Kulonuwun poro kadang sedoyo, khususipun kagem
Ki Arema, nderek ijin posting sak cuil tulisan meniko, mugi kepareng… J
BALADA SWANDARU
GENI
Banyak yang gemas, geregetan, marah
dan bahkan benci kepada tokoh Swandaru Geni ini, bahkan ada yang minta dimatikan
saja. Duhhh...tahukah cantrik mentrik sedoyo bahwa sesungguhnya jauh di lubuk
hatinya, Swandaru memendam rasa sakit, perih, pedih...berperang dengan dirinya
dan mengalami konflik batin yang hebat... Usai kalah berperang tanding dengan
kakak seperguruannya Agung Sedayu, ia banyak mendesah, merintih dan berkeluh
kesah atas segala kekurangannya... bagaimana ia bisa berdamai dengan dirinya sendiri, menerima keadaan apa
adanya, memperbaiki diri…lalu… bisa melampaui dan mengalahkan saudara
seperguruannya itu!!
Sebuah
perjalanan harus dilalui…pembajaan diri menembus batas..… akankah ia merajut
jalan damai atau justru malah jauh tersesat??
Tinimbang nganggur, menawi kerso sumonggo disimak... J
________________________________________________________________________________
Pembaringan
itu serasa dingin meskipun dia sudah berbaring cukup lama. Sebaliknya hati
Swandaru Geni justru hangat dan bahkan hampir menyala, terasa kobaran itu ikut
membakar pikiran dan perasaannya.
Hatinya
menggeram, – “Bagaimana mungkin kakang
Agung Sedayu punya kemampuan yang jauh dari jangkauan nalar? Apakah Guru sudah
berlaku tidak adil dan menuntun kakang Agung Sedayu dengan lebih
sungguh-sungguh dibandingkan aku?” –
Terbayang
saat-saat pertama kali mereka berguru dan mendapat bimbingan dari Kiai
Gringsing. Meskipun saat itu bekal dan kemampuan Agung Sedayu memang lebih
banyak dan lebih tinggi darinya, tetapi tidaklah terpaut banyak. Disungai kademangan Sangkal
Putung itu Gurunya mulai melatih bahkan dari dasar-dasar kanuragan. Berloncatan
dari batu ke batu – yang waktu itu terasa sulit karena tubuhnya yang gemuk -
cara memukul dan menghindar, hingga menggunakan berbagai macam senjata. Disadarinya bahwa kakak seperguruannya saat
itu memang memiliki kelebihan dalam hal kecepatan dan kelincahan, sementara ia
sendiri merasa bahwa tenaganya sangat besar dan jauh diatas tenaga Agung
Sedayu.
Dengan
bimbingan yang sungguh-sungguh dan berlatih yang keras, ia kemudian merasa
sudah menyusul kemampuan kakak seperguruannya itu. Itulah saat mereka berdua
menerima senjata khusus sebagai ciri perguruan mereka yang berupa sebuah
Cambuk.
“ Guru...”
Bibirnya
mendesah, pelan-pelan ia mengangkat tubuhnya dari pembaringan dan dipaksakannya
untuk berjalan keluar.
“ Kemana
kakang? “, - sebuah suara halus tiba-tiba mengejutkannya.
“Oh...”, -
dengan sedikit gelagapan Swandaru menjawab, - “Aku ke pakiwan sebentar Wangi,
mungkin sambil duduk di halaman depan. Udara terasa panas”
Swandaru
kemudian menarik nafas dalam-dalam, ia seolah baru tersadar bahwa Pandan Wangi
tidur disampingnya sejak malam memasuki wayah sepi uwong tadi.
Pandan
Wangi tidak bertanya lebih lanjut, ia sadar bahwa dalam beberapa hari terakhir
suaminya mengalami guncangan perasaan akibat beberapa peristiwa. Kesalahan
anggapan dan kekalahan dalam perang tanding melawan Agung Sedayu agaknya masih
sulit diterimanya. Sementara bagi Pandan Wangi sendiri hal tersebut seharusnya
berdampak baik bagi suaminya agar melihat kenyataan yang selama ini
tersembunyi. Justru Pandan Wangi berharap seharusnya Swandaru lebih
memperhatikan orang-orang yang selama ini telah menjerumuskan ke dalam
lingkungan yang tidak jelas dan mengakibatkan perang.
Orang yang
sering menawarkan kuda dan disebut Ki Ambara – yang ternyata adalah orang
kepercayaan Ki Saba Lintang - itu telah menjerumuskan suaminya.
Tiba-tiba
dada Pandan Wangi berdesir, disamping Ki Ambara terbayang pula serauh wajah
cantik dari seorang perempuan yang bernama Wiyati. Perempuan cantik yang tewas
di ujung pedangnya itu telah menimbun segunung pertanyaan dan kecurigaannya
atas hubungannya dengan suaminya. Apakah ketika pedangnya menebas tubuh Wiyati sebenarnya wanita itu
telah hamil akibat dari perbuatan suaminya?
Ketidakpastian
itu sudah lama membelenggu pikirannya, tetapi sifat Pandan Wangi yang
senantiasa berusaha menjadi seorang istri yang baik mencegahnya untuk bertanya
lebih lanjut dan mencari kejelasan kepada Swandaru.
“Ah...sudahlah,
yang penting sekarang kakang Swandaru bisa lebih baik”, ia mencoba menentramkan diri dan melanjutkan
kegelisahannya dalam tidur.
Sementara
itu setelah dari pakiwan Swandaru melangkah pelan-pelan menuju halaman depan.
Udara menjelang pagi terasa sejuk dan membuatnya berdiri tegak sambil memandang
langit yang sedikit berawan.
“Tidak
mungkin Guru berbuat tidak adil”, -
katanya dalam hati – “saat-saat terakhir Guru lebih banyak menghabiskan
waktunya di padepokan Jati Anom. Jarak Sangkal Putung jauh lebih dekat di
banding Menoreh, seharusnya justru aku lebih sering bisa bertemu Guru”
Selembar
daun kering lepas dari tangkainya akibat tertiup angin dan jatuh dekat kakinya
berdiri.
“Ketika
merasa sudah lanjut usia dan fisiknya mulai lemah, Guru menyerahkan sebuah
kitab atau rontal yang kemudian kami pelajari bersama-sama meskipun dengan
bergantian,” – Swandaru melanjutkan angan-angannya – “Itu memang sebuah bentuk
keadilan bagi kami sebagai murid-muridnya yang sudah mentas. Tetapi bagaimana
bisa kakang Agung Sedayu kemudian menjulang seolah kemampuannya tidak bisa aku
gapai sama sekali? Matanya mampu meledakkan bukit karang, tubuhnya mampu
membelah tiga dengan kemampuan meringankan tubuh yang tak tertandingi, bahkan
tenaga yang selama ini aku andalkan tidak berarti apa-apa di hadapan kakang Sedayu”
Sambil
melangkah mendekati regol depan, mata Swandaru tertuju pohon jambu air yang
belum lama di tanam. Sekali lagi ia menarik nafas dalam-dalam, pohon yang lama
telah habis meranggas karena terbakar dan porak poranda akibat sebuah
pertarungan.
“Sabungsari…”,
- tiba-tiba bibir Swandaru berdesis pelan.
Ia teringat
pada suatu malam dimana seluruh Kademangan tertidur lelap akibat sebaran sirep
yag kuat. Serombongan orang berkemampuan linuwih menggempur rumahnya dan
hampir-hampir membawa bencana buat seluruh keluarganya. Betapapun ia berjuang,
tetapi ia kalah jumlah, apalagi semua yang datang malam itu adalah orang yang
memiliki kemampuan sangat tinggi.
Di
saat-saat kritis itulah sejumlah prajurit menerobos halaman dan ikut serta
dalam perlawanan. Salah satunya adalah Sabungsari, prajurit muda yang juga
sahabat dekat kakak seperguruannya. Meski Sabungsari harus terluka parah,
tetapi mereka berhasil mengalahkan para penyerang malam itu.
“Setinggi
apakah kemampuan Sabungsari itu sebenarnya” – Swandaru mendesah, - “ia mampu
mengambil alih lawanku dan bahkan membunuhnya”
Rasa
penasaran yang bercampur kegelisahan mendera hati Swandaru. Tubuhnya membungkuk
mengambil sebuah batu sebesar dua kepalan tangan orang dewasa. Dipegangnya batu
itu dengan tangan kiri dan dalam setengah tarikan nafas, tangan kanannya
mengayun dengan cepat. Dalam sekejab batu itu sudah berubah bentuk, pecah
berserakan.
“Hemmm…….”,
- terdengar Swandaru mendesis.
Hatinya
sedikit mengembang sebelum akhirnya menguncup lagi.
“Tetapi
kakang Agung Sedayu mampu memecahkan batu karang tanpa menyentuhnya, bahkan
apakah benar bahwa Sabungsari pun mampu melakukannya?”
Swandaru
berjalan mendekati pohon jambu air yang masih belum tinggi itu. Di usapnya
beberapa daun yang baru trubus itu sambil pikirannya terus berkelana.
“Apakah
memang selama ini aku buta terhadap orang disekelilingku?”
Nafasnya
tiba-tiba menjadi berat.
Salam,
No comments:
Post a Comment