Saturday, April 15, 2017

BSG - Gilang Pamungkas - Babak-01

BALADA SWANDARU GENI
Gilang Pamungkas
Babak-01

_________________________________________________________________________

Nuwun sewu kangmas/ kangmbok…

Mulai edisi ini sub judul BSG yang tadinya “Sebuah Perjalanan” berganti menjadi “Gilang Pamungkas” – yang merupakan anak laki-laki dari Swandaru Geni dan Pandan Wangi. Bukan berarti pengembaraan Swandaru selesai, tetapi ini adalah kisah yang terkait untuk menyusun jalinan mozaik yang insya Allah nyambung. Nuwun.
____________________________________________________________________



Belum lagi hilang gema suara halus dan merdu itu, sebuah tubuh ramping nampak melayang cepat dan hinggap di sebuah batu besar yang permukaannya datar. Gerakannya begitu ringan dan saat kakinya menyentuh batu besar sama sekali tidak menimbulkan bunyi. Tubuh ramping itu seolah digerakkan oleh angin siang yang berhembus semilir mengusap dan menggoyangkan dedaunan.

Seraut wajah jelita hadir dipinggiran sungai itu. Rambutnya yang terlihat masih belum tumbuh panjang di sanggul agak tinggi dan di ikat kain panjang yang bercorak bunga. Dengan mengenakan pakaian khusus, perempuan itu menampakkan wajah yang segar dan berseri-seri melihat anak kecil yang dengan semangat masih berlompatan dari batu ke batu yang lain.

Perempuan yang tidak lain adalah Pandan Wangi itu segera menurunkan bekal makanan yang dibawanya. Sambil membuka dan menata bekal makan siang diatas batu, diam-diam matanya memperhatikan apa yang dilakukan anak laki-laki yang masih juga berloncatan dari batu ke batu tanpa berhenti. Ia mengerinyitkan dahinya, merasa agaksedikit aneh karena biasanya anaknya itu langsung menghampirinya ketika ia datang.

Tetapi anak itu seolah-olah tidak mendengar kedatangannya dan terus berloncatan tanpa henti. Terpaksa Pandan Wangi mengulang sapaan-nya.

“Gilang, berhentilah nak, sudah waktunya kau beristirahat”

Mendengar teriakan yang kedua itu, anak laki-laki yang dipanggil namanya itu nampak mulai mengurangi kecepatannya, agaknya ia adalah anak yang cukup patuh. Dengan segera ia mendekat dan meloncat ke atas batu besar itu sambil mengatur nafasnya yang masih terengah-engah.

Pandan Wangi melihat wajah anak laki-lakinya itu sedikit kemerahan dan dipenuhi keringat. Ia segera memberi aba-aba dan menuntun anaknya itu untuk mengatur pernafasan dan melakukan pendinginan badan dengan lebih cepat.

“ Nah Gilang, ibunda sudah menyiapkan ikan pepes kesukaanmu. Sementara, minumlah ini dulu sambil menunggu keringatmu kering”, - Pandan Wangi berkata sambil menyodorkan kendi kecil berisi air minum.

Tanpa menjawab, anak itu menerima kendi dan langsung meneguknya dengan sedikit tergesa-gesa sehingga sebagian air itu tertumpah membasahi bajunya.

Kembali Pandan Wangi mengerutkan keningnya melihat kelakuan anak laki-lakinya yang tidak seperti biasanya itu. Tetapi ia memlilih diam dan memberi kesempatan anaknya menyelesaikan minum dan dilanjutkan dengan makan siang.

Selama ini, anak laki-laki semata wayangnya yang bernama lengkap Gilang Pamungkas itu berpenampilan ceria. Wajahnya penuh semangat dan mudah melempar senyum dan tawa. Sebagaimana ayahnya, Swandaru Geni, Gilang cenderung berpenampilan terbuka dan tidak senang menyimpan beban.

Karena itu, ketika dilihatnya Gilang sudah mulai tenang, sambil melayaninya menyantap makan siang, Pandan Wangi segera mengajukan pertanyaan dengan hati-hati.

“Gilang, aku lihat siang ini kau terlalu bernafsu menghabiskan tenagamu untuk gerakan-gerakan yang kurang perlu. Adakah sesuatu yang membebani perasaanmu nak?”

Gilang tidak langsung menjawab, tangannya sibuk menyuapi mulutnya dan memasukkan sepuluk nasi putih dan disusul potongan ikan pepes yang terasa pedas. Anak itu terlihat begitu asyik menikmati makan siangnya dan seolah beban-beban perasaan yang tadinya menggelayut kini lenyap seiring suapan-suapan yang masuk lewat tenggorokannya.

Hal itu membuat Pandan Wangi menahan senyum sambil menunggu jawaban anaknya.

“Bunda”, - terdengar suara Genta setelah menyelesaikan suapan terakhirnya,” – sebenarnya, pergi kemanakah Ayah Swandaru?”

Pandan Wangi mengerutkan keningnya.

“Bukankah aku sudah memberitahumu Gilang, bahkan Ayahmu juga pamit kepadamu bukan?”

Sambil meneguk air kendi yang terasa segar, Gilang kemudian menjawab,” – Ya Bunda, hanya saja semalam aku bermimpi buruk tentang Ayah. Aku begitu gelisah dan tidak bisa menghilangkan rasa gelisah itu hingga sekarang”

“Coba, ceritakan mimpimu itu Gilang?”

“Bunda, sebelumnya aku sudah pernah mendengar suara burung Kedasih dimalam hari. Tetapi entah mengapa tadi malam suara burung itu terdengar begitu dekat dan menyayat hati, seolah ia sedang mengabarkan sebuah kesedihan kepadaku”

Dada Pandan Wangi terasa berdebar-debar.

“ Sebenarnyalah, tadi malam aku gelisah dan sulit tidur bunda, hanya saja karena lelah setelah siangnya berlatih, akhirnya aku ketiduran juga. Dalam tidur itulah aku bermimpi seolah Ayah sedang sedang bertarung dengan seorang raksasa yang berukuran sangat besar. Tubuh ayah terbanting-banting dan bahkan ada segores luka yang terus mengeluarkan darah di dadanya,” – suara Genta terdengar lirih.

Wajah Pandan Wangi terlihat menegang, tiba-tiba saja ia teringat mimpi Sekar Mirah ketika Agung Sedayu sedang dikeroyok oleh serigala-serigala liar di malam bulan purnama. Saat itu Agung Sedayu sedang bertarung mempertahankan nyawanya di Tanah Perdikan Menoreh melawan seorang dengan kemampuan yang tidak masuk akal. Sementara Sekar Mirah berada di Kademangan Sangkal Putung yang jaraknya ribuan tombak dari arena pertarungan.

“Adakah mimpi ini juga Dara Dasih?” – desisnya dalam hati.

Dengan dada berdebaran Pandan Wangi bermaksud akan menenangkan hati Gilang Pamungkas. Tetapi belum sempat ia membuka mulut, Pandan Wangi segera memiringkan kepalanya. Ia mendengar langkah-langkah berlarian yang cepat menuju ke arahnya.


Salam,



Bagi para sanak-kadang FB yang ketinggalan/ belum membaca seri-seri sebelumnya, silahkan bisa menikmatinya di blog sy;  http://pudjo-riswantoro.blogspot.co.id

No comments:

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...