BALADA
SWANDARU GENI
Gilang
Pamungkas
Babak-04
Orang yang
menutupi wajahnya dengan kain itu terlihat lega ketika lemparan batu yang
menghujaninya itu berhenti. Dilihatnya bocah kecil yang bernama Gilang itu
memandangnya dengan pandangan tajam, sementara tangan kanan dan kirinya masih
menggemgam beberapa batu kecil yang siap untuk disambitkan kembali ke arah
lawannya.
“ Begini
saja ”, - sambil menata nafasnya orang yang wajahnya tertutup kain itu berkata
-, ” sesungguhnya kita ini tidak bermusuhan dan bahkan baru saja saling mengenal,
jadi sebaiknya kita tidak boleh saling melukai. Bagaimana pendapatmu bocah
kecil?”
“Namaku
Gilang, paman berwajah jelek!”, - Gilang membalas dengan suara ketus.
“Oo, baiklah,
aku minta maaf. Jadi bagaimana pendapatmu Gilang?”, - dengan tergesa-gesa orang
itu memperbaiki kalimatnya.
Gilang
terlihat menaikkan kedua pundaknya sambil menjawab.
“Bukankah
sejak awal paman yang lebih dahulu melempari aku dengan batu? Lalu dengan
sombong paman menantangku untuk beradu lari, seolah paman ini masih muda atau
ingin terlihat kecil sepertiku. Nah, aku hanya melayani keinginan paman saja.
Sekarang paman ingin beradu ketangkasan seperti apa? Seandainya harus
berkelahipun aku tak gentar”.
Orang
berpenutup wajah itu tidak langsung menjawab, melainkan membungkukkan badannya
dan mengambil beberapa butir batu yang besarnya seukuran telur ayam. Dengan
beberapa butir batu ditangannya ia kemudian melangkah mendekati Gilang sambil
berkata.
“Begini
Gilang, kita akan benar-benar adu ketangkasan dalam hal membidik. Aku akan
melemparkan batu ke udara dan kau harus berusaha membidik dan mengenainya. Ada
sepuluh batu yang akan aku lempar dan kau harus mengenainya dengan cepat. Kita
akan melakukannya bergantian. Bagaimana?”
Mendengar
perkataan orang berpenutup wajah itu, tiba-tiba saja wajah Gilang terlihat
berseri-seri, bahkan tubuhnya berjingkrak-jingkrak dan terdengar suara
tertawanya berderai. Ia nampak gembira sekali dan kemudian melangkah dan
berdiri dekat dengan orang yang wajahnya ditutup kain itu.
“Baik, aku
setuju!”, - jawabnya dengan suara riang.
Orang dengan
penutup wajah itu nampaknya agak terheran-heran dengan sikap Gilang yang
terlihat begitu gembira dengan tawarannya. Tetapi ia tidak bertanya lebih jauh
melainkan segera mempersiapkan diri untuk adu ketangkasan ini.
Ketika
melihat Gilang sudah bersiap, orang dengan penutup wajah itu kemudian memberi
tanda untuk memulai permainan. Segera sebuah batu sebesar telur ayam meluncur
dengan deras ke udara, membumbung tinggi seolah hendak membelah langit.
Hampir
bersamaan dengan gerak tangan orang berpenutup wajah yang melemparkan batunya
ke udara, saat itu pula dengan cepat tubuh Gilang bergetar. Umurnya yang masih
belia itu seolah mempermudah jalinan syaraf untuk saling bersinggungan dan memberikan
umpan balik yang mengandalkan pengamatan yang seksama dengan gerak naluriahnya.
Sebuah batu
meluncur dengan sangat cepat dari tangan Gilang, mengejar batu yang meluncur
dari orang berpenutup wajah itu dari arah sedikit menyamping. Ketika batu pertama
itu hampir mencapai puncaknya, batu yang dilepaskan Genta itu mengejar dan
dengan telak membenturnya sehingga arah kedua batu itu melenceng sebelum
kemudian jatuh ke tanah.
“Bagus!
Sekarang lihat batu kedua ini, ketiga, ke empat, ke lima, ke enam…”
Orang dengan
penutup wajah itu tiba-tiba saja mengeluarkan suara riang sambil tangan
kanannya terayun melemparkan batu ke udara berulang kali. Lima buah batu
meluncur secara berturut-turut dan dengan kecepatan penuh membelah angkasa.
Gilang yang
mendengar dan melihat gerak orang dengan penutup wajah itu sama sekali tidak
gugup, matanya seolah terpaku pada gerak batu yang terlontar ke udara itu.
Sementara kejelian pengamatan terpadu dengan gerak naluriah sambitannya
langsung bereaksi dengan melemparkan lima batu berturut-turut mengejar batu
dari orang berpenutup wajah itu.
Siang itu, angkasa
diatas sungai tempat Gilang biasanya berlatih terlihat disuguhi pemandangan
yang sangat menarik. Setelah batu pertama yang jatuh dibidik Gilang dengan
tepat, terlihat kemudian sepuluh buah batu sedang saling berkejaran. Batu kedua,
ketiga, ke empat, ke lima dan ke enam terlihat terkejar dan terbentur bahkan
sebelum mencapai puncaknya sehingga arahnya bergeser. Benturan itu menimbulkan bunyi
ledakan kecil yang terdengar saling berkejaran.
Kejadian itu
berlangsung dalam waktu yang sangat cepat seolah tak ada jeda. Suasana di
pinggir sungai itu terasa hening sebelum kemudian terdengar sayup-sayup suara
batu yang berbenturan itu jatuh ke tanah dalam jarak yang cukup jauh.
Gilang masih
berdiri tegak sambil memusatkan perhatiannya secara penuh pada gerak yang mungkin
dilakukan oleh orang berpenutup wajah itu. Masih ada setidaknya empat buah batu
yang belum dilempar orang berpenutup wajah itu. Ia tidak ingin lengah
sedikitpun yang memungkinkan ia kehilangan kesempatan untuk menang dalam adu
ketangkasan membidik ini.
Tetapi
lawannya yang berpenutup wajah itu terlihat diam tak bergerak. Beberapa batu yang tersisa ditangannya bahkan
dilepaskannya sehingga jatuh ke tepian sungai, hanya tersisa satu batu sebesar
telur ayam.
Terlihat ia
menarik nafas dalam-dalam sebelum kemudian ia berkata.
“Gilang, aku
harus mengakui bahwa kemampuan membidik-ku tidak sebaik yang kau tunjukkan. Kau
memang pantas menjadi murid Agung Sedayu”, - orang yang wajahnya tertutup kain
itu berhenti sejenak sebelum kemudian melanjutkan -,”Tetapi dalam sebuah
pertarungan kemampuan membidik tidak menjadi satu-satunya penentu kemenangan.
Ada yang lebih penting dan sebenarnya menjadi landasan bagi banyak orang yang
belajar olah kanuragan, yaitu tentang kecepatan dan kekuatan. Dalam hal
kecepatan kau masih belum bisa menyentuhku, apalagi menangkapku. Nah, dalam hal
kekuatan, aku ingin tahu apakah kau mampu meniru yang aku lakukan ini”
Orang
berpenutup wajah itu segera melangkah maju dan mengangkat tangan kanannya yang
menggenggam sebuah batu seukuran telur ayam. Batu itu berbentuk agak lonjong
dan berwarna abu-abu, sehingga Gilang bisa membayangkan kekerasan batu yang
hampir setiap hari menjadi mainannya.
Tangan orang
berpenutup itu terlihat terbuka sebentar sebelum kemudian menutup lagi dan
menggenggam batu itu dengan kuat. Dalam satu tarikan nafas, tiba-tiba saja
tangannya itu mengeras dan meremas apa yang ada di genggamannya itu sehingga
hancur.
Ketika
tangan itu kemudian terbuka, maka terlihat batu tersebut sudah berubah bentuk
menjadi butiran-butiran kecil dan bahkan abu yang lembut.
Wajah Gilang
terlihat menegang, hatinya mendadak berdebar-debar kencang. Apa yang
disaksikannya kali ini membuatnya benar-benar tercengang penuh kekaguman. Ia
bahkan tidak mampu berkata-kata karena mulutnya seolah terkunci.
Untuk sesaat
suasana di pinggir sungai itu terasa hening sebelum dipecahkan oleh suara yang
menggema, di susulnya datangnya dua sosok bayangan yang berkelebat mendekat.
“Sudahlah
ngger, aku kira itu sudah cukup”
Salam,
No comments:
Post a Comment