BALADA
SWANDARU GENI
Gilang
Pamungkas
Babak-05
Dua bayangan
yang meluncur cepat itu kemudian berdiri di sebelah menyebelah orang berpenutup
wajah itu. Gilang sama sekali tidak terkejut ketika melihat salah satu dari dua
orang yang baru datang dan berdiri dihadapannya itu adalah ibundanya. Hanya saja
ketika melihat seorang yang sudah cukup tua dengan wajah bersih yang menatapnya
sambil tersenyum, maka ia langsung menghambur memeluk pria yang baru datang
itu.
“ Kakek
Widura, mengapa lama sekali kakek tidak menjengukku”, - katanya setengah manja.
Orang yang
baru saja datang yang tidak lain adalah Ki Widura itu tertawa kecil -,”
Seharusnya kau yang menengok-ku di Padepokan Jati Anom Gilang. Kakekmu ini sudah
tua dan tidak kuat kalau harus menempuh perjalanan jauh”
“ Aku mau
kek, aku sudah kangen ingin menangkap ikan di empang padepokan lalu membakarnya
sementara kakang Asob yang menjadi cantrik padepokan itu nanti membuat sambel kemangi
“, - Genta menjawab dengan bersemangat.
Segera Gilang
melepaskan pelukannya dan bermaksud meminta ijin kepada ibundanya agar diberi
ijin berkunjung ke Padepokan Jati Anom. Ia
seolah sudah melupakan apa yang baru saja di alaminya. Tetapi ketika menoleh,
saat itu ia baru sadar bahwa ada satu orang yang tadinya menutupi wajahnya dan
kini sudah melepaskan kain penutup wajah itu.
Seraut wajah
kecoklatan dengan rahang yang keras menunjukkan betapa teguhnya hati laki-laki
yang tadinya menutup wajahnya itu. Sebuah senyuman ramah seolah menyembunyikan
betapa tajamnya sorot mata yang di miliki laki-laki itu. Umurnya masih
terhitung muda dengan tubuh yang terlihat kokoh. Ia melangkah maju dan sambil sedikit
menundukkan badan, ia memegang kedua pundak Gilang.
“ Maafkan
aku Gilang, aku hanya memenuhi permintaan paman Widura yang ingin melihat
perkembanganmu “, - katanya sambil tersenyum.
Gilang
menolehkan wajahnya dan dilihatnya kakeknya yang bernama Ki Widura itu tertawa
kecil, demikian juga ibundanya. Ia segera sadar dan meraih serta mencium tangan
laki-laki di hadapannya itu.
“ Paman
hebat sekali dan ternyata wajah paman juga tampan. Tenaga paman sungguh sangat
luar biasa sehingga dengan mudah meremas batu keras itu menjadi bubuk. Siapakah
nama paman? “, - tanyanya penasaran.
Laki-laki
itu tertawa -,”Gilang apakah kau mengenal paman Sabungsari?”
“Paman
Sabungsari yang prajurit itu?”
“Betul, nah
aku adalah saudara sepupunya. Namaku adalah Wahana Sari”, - orang yang tadinya
menutup wajahnya dengan kain itu terlihat tertawa senang.
“Apakah
paman Wahana juga seorang prajurit?”’ – Gilang bertanya lebih lanjut.
Tetapi belum
sempat Wahana Sari menjawab pertanyaan Gilang, Pandan Wangi telah menyela
pembicaraan itu.
“Sudahlah,
sebaiknya kita semua pulang dan di rumah Kademangan kita bisa berbicara lebih
panjang”
Wajah Gilang
terlihat kecewa. Agaknya ia masih ingin
berada di tepian sungai ini lebih lama, apalagi melihat kedatangan Ki Widura
dan Wahana Sari yang menarik hatinya.
“Bunda
apakah aku di ijinkan tidak pulang dulu. Aku masih ingin berlatih, apalagi ada kakek
Widura atau paman Wahana yang menemaniku sampai nanti menjelang sore ”, - ia
mencoba mengajukan permintaan ke ibundanya.
Pandan Wangi
terlihat termangu-mangu, lalu pandangannya beralih ke Ki Widura seolah hendak
menyerahkan jawaban itu kepadanya.
Ki Widura
yang memahami pandangan Pandan Wangi itu tersenyum dan sambil mengelus kepala
Gilang, ia menjawab.
“ Gilang,
masih ada banyak waktu untuk berlatih dengan aku atau dengan paman Wahana.
Tetapi saat ini ada sesuatu yang sangat penting dan harus aku bicarakan dengan
ibundamu. Jadi sebaiknya kita memang pulang ke Kademangan dahulu”
Wajah Gilang
terlihat kecewa,” – Bagaimana kalau paman Wahana saja bersamaku disini?”
Terdengar suara
tertawa orang yang ternyata bernama Wahana Sari itu perlahan. Ia senang melihat
semangat Genta yang membara untuk berlatih dan cepat akrab dengan orang yang
baru dikenalnya.
“Sayang,
paman Wahana sudah di pesan oleh kakek Widura untuk segera membicarakan masalah
penting ini dengan ibundamu Gilang. Tetapi nanti kita akan sering bertemu,
apalagi aku juga sering mampir di padepokan Ki Widura di Jati Anom”
Demikianlah,
mereka berempat segera meninggalkan tepian sungai itu menuju ke
Kademangan. Ketika sudah berada diatas
tanggul, mereka masih berjalan melewati beberapa petak sawah yang terlihat
segar menghijau. Hanya saja saat hendak melewati jalan setapak menuju jalanan
bulak yang terbuka, Ki Widura berdesis pelan tetapi bisa di dengar oleh
semuanya.
“ Wangi,
sebaiknya kau berjalan lebih dahulu berdua dengan Gilang. Aku akan menyusulmu
sambil meyakinkan keadaan”, - ia berhenti sejenak dan melanjutkan perkataannya
ketika Gilang hendak bertanya,” – Gilang, sementara kakek belum bisa bercerita.
Ikutlah dengan ibundamu dan aku serta paman Wahana akan menyusulmu segera”
Kembali
Pandan Wangi mengerutkan keningnya, sejak bertemu dengan Ki Widura dan Wahana
Sari yang juga baru dikenalnya itu, benaknya diliputi beberapa pertanyaan. Kedatangan
Ki Widura dan Wahana yang menyusulnya diantar seorang pengawal Kademangan
sungguh tidak biasa. Apalagi ketika Ki Widura justru meminta pengawal itu
kembali terlebih dahulu.
Hanya saja
sebagai seorang perempuan yang mapan dan penuh pengalaman, Pandan Wangi
menyadari bahwa sebaiknya saat ini ia menuruti saran Ki Widura tanpa banyak
bertanya dulu.
Pandan Wangi
dan Gilang segera melangkahkan kaki melintasi jalan terbuka yang merupakan
bulak pendek untuk kembali ke Kademangan Sangkal Putung. Setelah menempuh
sekitar separo dari bulak pendek itu, keduanya kemudian berbelok ke kanan mengambil
jalan pintas tanpa melewati padukuhan terdekat agar segera sampai Kademangan
lebih cepat.
Ada beberapa
ekor kuda yang terikat di halaman Kademangan.
“Agaknya
kita kedatangan tamu Gilang”, - Pandan Wangi berdesis pelan.
Gilang
mengangguk, bahkan ketika mereka masuk ke halaman, terlihat Ki Demang Sangkal
Putung menyambutnya dengan tergesa-gesa.
“Wangi, apakah
kau tidak bertemu dengan Ki Widura dan angger Wahana?”,- tanya Ki Demang dengan
wajah heran karena melihat Pandan Wangi hanya pulang berdua dengan Gilang saja.
“ Ya ayah, aku
tadi bertemu. Hanya saja paman Widura dan Adi Wahana masih ingin berkeliling Kademangan
dulu sebelum nanti kembali kesini,” – jawab Pandan Wangi yang juga merasakan
keheranan di hati Ki Demang.
Ternyata di
pendapa itu telah hadir dua prajurit dari Jati Anom yang sedang duduk beristirahat
setelah menikmati makan siang. Dihadapan mereka masih terhidang minuman wedang
sere dan beberapa potong jajanan kecil.
Pandan Wangi
dan Gilang sengaja tidak naik ke pendapa, mereka masuk melalui pintu samping hendak
menuju pakiwan terlebih dahulu.
“ Kabar
penting apakah yang dibawa oleh paman Widura?”, - Pandan Wangi bertanya-tanya
dalam hati.
Ditunggu
sekian lama ternyata Ki Widura dan Wahana tidak segera muncul dan ini membuat gelisah
kedua prajurit yang menunggunya. Demikian pula bagi Ki Demang Sangkal Putung,
Pandan Wangi maupun Gilang yang ikut mondar-mandir di halaman samping.
Menjelang
gelap turun, Pandan Wangi dan Gilang yang menunggu di halaman samping
terperanjat ketika menangkap dua sosok bayangan yang berkelebat dengan cepat
masuk ke halaman. Hampir saja Gilang berteriak kaget, sebelum dilihatnya salah
seorang yang meloncat masuk itu meletakkan jari telunjuknya di depan bibir
sambil berdesis pelan.
“Gilang,
jangan berteriak. Apakah kau sudah tidak mengenal aku lagi?”
“ Kakek
Widura dan paman Wahana, kenapa harus masuk melompati pagar samping? “, - tanya
Gilang keheranan.
Ki Widura
dan Wahana tidak langsung menjawab pertanyaan Gilang itu, mereka justru menoleh
kepada Pandan Wangi yang wajahnya juga diliputi tanda tanya. Dengan wajah yang
juga diliputi ketegangan Ki Widura kemudian berdesis pelan.
“ Wangi,
marilah kita masuk ke dalam dan berbicara tanpa diketahui kedua prajurit yang
menunggu di pendapa itu. Ada hal yang sangat penting dan harus kau ketahui”
Salam,
No comments:
Post a Comment