Sayang kemudian keduanya meninggal dunia tanpa aku sempat untuk memberi pertolongan lanjutan ”.

“ Selanjutnya Ki Jagabaya dan para pengawal yang mengurusinya. Aku segera kembali kesini dengan paman Widura untuk melihat keadaaanmu “

Bukan kebiasaan Agung Sedayu untuk berbicara panjang, tetapi ia terpaksa harus melakukannya karena ia tahu semua orang dalam ruangan ini pasti menunggu ceritanya.

Semua yang ada dalam ruangan itu terdiam. Mencoba membayangkan betapa telah terjadi pertarungan yang aneh dan tidak masuk akal sehingga musuh bisa saling melukai dan bahkan mati.

Dalam keheningan itu, tiba-tiba panggraita Agung Sedayu kembali tergetar, ia merasakan masih ada sisa-sisa pengaruh atau akibat yang tertinggal di dalam ruangan ini.

Dengan cepat ia meraba kedua tangan Swandaru, kemudian punggung dan perutnya sebelum akhirnya menggulung kain celananya sambil berkata, – “ Adi Swandaru aku akan memeriksa kakimu, aku ingin melihat apakah ada serangan-serangan yang tersisa dan belum bersih”

Suasana yang tadinya terasa sejuk kini kembali diliputi ketegangan.

Dengan pelan dan hati-hati Agung Sedayu menggulung celana panjang Swandaru hingga naik diatas lutut.

Disaat yang hampir bersamaan, terdengar suara memekik kecil dari Pandan Wangi dan Sekar Mirah.

“ Kakang Swandaru ! “

Salam,

No comments:

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...