Monday, April 3, 2017

BALADA SWANDARU GENI - Sebuah Perjalanan - Babak-23

BALADA SWANDARU GENI
Sebuah Perjalanan
Babak-23

Pertarungan di halaman banjar itu untuk sesaat terhenti, sementara Swandaru terlihat berdiri menghadap Watu Gempal dengan wajah yang sedikit kemerah-merahan. Ia berusaha memanfaatkan waktu yang sempit itu untuk mengatur nafas dan mengistirahatkan tubuhnya yang basah oleh keringat akibat serangan udara panas lawan yang terus menerus melandanya. Sebuah cambuk berjuntai panjang tergenggam di tangan kanannya sementara ujung cambuk itu di dibelainya menggunakan jari-jari tangan kiri.

Dada Watu Gempal maupun Hantu Laut serasa berdentangan, sebutan orang bercambuk memang sudah sedemikian kawentar dan mempunyai nilai yang teramat tinggi dikalangan orang-orang yang terlibat dalam dunia kanuragan. Kini di depan mereka ternyata telah berdiri orang dengan senjata cambuk yang selama ini membuat banyak orang gentar untuk berhadapan dengannya.

Sementara Kiai Garda terlihat mengerutkan keningnya cukup dalam, agaknya senjata itu cukup dikenalnya.

Watu Gunung yang berhadapan langsung dengan Swandaru berusaha menenangkan diri dengan cara memperdengarkan geramannya yang semakin keras.

“Apakah benar kau orang bercambuk yang bernama Agung Sedayu dan merupakan prajurit Mataram itu?”, - terdengar suara raksasa itu memendam penasaran.

Kalau menuruti kebiasaan dan sifat Swandaru selama ini, ia pasti akan marah dan tersinggung bahwa yang disebut orang bercambuk itu bukan dirinya melainkan Agung Sedayu. Untunglah bahwa sedikit banyak jiwanya agak mengendap terutama setelah melihat kenyataan bahwa tingkat ilmu kanuragan kakak seperguruannya itu memang sudah menjulang tinggi tak terjangkau olehnya. Apalagi yang menjadi lawan-lawannya selama ini memang tokoh tangguh yang juga mempunyai nama di dunia kanuragan.

Karena itu Swandaru mencoba mengesampingkan perasaannya terkait dengan keberadaan kakak seperguruannya dan memilih bersikap sebagaimana ia niatkan saat hadir pertama kali di halaman ini, yaitu sebagai seorang yang bernama Gupala.

“ Tentu bukan. Namaku Gupala dan aku adalah seorang gembala yang biasa mencambuk sapi, kerbau atau raksasa dungu sepertimu”, - Swandaru kembali berusaha menyunggingkan senyum di bibirnya.

Bukan main geramnya hati Watu Gempal itu, sebelum Swandaru mengatupkan mulutnya, tiba-tiba saja tangan raksasa itu bergerak cepat dan ditangannya kini tergenggam sebuah luwuk atau golok yang berukuran cukup besar.

Agaknya kemarahan Watu Gempal sudah mencapai puncaknya sehingga tanpa menunda ia segera memutar luwuk yang berukuran besar itu yang langsung menyebarkan udara panas. Sebagaimana senjata Hantu Laut, senjata raksasa inipun mampu menebarkan udara yang sangat panas.

Sambil meloncat menyerang ia masih sempat berteriak.

“Bahkan seandainya kau adalah Agung Sedayu agul-agulnya Mataram itu, aku sama sekali tidak gentar. Luwuk api-ku ini akan membakarmu hingga hangus!”

Serangkum angin keras disertai hawa panas yang semakin menyengat seolah keluar dari ayunan luwuk itu dan langsung menyergap Swandaru. Dengan cepat Swandaru bergeser sambil memutar cambuknya yang menimbulkan suara mendesing. Sadar bahwa lawannya terlepas dari jangkauan serangannya, Watu Gempal segera hendak menyusuli dengan sebuah lompatan panjang dan menambah tenaganya.

Tetapi sambil mengumpat-umpat, raksasa itu terpaksa membatalkan serangannya dan dengan tergesa-gesa justru melompat mundur ketika terdengar dua ledakan dahsyat dekat sekali di telinganya. Meskipun tidak berbahaya tetapi suara ledakan itu sungguh menganggunya.

Swandaru yang sudah memegang cambuk itu segera mengejar Watu Gempal dan kembali ledakan-ledakan keras terdengar merobek udara malam. Ia berusaha sebaik mungkin mempergunakan kesempatan itu dengan tidak memberikan kesempatan pada lawannya untuk memperbaiki keadaan. Watu Gempal yang terlanjur terdesak, beberapa kali masih berhasil menghindari kejaran ujung cambuk Swandaru, tetapi pada satu saat tiba-tiba saja lengannya terasa pedih seperti tersengat pisau kecil yang tajam.

Agaknya ketrampilan bermain cambuk lawannya yang bertubuh sedikit gemuk itu mampu mendahului gerak cepatnya.

Ujung cambuk itu telah menggapai lengan kirinya dan sentuhan ujung cambuk yang kecil itu ternyata telah merobek dan meninggalkan luka di lengan-nya. Meskipun luka itu tidak terlalu dalam, tetapi kini darah mulai menetes dari tubuhnya.

Watu Gempal itu menggeram semakin keras, kemarahannya semakin memuncak, tetapi sebagai orang yang mempunyai pengalaman tertimbun dalam dirinya, ia tidak mudah kehilangan akal. Sambil memperbaiki diri, segera ia merancang sebuah serangan dengan menebarkan angin tajam dan udara yang semakin panas mendera lawannya.

Swandaru yang merasakan peningkatan serangan lawan segera memutar cambuknya dengan cepat seolah hendak menghalau dan menciptakan perisai agar lawan tidak bisa mendekat. Meskipun ia sudah memegang senjata andalannya tetapi ia sadar bahwa raksasa itu juga akan semakin garang dengan senjata luwuk-nya. Kenyataannya memang serangan yang melandanya kini semakin ganas dan udara sekitarnya seolah terbakar sehingga mengganggu gerak dan pernafasannya.

Kini dua orang dengan bentuk tubuh lebih besar dari kebanyakan orang itu terlihat mengadu keahlian dalam bermain senjata maupun dalam ketahanan dan olah tubuh.

Di lingkaran pertarungan yang lain, Kiai Garda dan Hantu Laut semakin meningkatkan tekanan masing-masing kepada lawannya. Terlebih Hantu Laut yang melihat semua murid-muridnya terbunuh dan bahkan adik seperguruannya menemukan lawan yang tidak mudah ditundukkan, maka ia memutuskan untuk mengerahkan semua kemampuannya hingga ke puncak.

“Aku akan membunuh Kiai dari lereng Muria ini atau biarlah aku yang mati sebagaimana ia membunuh Ki Kalangan Abang”, - geramnya dalam hati.

Pertarungan itu dengan cepat meningkat semakin dahsyat. Hantu Laut itu mengerahkan seluruh kemampuannya hingga ke puncak dan bertekad menyelesaikan pertarungan itu secepatnya.

Meskipun Kiai Garda belum tersentuh senjata ataupun percikan api yang terlontar dari keris itu, tetapi sesungguhnya ia mengalami kesulitan dalam menahan hawa panas itu dan tidak mampu mendekat lawan untuk melakukan serangan balasan. Ia masih ragu dan belum berani menggunakan tongkatnya untuk menahan ayunan keris yang terus melandanya dengan ganas.

Serangan Hantu laut semakin dahsyat melanda, geraknya yang memang sangat cepat itu dibarengi ayunan kerisnya yang semakin lama semakin mengerikan. Dari ujung keris itu, mata batin Kiai Garda mampu menangkap seolah muncul percikan api yang keluar secara terus menerus, terlontar dengan cepat melanda udara lalu diarahkan kepadanya. Ujung keris yang dinamakan Kiai Djangkung Dhahana itu merupakan sumber percikan api yang tiada habis-habisnya dan bisa setiap saat di lontarkan ke arah lawan.

Meskipun tidak nampak oleh mata wadag, tetapi hakekatnya serangan Hantu Laut itu mampu membatasi dan bahkan mengurung Kiai Garda.

“Aku akan kesulitan jika harus bertarung seperti ini. Terpaksa aku harus harus menggunakan ajian yang akan menguras tenagaku”, -

Hantu Laut yang terus mengejar Kiai Garda itu tiba-tiba saja terpaksa menghentikan serangannya. Panggraitanya merasakan bahwa lawannya tiba-tiba saja menghilang dan mengambil jarak yang cukup jauh dari jangkauannya, sehingga iapun berhenti sambil mengamati keadaan.

Dilihatnya Kiai Garda berdiri dalam jarak lima-enam tombak dari tempatnya berdiri. Tongkatnya yang bernama Galih Wulung tertancap ditanah, sementara setelah memusatkan perhatian pada titik hening dirinya, Kiai Garda segera mengusapkan kedua tangannya ke wajah dan kemudian ke seluruh tubuhnya. Semua gerakan itu dilakukan dengan cepat dan sebelum Hantu Laut menyadari akan keadaan lawannya, Kiai Garda sudah kembali menyambar tongkatnya dan bersiap menghadapi serangan hantu yang kembali melandanya.


Salam, 

3 comments:

Unknown said...

Mantap... Matur nuwun ndara...

Pudjo Riswantoro said...

Inggih, sami2 kangmas..

widiaxa said...

Matur-nuwun, Ki Pudjo Riswantoro...

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...