BALADA SWANDARU GENI
Sebuah Perjalanan
Babak-15
Sebuah Perjalanan
Babak-15
Swandaru yang sudah hampir melangkah itu terpaksa berhenti sambil mengerutkan keningnya.
“Kenapa disebut Hantu Laut Ki?”
Penunggu banjar itu mengelengkan kepalanya lemah.
“Tentu aku juga kurang tahu Ki Gupala, tetapi menurut cerita, orang itu mampu bergerak seperti hantu. Tiba-tiba saja ia bisa muncul dan menghilang dalam sekejab. Cepat dan tidak terlihat tetapi tahu-tahu sudah berada di depan kita untuk menebarkan maut. Konon ia menguasai hampir seluruh daerah pesisir pantai utara Tuban, mungkin dari sinilah sebutan itu muncul”
“Sungguh mendebarkan,” – Swandaru berdesis pelan.
“Ya Ki Gupala, tetapi Ki Demang juga sudah minta tolong adik kandungnya yang termuda yang bernama Kiai Garda yang tinggal di lereng Muria. Agaknya malam nanti akan menjadi malam panjang yang sangat menegangkan,” – penunggu banjar itu berhenti sejenak -,”Ah, tetapi sudahlah. Silahkan Ki Gupala membersihkan diri dan nanti malam sebaiknya jangan keluar dari kamar supaya tidak ikut terkena getah dari keributan yang mungkin terjadi”
Swandaru tidak menjawab lagi, segera melangkahkan kakinya ke pakiwan.
Menjelang petang, halaman banjar padukuhan itu sudah penuh dengan para pengawal kademangan dan padukuhan. Bahkan Ki Demang dan beberapa perangkat Kademangan pun sudah berada di banjar dan sedang merundingkan sesuatu.
Menjelang petang tadi Swandaru melihat penunggu banjar maupun anak muda keponakannya itu sudah ikut berkumpul di banjar. Kini di rumah ini hanya tinggal ia sendiri karena memang tidak ada penghuni lainnya. Dengan mengendap-endap Swandaru berusaha mencari tempat yang tepat untuk dapat mengawasi halaman banjar itu dengan lebih jelas.
Sementara Ki Demang Krikilan dan anaknya yang tertua sedang berunding dengan seseorang yang berumur setengah baya dan mengenakan baju semacam jubah yang berwarna merah bata dengan belahan samping yang cukup tinggi. Wajahnya terlihat bersih dan dihiasi jenggot yang tercukur rapi, agaknya inilah adik Ki Demang yang di sebut Kiai Garda. Kepalanya dililit menggunakan kain yang berwarna senada dengan jubahnya, sehingga penampilannya terasa sedikit beda dengan orang setempat pada umumnya.
Tubuhnya berukuran sedang dan meskipun terbalut oleh pakaian jubahnya yang longgar, tetapi dari tangannya yang terjulur itu terlihat otot-otot yang menonjol.
“Paman Garda, mengapa kita harus ajak istriku kesini? Bukankah ini seolah-olah kita menuruti keinginan adikku yang telah tersesat itu? Apalagi saat ini perasaan istriku begitu kalut dan penuh ketakutan,” – terdengar suara anak Ki Demang yang tertua itu.
Orang yang disebut dengan nama Kiai Garda itu terlihat menarik nafas dalam-dalam.
“Tenanglah ngger,” – ucapannya terdengar sareh -,”bukankah memang kita tidak mempunyai banyak waktu? Meskipun aku belum pernah bertemu tetapi sependengaranku Hantu Laut itu adalah orang yang licik. Jika istrimu kita tinggalkan di Kademangan, maka seberapa banyaknya pengawal yang menjaga, ia bisa saja dengan mudah di culik oleh kaki tangan atau bahkan oleh Hantu Laut itu sendiri. Tempatkanlah ia di gandok tengah, disini kita bisa mengawasi dan melindunginya bersama-sama, biarlah beberapa pengawal dan muridku ikut mengawasi”
Ki Demang dan anak tertuanya itu tidak mempunyai pilihan lain, adalah jauh diluar perkiraannya bahwa ternyata kedua anak muda yang sangat dekat dengan diri mereka itu ternyata telah berubah menjadi pribadi-pribadi yang menyeramkan.
Demikianlah, suasana di halaman banjar padukuhan itu semakin malam justru menjadi semakin ramai tetapi juga diliputi ketegangan. Ki Jagabaya telah mengatur beberapa pengawal yang menjaga dan mengawasi beberapa tempat yang di anggap penting dan rawan untuk disusupi.
Ketika malam hampir melewati wayah sepi bocah, tiba-tiba saja dua orang pengawal berlari-lari masuk ke halaman padukuhan itu sambil terengah-engah. Bahkan sebelum masuk ke halaman mereka sudah berteriak keras memanggil nama Ki Demang.
Ki Demang dan orang-orang di halaman itu segera menyambut pengawal yang terlihat sangat panik itu.
“Ki Demang, ada kebakaran…kebakaran Ki Demang”- ujar pengawal itu tumpang suh.
“Tenanglah, cobalah bicara lebih pelan, dimanakan terjadinya kebakaran itu,”- suara Ki Demang mencoba menenangkan.
“ Di rumah…rumah Ki Demang,” – sambil masih tergagap-gagap pengawal itu meneruskan laporannya-,” Beberapa saat yang lalu, kademangan di datangi empat orang yang mengenakan tutup wajah semuanya. Mereka mencari Nyi Sulastri dan karena kami menolak memberi keterangan mereka marah-marah sehingga terjadi pertempuran dengan dua belas pengawal Kademangan tetapi kemudian di bantu oleh warga. Dalam pertempuran itu kami hanya melawan tiga orang, tetapi ternyata salah satu dari mereka sudah menyiapkan minyak jarak dan kemudian menyulutnya dengan api sehingga membakar pendopo Kademangan yang bahkan menjalar ke bangunan lainnya. ”
Dada Ki Demang dan orang-orang yang mendengarnya serasa mau meledak oleh kemarahan.
“Ketika api semakin membesar, mereka kemudian justru melarikan diri Ki Demang,” – sambung pengawal yang satunya yang sudah lebih tenang.
“ Apa yang harus kita lakukan Ayah,” – anak Ki Demang yang tertua itu terlihat gugup.
Ki Demang justru kemudian menoleh dan bertanya kepada adiknya yang bernama Kiai Garda itu,” – Bagaimana pendapatmu adi?”
Kiai Garda yang melihat kegugupan di halaman itu berusaha tetap tenang. Ia kemudian berbisik kepada Ki Demang,” – Kakang, inilah yang aku kuatirkan. Mereka pasti sengaja mengalihkan perhatian kita sehingga kekuatan kita terpecah. Suruhlah separo dari pengawal di halaman ini untuk seolah-olah berangkat menuju Kademangan, tetapi perintahkan agar berhenti di tempat yang terlindung dan tidak terlalu jauh dari sini. Sepakatilah sebuah isyarat sehingga sewaktu-waktu kita bisa memerintahkan mereka untuk kembali ke halaman ini. Jangan pikirkan Kademangan yang sedang terbakar, pasti pengawal dan warga disana sekarang sedang berusaha memadamkan api itu. Sebenarnyalah pusat pusarannya akan ada di halaman ini”
Ki Demang yang sangat percaya dengan adiknya itu mengangguk dan segera memberi perintah kepada anak tertuanya dan para peminpin pengawal yang ada di halaman itu.
Swandaru yang berlindung di balik pagar rumah seberang, melihat kesibukan itu dan hanya bisa menduga-duga. Ia mencoba mencari kesempatan untuk lebih mendekat sehingga bisa mengikuti perkembangannya dengan lebih jelas.
Ketika kesibukan pengawal di halaman itu meningkat, Swandaru segera mengendap-endap meloncati pagar sebelah menyebelah lalu memutar balik kembali mendekati halaman banjar. Tadi ia sempat mengamati ada sebuah pohon jambu air yang cukup rimbun tepat di sebelah bangunan banjar dan agaknya akan menjadi tempat yang sangat baik untuk mengamati keadaan di halaman itu.
Demikianlah, ketika hampir separo jumlah pengawal itu berangkat meninggalkan halaman banjar, maka ternyata Swandaru sudah bertengger di cabang pohon jambu air di samping halaman banjar.
Keramaian di halaman banjar itu kini sudah agak berkurang, tetapi beberapa pengawal justru menambahkan beberapa oncor sehingga keadaannya menjadi semakin terang.
Keramaian di halaman banjar itu kini sudah agak berkurang, tetapi beberapa pengawal justru menambahkan beberapa oncor sehingga keadaannya menjadi semakin terang.
Untuk beberapa saat mereka semua menunggu dengan penuh ketegangan. Kiai Garda terlihat berdiri di halaman samping sambil memegang sebuah tongkat kayu yang panjangnya sekitar sedepa. Sementara tiga orang muridnya menyebar dan mendampingi Ki Demang yang berbaur dengan para pengawal.
Ketegangan malam itu lamat-lamat disisipi sebuah suara yang sangat dikenal oleh Kiai Garda, suara burung Kedasih. Segera ia menyusul dan mendekati Ki Demang yang berada di halaman depan.
“Kakang, suruhlah para pengawal bersiap-siap, aku curiga bahwa suara burung kedasih itu adalah isyarat mereka untuk mendatangi banjar ini”,- bisiknya kepada Ki Demang.
Wajah Ki Demang terlihat berkerut, wajahnya sedikit dimiringkan dan segera ia menangkap suara burung kedasih yang memang tidak terlalu keras membelah udara malam. Segera ia mengangguk dan menyuruh para pengawal untuk bersiap-siap menyambut lawan yang akan datang.
Mendekati wayah sepi uwong udara terasa semakin panas, sementara ketegangan dihati para pengawal seolah juga sudah pada puncaknya, sehingga mereka lebih banyak berbicara dengan diri sendiri.
Tiba-tiba saja keheningan malam itu dipecahkan oleh suara tertawa yang muncul begitu saja diatas udara halaman banjar itu. Suara itu bergemuruh menyebar ke seluruh penjuru halaman dan kadang-kadang bahkan melengking tinggi serta meliuk-liuk menyakitkan telinga.
Awalnya para pengawal hanya merasakan betapa suara itu sangak tidak merdu dan bahkan memuakkan di telinga mereka. Tetapi lama kelamaan suara itu terasa mempunyai pengaruh yang mampu menghentak dan menyesakkan dada sehingga mereka terpaksa harus menutupi telinga serta memegangi dada masing-masing untuk mengurangi daya hentakan itu.
Kiai Garda yang melihat pengaruh suara tertawa itu atas para pengawal segera menyadari apa yang terjadi.
“Gelap Ngampar!,” – desisnya pelan.
Salam,
No comments:
Post a Comment