Saturday, April 1, 2017

BALADA SWANDARU GENI - Babak-1

Kulonuwun poro kadang sedoyo, khususipun kagem Ki Arema, nderek ijin posting sak cuil tulisan meniko, mugi kepareng… J

BALADA SWANDARU GENI
Banyak yang gemas, geregetan, marah dan bahkan benci kepada tokoh Swandaru Geni ini, bahkan ada yang minta dimatikan saja. Duhhh...tahukah cantrik mentrik sedoyo bahwa sesungguhnya jauh di lubuk hatinya, Swandaru memendam rasa sakit, perih, pedih...berperang dengan dirinya dan mengalami konflik batin yang hebat... Usai kalah berperang tanding dengan kakak seperguruannya Agung Sedayu, ia banyak mendesah, merintih dan berkeluh kesah atas segala kekurangannya... bagaimana ia bisa berdamai dengan dirinya sendiri, menerima keadaan apa adanya, memperbaiki diri…lalu… bisa melampaui dan mengalahkan saudara seperguruannya itu!!
Sebuah perjalanan harus dilalui…pembajaan diri menembus batas..… akankah ia merajut jalan damai atau justru malah jauh tersesat??
Tinimbang nganggur, menawi kerso sumonggo disimak... J
________________________________________________________________________________

Pembaringan itu serasa dingin meskipun dia sudah berbaring cukup lama. Sebaliknya hati Swandaru Geni justru hangat dan bahkan hampir menyala, terasa kobaran itu ikut membakar pikiran dan perasaannya.

Hatinya menggeram,  – “Bagaimana mungkin kakang Agung Sedayu punya kemampuan yang jauh dari jangkauan nalar? Apakah Guru sudah berlaku tidak adil dan menuntun kakang Agung Sedayu dengan lebih sungguh-sungguh dibandingkan aku?” –

Terbayang saat-saat pertama kali mereka berguru dan mendapat bimbingan dari Kiai Gringsing. Meskipun saat itu bekal dan kemampuan Agung Sedayu memang lebih banyak dan lebih tinggi darinya, tetapi tidaklah  terpaut banyak. Disungai kademangan Sangkal Putung itu Gurunya mulai melatih bahkan dari dasar-dasar kanuragan. Berloncatan dari batu ke batu – yang waktu itu terasa sulit karena tubuhnya yang gemuk - cara memukul dan menghindar, hingga menggunakan berbagai macam senjata.  Disadarinya bahwa kakak seperguruannya saat itu memang memiliki kelebihan dalam hal kecepatan dan kelincahan, sementara ia sendiri merasa bahwa tenaganya sangat besar dan jauh diatas tenaga Agung Sedayu.

Dengan bimbingan yang sungguh-sungguh dan berlatih yang keras, ia kemudian merasa sudah menyusul kemampuan kakak seperguruannya itu. Itulah saat mereka berdua menerima senjata khusus sebagai ciri perguruan mereka yang berupa sebuah Cambuk. 

“ Guru...”

Bibirnya mendesah, pelan-pelan ia mengangkat tubuhnya dari pembaringan dan dipaksakannya untuk berjalan keluar.

“ Kemana kakang? “, - sebuah suara halus tiba-tiba mengejutkannya.

“Oh...”, - dengan sedikit gelagapan Swandaru menjawab, - “Aku ke pakiwan sebentar Wangi, mungkin sambil duduk di halaman depan. Udara terasa panas”

Swandaru kemudian menarik nafas dalam-dalam, ia seolah baru tersadar bahwa Pandan Wangi tidur disampingnya sejak malam memasuki wayah sepi uwong tadi. 

Pandan Wangi tidak bertanya lebih lanjut, ia sadar bahwa dalam beberapa hari terakhir suaminya mengalami guncangan perasaan akibat beberapa peristiwa. Kesalahan anggapan dan kekalahan dalam perang tanding melawan Agung Sedayu agaknya masih sulit diterimanya. Sementara bagi Pandan Wangi sendiri hal tersebut seharusnya berdampak baik bagi suaminya agar melihat kenyataan yang selama ini tersembunyi. Justru Pandan Wangi berharap seharusnya Swandaru lebih memperhatikan orang-orang yang selama ini telah menjerumuskan ke dalam lingkungan yang tidak jelas dan mengakibatkan perang. 

Orang yang sering menawarkan kuda dan disebut Ki Ambara – yang ternyata adalah orang kepercayaan Ki Saba Lintang - itu telah menjerumuskan suaminya. 

Tiba-tiba dada Pandan Wangi berdesir, disamping Ki Ambara terbayang pula serauh wajah cantik dari seorang perempuan yang bernama Wiyati. Perempuan cantik yang tewas di ujung pedangnya itu telah menimbun segunung pertanyaan dan kecurigaannya atas hubungannya dengan suaminya. Apakah ketika pedangnya  menebas tubuh Wiyati sebenarnya wanita itu telah hamil akibat dari perbuatan suaminya? 

Ketidakpastian itu sudah lama membelenggu pikirannya, tetapi sifat Pandan Wangi yang senantiasa berusaha menjadi seorang istri yang baik mencegahnya untuk bertanya lebih lanjut dan mencari kejelasan kepada Swandaru.

“Ah...sudahlah, yang penting sekarang kakang Swandaru bisa lebih baik”,  ia mencoba menentramkan diri dan melanjutkan kegelisahannya dalam tidur.

Sementara itu setelah dari pakiwan Swandaru melangkah pelan-pelan menuju halaman depan. Udara menjelang pagi terasa sejuk dan membuatnya berdiri tegak sambil memandang langit yang sedikit berawan. 

“Tidak mungkin Guru berbuat tidak adil”, -  katanya dalam hati – “saat-saat terakhir Guru lebih banyak menghabiskan waktunya di padepokan Jati Anom. Jarak Sangkal Putung jauh lebih dekat di banding Menoreh, seharusnya justru aku lebih sering bisa bertemu Guru”

Selembar daun kering lepas dari tangkainya akibat tertiup angin dan jatuh dekat kakinya berdiri.

“Ketika merasa sudah lanjut usia dan fisiknya mulai lemah, Guru menyerahkan sebuah kitab atau rontal yang kemudian kami pelajari bersama-sama meskipun dengan bergantian,” – Swandaru melanjutkan angan-angannya – “Itu memang sebuah bentuk keadilan bagi kami sebagai murid-muridnya yang sudah mentas. Tetapi bagaimana bisa kakang Agung Sedayu kemudian menjulang seolah kemampuannya tidak bisa aku gapai sama sekali? Matanya mampu meledakkan bukit karang, tubuhnya mampu membelah tiga dengan kemampuan meringankan tubuh yang tak tertandingi, bahkan tenaga yang selama ini aku andalkan tidak berarti apa-apa di hadapan kakang Sedayu”

Sambil melangkah mendekati regol depan, mata Swandaru tertuju pohon jambu air yang belum lama di tanam. Sekali lagi ia menarik nafas dalam-dalam, pohon yang lama telah habis meranggas karena terbakar dan porak poranda akibat sebuah pertarungan.

“Sabungsari…”, - tiba-tiba bibir Swandaru berdesis pelan.

Ia teringat pada suatu malam dimana seluruh Kademangan tertidur lelap akibat sebaran sirep yag kuat. Serombongan orang berkemampuan linuwih menggempur rumahnya dan hampir-hampir membawa bencana buat seluruh keluarganya. Betapapun ia berjuang, tetapi ia kalah jumlah, apalagi semua yang datang malam itu adalah orang yang memiliki kemampuan sangat tinggi.

Di saat-saat kritis itulah sejumlah prajurit menerobos halaman dan ikut serta dalam perlawanan. Salah satunya adalah Sabungsari, prajurit muda yang juga sahabat dekat kakak seperguruannya. Meski Sabungsari harus terluka parah, tetapi mereka berhasil mengalahkan para penyerang malam itu.

“Setinggi apakah kemampuan Sabungsari itu sebenarnya” – Swandaru mendesah, - “ia mampu mengambil alih lawanku dan bahkan membunuhnya”

Rasa penasaran yang bercampur kegelisahan mendera hati Swandaru. Tubuhnya membungkuk mengambil sebuah batu sebesar dua kepalan tangan orang dewasa. Dipegangnya batu itu dengan tangan kiri dan dalam setengah tarikan nafas, tangan kanannya mengayun dengan cepat. Dalam sekejab batu itu sudah berubah bentuk, pecah berserakan.

“Hemmm…….”, - terdengar Swandaru mendesis.

Hatinya sedikit mengembang sebelum akhirnya menguncup lagi.

“Tetapi kakang Agung Sedayu mampu memecahkan batu karang tanpa menyentuhnya, bahkan apakah benar bahwa Sabungsari pun mampu melakukannya?”

Swandaru berjalan mendekati pohon jambu air yang masih belum tinggi itu. Di usapnya beberapa daun yang baru trubus itu sambil pikirannya terus berkelana.

“Apakah memang selama ini aku buta terhadap orang disekelilingku?”

Nafasnya tiba-tiba menjadi berat.



Salam,

No comments:

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...