Saturday, April 1, 2017

BALADA SWANDARU GENI - Sebuah Perjalanan - Babak-3


Suasana didalam bilik itu kembali hening, tidak ada yang bersuara. Mereka seolah tenggelam dalam angan-angan dan membayangkan betapa cukup berat apa yang harus dilakukan oleh Pandan Wangi untuk kesembuhan suaminya.

Bagi perempuan pada umumnya, rambut merupakah mahkota yang senantiasa di jaga karena terkait dengan kebanggaan pribadi. Mereka bahkan selalu menyisihkan waktu untuk membakar batang padi kering atau yang disebut merang dan memakai abunya yang dicampur dengan wewangian untuk keramas dan memelihara rambutnya sebanyak dua atau tiga kali dalam sepekan.

Tidak heran rambut seorang perempuan terlihat berkilau, sehat dan mendukung penampilan dan kecantikan seorang wanita. Sulit membayangkan ketika seorang perempuan harus kehilangan rambutnya meskipun hanya untuk sementara.

Bahkan mereka yang ada di ruangan itu hampir semua pernah mendengar kisah akan adanya seorang tokoh wanita berkemampuan sangat tinggi yang menggunakan juntai rambutnya sebagai senjata dalam setiap pertarungan. Nyai Rikma Rembyak !

“ Aku sama sekali tidak keberatan kakang, “ – suara Pandan Wangi terdengar meluncur lembut tanpa keraguan.

“ Wangi ! ” – suara Swandaru terdengar lemah dan penuh perasaan.

“ Tenanglah kakang,” – Pandan Wangi memegang telapak tangan Swandaru sambil meneruskan kalimatnya,” – Rambut ini sama sekali tidak ada artinya dibandingkan kesembuhanmu. Kesembuhanmu adalah segala-galanya bagiku dan juga untuk keluarga kita semua, sementara rambutku masih bisa tumbuh lagi. Aku juga ikhlas untuk tirakat dan berlutut di kakimu dengan mengusap semua luka sambil mengucap ribuan doa kakang. Ini hanyalah sebagian kecil dari baktiku pada suami kakang “.

Mata Swandaru terlihat basah, sementara hatinya menjadi semakin pepat dipenuhi rasa penyesalan yang dalam. Pandan Wangi adalah seorang anak Kepala Tanah Perdikan yang lebih besar dibandingkan sebuah Kademangan. Selain cantik jelita Pandan Wangi juga mempunyai kemampuan pikir dan olah kanuragan yang jauh diatas rata-rata perempuan pada umumnya.

Seorang Pandan Wangi itu mau menerima dirinya yang hanya anak seorang Demang dan lalu meninggalkan ayahnya yang sudah berusia lanjut serta meninggalkan tanah kelahirannya. Bersedia menjadi istrinya dengan penampilan seadanya dan merawat anaknya dengan tekun.

Tetapi apa yang aku lakukan selama ini? Apakah aku sudah bisa membahagiakan Pandan Wangi dan berbakti menyenangkan mertuaku yang sudah lanjut usia di Menoreh itu? Tidak, aku bahkan telah terlalu banyak mengecewakannya dan berbuat kesalahan yang terlalu besar.

Swandaru yang tidak kuat menahan perasaannya itu akhirnya terisak-isak dan tubuh bagian atasnya ikut berguncang pelan. Ia benar-benar merasa bersalah yang teramat dalam kepada Pandan Wangi tetapi ia tidak berani berterus terang ataupun meminta maaf. Luapan perasaannya itu akhirnya tersalurkan lewat isakan tangisnya yang memelas.

Ki Demang Sangkal Putung terlihat mengerutkan keningnya dan merasa sangat heran, demikian pula yang dirasakan Pandan Wangi. Seolah yang ada di pembaringan itu bukanlah Swandaru Geni yang selama ini dikenalnya. Ia sama sekali kehilangan sikap garang, angkuh ataupun meremehkan orang lain.

Apakah hanya karena serangan teluh pada kakinya itu kemudian Swandaru berubah sikap menjadi orang yang nampak seperti sekarang? Perasaannya menjadi cengeng sehingga gampang menangis serta tidak tahan terhadap rasa sakit.

Hanya Agung Sedayu dan Sekar Mirah yang paling tahu apa yang dirasakan dan dipikirkan Swandaru itu. Agaknya penyesalan yang paling dalam tidak mampu membuatnya bersikap tegar.

Sementara Ki Widura yang serba sedikit juga sudah tahu memilih diam.

“ Sudahlah kakang,” – suara Pandan Wangi lembut sambil mengusap tangan Swandaru -,” Mengapa kakang menjadi sedemikian lemah? Kakang harus kuat sehingga penyembuhan kakang nanti juga bisa lebih cepat “

Swandaru yang mendengar perkataan Pandan Wangi itu berusaha menenangkan hati dan pikirannya. Ia mengatur nafasnya sambil membalas remasan tangan istrinya itu. Tetapi sebelum hati dan pikirannya benar-benar tenang ia mendengar Pandan Wangi itu berkata dengan suara yang tegas.

“ Tetapi aku ada satu permintaan kakang “

Nafas di kerongkongan Swandaru seolah tersedak.

Salam,

No comments:

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...