Saturday, April 15, 2017

BSG - Gilang Pamungkas - Babak-02

BALADA SWANDARU GENI
Gilang Pamungkas
Babak-02

Sepengetahuan Pandan Wangi sungai yang sering dipakai untuk berlatih anaknya ini letaknya cukup jauh dari pemukiman dan jarang warga Kademangan yang datang kesini. Karena itu langkah-langkah kaki yang datang dan kelihatan tergesa-gesa itu sangat menarik perhatiannya. Dengan cepat ia segera membenahi bekal yang sudah habis di makan Gilang dan segera berdiri menghadap ke arah datangnya langkah kaki itu. Segera ia menajamkan pendengarannya dan dahinya berkerut lebih dalam.

“Siapakah tiga orang yang datang ini? Setidaknya dua orang dari mereka mempunyai ilmu meringankan tubuh yang teramat baik, langkah kakinya hampir tidak terdengar sama sekali”, - Pandan Wangi berdesis dalam hati.

Tetapi Gilang nampaknya tidak terlalu terpengaruh dengan kesiagaan ibunda-nya maupun langkah-langkah kaki yang terdengar semakin jelas itu. Ia masih tetap duduk dan sibuk mengunyah potongan  buah pepaya yang masih separo ditangan kanannya. Baginya, menghabiskan apa yang sudah terhidang di hadapannya adalah lebih penting daripada rasa penasaran atas siapa yang akan datang.
Tiba-tiba saja pendengaran Pandan Wangi menangkap gerak langkah itu berhenti secara mendadak. Diam dan sunyi, yang terdengar hanya gesekan daun-daun yang tertiup angin siang hari.

Untuk sesaat Pandan Wangi menunggu sebelum kemudian tubuhnya berkelebat dengan cepat.

“Gilang, tunggulah dulu disini. Bunda akan segera kembali”,

Belum juga kalimatnya habis, Genta melihat bayangan tubuh ibundanya itu sudah menghilang dari pandangannya. Pandan Wangi menerobos dedaunan dan menuju jalan setapak untuk naik dari bantaran sungai.

“Bukan main, ibunda selalu bisa bergerak dengan sangat cepat. Kelak aku akan mampu bergerak secepat ibunda dan juga sekuat ayah yang tenaganya mampu memecah batu besar dengan mudahnya”, - diam-diam Gilang mengagumi kedua orangtuanya sambil berangan-angan.

Sambil menungu ibundanya kembali, Gilang menyelonjorkan kakinya sambil menikmati hembusan angin. Di tepian sungai ini banyak pohon-pohon besar dan bahkan rumpun bambu yang lebat sehingga udara terasa sejuk seiring berhembusnya angin yang tidak terlalu keras.
Cukup lama Gilang menunggu ibundanya yang tak kunjung kembali. Keringat ditubuhnya sudah mulai mengering dan bahkan kesejukan udara di pinggiran sungai itu akhirnya membuatnya mengantuk. Tanpa pikir panjang Gilang langsung merebahkan tubuhnya di atas batu besar itu dan tidak lama kemudian terdengarlah suara mendengkur. Anak ini tidak ubahnya seperti cerminan masa kecil Swandaru yang begitu terbuka dan tidak ingin menanggung beban pikiran. Ia dengan lahap menghabiskan makanan yang tersaji dan sesaat kemudian sudah mendengkur dalam lelapnya mimpi.

Tetapi agaknya kali ini Gilang tidak bisa terlalu lama menikmati tidurnya, ia segera terbangun ketika terdengar sebuah bentakan keras dekat di telinganya.

“He, anak dungu, bangun kau dan lekas pergi dari sini…”

Dengan sedikit gelagapan Gilang segera meloncat berdiri dengan sikap kuda-kuda yang kuat. Dilihatnya seseorang berdiri diatas batu di depannya yang jaraknya sebenarnya cukup jauh dari batu tempatnya berdiri. Ia agak terheran-heran karena suara yang membentaknya tadi seolah-olah tepat di telinganya.

Tetapi yang lebih membuatnya terheran-heran adalah orang yang baru saja datang itu menutupi seluruh wajahnya dengan kain lurik dan yang tersisa hanya kedua matanya saja. Sementara baju yang dikenakan orang itu berwarna hijau lumut.

“Eh, paman, kenapa aku harus pergi? Siapakah kau sehingga perlu menutupi wajahmu dengan kain begitu? Apakah aku sudah mengenalmu?”, - tanpa menjawab pertanyaan, Gilang justru memberondong pendatang itu dengan balik bertanya.

Terdengar suara tertawa yang ditelinga Gilang terdengar sumbang.

“Dasar anak bodoh, aku adalah penguasa sungai di tanah Jawa ini. Jujur saja wajahku pernah terkena sabetan ekor buaya ketika aku harus menaklukkan raja buaya di Sendang Moneng. Setiap membuka kain penutup wajahku, biasanya orang-orang akan mengejek dan menertawaiku. Itu membuat nafsuku untuk membunuh menggelegak. Nah, kalau kau ingin melihat wajah asliku aku tidak keberatan, tetapi artinya aku akan membunuhmu. Bagaimana? ”, - suara orang dibalik penutup wajah itu terdengar bergetar dengan nada mengancam.

Tetapi agaknya Gilang sama sekali tidak menyadari ancaman itu, dengan mata berbinar-binar ia justru menjawab - ,”Oh, ternyata paman adalah pawang buaya. Baiklah aku tidak akan mengejek ataupun ingin melihat wajah jelek paman. Bagaimana kalau kita duduk dibatu ini dan paman bercerita tentang pertarungan paman dengan buaya itu? “

Orang dengan penutup wajah itu terlihat tertegun, sebelum kemudian menggeram.

“Benar-benar anak bodoh, kau sama sekali tidak menyadari bahaya yang sedang mengintaimu. Kalau tadi aku menyuruhmu pergi, maka sekarang ini aku justru akan menangkapmu. Kau harus menjadi pelayanku yang akan mengurusi setiap kebutuhanku. Coba aku lihat dulu apakah ketangkasan bicaramu sepadan dengan ketangkasan gerakmu!”

Orang asing dengan penutup wajah itu langsung meloncat turun dan sambil membungkukkan badan ia meraih beberapa kerikil yang bertebaran disungai itu dan kemudian disambitkan ke arah Gilang berdiri. Batu sebesar telur ayam itu dengan deras meluncur ke arah dada. Ketika Gilang memiringkan tubuhnya sehingga terhindar dari lemparan itu,  ternyata lemparan kedua yang tidak kalah derasnya telah meluncur dan mengancam lehernya. Terpaksa Gilang meluncur turun dari batu besar tempatnya berdiri dan kini berhadapan dengan orang berpenutup wajah itu dalam jarak kurang dari dua tombak.

Tiba-tiba saja orang itu justru mundur beberapa langkah. Sambil menggoyang-goyangkan tangannya ia berteriak dengan suara melengking.

“Ini tidak pantas dan bahkan memalukan. Bagaimana mungkin aku yang penguasa sungai tanah Jawa dan pembunuh buaya Sendang Moneng harus berkelahi dengan anak ingusan dan bodoh seperti kau ini. Ah, aku akan menjadi bahan tertawaan dunia”

Sambil terus menggoyang-goyangkan tangannya orang berpenutup wajah itu masih mundur lagi beberapa tindak. Gilang terlihat mengerutkan keningnya, ia justru maju mendekat dan menjawab perkataan orang asing itu.

“Paman yang berwajah jelek, kau belum mengenal aku tetapi sudah beberapa kali kau mengatakan bahwa aku adalah anak bodoh, dungu dan ingusan. Kalau aku benar-benar bodoh dan dungu lalu mengapa kau akan menjadikan aku pelayanmu? Sudahlah, kalau kau ingin sekedar berkelahi aku akan melayanimu”

Kembali terdengar suara tertawa yang menggema di sekitar sungai itu.

“Ah, agaknya kau tidak sebodoh yang aku kira. Tetapi, tetap saja aku akan merasa malu jika harus berkelahi dengan anak dungu sepertimu. Begini saja, kita adu ketangkasan, siapa yang mampu menangkap baju lawan maka ia akan menang dan harus menuruti apa keinginan lawan. Beranikah kau anak kecil?”

Meskipun tidak marah, tetapi lama-kelamaan Gilang merasa geram juga disepelekan lawannya yang masih asing itu. Segera ia mempersiapkan diri sambil menjawab.

“Baiklah, kalau aku menang aku hanya ingin membuka penutup wajah paman itu dan melihat wajah jelek paman. Awas, aku mulai paman”

Tubuh Gilang segera melesat dengan tangan mengembang hendak menangkap tubuh lawannya.
Tak disangka lawannya itu tidak bergeser kesamping atau membalikkan tubuhnya untuk menghindar, ia tiba-tiba saja melontarkan badannya ke belakang dengan tubuh tetap menghadap ke Gilang. Tubuhnya terlontar mundur tanpa merobah posisinya dan kemudian mendarat di pasir tepian sungai dengan ringannya.

“Gerakan itu sungguh sulit dilakukan”, - tanpa sadar Gilang memberikan penilaian atas gerak  lawannya itu.


Salam,




No comments:

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...