BALADA SWANDARU GENI
Gilang Pamungkas
Babak-01
Gilang Pamungkas
Babak-01
_________________________________________________________________________
Nuwun sewu kangmas/ kangmbok…
Mulai edisi ini sub judul BSG yang tadinya “Sebuah Perjalanan” berganti
menjadi “Gilang Pamungkas” – yang merupakan anak laki-laki dari Swandaru Geni
dan Pandan Wangi. Bukan berarti pengembaraan Swandaru selesai, tetapi ini
adalah kisah yang terkait untuk menyusun jalinan mozaik yang insya Allah
nyambung. Nuwun.
____________________________________________________________________
Belum lagi hilang gema suara halus dan merdu itu, sebuah tubuh
ramping nampak melayang cepat dan hinggap di sebuah batu besar yang
permukaannya datar. Gerakannya begitu ringan dan saat kakinya menyentuh batu
besar sama sekali tidak menimbulkan bunyi. Tubuh ramping itu seolah digerakkan
oleh angin siang yang berhembus semilir mengusap dan menggoyangkan dedaunan.
Seraut wajah jelita hadir dipinggiran sungai itu. Rambutnya yang
terlihat masih belum tumbuh panjang di sanggul agak tinggi dan di ikat kain panjang
yang bercorak bunga. Dengan mengenakan pakaian khusus, perempuan itu
menampakkan wajah yang segar dan berseri-seri melihat anak kecil yang dengan
semangat masih berlompatan dari batu ke batu yang lain.
Perempuan yang tidak lain adalah Pandan Wangi itu segera menurunkan
bekal makanan yang dibawanya. Sambil membuka dan menata bekal makan siang
diatas batu, diam-diam matanya memperhatikan apa yang dilakukan anak laki-laki
yang masih juga berloncatan dari batu ke batu tanpa berhenti. Ia mengerinyitkan
dahinya, merasa agaksedikit aneh karena biasanya anaknya itu langsung
menghampirinya ketika ia datang.
Tetapi anak itu seolah-olah tidak mendengar kedatangannya dan
terus berloncatan tanpa henti. Terpaksa Pandan Wangi mengulang sapaan-nya.
“Gilang, berhentilah nak, sudah waktunya kau beristirahat”
Mendengar teriakan yang kedua itu, anak laki-laki yang dipanggil
namanya itu nampak mulai mengurangi kecepatannya, agaknya ia adalah anak yang
cukup patuh. Dengan segera ia mendekat dan meloncat ke atas batu besar itu sambil
mengatur nafasnya yang masih terengah-engah.
Pandan Wangi melihat wajah anak laki-lakinya itu sedikit
kemerahan dan dipenuhi keringat. Ia segera memberi aba-aba dan menuntun anaknya
itu untuk mengatur pernafasan dan melakukan pendinginan badan dengan lebih
cepat.
“ Nah Gilang, ibunda sudah menyiapkan ikan pepes kesukaanmu.
Sementara, minumlah ini dulu sambil menunggu keringatmu kering”, - Pandan Wangi
berkata sambil menyodorkan kendi kecil berisi air minum.
Tanpa menjawab, anak itu menerima kendi dan langsung meneguknya dengan
sedikit tergesa-gesa sehingga sebagian air itu tertumpah membasahi bajunya.
Kembali Pandan Wangi mengerutkan keningnya melihat kelakuan anak
laki-lakinya yang tidak seperti biasanya itu. Tetapi ia memlilih diam dan memberi
kesempatan anaknya menyelesaikan minum dan dilanjutkan dengan makan siang.
Selama ini, anak laki-laki semata wayangnya yang bernama lengkap
Gilang Pamungkas itu berpenampilan ceria. Wajahnya penuh semangat dan mudah
melempar senyum dan tawa. Sebagaimana ayahnya, Swandaru Geni, Gilang cenderung
berpenampilan terbuka dan tidak senang menyimpan beban.
Karena itu, ketika dilihatnya Gilang sudah mulai tenang, sambil
melayaninya menyantap makan siang, Pandan Wangi segera mengajukan pertanyaan
dengan hati-hati.
“Gilang, aku lihat siang ini kau terlalu bernafsu menghabiskan
tenagamu untuk gerakan-gerakan yang kurang perlu. Adakah sesuatu yang membebani
perasaanmu nak?”
Gilang tidak langsung menjawab, tangannya sibuk menyuapi
mulutnya dan memasukkan sepuluk nasi putih dan disusul potongan ikan pepes yang
terasa pedas. Anak itu terlihat begitu asyik menikmati makan siangnya dan
seolah beban-beban perasaan yang tadinya menggelayut kini lenyap seiring
suapan-suapan yang masuk lewat tenggorokannya.
Hal itu membuat Pandan Wangi menahan senyum sambil menunggu
jawaban anaknya.
“Bunda”, - terdengar suara Genta setelah menyelesaikan suapan
terakhirnya,” – sebenarnya, pergi kemanakah Ayah Swandaru?”
Pandan Wangi mengerutkan keningnya.
“Bukankah aku sudah memberitahumu Gilang, bahkan Ayahmu juga
pamit kepadamu bukan?”
Sambil meneguk air kendi yang terasa segar, Gilang kemudian
menjawab,” – Ya Bunda, hanya saja semalam aku bermimpi buruk tentang Ayah. Aku
begitu gelisah dan tidak bisa menghilangkan rasa gelisah itu hingga sekarang”
“Coba, ceritakan mimpimu itu Gilang?”
“Bunda, sebelumnya aku sudah pernah mendengar suara burung
Kedasih dimalam hari. Tetapi entah mengapa tadi malam suara burung itu
terdengar begitu dekat dan menyayat hati, seolah ia sedang mengabarkan sebuah
kesedihan kepadaku”
Dada Pandan Wangi terasa berdebar-debar.
“ Sebenarnyalah, tadi malam aku gelisah dan sulit tidur bunda,
hanya saja karena lelah setelah siangnya berlatih, akhirnya aku ketiduran juga.
Dalam tidur itulah aku bermimpi seolah Ayah sedang sedang bertarung dengan
seorang raksasa yang berukuran sangat besar. Tubuh ayah terbanting-banting dan
bahkan ada segores luka yang terus mengeluarkan darah di dadanya,” – suara Genta
terdengar lirih.
Wajah Pandan Wangi terlihat menegang, tiba-tiba saja ia teringat
mimpi Sekar Mirah ketika Agung Sedayu sedang dikeroyok oleh serigala-serigala
liar di malam bulan purnama. Saat itu Agung Sedayu sedang bertarung
mempertahankan nyawanya di Tanah Perdikan Menoreh melawan seorang dengan
kemampuan yang tidak masuk akal. Sementara Sekar Mirah berada di Kademangan
Sangkal Putung yang jaraknya ribuan tombak dari arena pertarungan.
“Adakah mimpi ini juga Dara Dasih?” – desisnya dalam hati.
Dengan dada berdebaran Pandan Wangi bermaksud akan menenangkan
hati Gilang Pamungkas. Tetapi belum sempat ia membuka mulut, Pandan Wangi
segera memiringkan kepalanya. Ia mendengar langkah-langkah berlarian yang cepat
menuju ke arahnya.
Salam,
Bagi para sanak-kadang FB yang ketinggalan/ belum membaca
seri-seri sebelumnya, silahkan bisa menikmatinya di blog sy; http://pudjo-riswantoro.blogspot.co.id
No comments:
Post a Comment