Saturday, April 8, 2017

BSG - Sebuah Perjalanan - Babak-26

BALADA SWANDARU GENI
Sebuah Perjalanan
Babak-26

Keadaan di halaman itu begitu menegangkan, jantung para pengawal yang mengepung arena pertarungan itu berdegup kencang, tetapi mereka hanya berdiri mematung tanpa tahu harus berbuat apa.

Mereka melihat raksasa itu menggeram dan berjalan tertatih-tatih mendekati tamu padukuhan yang bernama Ki Gupala. Sementara orang yang bernama Gupala itu terlihat begitu sulit untuk menegakkan badannya apalagi bangkit.

Diantara mereka yang mengepung arena itu terdapat anak Ki Demang yang tertua dan juga tiga murid Kiai Garda. Tiba-tiba saja kesadaran mereka seolah terbangun dan hampir bersamaan hendak meneriakkan aba-aba untuk menyerang dan mengeroyok raksasa yang sudah terluka itu.

Tetapi sesaat sebelum mulut mereka terbuka, tiba-tiba terjadi kejadian yang membuat mereka semua terperanjat.

Swandaru yang terkulai lemah itu masih bisa melihat Watu Gempal yang menghampirinya meski sambil tertatih-tatih. Udara malam sudah tidak lagi diselimuti panas karena raksasa itu tidak bisa mempertahankan ilmu api-nya akibat luka yang cukup parah ditubuhnya. Hanya saja Swandaru sendiri juga dalam keadaan yang tidak kalah parahnya, kesadarannya semakin menurun seiring derasnya darah yang keluar dari luka di pundak kirinya.

Untunglah Swandaru sendiri pada dasarnya adalah seorang yang tangkas dalam berpikir dan bertindak. Ia sudah sering menghadapi kesulitan dan harus mengambil tindakan cepat di saat-saat yang sempit dan terjepit.

Sadar bahwa tubuhnya tidak memungkinkan untuk bangkit sementara raksasa itu justru semakin mendekat, segera ia mengambil keputusan cepat. Matanya sempat menyambar sebuah tombak pendek yang tergeletak disamping tubuhnya yang terkulai. Agaknya ini adalah senjata salah seorang pengawal yang lepas akibat awal pertarungan kisruh di halaman ini sebelumnya.

Dengan sisa-sisa tenaga terakhir, Swandaru berusaha secepat mungkin meraih tombak pendek yang tergeletak itu. Lalu tanpa membuang waktu, ia mengerahkan seluruh tenaga cadangannya  dan melontarkan tombak pendek itu sekuat tenaga ke dada Watu Gempal.

Tombak itu meluncur ke arah Watu Gempal yang tertatih-tatih mendekati Swandaru. Jarak mereka sudah terlalu dekat dan raksasa itu terlambat menyadari adanya lemparan tombak yang meluncur deras mengancam dadanya.

Suasana malam itu kembali di robek oleh jerit mengerikan yang keluar dari mulut Watu Gempal.

Tubuhnya yang mencoba berjalan maju itu tertembus tombak hingga ujung mata tombak pendek itu terbenam di dada. Terlihat tubuh raksasa itu terhenyak dan seolah-olah berhenti ditengah jalan. Kedua tangan Watu Gempal itu memegang batang tombak yang ujungnya sudah terbenam didadanya, wajahnya terlihat tegang dan menahan kesakitan yang sangat.

Tetapi kedua kakinya tidak mampu untuk terus menopang tubuh raksasanya, perlahan-lahan ia nampak limbung dan kemudian roboh ke tanah bagaikan pohon pisang yang ditebang. Masih terdengar geraman lirih yang keluar dari mulutnya, tubuhnya terlihat meregang beberapa saat sebelum kemudian diam untuk selamanya.  

Swandaru sendiri nampaknya tidak sempat melihat hasil lemparannya. Setelah mengerahkan seluruh tenaga yang tersisa dan melemparkan tombak pendek ke arah raksasa itu, tubuhnya-pun langsung roboh dan tak sadarkan diri.

Untuk sesaat halaman itu dipenuhi kesunyian yang mencekam.

Bagi kebanyakan para pengawal, pertarungan yang baru saja mereka alami itu begitu mencekam. Terlebih beberapa kawan mereka telah terbunuh khususnya oleh raksasa bertenaga besar ini, meskipun kini raksasa itu nampaknya juga sudah terbunuh meskipun oleh orang yang belum mereka kenal.

Keheningan itu ternyata tidak lama, tiba-tiba saja sebuah suara bergemuruh kembali menggelegar dan menekan dada semua yang hadir di halaman itu. Suara itu adalah sebuah jeritan panjang melengking, disusul nada tertawa yang menggema yang mengandung rasa kemarahan yang dahsyat.

Ajian Gelap Ngampar kembali menghentak dan kali ini dilontarkan secara tiba-tiba pada tataran puncak, sehingga para pengawal itu langsung roboh ke tanah sambil menekan dadanya. Agaknya Hantu Laut itu sengaja menyerang para pengawal dengan ajiannya dan berharap membawa korban sebanyak mungkin. Terbukti hampir semua pengawal berjatuhan sambil mendekap dadanya yang pepat, bahkan ketiga murid Kiai Garda itupun terpaksa harus bertahan sekuat tenaga agar tidak ikut roboh.

Tetapi Hantu Laut itu tidak bisa meneruskan niatnya untuk mengambil korban para pengawal sebanyak-banyaknya. Dengan mengumpat-umpat ia terpaksa harus melepas ajian Gelap Ngampar-nya  dan meloncat menjauh ketika Kiai Garda melandanya dengan putaran tongkat yang mendesing mengerikan.

Demikianlah, ketika lingkaran pertempuran yang lain sudah berhenti, pertarungan antara Kiai Garda melawan Hantu Laut-pun masih berlanjut dan hampir mencapai puncaknya.

Meskipun tidak terlalu jelas, tetapi Kiai Garda sempat melihat saat-saat terakhir atas apa yang dilakukan orang bercambuk dan Watu Gempal. Ia melihat orang yang bernama Gupala itu terluka parah dan bahkan roboh tanpa mengetahui hasil lemparan tombaknya. Tiba-tiba ia merasa kuatir akan nasib orang bercambuk itu dan berharap masih ada waktu untuk menyelamatkannya.

Karena itu, Kiai Garda segera melanda lawannya dengan ketat. Kalau di awal pertarungan ia lebih banyak menghindar sambil mempelajari kelemahan lawan, kini Kiai Garda justru mendesak maju dengan putaran tongkat yang menderu-deru.

Hantu Laut yang melihat perubahan gaya bertarung Kiai Garda tidak menjadi gentar, ia justru semakin beringas dan berharap dapat membentur serangan Kiai Garda yang melandanya seperti angin ribut. Dikerahkannya seluruh tenaga cadangan hingga ke puncak dan keris Kiai Dahana terayun-ayun menebarkan percikan api panas yang membakar udara sekelilingnya. Udara di halaman itu menjadi luar biasa panas dan bahkan mulai tercium bau hangus akibat daun kering dan klaras yang mulai terbakar.

Kiai Garda yang menyadari keadaan itu memutuskan untuk segera mengakhiri pertarungan. Dengan mengerahkan tenaga cadangannya hingga ke puncak, tiba-tiba saja tubuhnya bergerak maju sambil berputar cepat bagai gasing. Sedemikian cepatnya gerak putaran itu sehingga yang nampak hanyalah putaran bayangan yang ternyata membawa udara dingin membeku yang menampar udara disekitarnya.

Dari putaran yang menebar hawa dingin membeku itu bahkan kemudian terpecik butiran-butiran air beku yang agaknya adalah keringat dari tubuh Kiai Garda. Percikan air beku itu bagaikan sebuah senjata lontar tang menebar dan menyerang ke seluruh bagian Hantu Laut.

Hantu Laut itu begitu terkejut melihat perlawanan Kiai Garda yang begitu aneh. Ketika sebagian percikan air beku itu mengenai tubuhnya, ia menjerit sambil membelalakkan mata.

Salam,


Bagi para sanak-kadang FB yang ketinggalan/ belum membaca seri-seri sebelumnya, silahkan bisa menikmatinya di blog sy;  http://pudjo-riswantoro.blogspot.co.id



No comments:

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...