Tengah malam sudah jauh terlewati, tetapi kegelapan masih begitu pekat menyelimuti langit kademangan Sangkal Putung. Terlebih mendung tipis yang awalnya bergelanyut kini tergantikan awan hitam yang berarak pelan seolah sedang menghimpun uap air untuk segera ditumpahkan sebagai hujan dan menyirami daerah yang subur ini.
Saat itu Agung Sedayu duduk bersila menghadapi dua buah jambangan yang terbuat dari tanah liat, sementara sedikit dibelakangnya, Ki Widura dan Ki Demang duduk di sebelah kanan dan kirinya.
Dua buah jambangan berisi air itu masing-masing dimasukkan beberapa babakan atau kulit pohon kelor selebar kurang lebih tiga jari dan diatasnya dipenuhi dengan serabut kelapa atau yang oleh kebanyakan orang di sebut sebagai sepet.
Tidak ada lagi bahan-bahan lain.
Sebenarnya, tidak banyak yang dilakukan Agung Sedayu. Setelah selesai menyiapkan ubo-rampe yang hanya terdiri atas dua jenis dan mudah ditemukan di sekitar, maka ia mengajak Ki Demang dan Ki Widura untuk memusatkan nalar budi dan memohon perlindungan kepada sesembahan Yang Maha Melindungi.
“Ayah Demang dan Paman Widura, “ – Agung Sedayu berkata lirih,” – Guru sering menasehati aku tentang sebuah keyakinan. Seberapapun banyaknya bekal dan tingginya ilmu yang kita miliki, tetapi sesungguhnya itu sangat tidak ada artinya di hadapan yang Maha Kaya dan Maha Tinggi. Di atas langit masih ada langit, tetapi jika kita selalu bersandar dan berlindung pada kuasa Yang Maha Melindungi, maka mudah-mudahan kita termasuk dalam kelompok umatNya yang di lindungi”
“ Inilah saatnya keyakinan kita di uji, marilah kita pusatkan nalar budi kita dengan niat untuk memohon perlindungan kepada Yang Maha Melindungi. Jangan ada keraguan sedikitpun atas perlindungan dari Yang Maha Kuasa, sedikit saja ada keraguan itu akan tidak baik bagi kita semua khususnya bagi adi Swandaru “
Ki Demang tidak menjawab dan hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara Ki Widura tidak bisa menahan diri untuk bertanya.
“ Sedayu, apa yang akan kau lakukan dengan jambangan itu,” – tanyanya lirih.
Agung Sedayu tidak segera menjawab, melainkan memandang langit terlebih dahulu sambil menarik nafas dalam-dalam.
“ Paman,” – akhirnya ia menjawab dengan suara lirih,” – Aku dan Sekar Mirah pernah mengalami serangan Tunda Bantala meskipun tidak sedahsyat ini. Saat itu, aku tidak sadar dan tidak tahu bagaimana cara melawannya selain bersandar kepada kuasa Yang Maha Melindungi. Ilmu kebal dan ilmu cambukku tidak berarti “
“ Untunglah Ki Waskita bisa memberi petunjuk agar terhindar dari serangan ini di kemudian hari,” Agung Sedayu melanjutkan kalimatnya.
Baik Ki Demang maupun Ki Widura terlihat hanya termangu-mangu.
“Baiklah, kita tidak boleh terlambat. Marilah kita mulai permohonan kita”, - tiba-tiba Agung Sedayu dengan cepat mengambil posisi duduk bersila untuk memulai pemusatan nalar budinya.
Dengan sendirinya Ki Demang dan Ki Widura mengikuti.
Sebenarnyalah Agung Sedayu di karunia kemampuan mengingat yang luar biasa. Saat ia berniat untuk menyimpan sebuah pembicaraan ataupun isi sebuah kitab, maka dengan mudah ia akan memahatkannya dalam ingatan dan sewaktu-waktu bisa membukanya. Kini pembicaraan dengan Ki Waskita setelah kejadian di singkapnya Aji Tunda Bantala seolah-olah kembali terngiang jelas di telinganya.
“ Anakmas Sedayu “, - sambil menghela nafas Ki Waskita berkata,” – Bagi orang yang mempunyai keyakinan tebal akan kuasa Yang Maha Melindungi, maka Tunda Bantala tidak akan banyak berarti. Tetapi bagaimanapun juga ketidaksadaran akan datangnya serangan itu bisa memperlemah dan bahkan bisa berakibat fatal atas keadaan kita. Karena itu sesungguhnya sikap hati-hati dan waspada setiap saat sangatlah penting”
“ Cobalah untuk mengenali ciri-ciri dan keadaan sebagaimana yang pernah anakmas alami. Bukan ciri fisik seperti lemahnya kaki yang seolah tak bertulang atau kacaunya pikiran seperti yang di alami istrimu Sekar Mirah. Adalah penting untuk mengasah panggraitamu ngger, dan aku meyakini bahwa itu tidak sulit bagimu”
“Aku mohon petunjuk Ki Waskita”, suara Agung Sedayu terdengar lirih.
Ki Waskita tersenyum.
“ Begini anakmas, kau mungkin pernah melihat aku bisa membuat mainan bentuk-bentuk semu. Sesungguhnya aku malu untuk mengatakan, tetapi memang bentuk-bentuk semu itu tidak akan berpengaruh apapun terhadap lawan kita. Itu hanya bisa menipu anak-anak tetapi tidak bagi orang yang mempunyai mata batin dan panggraita yang tajam. Sebenarnyalah kepekaan dan panggraita itu itu sudah kau miliki ngger, hanya perlu sedikit laku tambahan agar hal itu bisa melekat dan bangkit dengan sendirinya ketika ada hal yang tidak wajar di sekitar kita”
“Disamping itu, ada hal yang aku ingin kau bisa mengingatnya apalagi kalau sempat mempelajarinya agar bisa terhindar dari serangan ilmu hitam seperti Tunda Bantala ini. Kita pernah melihat betapa ditangan seseorang yang linuwih, keris yang dipegang seolah bisa menyala, seseorang yang bersenjata selendang mampu membuat selendang itu kaku bagaikan lembaran kayu. Ia menyalurkan ilmu dan tenaga cadangannya sehingga sifat ilmunya bisa tersalur ke benda-benda yang dipegangnya atau dikehendakinya”
“ Lalu, bukankah kau juga mampu membuat cambuk lenturmu itu seperti tongkat kayu ngger?”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam tanpa menjawab pertanyaan Ki Waskita itu.
“Anakmas Sedayu”, - Ki Waskita melanjutkan,” – bukankan anakmas pernah melihat ada seseorang mampu membakar kulit lawannya dengan tangannya yang membara. Beberapa orang mampu menyerap kekuatan inti dari air, udara, api dan tanah. Bahkan bukankah kau pernah berhadapan dengan Ajar Tal Pitu yang seolah mampu menyerap kekuatan sinar rembulan?”
Agung Sedayu tidak menjawab melainkan menundukkan kepalanya dalam-dalam.
“ Itulah ngger, intinya cobalah masuk ke kedalaman dan aku yakin dengan bekalmu yang sekarang, hal itu tidak sukar. Dengan sedikit laku dan makan beberapa empon-empon terpilih, maka kau akan mampu menyalurkan dan membenamkan kekuatan ilmumu ke benda-benda tertentu. Itu bisa sebagai alat bertahan atau menyerang dan bahkan terhadap kekuatan yang tidak kau lihat tetapi harus kau sadari ”
“ Apakah aku mampu Ki Waskita ?”, - tanya Agung Sedayu.
Waktu itu terlihat Ki Waskita tersenyum.
“ Aku mengenalmu ngger, cobalah. Jika itu sudah kau kuasai, aku ingin menitipkan sebuah ilmu yang di sebut Ajian Jaring Seto “
“ Aji Jaring Seto? “
Salam,
No comments:
Post a Comment