Saturday, April 1, 2017

BALADA SWANDARU GENI - Sebuah Perjalanan - Babak-12

BALADA SWANDARU GENI
Sebuah Perjalanan
Babak-12
Swandaru bagaikan orang yang terbangun dari mimpinya, segera iapun berlari cepat mendekati Pandan Wangi dan menggantikan Agung Sedayu untuk menopang tubuh istrinya itu.
“ Kenapa kau Wangi? “ – serunya cemas.
Wajah Pandan Wangi terlihat sedikit pucat dan dipenuhi dengan keringat sebesar butiran jagung, tubuhnya seolah basah dan nampak sekali betapa ia kelelahan serta nafasnya sedikit tersengal-sengal.
Agung Sedayu yang melihat tubuh Pandan Wangi yang lemah tetapi masih cukup sadar itu segera memandunya untuk menarik nafas perlahan-lahan dan menyimpannya sesaat di dalam dada dan perut, sebelum kemudian melepaskannya dengan sangat perlahan.
Disuruhnya Pandan Wangi untuk mengulanginya beberapa kali.
Beberapa saat kemudian pernafasan Pandan Wangi sudah mulai membaik sementara ketika Agung Sedayu memeriksa denyut nadi tangannya ia tidak merasakan sesuatu yang mencemaskan.
“ Aku tidak apa-apa kakang, agaknya aku terlalu bersemangat dan memaksakan diri secara berlebihan,” – sambil memaksakan diri untuk tersenyum, Pandan Wangi berusaha menjawab pertanyaan suaminya itu.
Swandaru dan Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam, hati mereka cukup lega mendengar perkataan Pandan Wangi yang menandakan tidak ada yang perlu di cemaskan.
Sementara justru Agung Sedayu yang sedikit mengerinyitkan dahinya, sepengetahuannya Pandan Wangi masih belum melampaui batas kemampuannya dan seharusnya tidak akan terjatuh seperti kejadian yang baru saja terjadi ini.
Selintas ia memang merasakan ada sedikit kejanggalan dalam gerak Pandan Wangi sebelum akhirnya ia jatuh, hanya saja ia tidak yakin dengan pandangannya.
Tetapi Agung Sedayu memilih diam, apalagi ketika dilihatnya nafas PandanWangi sudah berangsur-angsur pulih sementara detak nadi ditangannya juga normal.
“ Mungkin Pandan Wangi memang benar-benar keletihan,” – batinnya menetramkan diri.
“ Sebaiknya kita beristirahat sebentar sambil menunggu kondisi Pandan Wangi membaik,” – suara Agung Sedayu terdengar pelan.
Tidak ada yang tahu dengan pasti penyebab robohnya Pandan Wangi dalam latih tanding pada malam menjelang dini hari itu selain Pandan Wangi sendiri!
Dalam perjalanan kembali ke Kademangan Sangkal Putung, Pandan Wangi cenderung diam dan merenungi diri.
Sesungguhnya ia merasa sangat bersemangat ketika melakukan latih tanding dengan Agung Sedayu tadi, ia seolah tenggelam dalam sebuah permainan yang pernah dilakukannya ketika masih gadis. Ia teringat seorang gembala yang mengajaknya berlari-lari meloncati pematang sawah dan menembus semak belukar untuk menghindari seorang tokoh yang menakutkan yang bernama Ki Peda Sura.
Kenangan itu membuatnya begitu bersemangat sehingga ia bergerak semakin cepat dan mengerahkan seluruh tenaga cadangannya.
Tetapi disaat kenangan itu hampir mencapai puncaknya, tiba-tiba saja matanya sempat menyambar keberadaan dua sosok bayangan hitam yang berdiri diluar arena. Salah seorang diantaranya bertubuh sedikit gemuk yang tidak lain adalah Swandaru Geni suaminya.
Pandan Wangi seolah tersadarkan bahwa ia adalah seorang perempuan cukup umur yang sudah bersuami.
Saat itu ia teringat akan sifat dan watak suaminya, bahwa menunjukkan kemampuan dan pengerahan kemampuan hingga pada puncaknya ini bisa menyinggung perasaan suaminya.
Hatinya tiba-tiba saja tercekat, sebuah kenangan pahit tanpa bisa dihindari melintas dalam ingatannya dan langsung menggores luka lama yang hampir terlupakan.
Dalam kondisi masih bergerak, tanpa bisa dicegah ingatan Pandan Wangi seolah menghadirkan sosok lembut yang bernama Rara Wulan yang tidak lain adalah ibunya sendiri, bergantian dengan bayangan ayahnya Ki Argapati dan seorang laki-laki yang berhidung bagaikan burung betet bernama Paguhan alias Ki Tambak Wedi.
Bayangan itu hilang dan muncul bergantian dan semua sedang mentertawakannya, terutama bayangan dari ayahnya dan pria yang bernama Paguhan itu.
“Wangi, lihatlah, bukankah kau sebenarnya tidak berbeda dengan ibumu? Yang kesepian ketika ditinggal atau tidak diperhatikan oleh suamimu, lalu kini kau tertarik pada laki-laki lain yang bukan suamimu? Apakah kau sengaja ingin mengulang kesalahan ibumu?”
Suara itu seolah-olah berdenging di telinga dan membuatnya sakit.
Bayangan dan suara-suara itu muncul hanya dalam waktu yang sekejab tetapi mempunyai pengaruh yang sangat besar.
Seketika hatinya menjadi goyah dan diliputi rasa bersalah.
Mendadak Pandan Wangi ingin menghentikan latih tanding ini saat itu juga.
Tetapi ternyata bahkan ia tidak mampu mengendalikan gerak dan pengerahan puncak tenaga cadangan yang saat itu terlanjur tersalur keluar.
Akibatnya terjadi benturan dalam dirinya, dadanya tiba-tiba saja menjadi sesak akibat serangannya itu membalik menghantamnya.
Dengan gerak naluriah Pandan Wangi segera memutar tubuhnya beberapa kali mengikuti arus balik serangan yang menghantam dadanya itu sehingga akibat serangan itu menjadi sangat kecil.
Saat itulah hatinya menjerit, perasaannya melayang sementara tubuhnya seperti tidak bertulang sehingga ia roboh.

Salam,

No comments:

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...