Pagi itu rumah Ki Demang Sangkal Putung diliputi ketegangan yang luar biasa akibat keadaan Swandaru. Pandan Wangi sebenarnya masih terlelap, tetapi simpul syaraf dan pendengarannya yang tajam sempat menangkap jerit Swandaru yang kemudian diikuti suara jatuhnya tubuh suaminya itu.
Dengan cepat ia melompat keluar dan matanya terbelalak ketika menemukan tubuh Swandaru terbaring di tanah depan lincak bambu, diam tak bergerak.
Betapapun terkejutnya hati Pandan Wangi, tetapi ia berusaha untuk bisa berpikir jernih. Ia tidak langsung mendekat dan menolong suaminya melainkan berteriak membangunkan seisi rumah, sementara Pandan Wangi sendiri justru melangkah dengan hati-hati mengelilingi halaman rumah untuk memeriksa keadaan.
Meskipun saat ini ia tidak mengenakan pakaian khususnya, tetapi ia telah berlatih untuk menghadapi keadaan genting seperti saat ini. Ditelitinya setiap sudut halaman dan dicermatinya jejak-jejak tanah yang mungkin bisa memberi petunjuk. Dipusatkannya segenap panca indra untuk bisa menangkap hal-hal yang diluar kewajaran.
Mendadak wajah Pandan Wangi menegang, meskipun matanya tidak menangkap sesosok bayangan dan telinganya tidak mendengar suara-suara yang mencurigakan, tetapi panggraitanya merasakan ada sesuatu yang tidak wajar. Entah mengapa detak jantungnya tiba-tiba saja berdegup dengan kencang. Ia tidak tahu apa sebabnya dan bermaksud melesat keluar pagar untuk memeriksa keadaan lebih jauh.
Tetapi Pandan Wangi terpaksa membatalkan niatnya untuk mengurai pertanda itu ketika terdengar suara Ki Demang yang memanggil namanya dengan gugup.
“ Wangi, cepat kesini!! ”
Dengan sedikit kesulitan tubuh gemuk Swandaru telah diangkat masuk ke dalam dan diletakkan di pembaringan. Dengan gugup Pandan Wangi memeriksa keadaan suaminya, wajahnya terlihat pucat seolah tidak teraliri darah, sementara tubuhnya terasa dingin dan lemas. Ia masih bisa merasakan detak jantung suaminya meskipun teramat lemah.
“Apa yang terjadi denganmu kakang Swandaru”, - suara Pandan Wangi terisak.
Yang tidak kalah gugupnya adalah Ki Demang Sangkal Putung. Sambil berteriak ia menyuruh pembantunya untuk berlari menjemput Ki Sono, tabib Kademangan yang sering menjadi langganan warga Kademangan. Sepengetahuan Ki Demang, Swandaru tadi malam tidak mengalami suatu apapun. Bahkan ia sempat melihat Swandaru bergurau sebentar dengan anaknya sebelum kemudian masuk ke gandok untuk beristirahat.
Kini di pagi-pagi buta, didapatinya Swandaru terbaring lemah tiada daya.
Ki Sono yang datang tidak lama kemudian berusaha untuk memeriksa keadaan tubuh Swandaru dengan teliti. Dengan perlahan digerakkannya tangan Swandaru naik turun sambil memeriksa denyut nadinya. Sementara ia meminta Pandan Wangi untuk menitikkan cairan obat yang sudah disiapkannya ke dalam tenggorokan Swandaru setitik demi setitik.
Tidak bisa disembunyikan lagi betapa wajah-wajah di dalam ruangan itu menjadi sangat tegang. Ki Sono melakukan pemijatan di simpul-simpul yang sejauh pengetahuannya merupakan penghubung dengan saraf otak. Tetapi mengingat kondisi Swandaru yang belum sadar, ia terpaksa melakukannya dengan hati-hati dan sangat pelan.
Ketika matahari naik sepengalah, terdengar suara Swandaru merintih. Agaknya bau wewangian yang di oleskan di bawah dihidungnya bisa membuatnya sedikit sadar. Tetapi mata Swandaru masih terpejam dan kesadarannya masih belum pulih sama sekali. Nafasnya mulai sedikit teratur tetapi ia masih belum bisa di ajak bicara.
Dalam kebingungan itu tiba-tiba Pandan Wangi teringat pada Agung Sedayu. Ia tidak tahu alasannya, tetapi Pandan Wangi yakin bahwa seandainya Agung Sedayu ada di ruangan ini ia pasti tahu apa yang harus dilakukannya.
“Ayah”, - bisiknya kepada Ki Demang, - “Apakah tidak sebaiknya kita kabari kakang Agung Sedayu atau paling tidak Ki Widura yang di Jati Anom agar datang ke Sangkal Putung segera. Aku yakin mereka bisa membantu penyembuhan atau memecahkan penyebab sakitnya kakang Swandaru”
Ki Demang mengerutkan dahinya, sebelum kemudian mengangguk cepat sambil melangkah keluar gandok. Segera di perintahkannya dua orang pengawal untuk menuju ke Padepokan Jati Anom dan dua orang pengawal lainnya menuju ke Tanah Perdikan Menoreh.
“Ceritakan apa adanya tentang keadaan Swandaru dan mintalah Ki Widura dan angger Agung Sedayu agar secepatnya menengok keadaan di Sangkal Putung”, - suara Ki Demang terdengar bergetar, -“ Aku minta percepatlah perjalanan kalian, jangan banyak beristirahat. Keadaan Swandaru sangat mengkhawatirkan”
“ Baik Ki Demang “, - kedua pengawal itu menjawab dengan cepat sambil megundurkan diri untuk mengambil kuda-kuda yang mereka perlukan dalam perjalanan.
***
Lewat tengah malam, Agung Sedayu dan Sekar Mirah sudah memasuki halaman rumah Ki Demang Sangkal Putung. Sementara Ki Widura sudah tiba sejak sore dan sengaja menginap untuk menunggui Swandaru serta kedatangan Agung Sedayu.
“Ayah, bagaimana keadaan kakang Swandaru”, - sambil turun dari kudanya suara Sekar Merah bernada kuatir.
Sebelum Ki Demang sempat menjawab, terdengar suara Pandan Wangi yang berlari keluar menyongsong kedatangan Sekar Mirah sambil terisak-isak.
Dada Sekar Mirah semakin berdebar kencang, tetapi ia berusaha menenangkan Pandan Wangi sambil melangkah masuk ke dalam rumah. Sementara sebelum Agung Sedayu sempat menyapa, ternyata Ki Demang sudah mengajaknya menuju gandok dimana Swandaru terbaring.
Ki Widura yang juga hadir bahkan belum sempat menyapa keponakannya itu. Tetapi mengingat keadaan yang begitu genting, ia tidak menyela dan memilih diam sambil mengikuti dari belakang. Di gandok itulah Swandaru masih terbaring dan belum sadarkan diri sejak dini hari tadi.
Ketika Pandan Wangi dan Sekar Mirah sudah memasuki gandok dimana Swandaru terbaring, mendadak Agung Sedayu menghentikan langkahnya. Ia membatalkan niatnya untuk ikut masuk ruangan dan bahkan kemudian mengajak Ki Demang dan pamannya untuk kembali ke halaman.
“Ki Demang dan paman Widura, marilah kita kembali ke halaman, agaknya ada sesuatu yang harus kita lakukan,”- lalu sambil memberi isyarat ia berkata,” Mirah dan Pandan Wangi, sebaiknya kalian tetap ada di dalam dan jagalah adi Swandaru. Berusahalah untuk menenangkannya"
Tanpa menunggu jawaban kedua perempuan itu, Agung Sedayu langsung membalikkan badan dan melangkah dengan cepat menuju halaman samping. Untuk sesaat hatinya menjadi pepat dan dipenuhi rasa marah, tetapi setelah beberapa kali menarik nafas dalam-dalam Agung Sedayu kembali tenang.
“Aku harus melakukan sesuatu”, desisnya lirih.
Salam,
No comments:
Post a Comment