BALADA
SWANDARU GENI
Gilang
Pamungkas
Babak-03
Tetapi Gilang
tidak ingin menilai gerak lawannya itu terlalu lama, dengan cepat disusulnya
orang berpenutup wajah itu. Kakinya segera terayun dan tubuhnya melesat kedepan
dengan tangan yang kembali mengembang hendak menangkap lawan.
Untuk kedua
kalinya Gilang harus melihat kenyataan betapa lawannya dengan mudah menghindar
ke samping dan bahkan kemudian berloncatan dari batu ke batu. Tidak ingin
membuang waktu, Gilang langsung menyusul dengan kecepatan penuh dibelakang
laki-laki berpenutup wajah itu. Kakinya menjejak batu satu dua kali yang
menyebabkan tubuhnya terlontar beberapa tombak jauh kedepan. Hampir saja Gilang
mampu menyentuh punggung lawannya, sebelum tiba-tiba saja tubuh lawannya itu
juga terlontar jauh kedepan.
Demikianlah,
disiang hari yang panas itu keduanya berloncatan dari batu ke batu dari ujung
ke ujung. Betapapun Gilang mengerahkan seluruh tenaga dan kecepatannya tetapi
orang berpenutup wajah itu selalu mampu menghindar bahkan disaat-saat yang
sulit. Beberapa kali kejadian terulang lagi, yaitu ketika tangan Gilang sudah
hampir mampu menyentuh baju atau punggung lawannya, tiba-tiba saja orang
berpenutup wajah itu terlontar kedepan dengan cepatnya.
Tiba-tiba
saja Gilang menghentikan geraknya dan berdiri diam diatas batu. Ia tidak lagi
berusaha mengejar lawannya melainkan berdiri diam sambil berusaha mengatur
nafasnya.
Melihat
Gilang tidak lagi mengejarnya, laki-laki berpenutup wajah itu terpaksa ikut
berhenti sambil berteriak mengejek.
“He, kenapa
kau berhenti anak dungu. Apakah kau sudah menyerah dan rela menjadi pelayanku?”
Sambil
mengatur nafasnya Gilang justru menyilangkan kedua tangannya masing-masing di
pinggang kanan dan kirinya. Mulutnya kini justru di hiasi sebuah senyuman lucu.
“Eh, paman
berwajah jelek, tentu saja aku belum menyerah. Aku akui paman bisa bergerak
lebih cepat, tetapi bukankah kepandaian berlari itu tidak cukup bagi seorang
laki-laki satria? Seorang satria harus mampu bertarung dengan menggunakan
kekuatan juga. Bagaimana kalau sebelum bertarung menggunakan kekuatan paman aku
tantang untuk mengadu ketangkasan dalam hal membidik?”, - Gilang kini justru
menantang pendatang yang wajahnya tertutupi kain itu.
Orang yang
menutupi wajahnya dengan kain itu tiba-tiba saja terdiam sesaat sebelum
kemudian mengeluarkan suara tertawa berkepanjangan. Ia seolah sedang menemukan
hal yang lucu dan menggembirakan hatinya sehingga tertawanya terdengar keras
hingga tubuhnya bergoyang-goyang.
“He, anak
kecil”, - teriaknya disela-sela suara tertawanya,” – agaknya kau tahu
kelemahanku, tetapi aku tidak akan gentar menerima tantanganmu. Di dunia ini
hanya ada satu orang yang kemampuan membidiknya sundul langit tidak
terkalahkan, dan aku yakin, anak kecil seperti kau tidak mengenal dia yang
memang aku takuti”
Mendengar
perkataan laki-laki yang menutupi wajahnya itu, Gilang menjadi tertarik.
“Siapakah
orang yang kemampuan bidiknya itu kau takuti itu, wahai paman berwajah jelek”,
- tanyanya penasaran.
“Gila,
jangan kau memanggil aku dengan sebutan paman berwajah jelek terus, itu
menghina namanya”, - laki-laki itu seolah-olah merajuk.
“Baiklah, baiklah.
Aku minta maaf, siapakah dia yang kau takuti kemampuan bidiknya itu wahai paman
yang malu jika wajahnya diketahui orang lain”, - Gilang menjadi sedikit geli.
Sejenak
keduanya diam, Gilang menunggu jawaban dari orang asing itu, sementara orang yang
menutupi wajahnya dengan kain itu terlihat sedang berpikir.
“Tunggu
dulu, sebelum aku menjawab pertanyaanmu, kau harus memberitahu siapakah guru
yang mengajarkan kemampuan bidik itu kepadamu?”, - tiba-tiba laki-laki asing
itu berteriak senang.
Mendengar
pertanyaan itu, sejenak Gilang melengakkan wajahnya kesamping. Ia merasa orang
asing itu terlalu banyak bertanya, sementara ia ingin segera beradu ketangkasan
secepatnya.
“Sudahlah,
kau tidak perlu tahu siapa guruku. Kita bertanding saja sekarang”, - ujar
Gilang singkat.
“ Curang,
kenapa kau tidak mau memberitahuku siapa guru membidikmu?”
“ Kau juga
tidak memberitahuku, siapa orang yang kau takuti dalam hal membidik itu”
Suasana di
pinggir sungai itu kembali sunyi, keduanya sedang berpikir apakah sebaiknya
yang dikatakan kepada lawannya.
“Begini
saja, sebagai laki-laki kita harus jujur. Aku akan menghitung bilangan satu
sampai tiga, kemudian kita bersama-sama menyebutkan siapakan orang yang kita
maksud. Tetapi kita tidak boleh berbohong, karena kalau berbohong biarlah kita
di sambar geledek. Beranikah kau anak dungu?”
“Gila,
namaku Gilang dan aku bukan anak dungu!”, - tiba-tiba Gilang menyanggah.
Orang
berpenutup wajah itu sedikit kaget, tapi kemudian ia menyambung perkataannya.
“Baik, baik!
Beranikah kau Gilang?”
“Tentu saja
aku berani!”
Angin di
tepian sungai berhembus cukup kencang sementara gemericik air terus mengalir
dan tidak memperdulikan apa yang menjadi pertengkaran antara kedua orang yang
berbeda umur sangat jauh itu. Perlahan-lahan orang dengan penutup wajah itu mulai
menghitung dimulai dari bilangan satu hingga ke tiga.
Ketika
bilangan ketiga itu disebut, hampir bersamaan keduanya berteriak menyebut
sebuah nama.
“ Agung
Sedayu! “
“ Paman
Agung Sedayu! “
Suasana
kembali sepi sebelum kemudian dipecahkan oleh geraman orang asing itu.
“Bohong, kau
pasti berbohong lagi bocah kecil. Bukankah Agung Sedayu itu ada di Tanah
Perdikan Menoreh, bagaimana mungkin mempunyai murid disini? Kau pasti tidak
jujur!”, - orang yang menutupi wajahnya dengan kain itu berteriak seolah-olah
ada rasa jeri.
Sebaliknya
kini Gilang malah tertawa senang, suaranya terdengar lepas berderai.
“ Ah, kiranya
paman adalah orang yang pernah dikalahkan oleh paman Agung Sedayu. Tetapi aku
tidak berbohong, memang aku tidak selalu bersama paman Agung Sedayu, tetapi
setiap kali bertemu, aku selalu dilatihnya untuk ketangkasan membidik ini. Nah,
marilah kita lakukan adu ketangkasan ini”.
Tiba-tiba
saja Gilang langsung membungkukkan badannya dan ketika kembali tegak dikedua
tangannya telah tergenggam beberapa batu hampir sebesar telur ayam. Tanpa
berkata lebih lanjut, tangannya segera terayun deras dan menyambitkan batu itu ke
arah orang yang menutupi wajahnya dengan kain lurik itu.
Orang dengan
penutup wajah itu terkejut bukan main, batu itu meluncur dengan deras dan
mengancam dadanya. Segera ia memiringkan badanya sehingga dadanya selamat.
Tetapi sesaat kemudian ia terpaksa harus melempar tubuhnya kesamping untuk
menghindari lemparan kedua, ketiga dan berikutnya.
Meskipun
lemparan itu tidak disertai dengan tenaga cadangan yang kuat, tetapi bidikan
Gilang itu sangat terarah sehingga orang dengan penutup wajah itu harus
berloncatan cepat sekali agar terhindar dari batu yang datang bagaikan hujan.
Tubuhnya bergerak cepat bagai bayangan yang membuat Gilang terkagum-kagum dan
lebih bersemangat dalam melemparkan batu-batu di tangannya.
“Tunggu,
tunggu…bukan begini caranya adu ketangkasan!”, - orang itu terdengar
berteriak-teriak panik.
Terpaksa
Gilang menghentikan lemparannya dan bertanya.
“Jadi harus
bagaimana?”
Salam,
No comments:
Post a Comment