Semua yang mendengar perkataan Pandan Wangi itu menjadi berdebar-debar, tak terkecuali Agung Sedayu dan Ki Widura.
Ki Demang Sangkal Putung yang tidak mengetahui latar belakang masalah hanya termangu-mangu menunggu.
Tetapi tidak demikian dengan Sekar Merah, jantungnya mendadak berdebaran kencang dan tanpa dapat dicegah wajahnya terlihat menegang. Pikirannya berkecamuk dan merasa bahwa sekarang ini adalah bukan saat yang tepat seandainya Pandan Wangi ingin sebuah kejelasan.
“ Meskipun kakang Swandaru memang bersalah, tetapi saat ini ia tergolek lemah tanpa daya. Hati dan perasaannya terjatuh di titik penyesalan yang paling dalam akibat kesalahan yang diperbuatnya terkait hubungannya dengan Wiyati. Adalah tidak bijaksana jika mbokayu Pandan Wangi minta sebuah kejelasan pada saat seperti ini. Ia tak ubahnya sedang memberikan tusukan baru yang lebih dalam dan membuat kakang Swandaru semakin tak berdaya,” – tanpa sadar pikiran Sekar Mirah melayang tidak menentu.
Pada dasarnya Sekar Mirah mempunyai kemiripan sikap dengan kakaknya Swandaru Geni. Ia tidak suka menyimpan perasaan dan cenderung kurang sabar meskipun pergaulan dengan suaminya, Agung Sedayu telah banyak merubah sifatnya.
Dalam situasi seperti sekarang ini, betapapun ia berusaha berdiam diri tetapi Sekar Mirah akhirnya memilih untuk kemudian bergeser mendekat ke Pandan Wangi dan berdesis dengan pelan.
“ Mbokayu Pandan Wangi, kau lihat kakang Swandaru sedang dalam kondisi yang sangat lemah. Apa tidak sebaiknya permintaanmu itu dibicarakan nanti ketika kakang Swandaru sudah sembuh saja?”
Pandan Wangi yang mendengar ucapan Sekar Mirah itu ternyata tidak berpaling. Pandangannya masih lurus menatap wajah suaminya yang terlihat pucat dan tegang.
Sementara Swandaru semakin merasa bahwa ia memang sebaiknya tidak menyembunyikan lebih jauh tentang rahasia dan kesalahannya kalau memang Pandan Wangi penasaran dan menuntut sebuah kejelasan.
“ Biarlah, apapun yang terjadi sebaiknya segera terjadi. Aku tidak mau membuat Pandan Wangi semakin terbebani dengan hal-hal yang membelenggu perasaannya. Aku sudah terlalu banyak berbuat salah, kalau kemudian Pandan Wangi memutuskan sesuatu yang terbaik untuk dirinya aku harus merelakannya meskipun mungkin akulah yang nanti tersakiti,” – Swandaru mengeluh dalam hati.
Sementara itu meskipun tanpa menoleh, terdengar suara Pandan Wangi menyahut.
“ Mirah, aku kira kita tidak boleh menunda apapun kalau tujuan kita baik. Justru keadaan kakang Swandaru yang sedang lemah ini merupakan saat-saat yang terbaik untuk melakukannya “
Mendengar jawaban itu, jantung Sekar Mirah terasa berdegup semakin kencang, demikian pula semua yang hadir dalam bilik itu.
Sekar Mirah sungguh tidak menyangka bahwa Pandan Wangi memberi sebuah jawaban yang tajam yang membuat bibirnya justru terkatub rapat.
Demikian pula yang dirasakan oleh Agung Sedayu dan Ki Widura, mereka terdiam dan menunggu apa yang akan diucapkan Pandan Wangi selanjutnya.
Ketegangan itu kemudian dipecahkan oleh suara lemah Swandaru.
“ Apakah permintaanmu itu Wangi, katakanlah, mudah-mudahan aku bisa mengabulkannya,” – suara Swandaru lemah dan terlihat ia berusaha tenang.
Pandan Wangi tidak langsung menjawab, tangan kirinya menggenggam telapak tangan Swandaru sementara tangan kanannya mengusap kening suaminya yang berkeringat.
Untuk beberapa saat bilik itu diliputi keheningan sebelum kemudian dipecahkan oleh suara Pandan Wangi.
“ Kakang,” – Pandan Wangi berkata sambil menundukkan wajahnya,” – kalau aku boleh berterus terang, sejujurnya aku berharap bahwa dengan kejadian akhir-akhir ini mudah-mudahan kakang Swandaru bisa lebih terbuka terhadap diri sendiri dan juga terhadap orang lain. Aku percaya dan yakin akan kemampuan kakang Swandaru, apalagi kakang adalah murid utama dari Kiai Gringsing disamping kakang Agung Sedayu dan paman Widura “
Pandan Wangi berhenti sejenak, dilihatnya semua yang ada di bilik ini terdiam sambil menunggu kalimat selanjutnya.
“ Kakang, maafkan aku, tetapi bukankah kakang melihat sendiri bahwa agaknya selama ini kita sering salah menilai orang. Salah satu contoh penilaian kita atas Ki Ambara,” – Pandan Wangi berhenti sejenak dan kediaman ini seolah menyumbat kerongkongan Swandaru dan juga Sekar Mirah.
Disebutnya nama Ki Ambara membuat wajah Swandaru semburat merah, demikian pula dengan Sekar Mirah yang dadanya di penuhi rasa kuatir.
Ketika tidak ada yang menyahut, maka Pandan Wangi melanjutkan kalimatnya.
“ Selama ini kita hanya mengenal Ki Ambara sebagai pedagang kuda saja. Tetapi siapa sangka bahwa ia mempunyai kemampuan yang tinggi, bahkan teramat tinggi sehingga Ki Jayaraga harus menguras tenaga sepenuhnya untuk menundukkannya"
“ Aku yakin bahwa masih banyak orang diluar sana yang mempunyai kemampuan sangat tinggi dibanding kita. Terakhir, adalah apa yang sedang kita hadapi saat ini. Sungguh ilmu teluh ini ternyata membuat kita sama sekali tidak berdaya. Kita bagaikan anak kecil yang kebingungan tanpa tahu harus berbuat apa “
Sekar Mirah semakin pening mendengar ucapan Pandan Wangi.
“Karena itu kakang, kita harus bangkit untuk melindungi Kademangan ini maupun orang-orang yang kita cintai,” – suara Pandan Wangi tiba-tiba saja sedikit meninggi,” - Kakang, beberapa saat yang lalu sepulang kita dari Menoreh, aku pernah memperlihatkan sesuatu kepada kakang Swandaru ketika kita berlatih di sanggar. Aku pernah mendapat beberapa petunjuk dari Ki Jayaraga sehingga dengan latihan terus menerus, jangkauan seranganku atau pedangku akhirnya bisa mendahului beberapa jari dari ujud yang sesungguhnya. Apakah kakang Swandaru ingat? ”
Swandaru yang mendengar uraian panjang dari Pandan Wangi itu semakin bingung, sejauh ini ucapan Pandan Wangi belum menunjukkan arah permintaannya.
“ Wangi,” – ujarnya lemah,” – lalu apakah permintaanmu itu?”
“ Sebuah laku kakang “
Salam,
No comments:
Post a Comment