BALADA SWANDARU GENI
Sebuah Perjalanan
Babak-11
Sebuah Perjalanan
Babak-11
Pandan Wangi melakukan gerakan menebas dan menusuk secara beruntun dan ini membuat Swandaru dan Sekar Mirah tertegun.
Dalam keadaan biasa, memang cukup sulit bagi lawan untuk menghindari serangan ini mengingat gerakan Pandan Wangi yang sedemikian cepat. Tetapi kesulitan itu kini meningkat puluhan kali lipat ketika ternyata semua gerak tubuh Pandan Wangi, terutama tangannya, seolah berjumlah menjadi ratusan bahkan ribuan yang mampu mengurung lawan.
Bayangan gerak itu tidak langsung menghilang melainkan justru menumbuhkan bayangan baru lagi. Pandan Wangi seolah mampu menciptakan bayangan dalam bayangan secara bertingkat layaknya deret ukur atau deret hitung dan itu dilakukan dalam kecepatan yang teramat tinggi.
Agung Sedayu bergerak semakin cepat untuk menghindar sambil mencoba mencari celah untuk melakukan serangan balik ke tubuh lawan tandingnya. Tetapi hal itu tidak mudah karena gerak Pandan Wangi yang menerapkan Ajian Asta Sewu itu seolah membungkus tubuhnya dengan gerak ribuan tangan.
Ajian ini mampu membentengi dirinya sekaligus melakukan serangan kepada lawan, sungguh sebuah gerak jurus yang menggetarkan.
Seiring peningkatan gerak dan pengungkapan tenaga cadangan oleh keduanya, tanah dan rerumputan di lapangan itu menjadi seolah habis dibajak. Pohon-pohon dan semak belukar yang berada di pinggir lapangan sudah rusak porak poranda, tetapi tidak mereka hiraukan.
Tiba-tiba saja terdengar suara Agung Sedayu mendesah, dadanya terkena hempasan serangan Pandan Wangi yang membuat ia terlempar bahkan hampir saja terjatuh. Tetapi begitu kakinya menyentuh tanah, tubuhnya langsung melejit tinggi dan berputar beberapa kali sebelum mendarat ditanah beberapa tombak justru di belakang Pandan Wangi.
Diam-diam Agung Sedayu merasa kagum pada kecerdasan Pandan Wangi serta kemampuannya dalam mengendalikan diri. Tubuhnya memang tidak tersakiti apalagi terluka, tetapi kejutan yang diberikan Pandan Wangi itu membuatnya kagum.
“ Ia tidak mengetrapkan kelebihannya untuk bisa menyerang dan melukai lawan dari jarak hampir setombak secara terus menerus. Pandan Wangi sabar menunggu dan justru disaat yang tepat ia mampu menerapkan kelebihan serangannya itu dengan mendadak ketika lawan terlena,” – desis Agung Sedayu dalam hati.
Demikianlah, penjajagan malam itu masih berlangsung dengan serunya. Swandaru dan Sekar Mirah yang menyaksikan pertarungan itu dari luar arena mampu membuat penilaian betapa Pandan Wangi sudah maju sedemikian pesat. Pandan Wangi telah melakukan sebuah loncatan panjang yang meningkatkan dasar kemampuannya khususnya dalam pengungkapan tenaga cadangan serta kecepatan gerak yang tinggi.
Entah darimana asalnya, tiba-tiba saja muncul perasaan tidak nyaman yang menyelinap dalam hati Swandaru, hatinya mendesah,” – Apalagi kalau kakang Agung Sedayu berkenan menurunkan dan melatih beberapa ilmu lainnya, tentu Pandan Wangi akan menjelma menjadi perempuan yang perkasa. Agaknya aku memang harus bekerja keras untuk bisa melampaui mereka semuanya”.
Swandaru berusaha membuang pikiran-pikiran itu dari otaknya,”- Ah, Pandan Wangi adalah istriku, aku harus ikut berbangga dengan perkembangan ilmunya ini. Ia akan mampu membantuku untuk melindungi Kademangan dan juga mengasuh anakku”.
Dengan sekuat tenaga Swandaru berusaha mengendalikan perasaan aneh yang muncul tanpa dikehendakinya. Ia lalu menajamkan matanya dan terpaku pada kedua bayangan hitam yang berkejaran dan berputar-putar dengan cepatnya. Arena pertarungan keduanya seolah terbungkus oleh ribuan tangan Pandan Wangi yang bergerak terus menerus tiada henti.
Agung Sedayu terpaksa mempertebal perlindungan tubuhnya karena serangan ribuan tangan itu kini mulai menyakitinya. Pandan Wangi sadar bahwa ia tidak mungkin mengulang kelengahan Agung Sedayu dan karena itu ia sengaja mengungkapankan ilmunya yang bisa melukai lawannya dari jarak jauh secara terus menerus. Suara mendesing tajam itu kini terdengar lebih sering tetapi tubuh Agung Sedayu justru seolah tidak teraba dan selalu mampu menghindar sehingga serangan Pandan Wangi itu mengenai tanah, semak belukar atau pohon yang ada di sekitarnya.
Sampai sedemikian jauh Pandan Wangi merasa bahwa serangannya sia-sia seolah tidak berarti sama sekali bagi Agung Sedayu itu.
Tiba-tiba ia merasa terpacu untuk mengerahkan dan menunjukkan semua apa yang dia milikinya. Ia ingin Agung Sedayu melihat bahwa ia telah berusaha sejauh mampu dilakukannya dan menuruti semua petunjuknya.
“Ibarat seorang murid, aku tidak boleh mengecewakan kakang Agung Sedayu yang kini ku anggap sebagai seorang guru. Semoga ia cukup puas dengan hasil yang aku peroleh ini,”.
Pikiran ini membuat tandang Pandan Wangi semakin sebat. Seluruh tenaga cadangannya tercurah tuntas sehingga gerak dan serangannya menjadi sedemikian garang.
Akibatnya, kini yang terdengar bukan lagi desingan tajam seperti di awal latih tanding tadi, melainkan suara ledakan-ledakan kecil yang mengiringi setiap serangan yang dilancarkan Pandan Wangi.
Tubuhnya bergerak semakin cepat dan menciptakan ribuan tangan yang terus mengejar dan mengurung lawan. Gerakannya terkadang bagaikan seekor rajawali yang menukik menyambar mangsanya, tetapi sesaat kemudian gerak Pandan Wangi berubah bagaikan seekor lalat atau lebah yang menari-nari mengejar dan mengitari lawannya sambil melancarkan serangan dengan ledakan-ledakan kecil yang teramat sering.
Sungguh suasana malam menjelang dini hari itu kini terasa menakutkan.
Pada tahap ini Pandan Wangi seolah lupa, bahwa di pinggir lapangan berdiri seorang Swandaru Geni yang juga suaminya, yang cenderung tidak terlalu menganggap atau bahkan mengabaikan pencapaiannya selama ini. Ia lupa akan sifat dan sikap suaminya itu. Saat itu Pandan Wangi hanya berpikir bahwa ia ingin menunjukkan hasil lakunya dan tidak ingin mengecewakan Agung Sedayu yang telah menurunkan salah satu ilmunya.
Sebuah keputusan yang sebenarnya tidak salah meskipun kurang tepat.
Sementara Swandaru dan Sekar Merah berdiri mematung, hati kedua kakak beradik itu tiba-tiba berdebaran dengan pikiran masing-masing.
Tanpa prasangka, Sekar Mirah bisa melihat perkembangan itu dengan hati yang lebih terbuka dan merasa bahwa agaknya saat ini dirinya maupun Swandaru akan cukup kesulitan untuk mengimbangi Pandan Wangi.
Sementara hati Swandaru semakin tidak menentu. Pandan Wangi kini seolah menjelma menjadi seorang perempuan yang garang dan mempunyai kemampuan teramat tinggi, tidak sesuai dengan anggapannya selama ini.
“Lalu bagaimana sikap yang seharusnya kuambil jika ternyata istriku mempunyai kemampuan mendekati atau bahkan melampauiku?” – suara batinnya seolah berulang kali berbisik di telinganya.
“Ah, Pandan Wangi adalah seorang istri yang baik,” – sekali lagi Swandaru mencoba menetramkan hati,” – bahkan sejak muda ia sudah menyandang pedang dan di medan perang. Aku tidak boleh berpikiran yang tidak pada tempatnya. Sebaliknya aku harus selalu mengingat nasehat guru untuk bisa menguasai perasaanku dan juga menerapkan isi ajaran Kidung Panguripan untuk mengarungi hidup bebrayan”
Swandaru benar-benar berperang dan berusaha menguasai perasaannya, meskipun matanya masih terpaku pada pertarungan antara istrinya dengan kakak seperguruannya, tetapi pandangan matanya itu sesaat terasa kosong.
Saat itulah tiba-tiba Sekar Merah menjerit kecil sambil meloncat memburu ke arah Pandan Wangi. Sementara tubuh Agung Sedayu melesat bagai bayangan dan langsung menyambar serta kemudian menopang tubuh Pandan Wangi yang tiba-tiba saja roboh.
“Wangi!,” – desis Agung Sedayu lirih.
Salam,
No comments:
Post a Comment