BALADA SWANDARU GENI
Sebuah Perjalanan
Babak-18
Sebuah Perjalanan
Babak-18
Tubuh raksasa yang berjuluk Watu Gempal itu tergetar mundur beberapa langkah sambil terhuyung-huyung hampir saja terjatuh, tetapi dengan cepat ia mampu menguasai dirinya sehingga bisa berdiri dengan tegak, siap atas segala keadaan.
Sebaliknya tubuh orang yang baru saja datang, yang tidak lain adalah Swandaru Geni itu terpelanting dan jatuh berguling-guling di tanah. Adalah sebuah ketergesa-gesaan sehingga Swandaru bahkan belum sempat mengetrapkan ajian Tameng Waja yang saat ini sudah mulai ia kuasai meski baru pada tahapan dasar. Dadanya bagaikan dihantam sebongkah batu sebesar kerbau sehingga nafasnya sempat tersumbat.
Ia memang tidak mempunyai kesempatan terlalu banyak untuk menghindar dan sengaja menyambut serangan Watu Gempal itu sambil menjajagi kekuatan raksasa yang membuatnya penasaran. Kini tubuhnya terpaksa terbanting dan bergulingan dengan tulang yang terasa nyeri akibat benturan itu.
Tetapi latihan yang keras dan gerak naluriahnya telah menyelamatkan murid termuda Kiai Gringsing itu. Ketika terpelanting dengan keras Swandaru sengaja tidak melawan dorongan itu agar tidak melukai tubuh bagian dalamnya, ia justru memanfaatkannya untuk berguling-guling mengambil jarak sambil memperbaiki keadaan dirinya.
Akibatnya jarak terpelantingnya menjadi cukup jauh dan bahkan hampir saja ia melanggar tembok batas halaman depan.
Dengan cepat Swandaru mengatur pernafasannya dan segera bangkit. Sambil mengibas-ibaskan kain panjangnya yang kotor akibat bergulingan tadi, mulutnya justru mengulum senyum dan melangkah mendekati Watu Gempal.
“ Bukan main, kekuatanmu besar sekali, tak ubahnya kekuatan serombongan kerbau yang sedang marah. Apakah kau memang salah satu dari anggota gerombolan kerbau itu Watu Kopong?”
Wajah Watu Gempal menjadi merah padam, ia sadar bahwa laki-laki yang bertubuh agak gemuk itu sengaja memancingnya agar cepat marah sehingga kehilangan daya penalarannya dengan baik.
Benturan yang cukup keras itu seolah-olah hal yang remeh bagi pendatang baru yang bertubuh agak gemuk itu.
Diam-diam Wadas Gempal merasa heran bahwa ternyata tubuh gemuk itu mampu menahan serangan yang tadi ia lancarkan dengan kekuatan yang cukup besar. Seharusnya tubuh itu sudah terbaring diam tak bergerak.
Benturan yang cukup keras itu seolah-olah hal yang remeh bagi pendatang baru yang bertubuh agak gemuk itu.
Diam-diam Wadas Gempal merasa heran bahwa ternyata tubuh gemuk itu mampu menahan serangan yang tadi ia lancarkan dengan kekuatan yang cukup besar. Seharusnya tubuh itu sudah terbaring diam tak bergerak.
Sambil menggeram ia kemudian bertanya.
“ He, Tambun… siapa kau dan mengapa ikut campur urusan kami?"
Swandaru terlihat celingukan dengan wajah sedikit heran, sebelum kemudian suara tertawanya kembali menggema. Agaknya sebutan tambun itu jarang di dengarnya sehingga telinganya sedikit geli dan membangkitkan kenangannya.
Sebenarnyalah sejak bersembunyi diatas pohon dan bisa mengamati semua kejadian di halaman banjar itu, Swandaru tiba-tiba saja teringat akan petualangannya bersama guru dan kakak seperguruannya Agung Sedayu.
Saat dimana mereka lebih sering bersembunyi daripada menampakkan diri, dimulai ketika berada di Tanah Perdikan Menoreh hingga saat-saat awal pembukaan alas Mentaok serta menghadapi hantu-hantuan di barak penampungan.
Saat mereka harus menyembunyikan jati diri dan menghadapi tokoh-tokoh sakti yang menghalangi pembukaan alas Mentaok yang bernama Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak.
Kekaguman dan rasa rindu pada gurunya tiba-tiba saja menggunung.
“ Bagaimana mungkin guru saat itu mampu merubah dirinya menjadi seperti sosok kera atau segumpal kain hitam yang mampu melenting dan bergerak cepat serta menamakan dirinya Kiai Dandang Wesi?,” - desisnya dalam hati.
”Ah, sesungguhnya aku masih jauh untuk bisa menyusul kemampuan guru dalam hal olah kanuragan, apalagi tentang kesabaran”, - kembali ia berangan-angan.
Kenangan akan gurunya itu membuat Swandaru bertahan cukup lama di rerimbunan pohon sambil mengamati keadaan. Ia berusaha untuk bersabar, tetapi ketika keadaan para pengawal porak poranda akibat keganasan dari Watu Gempal, maka Swandaru sudah tidak bisa menahan diri lagi untuk ikut campur.
Hanya saja, sifat jenaka seorang Gupala atau Sangkan tiba-tiba saja ikut muncul dan mewarnai tindakannya.
Ia sebenarnya ingin berbuat seperti gurunya dan menandai kemunculannya dengan menjadi sosok kera hitam atau segumpal kain hitam yang melenting-lenting dari satu tempat ke tempat lain.
Tetapi sadar bahwa ia tidak mampu melaukannya, maka ia mencoba mengimbangi kemunculannya dengan mengerahkan segenap tenaga cadangannya untuk menggetarkan tanah dan menggelinding ke arah lawan.
Kini raksasa itu sudah berdiri di depannya dan sambil tersenyum Swandaru melangkah maju dan menjawab.
“Eh, raksasa dungu, namaku Gupala dan aku masih saudara jauh penunggu banjar padukuhan ini. Tubuh tambunku ini memang diciptakan untuk memberi bukti bahwa raksasa dungu sepertimu tidak ada artinya selain untuk menakut-nakuti anak-anak”
Terdengar suara menggeram yang lebih keras dari mulut Watu Gempal. Ia merasa tidak perlu lagi bicara panjang lebar, agaknya orang bertubuh tambun di depannya itu memang sengaja memancing kemarahannya.
Maka kembali tubuhnya meluncur dan melakukan tendangan samping dengan menambah kekuatan yang lebih besar dari sebelumnya. Gerakannya terlihat cepat dan bertenaga sehingga menimbulkan kesiur angin yang cukup tajam.
Swandaru yang sudah mendapat gambaran tentang kekuatan lawannya itu tidak berani lagi gegabah. Dengan sedikit bergeser ia menolak tendangan itu ke samping lalu kakinya justru melangkah maju, sambil menundukkan kepalanya, siku tangan kanannya ditekuk dan dihantamkan ke arah lambung raksasa itu.
Wadas Gempal yang melihat lambungnya terancam segera memutar tubuhnya sehingga terhindar dari benturan siku tangan lawan, sementara kini tangan kirinya berputar dan mengayun mengancam kening Swandaru.
Melihat keningnya terancam, Swandaru segera menunduk, ia sengaja menjatuhkan diri ke tanah lalu tubuhnya berputar sambil kakinya melakukan sapuan ke kaki lawan.
Wadas Gempal terkejut melihat gerak Swandaru yang dilakukan dengan sangat cepat itu. Ia tidak menyangka bahwa tubuh tambun itu seolah tidak menghalangi gerakan lawannya untuk melibatnya seolah tanpa henti. Secepat mungkin ia berusaha mengangkat kakinya untuk menghindar tetapi geraknya memang sedikit terlambat.
Tak terhindarkan lagi, kakinya bagaikan dihantam palu besi yang keras sehingga tubuhnya terpelanting dan bergulingan ke tanah. Ia berusaha bangkit secepatnya seolah mengabaikan rasa sakit yang timbul akibat jatuh terpelanting itu.
Sesungguhnya benturan itu tidak terlalu menyakitinya, tetapi hal itu menyebabkan kemarahannya menyala-nyala hingga ke ubun-ubun. Apalagi ketika dilihatnya, lawannya yang bertubuh tambun itu tidak menyusulinya dengan serangan melainkan menunggunya sambil tersenyum-senyum kecil.
“Ah, baguslah kau segera bangkit, ternyata kau tidak sedungu yang aku kira”, - sambil bertolak pinggang Swandaru sengaja mengganggu lawannya.
Ejekan itu membuat kemarahan Wadas Gempal semakin berkobar, tetapi ia menyadari bahwa lawannya sengaja membangkitkan amarahnya agar ia kehilangan sebagian kendalinya. Segera ia menyiapkan dirinya untuk bisa lebih bertarung dengan lebih berhati-hati.
Tidak lama kemudian mereka sudah terlibat dalam pertarungan yang keras, demikian pula di lingkaran pertempuran yang lain, yang tadi sempat terhenti sesaat, kini sudah mulai berkobar kembali.
Di sela-sela melayani serangan-serangan ganas dari Hantu Laut, Kiai Garda sempat menyaksikan pertempuran antara Wadas Gempal dengan pendatang yang belum dikenalnya itu. Awalnya ia agak mencemaskan pendatang baru yang nampaknya terlalu meremehkan kemampuan Wadas Gempal, tetapi setelah berjalan beberapa saat ia melihat bahwa agaknya pendatang baru itu tidak berada di bawah bayang-bayang kemampuan raksasa itu.
Sementara, Swandaru masih sempat berteriak nyaring yang ditujukan kepada para pengawal.
Sementara, Swandaru masih sempat berteriak nyaring yang ditujukan kepada para pengawal.
“Tinggalkan raksasa dungu ini, biarlah aku yang mencoba melayaninya”
Dua orang murid Kiai Garda dan beberapa pengawal yang tadinya mengurung Wadas Gempal itu terlihat ragu-ragu. Tetapi ketika mereka melihat bahwa ternyata pendatang bertubuh sedikit gemuk itu mampu melayani serangan-serangan Wadas Gempal dengan tidak kalah kerasnya, segera mereka bergeser ke lingkaran lain dan membaurkan diri untuk mengerubut murid-murid Hantu Laut lainnya.
Malam itu halaman banjar padukuhan dipenuhi dengan teriakan-teriakan kemarahan dan jerit kesakitan dari mereka yang bertarung mempertaruhkan nyawa. Hati Ki Demang merasa begitu pedih menyadari betapa korban yang jatuh akan semakin banyak dan itu semua akibat ulah dari dua anak kandungnya yang terlepas didikannya hingga menimbulkan petaka ini.
Kegalauan hati Ki Demang ternyata berpengaruh pada gerakannya. Ia terlambat menghindar dan mendesis kesakitan ketika sebuah sabetan pedang dari salah seorang murid Hantut Laut itu mengoyak lambung kanannya. Darah mengucur cukup deras sebelum ia kemudian roboh.
Para pengawal segera memberikan tekanan yang lebih berat kepada murid Hantu Laut yang telah melukai Ki Demang itu, sementara beberapa yang lain menggotong Ki Demang untuk menepi dan berusaha memberi perawatan.
Tetapi pertarungan itu tetap berlangsung dengan sengit dan putra tertua Ki Demang yang melihat ayahnya terluka segera menggantikan posisinya. Berkali-kali ia berteriak memberi aba-aba untuk lebih menekan lawan dan mengurungnya lebih rapat.
Kiai Garda yang sibuk melayani Hantu Laut sempat melihat betapa Ki Demang Krikilan yang tidak lain adalah kakak kandungnya itu terjatuh dengan luka di lambungnya. Agaknya memang tidak ada pilihan lain selain bertempur dengan keras dan bila perlu mengadu nyawa melawan hantu laut yang memang sudah tidak dapat di ajak bicara.
Tiba-tiba saja Kiai Garda yang dari awal tadi lebih banyak melayani serangan-serangan dari Hantu Laut itu kini merubah tata geraknya. Ia sempat meloncat mundur beberapa langkah, tetapi tiba-tiba saja tubuhnya terlontar kedapan dengan sangat cepat melibat Hantu laut itu serta memberikan pukulan-pukulan yang sangat keras dan berbahaya.
Gerakannya begitu sebat seolah tanpa kendali sehingga Hantu Laut itu terkaget-kaget tiada henti.
Swandaru yang bertempur tidak jauh dari lingkaran pertempuran itu juga melihat perubahan tata gerak orang yang disebut Kiai Garda itu. Ia pun tak luput dari keterkejutan dan merasa mengenal tata gerak yang baru saja dilihatnya itu.
“Apakah Kiai Garda itu orangnya?”, - hatinya berdebar-debar.
Salam,
No comments:
Post a Comment