BALADA SWANDARU GENI
Sebuah Perjalanan
Babak-22
Sebuah Perjalanan
Babak-22
Keriuhan pertempuran di halaman banjar itu mendadak berkurang dengan
sangat cepat. Sambil berdiri, beberapa pengawal bahkan kemudian ikut-ikutan
menundukkan kepalanya ketika melihat betapa ke-lima murid-murid Hantu Laut itu
kini tubuhnya sudah teronggok diam dengan luka yang sangat mengerikan di sekujur
tubuhnya.
Tak terkecuali putra tertua Ki Demang yang baru saja
menghujamkan tombaknya ke dada salah satu murid Hantu Laut yang dipilihnya yang
kebetulan memang bukan adik kandungnya.
Ketika ia menengok dan menebarkan pandangannya ke sudut halaman yang
lain, dadanya terasa berdentangan, dilihatnya dua sosok tubuh yang keadaannya
tidak berbeda jauh dengan nasib lawan yang baru saja merasakan hujaman
tombaknya. Sementara ayahnya yang juga Ki Demang Krikilan terbaring karena luka
yang agaknya cukup parah, kini kedua adik kandungnya itu tewas dengan kondisi
yang sangat mengenaskan.
Para pengawal kademangan yang sehari-harinya sering turun ke sawah
dan hidup dalam suasana guyup rukun itu seolah-olah baru tersadarkan. Kemarahan
yang sangat telah merubah perilaku mereka sehingga mampu melakukan pembunuhan
yang bengis meskipun itu kepada musuh-musuhnya.
Tetapi sesaat kemudian kesadaran itu kembali dipecahkan oleh
jerit kemarahan yang sangat keras yang keluar dari mulut Hantu Laut dan adik
seperguruan Watu Gempal pada saat yang hampir bersamaan. Kemarahan yang tak
tertahankan memenuhi dada dan kepala mereka ketika melihat kenyataan bahwa
kelima muridnya ternyata telah tewas oleh para pengawal sebuah kademangan
terpencil.
Kemarahan itu kemudian tersalurkan pada gerak serangan atas
lawan-lawan yang sekian lama masih mengikat mereka. Dengan garang Hantu Laut
itu melibat Kiai Garda sambil meningkatkan udara panas yang semakin mengganggu
lawannya. Kerisnya yang merah membara terayun-ayun berputaran dan gerak jangkauan
semakin meluas. Hantu itu yakin bahwa meskipun Kiai Garda mampu menghilang dari
pandangannya dengan cepat, tetapi sesungguhnya ia masih tidak jauh dari garis
serangannya sehingga udara panas itu pasti berpengaruh pada lawannya.
Kiai Garda semakin berhati-hati ketika melihat gerakan Hantu
Laut itu menjadi begitu garang dan kekuatannya juga meningkat sangat besar.
Keris ditangan hantu itu seolah berubah menjadi tungku api yang menebarkan
udara panas yang terus menerus mengejarnya. Untunglah Kiai Garda selalu
mempunyai kesempatan sekejab sebelum gerak lawannya, sehingga ia selalu bisa
terhindar dari jangkauan lawan.
“Panas yang semakin menyengat ini menyulitkan aku untuk mendekat,”
– Kiai Garda membatin dan mencoba menilai keadaan,” – Apakah tongkatku ini
mampu menahan panas yang dikobarkan oleh keris Kiai Djangkung Dahana itu?”
Sambil terus menghindar Kiai Garda mencoba mencari celah untuk
bisa melakukan serangan balik, sementara serangan dari hantu Laut itu terus
datang membadai.
Sementara di lingkaran pertempuran lain, Swandaru juga mengalami
tekanan yang sangat berat dari Watu Gempal. Meskipun lapisan ilmu kebal sejenis
Tameng Waja-nya mampu melindunginya dari tekanan tenaga besar dari Watu Gunung,
tetapi kulit dan perasaannya mulai terganggu dengan ilmu api yang mulai
melibatnya. Kalau di awal pertarungan Swandaru dengan tatag berani membentur
serangan raksasa itu, kini mau tidak mau ia harus berloncatan berusaha menghindar.
Dalam sebuah kesempatan ketika ia tidak ada kesempatan lagi untuk
menghindar, Swandaru terpaksa membentur serangan raksasa itu. Ia langsung merasakan
panas yang menyengat tinggi, seolah
tangannya itu sedang dimasukkan ke dalam tungku api yang membara dan langsung menjilati
kulitnya.
Hanya saja ilmu kebal yang sudah diterapkannya sejak awal
pertarungan yang terus meningkat itu masih mampu melindunginya meskipun tidak
sepenuhnya.
“Jika ini terjadi secara terus-menerus, aku tidak yakin ilmu
pelapis-ku ini mampu menahan ilmu api raksasa ini,” – Swandaru menimbang-nimbang
dalam hatinya.
Demikianlah, keadaan seolah-olah sedang berpihak kepada dua
kakak beradik seperguruan itu yang dengan garang melibat dan mendesak Kiai
Garda dan Swandaru untuk paling tidak membenturkan serangan yang sudah dilambari ilmu api-nya. Jika Kiai Garda masih mampu
menghindar dengan gerak cepatnya yang seolah-olah menghilang, maka Swandaru
Geni benar-benar merasa sangat terdesak dan semakin sulit untuk bisa menghindar.
“Gila, dalam keadaan seperti ini aku harus mengakui bahwa ilmu
meringankan tubuh dan kecepatan gerak sebagaimana yang telah dikuasai Pandan
Wangi akan sangat membantu agar terlepas dari tekanan ini”, - Swandaru sempat
menilai kemampuan lawannya sambil berusaha mencari cara untuk lepas dari
libatan ini.
Tetapi pada dasarnya Swandaru adalah seorang yang ulet dan tidak
gampang menyerah. Ia mampu menahan rasa sakit yang menyengat ketika harus
membentur serangan lawan lagi. Bahkan sambil menahan rasa panas yang melanda
bagian tangan dan tubuhnya, ia masih berusaha menyarangkan sambaran tangannya
ke dada Watu Gempal yang membuat raksasa itu terlempar beberapa langkah ke
belakang.
Tetapi Swandaru juga tidak bisa mengejar lawannya itu karena ia
sendiri harus mengerahkan tenaga cadangan dan daya tahan tubuhnya untuk menahan
rasa sakit dan panas akibat benturan itu.
Para pengawal yang sudah kehilangan lawannya itu kini berkumpul
dan tanpa disuruh membuat lingkaran besar dimana terjadi pertarungan dari dua
pasang orang yang mempunyai kemampuan begitu tinggi itu.
Mereka bermaksud untuk ikut melibatkan diri, tetapi ketika
hendak mendekat mereka merasa seolah-olah masuk ke dalam panasnya kobaran api. Beberapa
pengawal yang nekad maju untuk mendekat akhirnya tidak tahan dan terpaksa
mundur lagi beberapa langkah. Padahal jarak mereka masih beberapa tombak dari
arena dua lingkaran pertempuran itu.
“Jangan ada yang ikut campur, biarlah aku melayani Hantu Laut
ini sepuasnya”, - tiba-tiba saja Kiai Garda berteriak lantang.
Swandaru yang melihat para pengawal hendak maju untuk melakukan
pengeroyokan itu tiba-tiba saja menggeram.
Para pengawal itu tidak menyadari bahwa seandainya melibatkan diri, maka mereka
tidak ubahnya batang ilalang kering yang di masukkan ke dalam kobaran api. Korban
akan semakin banyak dan sangat membahayakan para pengawal itu.
Lagipula, sudah menjadi watak Swandaru bahwa ia tidak pernah
merasa nyaman untuk menerima uluran tangan ataupun bantuan orang lain meskipun
saat ini keadaan memang sangat sulit. Harga dirinya yang tinggi membuatnya bertekad
untuk menyelesaikan pertarungan dengan raksasa itu apapun resikonya.
Tiba-tiba udara malam yang sudah teramat panas itu terbelah oleh
sebuah suara ledakan yang teramat dahsyat.
Hantu Laut, Watu Gempal dan bahkan Kiai Garda terpaksa harus
meloncat mundur dengan wajah tegang.
“Orang bercambuk!”, - desis mereka hampir bersamaan.
Salam,
2 comments:
Matur-nuwun Ki-Pujo-Riswantoro.... sehat selalu.
Sami2 kangmas...sehat jg utk panjenengan..:)
Post a Comment