BALADA SWANDARU GENI
Sebuah Perjalanan
Babak-23
Sebuah Perjalanan
Babak-23
Pertarungan di halaman banjar itu untuk sesaat terhenti,
sementara Swandaru terlihat berdiri menghadap Watu Gempal dengan wajah yang
sedikit kemerah-merahan. Ia berusaha memanfaatkan waktu yang sempit itu untuk
mengatur nafas dan mengistirahatkan tubuhnya yang basah oleh keringat akibat
serangan udara panas lawan yang terus menerus melandanya. Sebuah cambuk
berjuntai panjang tergenggam di tangan kanannya sementara ujung cambuk itu di
dibelainya menggunakan jari-jari tangan kiri.
Dada Watu Gempal maupun Hantu Laut serasa berdentangan, sebutan
orang bercambuk memang sudah sedemikian kawentar dan mempunyai nilai yang
teramat tinggi dikalangan orang-orang yang terlibat dalam dunia kanuragan. Kini
di depan mereka ternyata telah berdiri orang dengan senjata cambuk yang selama
ini membuat banyak orang gentar untuk berhadapan dengannya.
Sementara Kiai Garda terlihat mengerutkan keningnya cukup dalam,
agaknya senjata itu cukup dikenalnya.
Watu Gunung yang berhadapan langsung dengan Swandaru berusaha
menenangkan diri dengan cara memperdengarkan geramannya yang semakin keras.
“Apakah benar kau orang bercambuk yang bernama Agung Sedayu dan
merupakan prajurit Mataram itu?”, - terdengar suara raksasa itu memendam
penasaran.
Kalau menuruti kebiasaan dan sifat Swandaru selama ini, ia pasti
akan marah dan tersinggung bahwa yang disebut orang bercambuk itu bukan dirinya
melainkan Agung Sedayu. Untunglah bahwa sedikit banyak jiwanya agak mengendap
terutama setelah melihat kenyataan bahwa tingkat ilmu kanuragan kakak
seperguruannya itu memang sudah menjulang tinggi tak terjangkau olehnya.
Apalagi yang menjadi lawan-lawannya selama ini memang tokoh tangguh yang juga
mempunyai nama di dunia kanuragan.
Karena itu Swandaru mencoba mengesampingkan perasaannya terkait
dengan keberadaan kakak seperguruannya dan memilih bersikap sebagaimana ia
niatkan saat hadir pertama kali di halaman ini, yaitu sebagai seorang yang
bernama Gupala.
“ Tentu bukan. Namaku Gupala dan aku adalah seorang gembala yang
biasa mencambuk sapi, kerbau atau raksasa dungu sepertimu”, - Swandaru kembali berusaha
menyunggingkan senyum di bibirnya.
Bukan main geramnya hati Watu Gempal itu, sebelum Swandaru
mengatupkan mulutnya, tiba-tiba saja tangan raksasa itu bergerak cepat dan
ditangannya kini tergenggam sebuah luwuk atau golok yang berukuran cukup besar.
Agaknya kemarahan Watu Gempal sudah mencapai puncaknya sehingga tanpa
menunda ia segera memutar luwuk yang berukuran besar itu yang langsung
menyebarkan udara panas. Sebagaimana senjata Hantu Laut, senjata raksasa inipun
mampu menebarkan udara yang sangat panas.
Sambil meloncat menyerang ia masih sempat berteriak.
“Bahkan seandainya kau adalah Agung Sedayu agul-agulnya Mataram
itu, aku sama sekali tidak gentar. Luwuk api-ku ini akan membakarmu hingga
hangus!”
Serangkum angin keras disertai hawa panas yang semakin menyengat
seolah keluar dari ayunan luwuk itu dan langsung menyergap Swandaru. Dengan
cepat Swandaru bergeser sambil memutar cambuknya yang menimbulkan suara
mendesing. Sadar bahwa lawannya terlepas dari jangkauan serangannya, Watu
Gempal segera hendak menyusuli dengan sebuah lompatan panjang dan menambah
tenaganya.
Tetapi sambil mengumpat-umpat, raksasa itu terpaksa membatalkan
serangannya dan dengan tergesa-gesa justru melompat mundur ketika terdengar dua
ledakan dahsyat dekat sekali di telinganya. Meskipun tidak berbahaya tetapi
suara ledakan itu sungguh menganggunya.
Swandaru yang sudah memegang cambuk itu segera mengejar Watu
Gempal dan kembali ledakan-ledakan keras terdengar merobek udara malam. Ia berusaha
sebaik mungkin mempergunakan kesempatan itu dengan tidak memberikan kesempatan
pada lawannya untuk memperbaiki keadaan. Watu Gempal yang terlanjur terdesak,
beberapa kali masih berhasil menghindari kejaran ujung cambuk Swandaru, tetapi
pada satu saat tiba-tiba saja lengannya terasa pedih seperti tersengat pisau
kecil yang tajam.
Agaknya ketrampilan bermain cambuk lawannya yang bertubuh
sedikit gemuk itu mampu mendahului gerak cepatnya.
Ujung cambuk itu telah menggapai lengan kirinya dan sentuhan
ujung cambuk yang kecil itu ternyata telah merobek dan meninggalkan luka di
lengan-nya. Meskipun luka itu tidak terlalu dalam, tetapi kini darah mulai
menetes dari tubuhnya.
Watu Gempal itu menggeram semakin keras, kemarahannya semakin
memuncak, tetapi sebagai orang yang mempunyai pengalaman tertimbun dalam
dirinya, ia tidak mudah kehilangan akal. Sambil memperbaiki diri, segera ia
merancang sebuah serangan dengan menebarkan angin tajam dan udara yang semakin
panas mendera lawannya.
Swandaru yang merasakan peningkatan serangan lawan segera
memutar cambuknya dengan cepat seolah hendak menghalau dan menciptakan perisai
agar lawan tidak bisa mendekat. Meskipun ia sudah memegang senjata andalannya
tetapi ia sadar bahwa raksasa itu juga akan semakin garang dengan senjata
luwuk-nya. Kenyataannya memang serangan yang melandanya kini semakin ganas dan
udara sekitarnya seolah terbakar sehingga mengganggu gerak dan pernafasannya.
Kini dua orang dengan bentuk tubuh lebih besar dari kebanyakan
orang itu terlihat mengadu keahlian dalam bermain senjata maupun dalam
ketahanan dan olah tubuh.
Di lingkaran pertarungan yang lain, Kiai Garda dan Hantu Laut semakin
meningkatkan tekanan masing-masing kepada lawannya. Terlebih Hantu Laut yang
melihat semua murid-muridnya terbunuh dan bahkan adik seperguruannya menemukan
lawan yang tidak mudah ditundukkan, maka ia memutuskan untuk mengerahkan semua
kemampuannya hingga ke puncak.
“Aku akan membunuh Kiai dari lereng Muria ini atau biarlah aku
yang mati sebagaimana ia membunuh Ki Kalangan Abang”, - geramnya dalam hati.
Pertarungan itu dengan cepat meningkat semakin dahsyat. Hantu
Laut itu mengerahkan seluruh kemampuannya hingga ke puncak dan bertekad menyelesaikan
pertarungan itu secepatnya.
Meskipun Kiai Garda belum tersentuh senjata ataupun percikan api
yang terlontar dari keris itu, tetapi sesungguhnya ia mengalami kesulitan dalam
menahan hawa panas itu dan tidak mampu mendekat lawan untuk melakukan serangan
balasan. Ia masih ragu dan belum berani menggunakan tongkatnya untuk menahan
ayunan keris yang terus melandanya dengan ganas.
Serangan Hantu laut semakin dahsyat melanda, geraknya yang
memang sangat cepat itu dibarengi ayunan kerisnya yang semakin lama semakin
mengerikan. Dari ujung keris itu, mata batin Kiai Garda mampu menangkap seolah
muncul percikan api yang keluar secara terus menerus, terlontar dengan cepat
melanda udara lalu diarahkan kepadanya. Ujung keris yang dinamakan Kiai
Djangkung Dhahana itu merupakan sumber percikan api yang tiada habis-habisnya
dan bisa setiap saat di lontarkan ke arah lawan.
Meskipun tidak nampak oleh mata wadag, tetapi hakekatnya
serangan Hantu Laut itu mampu membatasi dan bahkan mengurung Kiai Garda.
“Aku akan kesulitan jika harus bertarung seperti ini. Terpaksa
aku harus harus menggunakan ajian yang akan menguras tenagaku”, -
Hantu Laut yang terus mengejar Kiai Garda itu tiba-tiba saja
terpaksa menghentikan serangannya. Panggraitanya merasakan bahwa lawannya
tiba-tiba saja menghilang dan mengambil jarak yang cukup jauh dari jangkauannya,
sehingga iapun berhenti sambil mengamati keadaan.
Dilihatnya Kiai Garda berdiri dalam jarak lima-enam tombak dari
tempatnya berdiri. Tongkatnya yang bernama Galih Wulung tertancap ditanah,
sementara setelah memusatkan perhatian pada titik hening dirinya, Kiai Garda
segera mengusapkan kedua tangannya ke wajah dan kemudian ke seluruh tubuhnya.
Semua gerakan itu dilakukan dengan cepat dan sebelum Hantu Laut menyadari akan
keadaan lawannya, Kiai Garda sudah kembali menyambar tongkatnya dan bersiap
menghadapi serangan hantu yang kembali melandanya.
Salam,
3 comments:
Mantap... Matur nuwun ndara...
Inggih, sami2 kangmas..
Matur-nuwun, Ki Pudjo Riswantoro...
Post a Comment