Sunday, April 23, 2017

BSG - Bab 3 : Gilang Pamungkas Babak-07

BALADA SWANDARU GENI
Bab 3 : Gilang Pamungkas
Babak-07
_______________
Mohon maaf kangmas/ mbokayu,
Ini adalah posting perdana di lapak pribadi saya setelah sekian lama cersil BSG ini dinikmati di Group ADBM. Tidak ada yang berubah selain berpindahnya lapak yang dilatar belakangi oleh rasa hormat saya kepada Ki SHM dan Admin ADBM – agar cerita ADBM di Group tidak banyak versi.
Terlebih sebagaimana Blog saya, akun FB ini sudah lama mati suri, jadi saya manfaatkan untuk mengunggah seri BSG ini agar tetap bisa dinikmati para sanak kadang. Semoga berkenan.
Salam,
_______________
Darah Pandan Wangi seolah tersirap hingga ke kepala, rasa terkejutnya melonjak dan tanpa disadarinya dadanya berdegup kencang. Ketika gerak bayangan itu tertangkap matanya, ia masih berjarak beberapa tombak dari pintu dapur, sementara suara bisikan itu begitu lirih tepat ditelinganya, bisa dipastikan hanya dia seorang yang mendengar bisikan itu.
Tetapi belum lagi suara bisikan itu selesai, bayangan hitam yang melesat seolah terbang itu telah berdiri dekat dihadapannya dan tanpa menimbulkan bunyi sama sekali.
Rasa terperanjat yang mendadak itu membuat Pandan Wangi berdiri diam mematung. Ia mencoba mengatur degup dadanya yang masih berdetak kencang.
“ Bukan main, agaknya inilah yang dinamakan ajian Pameling. Kemampuan menyerap bunyi serta kecepatan geraknya juga diluar jangkauanku ”, - desahnya dalam hati.
Bayangan itu termangu-mangu melihat Pandan Wangi yang hanya berdiam diri.
“O, maaf, apakah aku mengejutkan Nyi Pandan Wangi?”, - bayangan itu seolah baru menyadari keadaan dan berkata lirih. Kini suaranya terdengar wajar di telinga.
Dengan cepat Pandan Wangi segera menguasai perasaannya, di persilahkan bayangan hitam itu untuk masuk ke ruangan dapur.
“Silahkan masuk Adi Wahana, aku memang terkejut. Aku kira dihalaman tadi hanya aku sendiri yang mengamati keadaan”, - Pandan Wangi berkata pelan sambil menyelarak pintu dapur itu.
“ Kebetulan aku sudah ada di halaman belakang itu lebih dahulu daripada Nyi Pandan Wangi “,- Wahana menjawab sambil kakinya melangkah menuju gandok tengah tanpa menunggu jawaban Pandan Wangi.
Sementara Pandan Wangi segera menyusulnya sambil berkata dalam hati.
”Murid siapakah sebenarnya adi Wahana ini? Dalam umurnya yang semuda ini ia memiliki kemampuannya yang sangat tinggi dan aku yakin tidak berada di bawah kemampuan kakak sepupunya Sabungsari.”, - lalu ia mencoba menentramkan hatinya -,”Aku tidak boleh gelisah dan harus percaya pada rencana paman Widura. Tujuan orang-orang itu adalah untuk mengambil Gilang agar bisa memaksakan kehendaknya atasku dan Kakang Swandaru. Tugasku besok hanya melindungi Gilang, biarlah yang lain di urus oleh paman Widuran dan adi Wahana”
Di gandok tengah itu ternyata Ki Widura masih duduk bersila di sebelah Gilang yang sudah tidur melingkar. Meskipun sudah diberitahu serba sedikit tentang perjalanan besok pagi yang mungkin akan menempuh bahaya, tetapi Gilang terlihat tidak terlalu risau dan bahkan dengan tenangnya tidur mendengkur.
Mereka bertiga masih sempat berbicara sedikit untuk mematangkan rencana sebelum kemudian Ki Widura berkata.
“Sudahlah, masih ada sedikit waktu untuk beristirahat”, - katanya sambil mempersilahkan Wahana untuk memasuki bilik yang sudah disediakan.
Pagi itu keadaan di Kademangan Sangkal Putung tidak jauh berbeda dengan hari-hari biasanya. Dua orang prajurit dari Jati Anom sudah sempat menikmati sarapan pagi dan lebih suka menunggu di halaman samping sambil membenahi dan mempersiapkan kuda-kuda mereka.
Bagi kedua prajurit itu, menunggu adalah sebagian dari tugas mereka dan mereka sudah terbiasa melakukannya. Hanya saja bagi prajurit yang lebih muda, entah mengapa kali ini ia merasa betapa waktu berjalan sangat lamban. Bahkan saat matahari sudah naik hingga sepenggalah, ternyata Ki Widura dan yang lain-lainnya belum juga turun ke halaman.
“Kenapa lama sekali, bukankah kita akan berangkat menjelang matahari naik sepenggalah? Ini bahkan sudah lebih dari dua galah”, tiba-tiba saja prajurit yang umurnya lebih muda itu menggerutu.
“ He ”, - kawannya, prajurit yang umurnya sedikit lebih tua itu justru terheran-heran - ,”Kau kenapa? Bukankah kita sudah terbiasa menunggu, bahkan untuk waktu yang tidak terbatas. Mungkin saja di dalam mereka masih menyiapkan perbekalan karena kali ini harus mengajak bocah kecil”
Prajurit yang umurnya lebih muda itu agak tergagap sebelum kemudian menarik nafas dalam-dalam.
“Entahlah”, - sahutnya pelan ,” – Rasa-rasanya aku ingin segera berpacu untuk kembali ke rumah. Tadi malam aku bermimpi istriku sudah melahirkan ”
“Gila”, - kawannya yang berumur sedikit lebih tua itu mengerutkan keningnya,” – bukankah kau baru menikah tiga bulan yang lalu? Ataukah kau ada istri yang lain?”
“Ah, kau ini”
Pembicaraan mereka segera terhenti ketika Ki Widura dan yang lain-lainnya nampak menuruni tangga pendapa. Pandan Wangi terlihat mengenakan pakaian khususnya dengan kedua pedang tipis di pinggang kanan dan kirinya. Sementara wajah Gilang nampak berseri-seri dan bibirnya tak henti-hentinya mengumbar senyum, ia sudah tidak sabar untuk berpacu diatas kuda kesayangannya.
“Hati-hatilah Wangi, jaga anakmu baik-baik”, - Ki Demang Sangkal Putung berbisik di telinga Pandan Wangi, lalu ia berpaling kepada Ki Widura dan Wahana,” – Aku titipkan semuanya kepada Ki Widura dan angger Wahana”
Hampir bersamaan mereka menganggukkan kepalanya.
“Sesampainya di Padepokan Jati Anom, aku akan mengirimkan salah seorang cantrik untuk memberi kabar keselamatan kepada Ki Demang”, - jawab Ki Widura.
Demikianlah, rombongan kecil itu segera berangkat meninggalkan halaman Kademangan Sangkal Putung. Kuda-kuda mereka tidak bisa berpacu kencang karena sepanjang jalan masih harus menyapa dan menjawab beberapa pertanyaan dari warga Kademangan yang berpapasan.
Barulah ketika keluar dari padukuhan terakhir yang masih termasuk dalam Kademangan Sangkal Putung, mereka bisa berpacu lebih cepat. Gilang yang sudah terbiasa berpacu diatas kuda itu langsung melecut kudanya dan melesat mendahului yang lain.
Hal itu membuat Pandan Wangi panik dan terpaksa berpacu mengejar dan mengimbanginya.
“ Gilang, apakah kau sudah melupakan pesan Ibunda tadi malam? ”, - suara Pandan Wangi terdengar penuh tekanan.
“Aku ingat ibunda, tetapi bukankah kita masih di wilayah Kademangan sendiri?”
“Ini padukuhan terakhir Gilang, tetapi dimanapun kita saat ini, aku minta kau tidak beranjak jauh dari aku. ”, - suara Pandan Wangi bahkan kemudian meninggi.
Bagi Pandan Wangi, setelah pernikahannya dengan Swandaru Geni, ia tidak pernah merasa begitu khawatir dan gelisah seperti hari ini. Ia sudah mengalami berbagai peperangan dan pertarungan melawan orang-orang berilmu tinggi dengan mempertaruhkan nyawanya maupun nyawa suaminya. Tetapi saat ini ia harus mempertaruhkan keselamatan anak semata wayangnya yang kini bahkan sedang di tinggalkan ayahnya merantau. Hatinya menjerit seolah hendak menuntut kehadiran suaminya.
Jeritan hati Pandan Wangi itu seolah ditangkap lalu disuarakan dilangit oleh kepak sayap serombongan burung gagak yang melintasi udara sambil berkoak-koak riuh rendah.
Wajah Pandan Wangi yang sesaat mendongak ke atas itu kembali menunduk mengamati jalanan. Jarak Sangkal Putung ke Jati Anom tidaklah terlalu jauh dan menurut perhitungan lewat tengah hari mereka sudah akan sampai.
Sementara itu, agak jauh di depan mereka, beberapa orang sedang berkumpul dan melakukan pembicaraan dengan wajah bersungguh-sungguh.
“Jadi apakah semua sesuai rencana dan tidak ada perubahan”, - tanya seorang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan.
“ Ya, Ki Lurah, menurut laporan terakhir mereka sudah keluar dari padukuhan terakhir, tetapi mereka berjalan sangat pelan bagaikan siput”, - jawab seorang yang agaknya adalah anak buahnya.
“ Baiklah, tetap awasi keadaan. Aku akan melapor kepada Guru dan dua orang gila dan aneh dari Pulau Karimun itu”, - tanpa menunggu jawaban orang tinggi kekurus-kurusan itu segera berlalu.
oo0oo
Sementara itu ribuan tombak dari Pandan Wangi berada, Swandaru Geni sudah mulai siuman meskipun masih tergolek lemah. Adalah Kiai Garda yang ternyata sangat memahami ilmu pengobatan sehingga darah akibat luka ilmu api Watu Gempal sudah mulai mampat dan tidak mengalir lagi.
“ Daya tahan tubuh Ki Gupala sangat luar biasa, meskipun darah sudah banyak keluar tetapi kini agaknya Ki Gupala hanya membutuhkan waktu istirahat sambil menunggu luka itu menutup kembali”, - kata Kiai Garda setelah memberi borehan di atas luka Swandaru.
“ Terima kasih Kiai, agaknya obat Kiai teramat baik sehingga aku masih mampu bertahan”, - Swandaru berdesis lemah, tetapi mukanya sudah tidak terlalu pucat.
“Ah, aku memang sedikit mengerti tentang ilmu pengobatan. Tetapi tidak sebaik dibandingkan dengan seseorang yang mungkin Ki Gupala juga mengenalnya”, - tiba-tiba wajah Kiai Garda terlihat bersungguh-sungguh.
Swandaru mengerutkan keningnya, ia sungguh tidak mengetahui arah pembicaraan Kiai Garda. Tetapi belum sempat ia menanyakannya lebih lanjut, terdengar pintu bilik itu di ketuk disusul masuknya seorang perempuan sambil membawa nampan.
Tiba-tiba dada Swandaru berdegup kencang, hampir saja ia membelalakkan matanya melihat perempuan yang masuk sambil membawa nampan itu. Tubuhnya terasa kembali panas dan muncul keringat dingin yang mengembun di dahi dan seluruh wajahnya.
Salam,

No comments:

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...