Sunday, April 2, 2017

BALADA SWANDARU GENI - Sebuah Perjalanan - Babak-22

BALADA SWANDARU GENI
Sebuah Perjalanan
Babak-22

Keriuhan pertempuran di halaman banjar itu mendadak berkurang dengan sangat cepat. Sambil berdiri, beberapa pengawal bahkan kemudian ikut-ikutan menundukkan kepalanya ketika melihat betapa ke-lima murid-murid Hantu Laut itu kini tubuhnya sudah teronggok diam dengan luka yang sangat mengerikan di sekujur tubuhnya.

Tak terkecuali putra tertua Ki Demang yang baru saja menghujamkan tombaknya ke dada salah satu murid Hantu Laut yang dipilihnya yang kebetulan memang bukan adik kandungnya.

Ketika ia menengok dan menebarkan pandangannya ke sudut halaman yang lain, dadanya terasa berdentangan, dilihatnya dua sosok tubuh yang keadaannya tidak berbeda jauh dengan nasib lawan yang baru saja merasakan hujaman tombaknya. Sementara ayahnya yang juga Ki Demang Krikilan terbaring karena luka yang agaknya cukup parah, kini kedua adik kandungnya itu tewas dengan kondisi yang sangat mengenaskan.

Para pengawal kademangan yang sehari-harinya sering turun ke sawah dan hidup dalam suasana guyup rukun itu seolah-olah baru tersadarkan. Kemarahan yang sangat telah merubah perilaku mereka sehingga mampu melakukan pembunuhan yang bengis meskipun itu kepada musuh-musuhnya.

Tetapi sesaat kemudian kesadaran itu kembali dipecahkan oleh jerit kemarahan yang sangat keras yang keluar dari mulut Hantu Laut dan adik seperguruan Watu Gempal pada saat yang hampir bersamaan. Kemarahan yang tak tertahankan memenuhi dada dan kepala mereka ketika melihat kenyataan bahwa kelima muridnya ternyata telah tewas oleh para pengawal sebuah kademangan terpencil.

Kemarahan itu kemudian tersalurkan pada gerak serangan atas lawan-lawan yang sekian lama masih mengikat mereka. Dengan garang Hantu Laut itu melibat Kiai Garda sambil meningkatkan udara panas yang semakin mengganggu lawannya. Kerisnya yang merah membara terayun-ayun berputaran dan gerak jangkauan semakin meluas. Hantu itu yakin bahwa meskipun Kiai Garda mampu menghilang dari pandangannya dengan cepat, tetapi sesungguhnya ia masih tidak jauh dari garis serangannya sehingga udara panas itu pasti berpengaruh pada lawannya.

Kiai Garda semakin berhati-hati ketika melihat gerakan Hantu Laut itu menjadi begitu garang dan kekuatannya juga meningkat sangat besar. Keris ditangan hantu itu seolah berubah menjadi tungku api yang menebarkan udara panas yang terus menerus mengejarnya. Untunglah Kiai Garda selalu mempunyai kesempatan sekejab sebelum gerak lawannya, sehingga ia selalu bisa terhindar dari jangkauan lawan.

“Panas yang semakin menyengat ini menyulitkan aku untuk mendekat,” – Kiai Garda membatin dan mencoba menilai keadaan,” – Apakah tongkatku ini mampu menahan panas yang dikobarkan oleh keris Kiai Djangkung Dahana itu?”
Sambil terus menghindar Kiai Garda mencoba mencari celah untuk bisa melakukan serangan balik, sementara serangan dari hantu Laut itu terus datang membadai.

Sementara di lingkaran pertempuran lain, Swandaru juga mengalami tekanan yang sangat berat dari Watu Gempal. Meskipun lapisan ilmu kebal sejenis Tameng Waja-nya mampu melindunginya dari tekanan tenaga besar dari Watu Gunung, tetapi kulit dan perasaannya mulai terganggu dengan ilmu api yang mulai melibatnya. Kalau di awal pertarungan Swandaru dengan tatag berani membentur serangan raksasa itu, kini mau tidak mau ia harus berloncatan berusaha menghindar.

Dalam sebuah kesempatan ketika ia tidak ada kesempatan lagi untuk menghindar, Swandaru terpaksa membentur serangan raksasa itu. Ia langsung merasakan panas yang menyengat tinggi,  seolah tangannya itu sedang dimasukkan ke dalam tungku api yang membara dan langsung menjilati kulitnya.

Hanya saja ilmu kebal yang sudah diterapkannya sejak awal pertarungan yang terus meningkat itu masih mampu melindunginya meskipun tidak sepenuhnya.

“Jika ini terjadi secara terus-menerus, aku tidak yakin ilmu pelapis-ku ini mampu menahan ilmu api raksasa ini,” – Swandaru menimbang-nimbang dalam hatinya.

Demikianlah, keadaan seolah-olah sedang berpihak kepada dua kakak beradik seperguruan itu yang dengan garang melibat dan mendesak Kiai Garda dan Swandaru untuk paling tidak membenturkan serangan yang sudah  dilambari ilmu api-nya. Jika Kiai Garda masih mampu menghindar dengan gerak cepatnya yang seolah-olah menghilang, maka Swandaru Geni benar-benar merasa sangat terdesak dan semakin sulit untuk bisa menghindar.

“Gila, dalam keadaan seperti ini aku harus mengakui bahwa ilmu meringankan tubuh dan kecepatan gerak sebagaimana yang telah dikuasai Pandan Wangi akan sangat membantu agar terlepas dari tekanan ini”, - Swandaru sempat menilai kemampuan lawannya sambil berusaha mencari cara untuk lepas dari libatan ini.

Tetapi pada dasarnya Swandaru adalah seorang yang ulet dan tidak gampang menyerah. Ia mampu menahan rasa sakit yang menyengat ketika harus membentur serangan lawan lagi. Bahkan sambil menahan rasa panas yang melanda bagian tangan dan tubuhnya, ia masih berusaha menyarangkan sambaran tangannya ke dada Watu Gempal yang membuat raksasa itu terlempar beberapa langkah ke belakang.

Tetapi Swandaru juga tidak bisa mengejar lawannya itu karena ia sendiri harus mengerahkan tenaga cadangan dan daya tahan tubuhnya untuk menahan rasa sakit dan panas akibat benturan itu.

Para pengawal yang sudah kehilangan lawannya itu kini berkumpul dan tanpa disuruh membuat lingkaran besar dimana terjadi pertarungan dari dua pasang orang yang mempunyai kemampuan begitu tinggi itu.

Mereka bermaksud untuk ikut melibatkan diri, tetapi ketika hendak mendekat mereka merasa seolah-olah masuk ke dalam panasnya kobaran api. Beberapa pengawal yang nekad maju untuk mendekat akhirnya tidak tahan dan terpaksa mundur lagi beberapa langkah. Padahal jarak mereka masih beberapa tombak dari arena dua lingkaran pertempuran itu.

“Jangan ada yang ikut campur, biarlah aku melayani Hantu Laut ini sepuasnya”, - tiba-tiba saja Kiai Garda berteriak lantang.

Swandaru yang melihat para pengawal hendak maju untuk melakukan pengeroyokan itu  tiba-tiba saja menggeram. Para pengawal itu tidak menyadari bahwa seandainya melibatkan diri, maka mereka tidak ubahnya batang ilalang kering yang di masukkan ke dalam kobaran api. Korban akan semakin banyak dan sangat membahayakan para pengawal itu.

Lagipula, sudah menjadi watak Swandaru bahwa ia tidak pernah merasa nyaman untuk menerima uluran tangan ataupun bantuan orang lain meskipun saat ini keadaan memang sangat sulit. Harga dirinya yang tinggi membuatnya bertekad untuk menyelesaikan pertarungan dengan raksasa itu apapun resikonya.

Tiba-tiba udara malam yang sudah teramat panas itu terbelah oleh sebuah suara ledakan yang teramat dahsyat.

Hantu Laut, Watu Gempal dan bahkan Kiai Garda terpaksa harus meloncat mundur dengan wajah tegang.

“Orang bercambuk!”, - desis mereka hampir bersamaan.



Salam,

2 comments:

widiaxa said...

Matur-nuwun Ki-Pujo-Riswantoro.... sehat selalu.

Pudjo Riswantoro said...

Sami2 kangmas...sehat jg utk panjenengan..:)

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...