Swandaru yang dalam keadaan setengah berbaring itu justru
terheran-heran ketika dilihatnya Pandan Wangi dan Sekar Mirah memekik kecil
ketika memperhatikan kakinya. Sejauh ini ia sendiri tidak merasakan sesuatu
yang aneh atau kesakitan pada kakinya. Maka segera ia berusaha mengangkat
badannya dengan bertumpuan kedua tangannya untuk bisa melihat kakinya yang
selonjor.
Dari sela-sela gulungan kain celananya, akhirnya mata
Swandaru bisa menatap langsung keadaan kakinya. Tiba-tiba saja jantung Swandaru
terasa berdegup kencang sebagaimana semua orang yang ada di bilik itu.
Kedua kaki itu terlihat menghitam tepat pada kedua lututnya
dengan bentuk lonjong memenuhi seluruh sendi lututnya. Meskipun warna itu tidak
terlalu pekat, tetapi bahwa itu muncul secara tiba-tiba adalah sangat
mengherankan.
Terdengar suara mendesis dari mulut Swandaru, entah karena
keheranan atau bahkan mungkin kesakitan.
Agung Sedayu yang kemudian mencoba menyentuh dan meraba
kedua lutut Swandaru itu menjadi semakin berdebar-debar. Dirasakannya tulang
lutut Swandaru masih keras dan bahwa kulit dan daging juga tidak ada keanehan,
hanya warna kehitaman itu yang menyisakan tanda tanya.
“ Adi Swandaru, apakah kau merasa kesakitan atau nyeri pada
kedua lututmu ini? “, - tanya Agung Sedayu pelan.
“ Tidak kakang, rasanya semua baik-baik saja selain rasa
letih pada tubuhku “, - jawab Swandaru.
Agung Sedayu kemudian membimbing dan menggeser letak duduk
Swandaru sehingga kini ia duduk di tepi pembaringan dengan kakinya yang sudah
menyentuh lantai.
“ Baiklah, sekarang cobalah untuk sekedar berdiri “
Sambil berkata Agung Sedayu membimbing Swandaru untuk bisa
berdiri tegak disamping pembaringan. Ketika sudah berdiri, Agung Sedayu mencoba
melepaskan pegangan, dan pada saat itulah hampir saja tubuh Swandaru ambruk ke
lantai, seolah-olah kaki itu tidak bertulang sama sekali dan tidak mampu
menyokong tubuh Swandaru yang memang gemuk itu.
Dengan cepat tangan
kokoh Agung Sedayu segera meraih tubuh Swandaru sehingga tidak sampai terjatuh dan
kembali menempatkannya di pembaringan. Semua yang ada di bilik itu terkejut,
mereka seolah tidak percaya bahwa Swandaru kini menjadi orang yang lumpuh.
Wajah Swandaru kembali terlihat sangat pucat penuh
kekhawatiran, sementara Agung Sedayu menjadi semakin berdebar-debar. Meskipun
ia sempat mempelajari ilmu pengobatan dari Kiai Gringsing dan juga dari kitab
yang ditinggalkan gurunya itu, tetapi ia merasa masih sangat hijau dalam hal
ini.
Terlebih gejala yang nampak pada kaki adik seperguruannya
ini tidak dikenalinya sama sekali.
Sambil berpikir lebih lanjut, Agung Sedayu kemudian berkata
kepada semua yang ada di ruangan itu.
“ Ayah Demang dan kau Mirah serta Pandan Wangi, aku akan
memeriksa keadaan adi Swandaru, tetapi sebaiknya biarlah udara di ruangan ini
tidak terlalu sesak. Tunggulah diluar, biarlah paman Widura saja yang
menemaniku disini “
Mereka yang disebut oleh Agung Sedayu itu terpaksa beranjak
meninggalkan bilik itu. Betapapun Pandan Wangi ingin ikut menunggui suaminya,
tetapi ia sadar bahwa apa yang dikatakan Agung Sedayu adalah yang terbaik saat
ini. Agaknya lelaki yang pernah dan bahkan masih menempati ruang khusus di
dalam bilik hatinya itu ingin lebih leluasa memeriksa keadaan tubuh suaminya
dengan lebih teliti.
Tetapi ia sepenuhnya percaya bahwa Agung Sedayu akan
berusaha sebaik-baiknya untuk kesembuhan suaminya.
Bersama Ki Widura, Agung Sedayu kemudian berusaha untuk
meneliti lebih jauh tentang keadaan kaki Swandaru itu. Tetapi sebelum meneliti
lebih jauh, Agung Sedayu berkata kepada Swandaru.
“ Adi Swandaru, cobalah ceritakan apa yang sedang kau
lakukan dan alami saat malam menjelang pagi itu sehingga terjatuh dari lincak
bambu. Cobalah ingat-ingat dan ceritakan dengan runtut agar aku tahu apa yang
sebenarnya terjadi, dari situ kita mungkin bisa mencari penangkalnya “
Swandaru tidak segera menjawab, wajahnya terlihat pucat
pasi. Selama ini ia tidak pernah gentar menghadapi lawan seganas apapun
meskipun mati taruhannya. Tetapi ia tidak pernah sekalipun membayangkan jika
suatu ketika kakinya tidak bisa dipergunakan atau lumpuh tanpa tahu sebabnya.
Sungguh suatu keadaan yang mengenaskan jika kelak ia menjadi orang yang seolah
tiada guna dan hanya bergantung pada belas kasihan orang lain.
“ Tenanglah Swandaru, cobalah tata pikiran dan perasaanmu.
Serahkanlah semua kepada kekuasaan Yang Maha Agung, aku yakin kita pasti bisa
menemukan obat yang tepat untuk kakimu itu “, - suara Ki Widura terdengar
sareh.
Swandaru tidak menjawab, tetapi terlihat betapa wajahnya
begitu sayu.
Ki Widura dan Agung Sedayu tidak bertanya lebih lanjut dan
berusaha memberi kesempatan agar Swandaru bisa menata perasaanya. Untuk
beberapa saat suasana dalam bilik itu menjadi hening, sementara Agung Sedayu
kembali meneliti lutut adik seperguruannya itu.
Tetapi keheningan itu tidak lama, Ki Widura dan Agung Sedayu
itu cukup kaget ketika dilihatnya Swandaru terisak-isak lirih seolah menangis
meskipun tidak keluar air mata. Segera mereka mendekat dan duduk di sisi
pembaringan sambil berusaha menenangkan Swandaru.
“ Kakang Sedayu, paman Widura…tolonglah aku “, - Swandaru
terisak sambil berbisik lirih sambil berusaha memegang dan meremas telapak
tangan Agung Sedayu.
Hati Agung Sedayu kembali tersentuh, ini adalah kedua
kalinya Swandaru mengajukan permintaan tolong kepadanya. Yang pertama adalah
seusai mereka melakukan perang tanding di Menoreh, lalu Agung Sedayu bertanya
tentang siapa perempuan muda cantik di rumah Ki Ambara yang ternyata adalah
orang kepercayaan Ki Saba Lintang.
Saat itu Swandaru juga minta tolong sebagaimana yang baru
saja di ucapkan. Semua kegarangan dan sikap yang cenderung jumawa itu seolah
lenyap diterbangkan angin. Yang tertinggal adalah Swandaru yang bertubuh gemuk
dengan wajah memelas dan sedang meratapi dirinya.
“ Tenanglah Swandaru, aku dan paman Widura tentu akan berusaha
menolongmu. Cobalah sekarang ceritakan apa yang sedang terjadi saat itu.
Wajah bulat itu terlihat sayu seolah tidak ada gairah hidup,
tetapi ia berusaha untuk mengingat-ingat dan bercerita meski dengan suara yang
sangat pelan. Pada dasarnya Swandaru adalah seorang yang terbuka dan apalagi
disekitarnya kini adalah orang-orang yang selama ini ia percaya.
Swandaru seolah kembali ke masa dimana ia adalah seorang
yang lemah tetapi dikelilingi oleh mereka yang memperhatikan dan melindunginya,
sebagaimana saat-saat awal ia berguru kepada Kiai Grinsing.
“ Kakang Sedayu dan paman Widura
“, Swandaru berusaha memulai ceritanya,-“ Setelah kejadian di Menoreh tempo
hari, aku mencoba untuk lebih sering merenungi diri. Lewat tengah malam kemarin
aku berdiri di halaman sambil berusaha menilai diriku sendiri. Harus ku akui
agaknya selama ini aku terlalu angkuh dan menilai diriku terlalu tinggi serta
memandang rendah orang lain “
Suara Swandaru tersendat pelan.
“ Aku seolah di butakan oleh kemampuan yang aku miliki
sementara tidak bisa melihat betapa kakang Agung Sedayu justru sudah menjulang
tinggi tak terkirakan. Mungkin saat ini aku juga tidak bisa melampaui kemampuan
Sabungsari dan bahkan sudah tersusul oleh tunas muda yang baru mekar seperti
Glagah Putih. Aku merasa sangat menyesal dan bersalah kepada guru kakang “
Agung Sedayu dan Ki Widura berdiam diri dan sengaja tidak
ingin memotong cerita Swandaru.
“ Dalam penyesalan itu aku berusaha melakukan semedi sesuai
ajaran guru saat pertama kali kita bersama-sama belajar kakang. Aku berusaha
menerima dan kemudian membiarkan apapun yang melintas di ingatanku untuk
kemudian hilang bersamaan dengan datangnya ingatan baru yang datang dan pergi
lagi, demikian seterusnya “
Swandaru berhenti sejenak sambil menelan ludah.
“ Tetapi kakang, ketika aku sudah hampir mencapai titik
hening, tiba-tiba ingatan itu muncul lagi kakang. Ingatan itu muncul begitu
kuat dan bahkan tidak mau pergi “, tiba-tiba Swandaru kembali terisak-isak,
nafasnya tersengal-sengal meskipun ia berusaha mengaturnya.
Melihat perasaan Swandaru yang terguncang itu, Agung Sedayu
segera meraih dan menepuk-nepuk punggung telapak tangannya berusaha untuk
menenangkannya. Tetapi ia tidak berkata sepatah katapun.
“ Kakang Sedayu, aku merasa sangat berdosa kepada Pandan
Wangi,” - suara Swandaru berbisik hampir tidak kedengaran, “ - Sungguh aku
ingin bersimpuh untuk meminta maaf, tetapi hati ini tiada keberanian. Aku takut
Pandan Wangi marah dan bahkan meninggalkan
aku kalau ia mengetahui kesalahanku. Wajah itu…ya wajah Wiyati terus menerus muncul
dan tidak mau pergi kakang. Apakah benar saat mati ia sedang mengandung anakku
kakang ?”
Agung Sedayu dan terutama Ki Widura merasa seolah ada
ledakan ditelinga masing-masing. Tetapi mereka masih terdiam menunggu cerita
lanjutan Swandaru.
“ Kakang, saat itu sungguh hatiku begitu pepat tiada
pegangan. Aku merasa seolah sedang berdiri di ruang hampa dengan pikiran
kosong, tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku merasa bersalah terhadap semua
orang dan kulihat semua orang memakiku kakang”
“ Aku mencoba menutup telingaku, tetapi semua yang memakiku
masih terdengar. Aku ingin menjauh meskipun tidak tahu kemana, aku sungguh
bingung kakang. Aku mencoba melangkahkan kakiku dan berlari, berlari entah
kemana kakang”
Isak Swandaru terdengar semakin memelas.
“ Saat ingin berlari itulah aku merasa kakiku terantuk dan
terjatuh kakang. Gelap! “
Swandaru terlihat tidak mampu meneruskan ceritanya dan
isaknya semakin keras, bahkan dari kedua matanya kini mengalir air bening
meskipun tidak banyak.
Melihat kondisi adik seperguruannya yang semakin memelas
itu, hati Agung Sedayu menjadi ikut kasihan.
“ Sudahlah, sekarang tenangkan hatimu. Agaknya keadaanmu
yang sedang kosong itu dimanfaatkan oleh dua orang asing itu untuk menyerangmu
sehingga dengan mudah tubuhmu roboh. Aku akan mencoba meneliti lagi keadaan
kakimu “
Agung Sedayu tidak ingin bicara lebih lanjut lagi, demikian
juga Ki Widura, mereka sadar bahwa saat seperti ini berbicara banyak tidak akan
mampu menenangkan jiwa Swandaru yang sedang goncang.
Untuk beberapa lama Agung Sedayu masih belum bisa menemukan
apakah penyebab dari hitamnya kaki Swandaru ini dan bahkan mengakibatkan
lumpuh. Ia berusaha meneliti dengan sungguh-sungguh sehingga tanpa disadarinya
keringat dingin telah membasahi kening dan punggungnya.
Sampai sedemikian jauh ia masih belum tahu apa yang harus di
lakukan.
Ruangan bilik itu kembali hening, hanya kadang-kadang
terdengar suara mendesah dari mulut Swandaru. Sementara matahari sudah melewati
puncaknya dan udara panas di ruangan itu semakin meningkat.
“ Sedayu “, - tiba-tiba Ki Widura berbisik pelan.
“ Ya paman? “
“ Apakah kau ingat bibimu atau ibunya Glagah Putih pernah
bercerita tentang sepupunya yang juga lumpuh dengan ciri-ciri yang hampir sama?”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya, ingatannya melayang jauh
ke masa remajanya dimana ia sering bermain ke rumah pamannya Ki Widura itu. Tak
jarang ia menginap di rumah pamannya itu dan ketika waktu memasuki senja atau
surup, ia selalu diminta bibinya untuk masuk rumah. Sementara Ki Widura yang
masih bertugas sebagai prajurit belum tentu sudah di rumah.
Saat itulah bibinya sering bercerita tentang hal-hal yang
kadang-kadang menakutkan bagi anak remaja. Betapa banyak makhluk halus
berkeliaran untuk menculik anak-anak yang masih belum masuk rumah. Juga
beberapa kejadian yang menimpa sanak kadang akibat serangan dari dunia gelap
selewat masa senja atau surup itu.
Tiba-tiba saja Agung Sedayu seperti terhenyak, sambil
memandangi Ki Widura, ia berkata cepat.
“ Paman, apakah ini Glugut Pring Wulung? “
Salam,
No comments:
Post a Comment