Saturday, April 1, 2017

BALADA SWANDARU GENI - Sebuah Perjalanan - Babak-5


“ Sebuah laku? Jangan berputar-putar Wangi, aku tidak tahu maksudmu,” – suara Swandaru terdengar lemah tetapi diliputi dengan rasa penasaran.
Sementara itu justru Agung Sedayu yang menarik nafas dalam-dalam, agaknya ia adalah satu-satunya orang yang dengan cepat mengerti apa yang di maksudkan oleh Pandan Wangi.
“ Sungguh Pandan Wangi adalah seorang perempuan luar biasa yang mengagumkan. Kemampuan olah kanuragan dan ketajaman berpikirnya tidak dengan serta merta menghilangkan kelembutannya dalam bersikap sebagai seorang istri,” tanpa sadar Agung Sedayu berangan-angan dan memberi penilaian tersendiri.
Tetapi ia memilih untuk tetap diam.
Sementara Pandan Wangi merasa bahwa ia harus segera menjelaskan maksudnya dengan jelas supaya tidak timbul salah paham diantara mereka yang hadir di ruangan ini.
“ Kakang Swandaru,” – Pandan Wangi berkata pelan -,” Bukankah kakang Agung Sedayu mensyaratkan aku harus berpuasa disiang hari untuk menjalani pengobatanmu dan baru tengah malam hingga menjelang dini hari aku merawatmu. Nah, dengan berpuasa itu aku bermaksud untuk sekalian menjalani laku yang selama ini tertunda, atau lebih jelasnya aku ingin mempertajam apa yang sudah aku sudah mulai. Aku tidak ingin apa yang sudah nampak bentuknya itu kemudian menjadi kabur karena kesalahanku yang tidak pernah melatihnya. Ki Jayaraga sudah pernah memberi petunjuk atas apa yang harus aku lakukan untuk mempertajam kemampuanku itu. Setelah menyediakan apa yang menjadi keperluan kakang di pagi atau siang hari, aku minta ijin untuk lebih banyak di sanggar “
Suara Pandan Wangi diucapkan dengan suara yang pelan, dan ternyata hal itu dirasakan oleh Swandaru dan Sekar Mirah bagai tetesan embun pagi hari yang teramat sejuk.
Tetesan embun itu mengusap luapan bara perasaan yang hampir saja tertumpah dan kini tergantikan dengan kesejukan. Tanpa berjanji mereka berdua membuang nafas berkali-kali sehingga dadanya terasa sangat lapang dan nyaman.
Sekar Mirah bahkan menundukkan kepalanya sambil menyesali dugaannya yang salah.
“ Hati kangmbok Pandan Wangi begitu mulia, ibarat ikan maka kangmbok adalah ikan tanpa duri. Sungguh kakang Swandaru sangat beruntung beristrikan kangmbok Pandan Wangi,” – desisnya dalam hati.
Sementara mulut Swandaru bahkan seolah terkunci, ia tidak mampu bersuara karena dalam hatinya muncul kalimat-kalimat yang susul menyusul tiada henti dan menuding dirinya atas apa yang selama ini dilakukannya khususnya terkait hubungannya dengan Pandan Wangi sebagai istrinya.
“ Lihatlah Swandaru, meskipun istrimu itu sebenarnya sedikit banyak sudah mendengar tentang hubunganmu dengan Wiyati yang memang kemungkinannya sudah hamil saat terbunuh, tetapi lihatlah apa yang diminta darimu? Ia tidak mendesakmu untuk sebuah kejelasan, karena ia tahu bahwa itu mungkin akan membuat hubungan rumah tangga kalian semakin rusak. Lalu bagaimana dengan nasib anakmu nantinya?”, - batin Swandaru bergemuruh oleh tudingan dari bagian lain dari dirinya.
“ Kesanggupan Pandan Wangi untuk berkorban dan menjalani laku bukan untuk kepentingan dirinya semata, melainkan karena ia meyakini bahwa ini adalah sebagian kecil dari baktinya kepadamu!. Sadarkah kau Swandaru bahwa Pandan Wangi yang sejak remaja sudah menyandang dua pedang tipis di pinggangnya itu mungkin sudah mendekati atau bahkan melampaui kemampuanmu? Lalu apakah dia pernah bersikap meremehkanmu?,” – ada nada suara lain yang susul-menyusul menghantam relung hatinya.
Tiba-tiba Swandaru memejamkan matanya dengan sangat rapat, tetapi dari sudut-sudut mata itu mengalir air bening tanpa bisa dicegah. Sejenak kemudian bahkan disusul suara terisak-isak.
Agung Sedayu yang melihat keadaan Swandaru segera mendekat dari sisi pembaringan yang lain sambil mengusap pundak adik seperguruannya itu. Ia bisa menduga bahwa penyesalan yang teramat dalam membuat Swandaru bersikap seperti sekarang ini, yang agaknya justru mengherankan dimata Pandan Wangi dan Ki Demang Sangkal Putung khususnya.
“ Sudahlah,” – katanya tenang berusaha mendinginkan perasaan Swandaru -,” Adi Swandaru, tenanglah dan tata perasaanmu. Apa yang diminta Pandan Wangi tentu untuk kebaikan keluarga ini. Apakah kau akan mengabulkan permintaan Pandan Wangi itu?"
Dengan sekuat tenaga Swandaru berusaha menenangkan diri, usapan tangan Agung Sedayu di pundaknya seolah mengalirkan udara sejuk yang membuatnya tersadar untuk bersikap tegar.
Segera ia membuka matanya dan meskipun dengan suara terpatah-patah tetapi ia mencoba menjawab pertanyaan itu sambil meremas tangan Pandan Wangi.
“ Wangi, tentu saja aku tidak keberatan dengan apa yang kau lakukan. Aku percaya padamu Wangi dan sejujurnya saat ini aku merasa sangat bersalah karena kurang memperhatikanmu. Kau adalah seorang perempuan yang mengagumkan dan juga seorang istri yang teramat baik. Aku seharusnya bisa memberikan perhatian yang lebih kepadamu Wangi, juga kepada Ayah di Menoreh. Maafkan aku Wangi,”
Penyesalan yang teramat dalam membuat suara Swandaru seolah terputus di tenggorokannya.
Sementara wajah Pandan Wangi terlihat sedikit jengah mendengar ucapan Swandaru. Segera ia menggenggam lebih erat tangan suaminya itu sambil berusaha mengalihkan pembicaraan.
“ Sudahlah,” – katanya kemudian sambil berpaling kepada Agung Sedayu -,” Adakah hal lain yang harus aku lakukan kakang?”
Agung Sedayu terlihat menarik nafas dalam-dalam, ia tidak menjawab pertanyaan Pandan Wangi melainkan justru memeriksa lebih jauh keadaan Swandaru Geni. Diangkatnya tangan kiri Swandaru dengan pelan naik keatas, lalu saat dipuncaknya tiba-tiba saja tangan itu dilepaskannya sehingga terhempas seolah tanpa hambatan.
Agung Sedayu kemudian berpindah ke tangan kanan Swandaru dan melakukan hal yang sama beberapa kali. Ia kemudian terlihat terpekur sejenak.
Semua yang hadir dan melihat apa yang dilakukan Agung Sedayu sebenarnya bertanya-tanya tetapi tidak ada yang bersuara. Mereka seolah sepakat bahwa Agung Sedayu sedang memeriksa dan mengupayakan kesembuhan bagi Swandaru sehingga sebaiknya mereka memberi kesempatan Agung Sedayu berpikir.
Sejurus kemudian Agung Sedayu berkata sambil memandang lurus ke titik hitam mata Swandaru.
“ Adi Swandaru, jika kutawarkan kepadamu, apakah kau juga mau jika harus menjalani sebuah laku?”
Bilik itu kembali hening.

Salam,

No comments:

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...