BALADA SWANDARU GENI
Sebuah Perjalanan
Babak-26
Sebuah Perjalanan
Babak-26
Keadaan di halaman itu begitu menegangkan, jantung para pengawal
yang mengepung arena pertarungan itu berdegup kencang, tetapi mereka hanya
berdiri mematung tanpa tahu harus berbuat apa.
Mereka melihat raksasa itu menggeram dan berjalan tertatih-tatih
mendekati tamu padukuhan yang bernama Ki Gupala. Sementara orang yang bernama
Gupala itu terlihat begitu sulit untuk menegakkan badannya apalagi bangkit.
Diantara mereka yang mengepung arena itu terdapat anak Ki Demang
yang tertua dan juga tiga murid Kiai Garda. Tiba-tiba saja kesadaran mereka
seolah terbangun dan hampir bersamaan hendak meneriakkan aba-aba untuk
menyerang dan mengeroyok raksasa yang sudah terluka itu.
Tetapi sesaat sebelum mulut mereka terbuka, tiba-tiba terjadi
kejadian yang membuat mereka semua terperanjat.
Swandaru yang terkulai lemah itu masih bisa melihat Watu Gempal yang menghampirinya meski sambil tertatih-tatih. Udara malam sudah tidak lagi diselimuti panas karena raksasa itu tidak bisa mempertahankan ilmu api-nya akibat luka yang cukup parah ditubuhnya. Hanya saja Swandaru sendiri juga dalam keadaan yang tidak kalah parahnya, kesadarannya semakin menurun seiring derasnya darah yang keluar dari luka di pundak kirinya.
Untunglah Swandaru sendiri pada dasarnya adalah seorang yang tangkas
dalam berpikir dan bertindak. Ia sudah sering menghadapi kesulitan dan harus
mengambil tindakan cepat di saat-saat yang sempit dan terjepit.
Sadar bahwa tubuhnya tidak memungkinkan untuk bangkit sementara raksasa itu justru semakin mendekat, segera ia mengambil keputusan cepat. Matanya sempat menyambar sebuah tombak pendek yang tergeletak disamping tubuhnya yang terkulai. Agaknya ini adalah senjata salah seorang pengawal yang lepas akibat awal pertarungan kisruh di halaman ini sebelumnya.
Dengan sisa-sisa tenaga terakhir, Swandaru berusaha secepat
mungkin meraih tombak pendek yang tergeletak itu. Lalu tanpa membuang waktu, ia
mengerahkan seluruh tenaga cadangannya dan melontarkan tombak pendek itu sekuat
tenaga ke dada Watu Gempal.
Tombak itu meluncur ke arah Watu Gempal yang tertatih-tatih
mendekati Swandaru. Jarak mereka sudah terlalu dekat dan raksasa itu terlambat menyadari
adanya lemparan tombak yang meluncur deras mengancam dadanya.
Suasana malam itu kembali di robek oleh jerit mengerikan yang
keluar dari mulut Watu Gempal.
Tubuhnya yang mencoba berjalan maju itu tertembus tombak hingga
ujung mata tombak pendek itu terbenam di dada. Terlihat tubuh raksasa itu
terhenyak dan seolah-olah berhenti ditengah jalan. Kedua tangan Watu Gempal itu
memegang batang tombak yang ujungnya sudah terbenam didadanya, wajahnya
terlihat tegang dan menahan kesakitan yang sangat.
Tetapi kedua kakinya tidak mampu untuk terus menopang tubuh raksasanya,
perlahan-lahan ia nampak limbung dan kemudian roboh ke tanah bagaikan pohon
pisang yang ditebang. Masih terdengar geraman lirih yang keluar dari mulutnya, tubuhnya
terlihat meregang beberapa saat sebelum kemudian diam untuk selamanya.
Swandaru sendiri nampaknya tidak sempat melihat hasil
lemparannya. Setelah mengerahkan seluruh tenaga yang tersisa dan melemparkan
tombak pendek ke arah raksasa itu, tubuhnya-pun langsung roboh dan tak sadarkan
diri.
Untuk sesaat halaman itu dipenuhi kesunyian yang mencekam.
Bagi kebanyakan para pengawal, pertarungan yang baru saja mereka
alami itu begitu mencekam. Terlebih beberapa kawan mereka telah terbunuh
khususnya oleh raksasa bertenaga besar ini, meskipun kini raksasa itu nampaknya
juga sudah terbunuh meskipun oleh orang yang belum mereka kenal.
Keheningan itu ternyata tidak lama, tiba-tiba saja sebuah suara
bergemuruh kembali menggelegar dan menekan dada semua yang hadir di halaman
itu. Suara itu adalah sebuah jeritan panjang melengking, disusul nada tertawa yang
menggema yang mengandung rasa kemarahan yang dahsyat.
Ajian Gelap Ngampar kembali menghentak dan kali ini dilontarkan secara
tiba-tiba pada tataran puncak, sehingga para pengawal itu langsung roboh ke
tanah sambil menekan dadanya. Agaknya Hantu Laut itu sengaja menyerang para
pengawal dengan ajiannya dan berharap membawa korban sebanyak mungkin. Terbukti
hampir semua pengawal berjatuhan sambil mendekap dadanya yang pepat, bahkan
ketiga murid Kiai Garda itupun terpaksa harus bertahan sekuat tenaga agar tidak
ikut roboh.
Tetapi Hantu Laut itu tidak bisa meneruskan niatnya untuk
mengambil korban para pengawal sebanyak-banyaknya. Dengan mengumpat-umpat ia
terpaksa harus melepas ajian Gelap Ngampar-nya
dan meloncat menjauh ketika Kiai Garda melandanya dengan putaran tongkat
yang mendesing mengerikan.
Demikianlah, ketika lingkaran pertempuran yang lain sudah
berhenti, pertarungan antara Kiai Garda melawan Hantu Laut-pun masih berlanjut
dan hampir mencapai puncaknya.
Meskipun tidak terlalu jelas, tetapi Kiai Garda sempat melihat
saat-saat terakhir atas apa yang dilakukan orang bercambuk dan Watu Gempal. Ia
melihat orang yang bernama Gupala itu terluka parah dan bahkan roboh tanpa
mengetahui hasil lemparan tombaknya. Tiba-tiba ia merasa kuatir akan nasib
orang bercambuk itu dan berharap masih ada waktu untuk menyelamatkannya.
Karena itu, Kiai Garda segera melanda lawannya dengan ketat.
Kalau di awal pertarungan ia lebih banyak menghindar sambil mempelajari
kelemahan lawan, kini Kiai Garda justru mendesak maju dengan putaran tongkat
yang menderu-deru.
Hantu Laut yang melihat perubahan gaya bertarung Kiai Garda
tidak menjadi gentar, ia justru semakin beringas dan berharap dapat membentur
serangan Kiai Garda yang melandanya seperti angin ribut. Dikerahkannya seluruh
tenaga cadangan hingga ke puncak dan keris Kiai Dahana terayun-ayun menebarkan
percikan api panas yang membakar udara sekelilingnya. Udara di halaman itu
menjadi luar biasa panas dan bahkan mulai tercium bau hangus akibat daun kering
dan klaras yang mulai terbakar.
Kiai Garda yang menyadari keadaan itu memutuskan untuk segera
mengakhiri pertarungan. Dengan mengerahkan tenaga cadangannya hingga ke puncak,
tiba-tiba saja tubuhnya bergerak maju sambil berputar cepat bagai gasing.
Sedemikian cepatnya gerak putaran itu sehingga yang nampak hanyalah putaran
bayangan yang ternyata membawa udara dingin membeku yang menampar udara
disekitarnya.
Dari putaran yang menebar hawa dingin membeku itu bahkan
kemudian terpecik butiran-butiran air beku yang agaknya adalah keringat dari
tubuh Kiai Garda. Percikan air beku itu bagaikan sebuah senjata lontar tang
menebar dan menyerang ke seluruh bagian Hantu Laut.
Hantu Laut itu begitu terkejut melihat perlawanan Kiai Garda
yang begitu aneh. Ketika sebagian percikan air beku itu mengenai tubuhnya, ia
menjerit sambil membelalakkan mata.
Salam,
Bagi para sanak-kadang FB yang ketinggalan/ belum membaca
seri-seri sebelumnya, silahkan bisa menikmatinya di blog sy; http://pudjo-riswantoro.blogspot.co.id
No comments:
Post a Comment