Saturday, April 1, 2017

BALADA SWANDARU GENI - Sebuah Perjalanan - Babak-9

BALADA SWANDARU GENI 
Sebuah Perjalanan
Babak-9
Sebagai seorang istri ia telah mencoba untuk senantiasa berbakti dan mendukung apa yang menjadi harapan dan kemauan suaminya selama ini. Adalah lumrah dan wajar bahwa seorang laki-laki pada suatu ketika akan melakukan sebuah perjalanan dan berpisah dengan keluarganya untuk sementara waktu. Bisa saja sebuah tugas atau mungkin sebuah pengembaraan untuk memperbaiki dan mengembangkan kemampuan diri seperti alasan suaminya kali ini.
Tetapi Pandan Wangi tidak bisa membohongi hatinya bahwa ada kekuatiran yang sangat besar akan kepergian suaminya itu. Pengenalan akan sifat dan watak suaminya itu seolah menciptakan bayang-bayang suram yang menghantui pikirannya.
“Kakang Swandaru,” – ia memberanikan diri untuk bertanya,” - Apakah perjalanan ini sedemikian pentingnya bagi kakang? Ayah sudah semakin lanjut usia dan anak kita juga sedang dalam masa yang memerlukan pendampingan kedua orang tuanya. Usia kita juga sudah tidak muda lagi kakang, kenapa tidak kakang lakukan saja di rumah ini atau paling tidak di padepokan Jati Anom?”
Swandaru melihat wajah istrinya menunduk dan terlihat menahan perasaan. Pelan-pelan ia mendekat dan memegang kedua pundak istrinya itu sambil berkata dengan hati-hati.
“ Wangi, aku sangat beruntung dan berterimakasih memiliki pendamping sepertimu. Kau adalah wanita pilihan dengan banyak kelebihan yang telah banyak membantuku dan kademangan ini. Aku minta kau mau membantu Ayah dan mendidik anak kita selama kepergianku yang hanya sementara ini Wangi. Selama ini aku sadar terlalu sering mengabaikan keberadaanmu, aku minta maaf Wangi”
Suara Swandaru tiba-tiba saja menurun yang membuat Pandan Wangi mengangkat wajahnya. Dilihatnya wajah suaminya itu kini justru menunduk dan matanya terlihat sayu, seolah ia sedang menekan perasaannya. Wajah itu sama sekali tidak menampakkan sifatnya yang selama ini selalu garang dan merasa lebih tinggi dari orang lain.
Tiba-tiba perasaan Pandan Wangi berdebar-debar, ia kuatir bahwa kejadian di lapangan kecil di pinggir sungai kademangan beberapa hari yang lalu mempengaruhi keputusan suaminya untuk mengembara.
Saat itu Pandan Wangi diminta Agung Sedayu untuk menunjukkan apa yang ia peroleh setelah menjalani laku kurang lebih tujuh hari. Sementara kaki Swandaru sudah sembuh sama sekali dan ia sudah mampu bergerak seperti sediakala.
Di dalam sanggar, Pandan Wangi menunjukkan betapa dengan tangan kosong maupun dengan menggunakan senjata pedang tipisnya, ia mampu memecahkan bebatuan yang digunakan sebagai sasaran tanpa menyentuhnya. Dari jarak hampir satu tombak pendek, getaran tenaga cadangan Pandan Wangi seolah mampu memadatkan udara untuk kemudian meluncur dan menghantam sasaran yang dikehendaki. Bagi mata telanjang, mereka hanya melihat batu yang tiba-tiba hancur tanpa tersentuh oleh apapun.
Tetapi agaknya Agung Sedayu merasa tidak puas dengan apa yang sudah ditunjukkan Pandan Wangi di dalam sanggar, sehingga ia mengajak Sekar Mirah dan mereka semua keluar mencari sebuah tanah lapang di pinggir sungai Kademangan.
Di tanah lapang itu Pandan Wangi lebih leluasa menunjukkan kemampuan barunya yang memang meningkat sangat pesat. Pengungkapan tenaga cadangan dan penerapannya menjadi jauh lebih cepat dengan jangkauan serangan yang semakin panjang.
Tetapi Agung Sedayu melihat bahwa Pandan Wangi masih berusaha menahan diri sehingga seluruh kemampuannya belum sepenuhnya tersalur. Terlebih Pandan Wangi masih belum menunjukkan kecepatan gerak dan apa yang memang ingin dilihat dan di ukur oleh Agung Sedayu.
Segera Agung Sedayu berbisik kepada Swandaru dan Sekar Mirah,” – Mirah dan adi Swandaru, aku minta ijin untuk bisa mencoba dan memunculkan kemampuan Pandan Wangi yang sesungguhnya”
Ketika Swandaru dan Sekar Mirah mengangguk, maka tanpa ancang-ancang tiba-tiba saja tubuh Agung Sedayu meluncur bagai anak panah menyerang Pandan Wangi yang sedang bergerak sendiri di tengah lapangan.
“Awas Wangi, kerahkan seluruh kemampuanmu termasuk kecepatan gerakmu”
Saat itu malam hari dan Pandan Wangi yang sedang bergerak seolah hanya melihat sebuah bayangan hitam meluncur sedemikian cepat menyerang bagian atas tubuhnya. Tetapi teriakan Agung Sedayu itu menyadarkan bahwa ia kini sedang diuji sehingga dengan tanpa berpikir panjang ia pun menggerakkan kakinya kesamping sambil memutar tubuhnya setengah lingkaran.
Pandan Wangi memang terbebas dari serangan awal itu, tetapi ternyata gerak Agung Sedayu tidak berhenti sampai disitu. Ketika melihat Pandan Wangi bergerak ke samping, maka Agung Sedayu segera merendah sambil memutar tubuh dan kakinya untuk melakukan sapuan ke arah bagian bawah Pandan Wangi. Gerakan Agung Sedayu itu begitu cepat tanpa jeda dan seolah tidak tertangkap oleh pandangan mata.
Pandan Wangi terkejut dengan gerakan Agung Sedayu yang cepat dan bersungguh-sungguh, tetapi justru keterkejutan itu memacu getar syarafnya sehingga seolah tanpa berpikir kakinya segera menjejak tanah sehingga tubuhnya melambung tinggi agar terhindar dari serangan bawah.
Gerakan yang tiba-tiba akibat keterkejutan itu ternyata justru diluar kendali Pandan Wangi. Tubuhnya melambung terlampau tinggi hampir tiga kali tinggi orang dewasa, lalu tanpa sadar ia segera melakukan gerak putaran dua tiga kali diudara agar bisa mengendalikan gerak tubuhnya. Sesaat kemudian kedua kakinya mendarat ditanah dengan jarak hampir lima tombak dari tempat ia semula berdiri. Jantungnya berdebaran menyadari gerak yang tidak disadarinya itu.
Swandaru dan Sekar Mirah yang berdiri di pinggir lapangan itu terkejut melihat gerakan Pandan Wangi. Meskipun tidak terlalu istimewa, tetapi setahu mereka ini adalah peningkatan atas kemampuan Pandan Wangi sebelumnya.
Hati mereka menjadi berdebar-debar, mereka sadar ini barulah permulaan sebelum Agung Sedayu menggali lebih dalam tentang perkembangan kemampuan Pandan Wangi.
Tak terkecuali, Pandan Wangi sendiri sebenarnya juga terkejut dengan gerak yang baru saja dilakukannya. Tetapi belum sempat ia berpikir, Agung Sedayu sudah kembali bergerak dengan serangannya yang beruntun susul menyusul.
“Pandan Wangi, lawan aku dengan sungguh-sungguh dan keluarkan seluruh kemampuan yang baru saja kau peroleh agar kita tahu pasti hasil lakumu,” – Agung Sedayu masih sempat berteriak di sela-sela serangannya yang datang membadai.
Pandan Wangi memang tidak sempat berpikir dan segera ia sibuk menggerakkan tubuhnya untuk menghindar. Tetapi ia berusaha memusatkan perhatiannya untuk membangunkan getar-getar dalam dirinya agar bisa menopang seluruh geraknya.
Berkali-kali ia terpojok seolah tidak ada peluang untuk menghindar dan disaat itulah ia terpacu untuk melakukan gerakan-gerakan yang kemudian mengundang decak kagum siapapun yang melihatnya.
Di tengah lapangan itu kini yang terlihat hanyalah bayangan-bayangan hitam yang bergerak cepat seolah tidak menyentuh tanah. Agung Sedayu menyerang tiada henti sementara tubuh Pandan Wangi berkelebat dan melambung serta berputar di udara beberapa kali untuk menghindari serangan.
Gerakan mereka sedemikian cepatnya sehingga Swandaru dan Sekar Mirah beberapa kali bergeser maju dan harus menajamkan mata agar bisa mengikuti gerak tersebut.
“Pandan Wangi, sekarang cabut pedangmu dan serang aku dengan seluruh kemampuanmu. Jangan sungkan, aku akan melapisi tubuhku agar tidak terluka,” - Agung Sedayu kembali memberi aba-aba.
Pandan Wangi mendengar aba-aba Agung, awalnya ia memang segan untuk bersungguh-sungguh, tetapi seiring mengalirnya keringat dan gerak yang semakin cepat, maka ia sadar untuk tidak berlaku sungkan. Apalagi ia yakin bahwa seberapapun ia berusaha, ia tidak akan mampu melukai kulit Agung Sedayu itu.
Segera tanpa ragu di cabutnya kedua pedang tipis di lambungnya untuk melakukan gerak serangan. Tangan kirinya tertekuk menyilang di dada sambil memegang pedang tipisnya sementara tangan kanannya yang juga menggenggam pedang naik ke atas seolah hendak menggapai langit.
Agung Sedayu sempat tertegun, sikap yang ditunjukkan Pandan Wangi itu adalah sebuah pembukaan yang umum dalam ilmu bermain pedang. Tetapi ketika yang berada di depannya adalah Pandan Wangi dengan sikap yang sama, yang terlihat adalah sebuah keindahan dan kematangan dalam bersikap dari seorang perempuan jelita meskipun sudah berumur.
Sementara Pandan Wangi berusaha kembali membangkitkan getar-getar dalam dirinya untuk bisa mengingat serta menerapkan petunjuk yang diberikan Agung Sedayu ketika menjalani laku, ia memusatkan perhatiannya pada gerak kakinya.
Sekejab kemudian tubuh Pandan Wangi meluncur dengan sangat cepat ke arah Agung Sedayu diiringi sabetan pedang tipisnya susul menyusul. Kakinya bergerak berputaran mencari alas berpijak sambil sesekali justru melayang melakukan tendangan ke arah lawan. Semakin lama kecepatan itu semakin meningkat sehingga tidak bisa dibedakan apakah kaki itu menginjak tanah atau mengambang di udara.
Agung Sedayu yang melihat peningkatan gerak Pandan Wangi itu sengaja menghindar sambil mencari celah untuk melakukan serangan balasan. Ketika kesempatan itu datang, segera ia bergerak cepat sambil kakinya mengincar pinggang Pandan Wangi.
Tak disangka, Pandan Wangi yang melihat serangan itu datang, dengan tiba-tiba saja tubuhnya terlontar mundur hingga satu tombak lebih. Sekejab kemudian tubuh Pandan Wangi justru kembali terlontar maju dengan pedang yang turun naik melakukan serangan. Semua gerakan itu dilakukan tanpa ancang-ancang tetapi kecepatannya hampir tidak bisa diikuti mata wadag.
Demikianlah, pertarungan yang sebenarnya hanyalah penjajagan itu berlangsung dengan sungguh-sungguh. Tubuh keduanya berkelebat dengan cepat dan yang nampak hanya bayangan-bayangan hitam. Pandan Wangi benar-benar berusaha menunjukkan kepada Agung Sedayu atas apa yang ia dapat setelah menjalani laku itu dan bergerak berputar-putar. Kadang tubuhnya terlontar mundur untuk menghindari serangan, tetapi dengan cepat kemudian bergerak berputar seolah beterbangan sambil tangannya melancarkan sabetan-sabetan. Gerakan itu dilakukan sedemikian cepat dan berulang seolah tanpa jeda.
Swandaru dan Sekar Mirah yang melihat peningkatan gerak Pandan Wangi itu berdecak kagum. Sungguh suatu peningkatan yang luar biasa dalam diri Pandan Wangi yang seolah sedang melakukan lompatan besar atas kemampuannya selama ini.
Tanpa sadar Sekar Mirah berdesis,” – Pandan Wangi seolah bagaikan lalat atau lebah yang beterbangan mengitari lawannya untuk kemudian meninggalkan sengatnya”
Swandaru yang berdiri di sebelah adiknya itu tidak menanggapi.
Tetapi dalam hatinya ia harus mengakui bahwa apa yang diperlihatkan Pandan Wangi saat ini benar-benar diluar dugaannya. Terlebih ketika ia mendengar suara Agung Sedayu memberi aba-aba kembali.
“ Wangi, pusatkan gerakan tidak hanya pada kaki tapi juga pada tangan. Cobalah pusatkan perhatianmu dengan bersamaan dan lambari gerak tanganmu dengan Ajian Asta Sewu. Pada kesempatan yang terbaik lambarilah seranganmu dengan kemampuanmu untuk bisa melukai lawan tanpa menyentuhnya”
Suara Agung Sedayu itu cukup keras dan memunculkan butiran keringat di dahi Swandaru.

Salam,

No comments:

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...