Wednesday, April 19, 2017

BSG - Gilang Pamungkas - Babak-05

BALADA SWANDARU GENI
Gilang Pamungkas
Babak-05


Dua bayangan yang meluncur cepat itu kemudian berdiri di sebelah menyebelah orang berpenutup wajah itu. Gilang sama sekali tidak terkejut ketika melihat salah satu dari dua orang yang baru datang dan berdiri dihadapannya itu adalah ibundanya. Hanya saja ketika melihat seorang yang sudah cukup tua dengan wajah bersih yang menatapnya sambil tersenyum, maka ia langsung menghambur memeluk pria yang baru datang itu.

“ Kakek Widura, mengapa lama sekali kakek tidak menjengukku”, - katanya setengah manja.

Orang yang baru saja datang yang tidak lain adalah Ki Widura itu tertawa kecil -,” Seharusnya kau yang menengok-ku di Padepokan Jati Anom Gilang. Kakekmu ini sudah tua dan tidak kuat kalau harus menempuh perjalanan jauh”

“ Aku mau kek, aku sudah kangen ingin menangkap ikan di empang padepokan lalu membakarnya sementara kakang Asob yang menjadi cantrik padepokan itu nanti membuat sambel kemangi “, - Genta menjawab dengan bersemangat.

Segera Gilang melepaskan pelukannya dan bermaksud meminta ijin kepada ibundanya agar diberi ijin  berkunjung ke Padepokan Jati Anom. Ia seolah sudah melupakan apa yang baru saja di alaminya. Tetapi ketika menoleh, saat itu ia baru sadar bahwa ada satu orang yang tadinya menutupi wajahnya dan kini sudah melepaskan kain penutup wajah itu.

Seraut wajah kecoklatan dengan rahang yang keras menunjukkan betapa teguhnya hati laki-laki yang tadinya menutup wajahnya itu. Sebuah senyuman ramah seolah menyembunyikan betapa tajamnya sorot mata yang di miliki laki-laki itu. Umurnya masih terhitung muda dengan tubuh yang terlihat kokoh. Ia melangkah maju dan sambil sedikit menundukkan badan, ia memegang kedua pundak Gilang.

“ Maafkan aku Gilang, aku hanya memenuhi permintaan paman Widura yang ingin melihat perkembanganmu “, - katanya sambil tersenyum.

Gilang menolehkan wajahnya dan dilihatnya kakeknya yang bernama Ki Widura itu tertawa kecil, demikian juga ibundanya. Ia segera sadar dan meraih serta mencium tangan laki-laki di hadapannya itu.

“ Paman hebat sekali dan ternyata wajah paman juga tampan. Tenaga paman sungguh sangat luar biasa sehingga dengan mudah meremas batu keras itu menjadi bubuk. Siapakah nama paman? “, -  tanyanya penasaran.

Laki-laki itu tertawa -,”Gilang apakah kau mengenal paman Sabungsari?”

“Paman Sabungsari yang prajurit itu?”

“Betul, nah aku adalah saudara sepupunya. Namaku adalah Wahana Sari”, - orang yang tadinya menutup wajahnya dengan kain itu terlihat tertawa senang.

“Apakah paman Wahana juga seorang prajurit?”’ – Gilang bertanya lebih lanjut.

Tetapi belum sempat Wahana Sari menjawab pertanyaan Gilang, Pandan Wangi telah menyela pembicaraan itu.

“Sudahlah, sebaiknya kita semua pulang dan di rumah Kademangan kita bisa berbicara lebih panjang”

Wajah Gilang terlihat  kecewa. Agaknya ia masih ingin berada di tepian sungai ini lebih lama, apalagi melihat kedatangan Ki Widura dan Wahana Sari yang menarik hatinya.

“Bunda apakah aku di ijinkan tidak pulang dulu. Aku masih ingin berlatih, apalagi ada kakek Widura atau paman Wahana yang menemaniku sampai nanti menjelang sore ”, - ia mencoba mengajukan permintaan ke ibundanya.

Pandan Wangi terlihat termangu-mangu, lalu pandangannya beralih ke Ki Widura seolah hendak menyerahkan jawaban itu kepadanya.

Ki Widura yang memahami pandangan Pandan Wangi itu tersenyum dan sambil mengelus kepala Gilang, ia menjawab.

“ Gilang, masih ada banyak waktu untuk berlatih dengan aku atau dengan paman Wahana. Tetapi saat ini ada sesuatu yang sangat penting dan harus aku bicarakan dengan ibundamu. Jadi sebaiknya kita memang pulang ke Kademangan dahulu”

Wajah Gilang terlihat kecewa,” – Bagaimana kalau paman Wahana saja bersamaku disini?”

Terdengar suara tertawa orang yang ternyata bernama Wahana Sari itu perlahan. Ia senang melihat semangat Genta yang membara untuk berlatih dan cepat akrab dengan orang yang baru dikenalnya.

“Sayang, paman Wahana sudah di pesan oleh kakek Widura untuk segera membicarakan masalah penting ini dengan ibundamu Gilang. Tetapi nanti kita akan sering bertemu, apalagi aku juga sering mampir di padepokan Ki Widura di Jati Anom”

Demikianlah, mereka berempat segera meninggalkan tepian sungai itu menuju ke Kademangan.  Ketika sudah berada diatas tanggul, mereka masih berjalan melewati beberapa petak sawah yang terlihat segar menghijau. Hanya saja saat hendak melewati jalan setapak menuju jalanan bulak yang terbuka, Ki Widura berdesis pelan tetapi bisa di dengar oleh semuanya.

“ Wangi, sebaiknya kau berjalan lebih dahulu berdua dengan Gilang. Aku akan menyusulmu sambil meyakinkan keadaan”, - ia berhenti sejenak dan melanjutkan perkataannya ketika Gilang hendak bertanya,” – Gilang, sementara kakek belum bisa bercerita. Ikutlah dengan ibundamu dan aku serta paman Wahana akan menyusulmu segera”

Kembali Pandan Wangi mengerutkan keningnya, sejak bertemu dengan Ki Widura dan Wahana Sari yang juga baru dikenalnya itu, benaknya diliputi beberapa pertanyaan. Kedatangan Ki Widura dan Wahana yang menyusulnya diantar seorang pengawal Kademangan sungguh tidak biasa. Apalagi ketika Ki Widura justru meminta pengawal itu kembali terlebih dahulu.

Hanya saja sebagai seorang perempuan yang mapan dan penuh pengalaman, Pandan Wangi menyadari bahwa sebaiknya saat ini ia menuruti saran Ki Widura tanpa banyak bertanya dulu.

Pandan Wangi dan Gilang segera melangkahkan kaki melintasi jalan terbuka yang merupakan bulak pendek untuk kembali ke Kademangan Sangkal Putung. Setelah menempuh sekitar separo dari bulak pendek itu, keduanya kemudian berbelok ke kanan mengambil jalan pintas tanpa melewati padukuhan terdekat agar segera sampai Kademangan lebih cepat.

Ada beberapa ekor kuda yang terikat di halaman Kademangan.

“Agaknya kita kedatangan tamu Gilang”, - Pandan Wangi berdesis pelan.

Gilang mengangguk, bahkan ketika mereka masuk ke halaman, terlihat Ki Demang Sangkal Putung menyambutnya dengan tergesa-gesa.

“Wangi, apakah kau tidak bertemu dengan Ki Widura dan angger Wahana?”,- tanya Ki Demang dengan wajah heran karena melihat Pandan Wangi hanya pulang berdua dengan Gilang saja.

“ Ya ayah, aku tadi bertemu. Hanya saja paman Widura dan Adi Wahana masih ingin berkeliling Kademangan dulu sebelum nanti kembali kesini,” – jawab Pandan Wangi yang juga merasakan keheranan di hati Ki Demang.

Ternyata di pendapa itu telah hadir dua prajurit dari Jati Anom yang sedang duduk beristirahat setelah menikmati makan siang. Dihadapan mereka masih terhidang minuman wedang sere dan beberapa potong jajanan kecil.

Pandan Wangi dan Gilang sengaja tidak naik ke pendapa, mereka masuk melalui pintu samping hendak menuju pakiwan terlebih dahulu.

“ Kabar penting apakah yang dibawa oleh paman Widura?”, - Pandan Wangi bertanya-tanya dalam hati.

Ditunggu sekian lama ternyata Ki Widura dan Wahana tidak segera muncul dan ini membuat gelisah kedua prajurit yang menunggunya. Demikian pula bagi Ki Demang Sangkal Putung, Pandan Wangi maupun Gilang yang ikut mondar-mandir di halaman samping.

Menjelang gelap turun, Pandan Wangi dan Gilang yang menunggu di halaman samping terperanjat ketika menangkap dua sosok bayangan yang berkelebat dengan cepat masuk ke halaman. Hampir saja Gilang berteriak kaget, sebelum dilihatnya salah seorang yang meloncat masuk itu meletakkan jari telunjuknya di depan bibir sambil berdesis pelan.

“Gilang, jangan berteriak. Apakah kau sudah tidak mengenal aku lagi?”

“ Kakek Widura dan paman Wahana, kenapa harus masuk melompati pagar samping? “, - tanya Gilang keheranan.

Ki Widura dan Wahana tidak langsung menjawab pertanyaan Gilang itu, mereka justru menoleh kepada Pandan Wangi yang wajahnya juga diliputi tanda tanya. Dengan wajah yang juga diliputi ketegangan Ki Widura kemudian berdesis pelan.

“ Wangi, marilah kita masuk ke dalam dan berbicara tanpa diketahui kedua prajurit yang menunggu di pendapa itu. Ada hal yang sangat penting dan harus kau ketahui”



Salam,

No comments:

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...