Sunday, April 16, 2017

BSG - Gilang Pamungkas - Babak-03

BALADA SWANDARU GENI
Gilang Pamungkas
Babak-03


Tetapi Gilang tidak ingin menilai gerak lawannya itu terlalu lama, dengan cepat disusulnya orang berpenutup wajah itu. Kakinya segera terayun dan tubuhnya melesat kedepan dengan tangan yang kembali mengembang hendak menangkap lawan.

Untuk kedua kalinya Gilang harus melihat kenyataan betapa lawannya dengan mudah menghindar ke samping dan bahkan kemudian berloncatan dari batu ke batu. Tidak ingin membuang waktu, Gilang langsung menyusul dengan kecepatan penuh dibelakang laki-laki berpenutup wajah itu. Kakinya menjejak batu satu dua kali yang menyebabkan tubuhnya terlontar beberapa tombak jauh kedepan. Hampir saja Gilang mampu menyentuh punggung lawannya, sebelum tiba-tiba saja tubuh lawannya itu juga terlontar jauh kedepan.

Demikianlah, disiang hari yang panas itu keduanya berloncatan dari batu ke batu dari ujung ke ujung. Betapapun Gilang mengerahkan seluruh tenaga dan kecepatannya tetapi orang berpenutup wajah itu selalu mampu menghindar bahkan disaat-saat yang sulit. Beberapa kali kejadian terulang lagi, yaitu ketika tangan Gilang sudah hampir mampu menyentuh baju atau punggung lawannya, tiba-tiba saja orang berpenutup wajah itu terlontar kedepan dengan cepatnya.

Tiba-tiba saja Gilang menghentikan geraknya dan berdiri diam diatas batu. Ia tidak lagi berusaha mengejar lawannya melainkan berdiri diam sambil berusaha mengatur nafasnya.

Melihat Gilang tidak lagi mengejarnya, laki-laki berpenutup wajah itu terpaksa ikut berhenti sambil berteriak mengejek.

“He, kenapa kau berhenti anak dungu. Apakah kau sudah menyerah dan rela menjadi pelayanku?”

Sambil mengatur nafasnya Gilang justru menyilangkan kedua tangannya masing-masing di pinggang kanan dan kirinya. Mulutnya kini justru di hiasi sebuah senyuman lucu.

“Eh, paman berwajah jelek, tentu saja aku belum menyerah. Aku akui paman bisa bergerak lebih cepat, tetapi bukankah kepandaian berlari itu tidak cukup bagi seorang laki-laki satria? Seorang satria harus mampu bertarung dengan menggunakan kekuatan juga. Bagaimana kalau sebelum bertarung menggunakan kekuatan paman aku tantang untuk mengadu ketangkasan dalam hal membidik?”, - Gilang kini justru menantang pendatang yang wajahnya tertutupi kain itu.

Orang yang menutupi wajahnya dengan kain itu tiba-tiba saja terdiam sesaat sebelum kemudian mengeluarkan suara tertawa berkepanjangan. Ia seolah sedang menemukan hal yang lucu dan menggembirakan hatinya sehingga tertawanya terdengar keras hingga tubuhnya bergoyang-goyang.

“He, anak kecil”, - teriaknya disela-sela suara tertawanya,” – agaknya kau tahu kelemahanku, tetapi aku tidak akan gentar menerima tantanganmu. Di dunia ini hanya ada satu orang yang kemampuan membidiknya sundul langit tidak terkalahkan, dan aku yakin, anak kecil seperti kau tidak mengenal dia yang memang aku takuti”

Mendengar perkataan laki-laki yang menutupi wajahnya itu, Gilang menjadi tertarik.

“Siapakah orang yang kemampuan bidiknya itu kau takuti itu, wahai paman berwajah jelek”, - tanyanya penasaran.

“Gila, jangan kau memanggil aku dengan sebutan paman berwajah jelek terus, itu menghina namanya”, - laki-laki itu seolah-olah merajuk.

“Baiklah, baiklah. Aku minta maaf, siapakah dia yang kau takuti kemampuan bidiknya itu wahai paman yang malu jika wajahnya diketahui orang lain”, - Gilang menjadi sedikit geli.

Sejenak keduanya diam, Gilang menunggu jawaban dari orang asing itu, sementara orang yang menutupi wajahnya dengan kain itu terlihat sedang berpikir.

“Tunggu dulu, sebelum aku menjawab pertanyaanmu, kau harus memberitahu siapakah guru yang mengajarkan kemampuan bidik itu kepadamu?”, - tiba-tiba laki-laki asing itu berteriak senang.

Mendengar pertanyaan itu, sejenak Gilang melengakkan wajahnya kesamping. Ia merasa orang asing itu terlalu banyak bertanya, sementara ia ingin segera beradu ketangkasan secepatnya.

“Sudahlah, kau tidak perlu tahu siapa guruku. Kita bertanding saja sekarang”, - ujar Gilang singkat.

“ Curang, kenapa kau tidak mau memberitahuku siapa guru membidikmu?”

“ Kau juga tidak memberitahuku, siapa orang yang kau takuti dalam hal membidik itu”

Suasana di pinggir sungai itu kembali sunyi, keduanya sedang berpikir apakah sebaiknya yang dikatakan kepada lawannya.

“Begini saja, sebagai laki-laki kita harus jujur. Aku akan menghitung bilangan satu sampai tiga, kemudian kita bersama-sama menyebutkan siapakan orang yang kita maksud. Tetapi kita tidak boleh berbohong, karena kalau berbohong biarlah kita di sambar geledek. Beranikah kau anak dungu?”

“Gila, namaku Gilang dan aku bukan anak dungu!”, - tiba-tiba Gilang menyanggah.

Orang berpenutup wajah itu sedikit kaget, tapi kemudian ia menyambung perkataannya.

“Baik, baik! Beranikah kau Gilang?”

“Tentu saja aku berani!”

Angin di tepian sungai berhembus cukup kencang sementara gemericik air terus mengalir dan tidak memperdulikan apa yang menjadi pertengkaran antara kedua orang yang berbeda umur sangat jauh itu. Perlahan-lahan orang dengan penutup wajah itu mulai menghitung dimulai dari bilangan satu hingga ke tiga.

Ketika bilangan ketiga itu disebut, hampir bersamaan keduanya berteriak menyebut sebuah nama.

“ Agung Sedayu! “

“ Paman Agung Sedayu! “

Suasana kembali sepi sebelum kemudian dipecahkan oleh geraman orang asing itu.

“Bohong, kau pasti berbohong lagi bocah kecil. Bukankah Agung Sedayu itu ada di Tanah Perdikan Menoreh, bagaimana mungkin mempunyai murid disini? Kau pasti tidak jujur!”, - orang yang menutupi wajahnya dengan kain itu berteriak seolah-olah ada rasa jeri.

Sebaliknya kini Gilang malah tertawa senang, suaranya terdengar lepas berderai.

“ Ah, kiranya paman adalah orang yang pernah dikalahkan oleh paman Agung Sedayu. Tetapi aku tidak berbohong, memang aku tidak selalu bersama paman Agung Sedayu, tetapi setiap kali bertemu, aku selalu dilatihnya untuk ketangkasan membidik ini. Nah, marilah kita lakukan adu ketangkasan ini”.

Tiba-tiba saja Gilang langsung membungkukkan badannya dan ketika kembali tegak dikedua tangannya telah tergenggam beberapa batu hampir sebesar telur ayam. Tanpa berkata lebih lanjut, tangannya segera terayun deras dan menyambitkan batu itu ke arah orang yang menutupi wajahnya dengan kain lurik itu.

Orang dengan penutup wajah itu terkejut bukan main, batu itu meluncur dengan deras dan mengancam dadanya. Segera ia memiringkan badanya sehingga dadanya selamat. Tetapi sesaat kemudian ia terpaksa harus melempar tubuhnya kesamping untuk menghindari lemparan kedua, ketiga dan berikutnya.

Meskipun lemparan itu tidak disertai dengan tenaga cadangan yang kuat, tetapi bidikan Gilang itu sangat terarah sehingga orang dengan penutup wajah itu harus berloncatan cepat sekali agar terhindar dari batu yang datang bagaikan hujan. Tubuhnya bergerak cepat bagai bayangan yang membuat Gilang terkagum-kagum dan lebih bersemangat dalam melemparkan batu-batu di tangannya.

“Tunggu, tunggu…bukan begini caranya adu ketangkasan!”, - orang itu terdengar berteriak-teriak panik.

Terpaksa Gilang menghentikan lemparannya dan bertanya.

“Jadi harus bagaimana?”

Salam,





No comments:

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...