BALADA SWANDARU GENI
Sebuah Perjalanan
Babak-13
Sebuah Perjalanan
Babak-13
Panas siang hari itu cukup terik seolah hendak membakar padang alang-alang yang membentang luas. Tetapi panas terik itu ternyata telah diimbangi oleh berhembusnya angin yang cukup kencang sehingga udara terasa sejuk dibawah sebuah pohon angsana yang tumbuh diatas sebuah gumuk kecil.
Swandaru yang duduk dibawah pohon itu hampir saja terbawa rasa kantuk karena semilir angin yang melenakan. Ia tersadar dari lamunannya ketika serombongan burung gagak putih melintas diatas lapangan terbuka itu sambil meninggalkan suaranya yang berisik.
“Ah, aku harus segera melanjutkan perjalananku ini. Sesungguhnya aku beruntung karena akhirnya Pandan Wangi bisa memahami gejolak hatiku untuk pergi mengembara ini. Aku tidak boleh mengecewakannya dan juga anakku,” – Swandaru seolah ingin menyemangati dirinya sendiri.
Dengan segera ia menuruni gumuk kecil itu menuju ke arah matahari terbit. Wajahnya terlihat cerah dengan mata yang berbinar-binar, langkah-langkah panjangnya menunjukkan betapa bersemangatnya Swandaru saat itu. Ia merasa seolah orang yang sudah sekian lama di pingit dan kini melihat dunia dengan kedua matanya yang terbuka lebar.
Swandaru sengaja tidak membawa kuda melainkan berjalan kaki karena tekadnya yang membara. Siang hari ia berjalan tiada henti melintasi beberapa padukuhan dan bulak-bulak panjang. Hanya sesekali ketika menjelang petang dan memasuki sebuah padukuhan ia sengaja berhenti mencari kedai makan dan mengisi perutnya. Swandaru sengaja berpuasa ketika menjalani pengembaraan ini untuk menyiapkan fisiknya.
“ Selama ini aku terlalu memanjakan diriku terutama untuk urusan perut. Kini aku harus berubah dan menyiapkan diri agar nanti bisa menjalani laku untuk menguasai ajian Asta Sewu sebagaimana Pandan Wangi. Aku sudah minta ijin dan memperoleh petunjuk dari kakang Agung Sedayu sehingga disela-sela pengembaraan ini aku tentu bisa menjalani laku itu,” – Swandaru berangan-angan sendiri.
Tetapi tidak jarang ketika datang waktu petang, Swandaru justru sedang berada di tengah padang rumput yang luas tanpa ia tahu apakah akan ada padukuhan didepannya. Dalam keadaan seperti ini ia berusaha mencari buah-buahan atau sekedar sisa bekal yang ia beli ketika mampir di kedai sebelumnya untuk membatalkan puasanya. Ia bahkan mulai mencoba memakan beberapa empon-empon yang telah disiapkan Pandan Wangi sebelum berangkat.
Cabang-cabang pohon yang cukup besar menjadi tempat yang dipilihnya untuk beristirahat dan melewati malam-malam yang sunyi.
Bagi Swandaru, sesungguhnya keadaan ini sangatlah berat bahkan menyiksa. Ia lebih senang seandainya harus bekerja keras dengan mengerahkan seluruh tenaga dan kekuatan otot hingga keringatnya habis dan terjatuh karena lelah.
Tetapi sekarang ia tidak bisa menggunakan kekuatan ototnya, ia kini harus melawan dirinya sendiri. Ketika tubuhnya ingin berbaring karena sudah terlalu jauh berjalan, ia mengeraskan diri untuk tetap berjalan. Saat perut keroncongan akibat belum terisi sejak pagi hingga siang hari, ia bertahan dengan penuh keyakinan bahwa menahan lapar dan makan di petang hari adalah jauh lebih bermanfaat daripada sekedar memanjakan kenikmatan perut sesaat.
“Aku harus mampu mengalahkan diriku sendiri. Aku ingat, Guru pernah berpesan agar kita mampu melampaui batas kebosanan, mampu melampaui batas kesabaran, termasuk melampaui rasa lelah, kantuk dan rasa lapar seperti ini. Ini adalah masalah kecil yang harus mampu kulalui tanpa mengeluh. Pastilah kakang Agung Sedayu sudah pernah melampaui rasa-rasa ini,” – berkali-kali suara hatinya muncul untuk mengobarkan tekadnya.
Swandaru sudah jauh meninggalkan Sangkal Putung, ia berjalan saja lurus ke arah timur sambil mencoba mengingat-ingat daerah yang ia lalui.
Menjelang sore hari Swandaru memasuki sebuah padukuhan kecil yang nampaknya cukup subur. Tanaman padi mulai menguning dan agaknya akan segera panen dalam beberapa hari kedepan. Ia bermaksud menuju ke pasar dan mencari sebuah kedai untuk nanti mengisi perut sambil membeli bekal untuk perjalanannya nanti.
Tetapi pasar sudah nampak sepi dan bahkan beberapa rumah yang dilaluinya kebanyakan sudah menutup pintu meskipun hari masih sore dan cukup terang. Swandaru merasa sedikit aneh tetapi tidak ada orang yang melintas untuk bisa ditanyai tentang keadaan itu.
“ Padukuhan ini cukup subur, tetapi mengapa terasa begitu sepi seolah tidak berpenghuni?,” – Swandaru bertanya-tanya dalam hati.
Ia kemudian memutuskan untuk mencari banjar padukuhan. Sudah beberapa hari ini ia tidur diatas cabang-cabang pepohonan dan mumpung sekarang ada di sebuah padukuhan ia berniat untuk bisa bermalam di banjar.
Tidak jauh dari ujung padukuhan ia kemudian melihat sebuah bangunan yang berbeda dari rumah-rumah lainnya dan nampaknya itulah banjar padukuhan.
Belum sempat Swandaru melangkah masuk menuju halaman banjar, sebuah suara menyapanya justru dari rumah seberang.
“Apakah ki sanak bermaksud beristirahat di banjar padukuhan?,”
Segera Swandaru membalikkan badannya dan dilihatnya seorang yang masih cukup muda menyapanya sambil mengenakan baju yang agaknya tadi hanya disampirkan saja dipundaknya. Belum sempat Swandaru menjawab pertanyaan itu, kembali pemuda itu berkata.
“Penunggu banjar itu adalah pamanku, tetapi akhir-akhir ini paman agak sakit-sakitan sehingga aku disuruh membantu mengawasi dan membersihkan banjar itu. Marilah, kalau ki sanak berniat menginap di banjar sebaiknya bertemu dulu dengan pamanku di rumah ini,”
Swandaru tersenyum dan mengangguk, ia senang dengan kepolosan anak muda keponakan penunggu banjar itu.
“Betul anak muda, jika di ijinkan aku memang berharap bisa menginap di banjar itu barang semalam sekedar untuk membaringkan tubuh,” –
Swandaru mencoba bersikap ramah, suatu sikap yang harus ia pelajari dan terapkan sesering mungkin mengingat ia ada dalam sebuah perjalanan yang sering membutuhkan uluran tangan atau pertolongan orang lain.
Penunggu banjar itu sebenarnya belum terlalu tua, hanya saja tubuhnya memang terlihat lemah ketika ia melangkah dan duduk di ambil ruang tengah itu. Ia mengangguk dan berusaha tersenyum ketika keponakannya menjelaskan maksud kedatangan tamunya itu.
“Maafkan aku tidak bisa menyambut ki sanak sebagaimana mestinya,” – suaranya terdengar pelan.
“Tidak apa-apa Ki, justru aku yang minta maaf karena merepotkan ki sanak. Jika diperbolehkan aku ingin menginap semalam di banjar padukuhan sebelum besok pagi melanjutkan perjalananku,” – kata Swandaru menyampaikan maksudnya.
Penunggu banjar itu terlihat mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Darimanakah ki sanak ini dan hendak kemana?,”
“Apakah ki sanak pernah mendengar sebuah kademangan bernama Sangkal Putung? Kebetulan aku berasal dari sana dan hendak menengok saudaraku yang tinggal di daerah bang wetan setelah menyeberang sungai Madiun,” – Swandaru menjawab dengan hati-hati sambil memendangi wajah penunggu banjar itu.
Terlihat penunggu banjar itu kembali mengangguk-anggukan kepalanya.
“Aku memang pernah mendengar nama kademangan yang katanya sangat subur itu, tetapi aku tidak pernah kesana dan bahkan tidak tahu tempatnya “
Swandaru menarik nafas lega, ia memang ingin di kenal sebagai pengembara saja dan bukan seorang anak seorang Demang.
“ Ki sanak, aku tentu saja tidak keberatan jika ki sanak ingin menginap di banjar. Hanya saja memang sebenarnya saat ini bukan saat yang tepat, apalagi kondisi tubuhku sedang lemah saat ini. Jika ki sanak perlu menginap, aku persilahkan di rumah adikku ini saja, meskipun kecil tapi agaknya lebih aman“
Wajah Swandaru terlihat berkerut mendengar penjelasan penunggu banjar itu yang terdengar sedikit janggal ditelinganya.
“ Maaf ki sanak, kalau boleh tahu ada kejadian apakah di padukuhan ini? Tadi sepanjang jalan dari pasar hingga kesini aku lihat jalanan begitu sunyi dan pintu rumah banyak yang tertutup meskipun hari masih sore,” – Swandaru tidak bisa menahan rasa penasarannya.
Penunggu banjar itu terlihat memperbaiki letak duduknya sambil seolah menahan rasa sakit. Swandaru menduga bahwa penunggu banjar itu sedang dalam perawatan karena sebuah luka di daerah sekitar pinggang kirinya.
Tetapi ia memilih diam dan menunggu penjelasan lebih lanjut.
“ Ki sanak, kedatangan ki sanak saat ini memang kurang tepat. Malam nanti mungkin akan menjadi malam yang menggemparkan bagi warga padukuhan ini setelah kejadian beberapa hari yang lalu,” – penunggu banjar itu berhenti sejenak.
“Apakah yang telah terjadi sebelumnya ki sanak?,” – Swandaru mengulangi pertanyaannya.
“ Sebuah rajapati!,”
Salam,
No comments:
Post a Comment