“ Apa maksudmu kakang,” – Swandaru terlihat memicingkan matanya tanda heran.
Agung Sedayu termangu-mangu, ia sedikit menemukan kesulitan untuk mengutarakan maksud baiknya kepada adik seperguruannya ini. Ia sangat mengenal watak Swandaru yang tinggi hati dan menganggap dirinya selalu lebih baik dari orang lain sehingga sering salah terima atau salah pengertian.
“ Tetapi ini adalah demi kebaikannya sendiri, mudah-mudahan pengalaman akhir-akhir ini memberi perubahan sikap dan pelajaran bagi Swandaru,” – Agung Sedayu membatin.
Swandaru yang melihat Agung Sedayu termangu-mangu dan belum manjawab pertanyaannya menjadi semakin heran. Jauh dilubuk hatinya ia harus mengakui bahwa suami adiknya ini memang mempunyai kemampuan olah kanuragan yang menjulang tinggi seolah tidak terukur.
Tetapi setiap kali melihat sikap Agung Sedayu yang cenderung ragu-ragu dan tidak cepat serta tegas dalam mengambil keputusan itu membuatnya sering geregetan.
Hanya saja menyadari keadaannya yang tergolek lemah saat itu, Swandaru berusaha menahan diri. Ia memilih memberi kesempatan Agung Sedayu berpikir sebelum menjawab pertanyaannya, meskipun hatinya tidak sabar.
Suasana dalam ruangan itu terasa hening sebelum kemudian dipecahkan suara Agung Sedayu.
“ Adi Swandaru,”- katanya dengan hati-hati,- “aku harap kau jangan salah paham. Sebagai seorang saudara tua, aku ingin bercerita kepadamu bahwa pernah pada suatu ketika aku terluka sangat parah sehingga harus berbaring beberapa hari. Tubuhku dipenuhi luka arang kranjang dan keadaanku saat itu juga tidak lebih baik dari keadaanmu sekarang ini yang hanya bisa tergolek di pembaringan. Saat itu guru belum memberikan kitab Windujati kepada kita berdua. Dengan keadaan luka arang kranjang, aku berpikir alangkah baiknya jika kedepan aku mampu melindungi diri dengan lebih baik, atau dengan kata lain aku ingin mempunyai sebuah ilmu kebal.”
“ Pikiran itu memacuku untuk melakukan sebuah laku. Adi Swandaru, dengan keadaan terbaring karena luka, tubuh memang bisa beristirahat tetapi tidak dengan pikiran dan jiwa kita. Itulah yang kita olah. Dengan laku yang tepat, maka pikiran kita justru lebih tajam untuk menilai sebuah keadaan, jiwa kita lebih jernih dan seolah mampu melakukan pengembaraan ke tempat-tempat yang tidak terbatas dan melakukan hal-hal yang selama ini diluar jangkauan nalar. Itulah sebenarnya hakekat dari sebuah laku”
Semua yang hadir di ruangan itu mendengar penjelasan Agung Sedayu dengan sungguh-sungguh, terlebih Swandaru sendiri. Wajahnya yang pucat terlihat sedikit menegang. Ia sadar bahwa kakak seperguruannya itu bermaksud baik dan tulus ingin membantunya, tetapi ia masih belum jelas tentang apa yang harus di lakukannya.
“ Jadi apa maksudmu kakang “, - tanyanya dengan suara datar.
Kembali Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam, ia sudah terlanjur memulai pembicaraan dan agaknya kini ia harus menjelaskannya lebih jauh meskipun ternyata Swandaru belum menyampaikan kesanggupannya.
“ Adi Swandaru, tentu saja aku tidak akan menawarimu laku untuk memperoleh sebuah ilmu kebal. Apalagi saat ini ilmu sejenis Tameng Waja dari kitab guru sudah kau kuasai dan yang diperlukan hanyalah pendalaman lebih lanjut,” – Agung Sedayu berhenti sejenak,”- Selama ini kau terlalu mengandalkan tenaga wadagmu meskipun kau juga sudah masuk ke tahapan tenaga cadangan. Tetapi kalau aku boleh berterus terang, setidaknya kau harus mampu meningkatkan gerakmu juga. Menurut pendapatku, kecepatan gerak akan menjadi alas utama dan penopang untuk memanfaatkan kelebih tenagamu adi Swandaru”.
Sekar Mirah yang mendengar uraian suaminya itu ikut menarik nafas dalam-dalam, demikian pula dengan Pandan Wangi dan Ki Widura. Apa yang dikatakan Agung Sedayu itu adalah apa yang juga mereka lihat dan rasakan atas kemampuan Swandaru saat ini. Mereka sepakat seandainya kemampuan Swandaru diimbangi dengan kecepatan gerak tinggi sebagaimana yang dimiliki Agung Sedayu, maka Swandaru merupakan orang pilihan dalam olah kanuragan.
Sementara Ki Demang Sangkal Putung mengangguk-angguk.
Ketika tidak ada yang bersuara, maka Agung Sedayu melanjutkan perkataannya.
“ Aku mengenal sebuah ilmu yang mengandalkan kecepatan tangan dan kaki. Demikian cepatnya gerak kakinya, maka di mata lawan ia seolah-olah sedang berhadapan dengan seekor lalat raksasa yang melenting dan beterbangan di sekitarnya. Sementara gerak tangan yang sedemikian cepat dirasakan seolah sedang berhadapan dengan ribuan tangan. Itulah sebabnya ajian itu disebut Asta Sewu “
Hati Agung Sedayu tiba-tiba saja menjadi berdebar-debar, dari tadi dilihatnya Swandaru hanya menampakkan wajah pucatnya dan tidak menyela perkataannya. Ia kuatir ada perkataannya yang telah menyinggung adik seperguruannya itu.
Maka ia memutuskan untuk diam dan menunggu.
Sementara saat itu hati Swandaru dipenuhi pergolakan dan pertengkaran batin. Alam sadarnya meyakini bahwa Agung Sedayu berniat sangat baik agar ia bisa meningkatkan kemampuan dalam olah kanuragan. Ini sesuai dengan kedudukannya sebagai kakak seperguruan dan sebagai pengganti guru yang telah tiada.
Tetapi alam bawah sadarnya seolah berteriak keras.
“ Swandaru, bagaimana kau akan mampu melebihi Agung Sedayu kalau ternyata kau justru belajar atas petunjuknya. Meskipun mungkin tujuan kakakmu itu baik, tetapi dengan cara itu selamanya kau tidak akan mampu melebihi kemampuannya,” – batin Swandaru bergolak,” – apakah kakakmu itu sudah kau anggap malaikat yang tidak terkalahkan? Bukankah ia justru sering terluka parah dalam beberapa pertarungan? Artinya diluar sana sesungguhnya juga banyak orang yang mempunyai kemampuan seimbang atau bahkan melebihi Agung Sedayu. Seharusnya kau bisa berlatih lebih keras sendiri atau mungkin kau bisa menemukan guru lain diluar sana sehingga tidak selamanya kau di bawah bayang-bayang Agung Sedayu”
Swandaru Geni berkeringat dingin.
Salam,
No comments:
Post a Comment