Saturday, April 1, 2017

SISIPAN


Tentang Sebuah Nama

“Enam belas Agustus tahun empat lima, besoknya hari kemerdekaan kita..”
Nyanyian itu sering terdengar ketika serombongan anak-anak melewati sebuah rumah.
“Di, kulkasmu dudu toilet lho yooo…”
“ Di, ayam goreng e wis mbok jilati ta?”
“ Di, iku lho ono crito lucu maneh soko awakmu yo…”
oo0oo
Sapaan bernada ejekan semacam itu sudah terlalu sering didengarnya dari anak-anak maupun teman-teman seusianya. Terlebih sekitar tujuh-delapan bulan yang lalu ketika fenomena Mukidi mencuat dahsyat seantero Nusantara, sementara ia hanya bisa tersenyum kecut.
Ya, namanya memang Mukidi, lengkapnya Mukidi Rahardjo. Tetapi wajah dan penampilan sehari-harinya sangat jauh dengan Mukidi yang di citrakan sebagai seorang yang nyentrik pembawa kelucuan.
Ia lebih banyak memasang wajah serius.
Tahun ini umurnya mendekati setengah abad, tetapi hatinya justru gelisah.
“Aku dulu berharap bahwa seiring bertambahnya umur, aku mampu membangun sebuah kebijakan dan kewibawaan dalam diriku sehingga bisa dihormati oleh anak-anakku maupun orang disekitarku. Tetapi mengapa justru diusia ini malah muncul seorang Mukidi lain yang merusak semua citra yang kubangun selama ini?” – batin Mukidi mengeluh.
Tiba-tiba saja ia seolah terlempar ke masa lalu.
Masa kecil ketika tubuhnya sangat kurus sehingga ia sering di juluki si keceng dan di ejek bertenaga lemah ketika tidak mampu menggendong teman-temannya setelah kalah dalam permainan jamuran. Ketika itu hatinya sangat panas sehingga ia bertekad untuk mempunyai badan yang berotot serta tanaga yang besar tak tertandingi. Dengan dukungan dari orang tua maka porsi makanannya meningkat dua kali lipat dari yang sewajarnya.
Kini tubuhnya bahkan terbilang gemuk dan berotot, hanya saja ia tergolong pendek sehingga terkesan badannya melebar. Wajahnya meskipun tidak terlalu ganteng, tetapi kedua pipinya yang tembem membuat banyak teman yang menyukainya.
Menginjak masa remaja ia bahkan tercatat sebagai satu-satunya yang mewakili kotanya untuk melaju dalam pertandingan pencak silat nasional setelah membuat pingsan lawan tandingnya yang merupakan teman masa kecilnya yang sering meremehkannya.
Ia kemudian bisa kuliah di sebuah perguruan tinggi ternama dan memilih fakultas peternakan. Disini ia jatuh cinta pada kuda.
Ya benar, kuda.
Dimata Mukidi saat itu, kuda merupakan binatang yang sangat mengagumkan. Jika dirawat dengan baik, kulitnya terlihat berkilau indah. Surai-nya yang di leher bagian atas bergerak ke kanan kiri dan mengundang decak kagum. Terlebih tenaga kuda sedemikian kuat dan mampu menjadi kuda pacu yang berharga sangat mahal.
Derap kuda yang berlari perlahan-lahan seolah terdengar bagai irama musik yang indah di telinga Mukidi.
Tidak peduli apa warna kuda, Mukidi sudah menetapkan bahwa sejak saat itu sebagian besar hidupnya akan di habiskan bersama dengan serombongan kuda.
Ketika lulus, dan setelah menikah dengan gadis pilihannya, ia kemudian membangun sebuah peternakan di pinggiran kota dan menghabiskan sebagian besar waktunya di kandang itu.
Ternyata pilihan pekerjaannya ini tidak salah, dari sini ia dikenal sebagai pedagang dan peternak kuda yang handal. Bahkan kenalan dan pelanggannya beraneka ragam mulai dari atlit pacu kuda, artis hingga para politisi. Secara financial, pilihan sebagai peternak kuda ini sangat mencukupi dan bahkan melimpah.
Hanya saja ia harus merelakan penampilannya yang lebih banyak bercelana pendek, berkaos singlet dan berbaur dengan bau tajam kotoran kuda.
“Dad, ijazah iki duwek e sopo se?”, - suara si Michellie anaknya membuat Mukidi gelagapan terbangun dari lamunannya.
“Opo se Chell…”, - Mukidi terkesan ogah-ogahan menanggapi pertanyaan anak gadisnya yang bernama lengkap Michellie Rahardjo itu.
“ Iki lho Dad, aku lak katene legalisir ijasah SMP-ku se, lha koq nemu file uakeehh…nggone sampeyan ta? Iki onok ijazah TK fotone koyok sampeyan, tapi koq kurus banget, enggrik-enggrik-en. Lhooo…jenenge Swandaru Geni, konco sampeyan ta Dad?”, - suarane Michellie tambah nyerocos.
Terpaksa Mukidi berjalan mendekat dan melihat apa yang ditunjukkan anaknya.
“Hmm…iku ancen photo ambek jeneng e Daddy rek, lho Mom gak nate crita ambek ko’on ta Chell?”
“Crito opo se Dad, aneh-aneh ae sampeyan iku”
Mukidi menarik nadas dalam-dalam, istrinya memang sudah meninggal ketika Michellie berumur sebelas tahun dan kini ia hanya tinggal bersama kedua anaknya, Michellie Rahardjo dan adiknya Sergio Mendez Rahardjo. Tentu belum banyak yang diketahui kedua anaknya tentang masa lalu orang tuanya.
“ Ngene lho Chell, biyen waktu lair jeneng asliku iku yo Swandaru Geni iku. Gak ngerti aku opo’o eyangmu milih jeneng iku. Lha, cik gak tepak e pisan, aku iku jarene rewelan, awak kuru athek loro-loro-en terus, nggarai judheg wong sak-omah. Mangkane ambek pak lek Prapto, yo eyang Prapto iku, jenengku diganti dadi Mukidi Rahardjo yo jenengku sing saiki. Jare ne aku kabotan jeneng!”
“Lhoalaa…cik eman e Dad, padahal jeneng Swandaru Geni iku uapik lhoo…trus artine Swandaru Geni iku opo Dad,” – Michellie mulai menampakkan rasa penasarannya.
Mukidi yang sangat mengenal anak gadisnya itu memilih diam. Ia tahu kalau ia menanggapi, maka pembicaraan dengan Michellie tentang hal yang tidak penting ini akan menjadi semakin panjang dan bertele-tele. Ia hanya menaikkan kedua bahunya.
“Yak opo se Dad sampeyan iku, jenenge dewe koq gak ngerti artine. Mending sampeyan ganti jeneng maneh ae, apik-an Swandaru Geni timbang Mukidi!,” - Michellie seolah-olah menemukan sebuah topik pembicaraan yang mengasyikan.
“Ko’on iku ngomong opo se Chell?.” – Mukidi bangkit dan berjalan menuju teras.
“Lho temen iki Dad,” – suara teriakan Michell terdengar keras meskipun Mukidi sudah ada di teras depan,” – timbangane jeneng sampeyan sing saiki dadi bully-ane wong-wong lho. Lha, Mukidi dewe iku artine opo se Dad?”.
Mukidi tidak menjawab melainkan duduk di kursi teras sambil meneruskan lamunannya. Suara geremengan Michellie dari ruang dalam sudah tidak diperhatikannya lagi.
Semilir angin dan keteduhan pohon mangga di teras ini membawa kesejukan meskipun saat itu siang hari. Ia memejamkan mata dan tetapi tidak bisa menghindar kata-kata dan pertanyaan anaknya si Michellie terngiang kembali ditelinganya.
Ia menggeleng-gelengkan kepalanya dan kembali terdiam untuk beberapa lama.
Tiba-tiba saja Mukidi bangkit dan segera terburu-buru menyeberang jalan depan rumahnya menuju rumah pak lek Prapto yang hanya berjarak empat rumah. Sementara teriakan Michellie yang menyusul ke teras tidak di hiraukannya.
Menjelang sore, Michellie melihat orangtuanya itu pulang sambil menenteng tumpukan buku banyak sekali. Buku itu terlihat kuno tetapi ilustrasi atau gambar terlihat sangat menarik.
Mulai hari itu hingga beberapa hari kedepan Mukidi banyak menghabiskan waktunya di dalam kamar dan asyik tenggelam dengan bacaannya.
Hal itu membuat Michellie penasaran sehingga ketika Mukidi mandi, segera Michellie berjingkat masuk ke kamar bapaknya dan menarik serta membaca sampulnya.
Tertulis dengan huruf yang indah “Api Di Bukit Menoreh"
oo0oo
Suasana Kantor Kependudukan dan Pencatatan Sipil atau yang sering disingkal DukCapil siang itu terlihat agak sepi. Setelah memimpin rapat, kepala Dukcapil yang bernama Ki Yuli Mardiyono saat itu sedang menemui seorang tamu, yang tidak lain adalah Mukidi Rahardjo.
“Oh…jadi Bapak berniat ganti nama ya?”
“Benar pak, konon di usia setengah abad begini kita bisa membuat resolusi untuk sebuah kemajuan. Nah, saya berniat memulainya dengan mengganti nama,”- Mukidi menjawab dengan mantab.
Ki Yuli memeriksa dan membaca berkas yang diserahkan Mukidi dengan kening yang kadang berkerut dan kadang sambil menahan senyum.
“Jadi Pak Mukidi sudah pernah berganti nama dua kali dan ini kali ketiga ya?” tanyanya sambil tersenyum.
Mukidi hanya menganggukkan kepalanya.
Ki Yuli kemudian menoleh kepada sekretarisnya yang saat itu sedang sibuk dengan laptopnya.
Dengan tersenyum ia berkata,” – Bu Sri Handayani, tolong dibantu sebentar. Ini ada Pak Mukidi yang berniat akan mengganti namanya. Silahkan di dibaca dulu dan di proses”.
Sekretaris itu melangkah mendekat, sementara Mukidi seolah terpana melihat raut wajah perempuan yang akan membantunya merubah nama itu. Hatinya berdebar-debar tanpa mengetahui sebabnya.
Sementara Ibu Sri yang sudah terbiasa dengan proses penggantian nama itu tanpa banyak bertanya langsung mengambil berkas pengajuan dari tangan Ki Yuli dan membacanya.
Wajah jelita itu tiba-tiba saja berubah, ia seolah kurang yakin dengan apa yang ia baca sehingga perlu mengulanginya beberapa kali sebelum akhirnya memberanikan diri bertanya.
“Jadi Pak Mukidi yakin akan berganti nama?”
“ Ya Bu,” – jawab Mukidi mantab.
“ Supaya tidak salah, siapakah nama baru yang bapak pilih?,” – suaranya terdengar lirih menahan sedih.
“Agung Sedayu!”
Salam,

No comments:

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...