Tuesday, April 18, 2017

BSG - Gilang Pamungkas - Babak-04

BALADA SWANDARU GENI
Gilang Pamungkas
Babak-04


Orang yang menutupi wajahnya dengan kain itu terlihat lega ketika lemparan batu yang menghujaninya itu berhenti. Dilihatnya bocah kecil yang bernama Gilang itu memandangnya dengan pandangan tajam, sementara tangan kanan dan kirinya masih menggemgam beberapa batu kecil yang siap untuk disambitkan kembali ke arah lawannya.

“ Begini saja ”, - sambil menata nafasnya orang yang wajahnya tertutup kain itu berkata -, ” sesungguhnya kita ini tidak bermusuhan dan bahkan baru saja saling mengenal, jadi sebaiknya kita tidak boleh saling melukai. Bagaimana pendapatmu bocah kecil?”

“Namaku Gilang, paman berwajah jelek!”, - Gilang membalas dengan suara ketus.

“Oo, baiklah, aku minta maaf. Jadi bagaimana pendapatmu Gilang?”, - dengan tergesa-gesa orang itu memperbaiki kalimatnya.

Gilang terlihat menaikkan kedua pundaknya sambil menjawab.

“Bukankah sejak awal paman yang lebih dahulu melempari aku dengan batu? Lalu dengan sombong paman menantangku untuk beradu lari, seolah paman ini masih muda atau ingin terlihat kecil sepertiku. Nah, aku hanya melayani keinginan paman saja. Sekarang paman ingin beradu ketangkasan seperti apa? Seandainya harus berkelahipun aku tak gentar”.

Orang berpenutup wajah itu tidak langsung menjawab, melainkan membungkukkan badannya dan mengambil beberapa butir batu yang besarnya seukuran telur ayam. Dengan beberapa butir batu ditangannya ia kemudian melangkah mendekati Gilang sambil berkata.

“Begini Gilang, kita akan benar-benar adu ketangkasan dalam hal membidik. Aku akan melemparkan batu ke udara dan kau harus berusaha membidik dan mengenainya. Ada sepuluh batu yang akan aku lempar dan kau harus mengenainya dengan cepat. Kita akan melakukannya bergantian. Bagaimana?”

Mendengar perkataan orang berpenutup wajah itu, tiba-tiba saja wajah Gilang terlihat berseri-seri, bahkan tubuhnya berjingkrak-jingkrak dan terdengar suara tertawanya berderai. Ia nampak gembira sekali dan kemudian melangkah dan berdiri dekat dengan orang yang wajahnya ditutup kain itu.

“Baik, aku setuju!”, - jawabnya dengan suara riang.

Orang dengan penutup wajah itu nampaknya agak terheran-heran dengan sikap Gilang yang terlihat begitu gembira dengan tawarannya. Tetapi ia tidak bertanya lebih jauh melainkan segera mempersiapkan diri untuk adu ketangkasan ini.

Ketika melihat Gilang sudah bersiap, orang dengan penutup wajah itu kemudian memberi tanda untuk memulai permainan. Segera sebuah batu sebesar telur ayam meluncur dengan deras ke udara, membumbung tinggi seolah hendak membelah langit.

Hampir bersamaan dengan gerak tangan orang berpenutup wajah yang melemparkan batunya ke udara, saat itu pula dengan cepat tubuh Gilang bergetar. Umurnya yang masih belia itu seolah mempermudah jalinan syaraf untuk saling bersinggungan dan memberikan umpan balik yang mengandalkan pengamatan yang seksama dengan gerak naluriahnya.

Sebuah batu meluncur dengan sangat cepat dari tangan Gilang, mengejar batu yang meluncur dari orang berpenutup wajah itu dari arah sedikit menyamping. Ketika batu pertama itu hampir mencapai puncaknya, batu yang dilepaskan Genta itu mengejar dan dengan telak membenturnya sehingga arah kedua batu itu melenceng sebelum kemudian jatuh ke tanah.

“Bagus! Sekarang lihat batu kedua ini, ketiga, ke empat, ke lima, ke enam…”

Orang dengan penutup wajah itu tiba-tiba saja mengeluarkan suara riang sambil tangan kanannya terayun melemparkan batu ke udara berulang kali. Lima buah batu meluncur secara berturut-turut dan dengan kecepatan penuh membelah angkasa.

Gilang yang mendengar dan melihat gerak orang dengan penutup wajah itu sama sekali tidak gugup, matanya seolah terpaku pada gerak batu yang terlontar ke udara itu. Sementara kejelian pengamatan terpadu dengan gerak naluriah sambitannya langsung bereaksi dengan melemparkan lima batu berturut-turut mengejar batu dari orang berpenutup wajah itu.

Siang itu, angkasa diatas sungai tempat Gilang biasanya berlatih terlihat disuguhi pemandangan yang sangat menarik. Setelah batu pertama yang jatuh dibidik Gilang dengan tepat, terlihat kemudian sepuluh buah batu sedang saling berkejaran. Batu kedua, ketiga, ke empat, ke lima dan ke enam terlihat terkejar dan terbentur bahkan sebelum mencapai puncaknya sehingga arahnya bergeser. Benturan itu menimbulkan bunyi ledakan kecil yang terdengar saling berkejaran.

Kejadian itu berlangsung dalam waktu yang sangat cepat seolah tak ada jeda. Suasana di pinggir sungai itu terasa hening sebelum kemudian terdengar sayup-sayup suara batu yang berbenturan itu jatuh ke tanah dalam jarak yang cukup jauh.

Gilang masih berdiri tegak sambil memusatkan perhatiannya secara penuh pada gerak yang mungkin dilakukan oleh orang berpenutup wajah itu. Masih ada setidaknya empat buah batu yang belum dilempar orang berpenutup wajah itu. Ia tidak ingin lengah sedikitpun yang memungkinkan ia kehilangan kesempatan untuk menang dalam adu ketangkasan membidik ini.

Tetapi lawannya yang berpenutup wajah itu terlihat diam tak bergerak. Beberapa  batu yang tersisa ditangannya bahkan dilepaskannya sehingga jatuh ke tepian sungai, hanya tersisa satu batu sebesar telur ayam.

Terlihat ia menarik nafas dalam-dalam sebelum kemudian ia berkata.

“Gilang, aku harus mengakui bahwa kemampuan membidik-ku tidak sebaik yang kau tunjukkan. Kau memang pantas menjadi murid Agung Sedayu”, - orang yang wajahnya tertutup kain itu berhenti sejenak sebelum kemudian melanjutkan -,”Tetapi dalam sebuah pertarungan kemampuan membidik tidak menjadi satu-satunya penentu kemenangan. Ada yang lebih penting dan sebenarnya menjadi landasan bagi banyak orang yang belajar olah kanuragan, yaitu tentang kecepatan dan kekuatan. Dalam hal kecepatan kau masih belum bisa menyentuhku, apalagi menangkapku. Nah, dalam hal kekuatan, aku ingin tahu apakah kau mampu meniru yang aku lakukan ini”

Orang berpenutup wajah itu segera melangkah maju dan mengangkat tangan kanannya yang menggenggam sebuah batu seukuran telur ayam. Batu itu berbentuk agak lonjong dan berwarna abu-abu, sehingga Gilang bisa membayangkan kekerasan batu yang hampir setiap hari menjadi mainannya.

Tangan orang berpenutup itu terlihat terbuka sebentar sebelum kemudian menutup lagi dan menggenggam batu itu dengan kuat. Dalam satu tarikan nafas, tiba-tiba saja tangannya itu mengeras dan meremas apa yang ada di genggamannya itu sehingga hancur.

Ketika tangan itu kemudian terbuka, maka terlihat batu tersebut sudah berubah bentuk menjadi butiran-butiran kecil dan bahkan abu yang lembut.

Wajah Gilang terlihat menegang, hatinya mendadak berdebar-debar kencang. Apa yang disaksikannya kali ini membuatnya benar-benar tercengang penuh kekaguman. Ia bahkan tidak mampu berkata-kata karena mulutnya seolah terkunci.

Untuk sesaat suasana di pinggir sungai itu terasa hening sebelum dipecahkan oleh suara yang menggema, di susulnya datangnya dua sosok bayangan yang berkelebat mendekat.

“Sudahlah ngger, aku kira itu sudah cukup”


Salam,




No comments:

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...