BALADA
SWANDARU GENI
Gilang
Pamungkas
Babak-02
Sepengetahuan Pandan Wangi sungai yang sering dipakai untuk
berlatih anaknya ini letaknya cukup jauh dari pemukiman dan jarang warga
Kademangan yang datang kesini. Karena itu langkah-langkah kaki yang datang dan
kelihatan tergesa-gesa itu sangat menarik perhatiannya. Dengan cepat ia segera
membenahi bekal yang sudah habis di makan Gilang dan segera berdiri menghadap ke
arah datangnya langkah kaki itu. Segera ia menajamkan pendengarannya dan
dahinya berkerut lebih dalam.
“Siapakah tiga orang yang datang ini? Setidaknya dua orang
dari mereka mempunyai ilmu meringankan tubuh yang teramat baik, langkah kakinya
hampir tidak terdengar sama sekali”, - Pandan Wangi berdesis dalam hati.
Tetapi Gilang nampaknya tidak terlalu terpengaruh dengan
kesiagaan ibunda-nya maupun langkah-langkah kaki yang terdengar semakin jelas
itu. Ia masih tetap duduk dan sibuk mengunyah potongan buah pepaya yang masih separo ditangan
kanannya. Baginya, menghabiskan apa yang sudah terhidang di hadapannya adalah
lebih penting daripada rasa penasaran atas siapa yang akan datang.
Tiba-tiba saja pendengaran Pandan Wangi menangkap gerak
langkah itu berhenti secara mendadak. Diam dan sunyi, yang terdengar hanya
gesekan daun-daun yang tertiup angin siang hari.
Untuk sesaat Pandan Wangi menunggu sebelum kemudian tubuhnya
berkelebat dengan cepat.
“Gilang, tunggulah dulu disini. Bunda akan segera kembali”,
Belum juga kalimatnya habis, Genta melihat bayangan tubuh
ibundanya itu sudah menghilang dari pandangannya. Pandan Wangi menerobos
dedaunan dan menuju jalan setapak untuk naik dari bantaran sungai.
“Bukan main, ibunda selalu bisa bergerak dengan sangat
cepat. Kelak aku akan mampu bergerak secepat ibunda dan juga sekuat ayah yang
tenaganya mampu memecah batu besar dengan mudahnya”, - diam-diam Gilang
mengagumi kedua orangtuanya sambil berangan-angan.
Sambil menungu ibundanya kembali, Gilang menyelonjorkan
kakinya sambil menikmati hembusan angin. Di tepian sungai ini banyak
pohon-pohon besar dan bahkan rumpun bambu yang lebat sehingga udara terasa
sejuk seiring berhembusnya angin yang tidak terlalu keras.
Cukup lama Gilang menunggu ibundanya yang tak kunjung kembali.
Keringat ditubuhnya sudah mulai mengering dan bahkan kesejukan udara di
pinggiran sungai itu akhirnya membuatnya mengantuk. Tanpa pikir panjang Gilang
langsung merebahkan tubuhnya di atas batu besar itu dan tidak lama kemudian
terdengarlah suara mendengkur. Anak ini tidak ubahnya seperti cerminan masa
kecil Swandaru yang begitu terbuka dan tidak ingin menanggung beban pikiran. Ia
dengan lahap menghabiskan makanan yang tersaji dan sesaat kemudian sudah
mendengkur dalam lelapnya mimpi.
Tetapi agaknya kali ini Gilang tidak bisa terlalu lama
menikmati tidurnya, ia segera terbangun ketika terdengar sebuah bentakan keras
dekat di telinganya.
“He, anak dungu, bangun kau dan lekas pergi dari sini…”
Dengan sedikit gelagapan Gilang segera meloncat berdiri
dengan sikap kuda-kuda yang kuat. Dilihatnya seseorang berdiri diatas batu di
depannya yang jaraknya sebenarnya cukup jauh dari batu tempatnya berdiri. Ia
agak terheran-heran karena suara yang membentaknya tadi seolah-olah tepat di
telinganya.
Tetapi yang lebih membuatnya terheran-heran adalah orang
yang baru saja datang itu menutupi seluruh wajahnya dengan kain lurik dan yang
tersisa hanya kedua matanya saja. Sementara baju yang dikenakan orang itu berwarna
hijau lumut.
“Eh, paman, kenapa aku harus pergi? Siapakah kau sehingga
perlu menutupi wajahmu dengan kain begitu? Apakah aku sudah mengenalmu?”, -
tanpa menjawab pertanyaan, Gilang justru memberondong pendatang itu dengan
balik bertanya.
Terdengar suara tertawa yang ditelinga Gilang terdengar
sumbang.
“Dasar anak bodoh, aku adalah penguasa sungai di tanah Jawa
ini. Jujur saja wajahku pernah terkena sabetan ekor buaya ketika aku harus menaklukkan
raja buaya di Sendang Moneng. Setiap membuka kain penutup wajahku, biasanya
orang-orang akan mengejek dan menertawaiku. Itu membuat nafsuku untuk membunuh
menggelegak. Nah, kalau kau ingin melihat wajah asliku aku tidak keberatan,
tetapi artinya aku akan membunuhmu. Bagaimana? ”, - suara orang dibalik penutup
wajah itu terdengar bergetar dengan nada mengancam.
Tetapi agaknya Gilang sama sekali tidak menyadari ancaman
itu, dengan mata berbinar-binar ia justru menjawab - ,”Oh, ternyata paman
adalah pawang buaya. Baiklah aku tidak akan mengejek ataupun ingin melihat
wajah jelek paman. Bagaimana kalau kita duduk dibatu ini dan paman bercerita
tentang pertarungan paman dengan buaya itu? “
Orang dengan penutup wajah itu terlihat tertegun, sebelum
kemudian menggeram.
“Benar-benar anak bodoh, kau sama sekali tidak menyadari
bahaya yang sedang mengintaimu. Kalau tadi aku menyuruhmu pergi, maka sekarang
ini aku justru akan menangkapmu. Kau harus menjadi pelayanku yang akan mengurusi
setiap kebutuhanku. Coba aku lihat dulu apakah ketangkasan bicaramu sepadan
dengan ketangkasan gerakmu!”
Orang asing dengan penutup wajah itu langsung meloncat turun
dan sambil membungkukkan badan ia meraih beberapa kerikil yang bertebaran
disungai itu dan kemudian disambitkan ke arah Gilang berdiri. Batu sebesar
telur ayam itu dengan deras meluncur ke arah dada. Ketika Gilang memiringkan
tubuhnya sehingga terhindar dari lemparan itu, ternyata lemparan kedua yang tidak kalah
derasnya telah meluncur dan mengancam lehernya. Terpaksa Gilang meluncur turun
dari batu besar tempatnya berdiri dan kini berhadapan dengan orang berpenutup
wajah itu dalam jarak kurang dari dua tombak.
Tiba-tiba saja orang itu justru mundur beberapa langkah. Sambil
menggoyang-goyangkan tangannya ia berteriak dengan suara melengking.
“Ini tidak pantas dan bahkan memalukan. Bagaimana mungkin
aku yang penguasa sungai tanah Jawa dan pembunuh buaya Sendang Moneng harus berkelahi
dengan anak ingusan dan bodoh seperti kau ini. Ah, aku akan menjadi bahan
tertawaan dunia”
Sambil terus menggoyang-goyangkan tangannya orang berpenutup
wajah itu masih mundur lagi beberapa tindak. Gilang terlihat mengerutkan
keningnya, ia justru maju mendekat dan menjawab perkataan orang asing itu.
“Paman yang berwajah jelek, kau belum mengenal aku tetapi
sudah beberapa kali kau mengatakan bahwa aku adalah anak bodoh, dungu dan
ingusan. Kalau aku benar-benar bodoh dan dungu lalu mengapa kau akan menjadikan
aku pelayanmu? Sudahlah, kalau kau ingin sekedar berkelahi aku akan melayanimu”
Kembali terdengar suara tertawa yang menggema di sekitar
sungai itu.
“Ah, agaknya kau tidak sebodoh yang aku kira. Tetapi, tetap
saja aku akan merasa malu jika harus berkelahi dengan anak dungu sepertimu.
Begini saja, kita adu ketangkasan, siapa yang mampu menangkap baju lawan maka
ia akan menang dan harus menuruti apa keinginan lawan. Beranikah kau anak
kecil?”
Meskipun tidak marah, tetapi lama-kelamaan Gilang merasa
geram juga disepelekan lawannya yang masih asing itu. Segera ia mempersiapkan
diri sambil menjawab.
“Baiklah, kalau aku menang aku hanya ingin membuka penutup
wajah paman itu dan melihat wajah jelek paman. Awas, aku mulai paman”
Tubuh Gilang segera melesat dengan tangan mengembang hendak
menangkap tubuh lawannya.
Tak disangka lawannya itu tidak bergeser kesamping atau
membalikkan tubuhnya untuk menghindar, ia tiba-tiba saja melontarkan badannya
ke belakang dengan tubuh tetap menghadap ke Gilang. Tubuhnya terlontar mundur
tanpa merobah posisinya dan kemudian mendarat di pasir tepian sungai dengan
ringannya.
“Gerakan itu sungguh sulit dilakukan”, - tanpa sadar Gilang
memberikan penilaian atas gerak lawannya
itu.
Salam,
No comments:
Post a Comment