Saturday, April 1, 2017

BALADA SWANDARU GENI - Sebuah Perjalanan - Babak-20

BALADA SWANDARU GENI
Sebuah Perjalanan
Babak-20

“Tentu saja ini bukan Panglimunan, aku tidak mampu melakukan itu Hantu Laut”
“Jadi?”
Terdengar suara tertawa Kiai Garda meskipun pelan.
“Ah, apakah nama sebuah ajian sangat berarti bagimu Hantu Laut?”, -
“Persetan, sebut namanya sebelum aku bakar tubuhmu dengan ilmu api-ku”
Tetapi tanpa menunggu jawaban, Hantu Laut itu justru menyerang Kiai Garda dengan kedua tangan yang mengembang lebar, seolah hendak menangkap dan menghalangi gerak Kiai Garda kemanapun ia akan menghindar.
Gerak Hantu Laut itu cepat luar biasa, tubuhnya melesat bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya, meluncur menuju sasaran yang tidak mungkin sempat menghindar lagi.
Tetapi sekali lagi Hantu Laut itu terpaksa menelan rasa penasaran yang lebih besar ketika Kiai Garda lenyap tanpa bekas dan seluruh indra penglihatannya tak mampu menangkap bayangannya.
Demikianlah untuk beberapa saat Hantu Laut itu masih mencoba untuk mengulangi serangannya sambil mengamati gerak lawan. Tetapi gerak Kiai Garda sama sekali tidak terduga dan bahkan tiba-tiba saja tanpa diketahui asalnya, hantu itu terpaksa mengeluh tertahan ketika pundaknya terserempet sambaran tangan yang agaknya dilakukan dengan tergesa-gesa.
Sambaran tangan itu sesungguhnya tidak keras dan bahkan terkesan hanya menyerempet pundak Hantu Laut itu. Tetapi hantu itu nampak terlonjak kaget sambil menahan rasa sakit yang sangat dan meloncat jauh mengambil jarak. Pundaknya terasa bagaikan di tusuk ribuan jarum yang menimbulkan rasa nyeri hingga ke tulang, agaknya sentuhan di pundak ini akan meninggalkan bekas luka membiru.
Serangan ini sangat mengganggu gerak Hantu Laut itu dan bahkan juga perasaannya.
“Gila”, - Hantu Laut itu tidak tahan untuk tidak mengumpat,” – Apakah ini Cunda Manik Kiai?”
Terdengar suara tertawa Kiai Garda, ia nampak berdiri tegak dalam jarak yang cukup jauh dengan hantu itu. Agaknya Kiai Garda memang tidak mampu menyembunyikan tubuhnya terlalu lama agar tidak terlihat lawan.
“ Kau terlalu peduli dengan nama ajian Hantu Laut, lalu apakah nama ajian yang kau terapkan itu? Meski hanya menyentuh pundakmu, tetapi tanganku rasanya akan hangus karena panas yang kau tebarkan sehingga aku terpaksa melepasmu”
Kedua mata Hantu Laut itu menjadi semakin kemerah-merahan, ia menyadari bahwa melawan Kiai Garda ini mau tidak mau ia harus mengerahkan seluruh kemampuannya hingga ke puncak. Dengan gerak lawan yang mampu melenyapkan diri secara tiba-tiba itu, Hantu Laut merasa kini tidak cukup baginya hanya menyandarkan perlawanan pada ilmu api-nya, ia memerlukan sandaran lain yang lebih kuat.
Karena itu ia tidak berbicara lagi dan tahu-tahu di tangannya telah tergenggam sebuah keris lurus tanpa luk yang berpamor kehitam-hitaman.
“Nah, cabutlah senjatamu Kiai, kerisku yang bernama Kiai Djangkung Dahana ini akan membakar dan melumat tubuhmu”
Kiai Garda menjadi berdebar-debar, ia bisa menduga bahwa dari pamor dan namanya maka agaknya keris itu akan memberikan dukungan yang besar atas kekuatan ilmu api lawannya. Ia memang merasa cukup sulit untuk sekedar mendekati apalagi menyentuh lawannya yang kini seolah berperisai udara panas yang setiap saat mampu membakar apapun yang menyentuhnya.
Karena itu tanpa menunda lagi, tangannya segera meraih ke belakang punggungnya dan kini ditangannya telah tergenggam sebuah tongkat yang berwarna kecoklatan sepanjang kurang dari satu depa orang dewasa.
“Baiklah Hantu Laut, karena kau sudah berbaik hati memberitahu nama keris pusakamu, akupun akan memberitahu nama tongkatku yang sudah tua ini. Tongkat ini biasa kusebut Galih Wulung, tanpa embel-embel Kiai atau lainnya”
Hantu itu seolah tidak lagi mendengar perkataan Kiai Garda, ia terlihat memusatkan diri untuk mengungkap ilmunya. Keris Kiai Djangkung yang kini telah berwarna kemerahan dan semakin membara itu diangkatnya tinggi-tinggi dan kemudian secara perlahan turun serta berhenti tepat di depan dahinya. Mulutnya terlihat berkomat-kamit dan sejenak kemudian serangan hantu laut itu datang membadai ke arah Kiai Garda.
Kiai Garda yang merasakan hembusan angin panas menyertai angin serangan itu tidak ingin terlambat dan segera menghilang dari jangkauan serangan Hantu Laut. Tetapi agaknya kali ini tidak mudah bagi Kiai Garda untuk terbebas sepenuhnya dari serangan itu. Hantu laut yang menyadari kelebihan dari lawannya itu kini berusaha memperluas garis serangannya terutama dengan dukungan pusakanya.
Hembusan angin yang muncul akibat gerak serangan hantu itu kini menjadi semakin panas dan semakin meluas. Meskipun ada waktu sekejab dimana hantu itu tidak mampu menangkap gerakan Kiai Garda, tetapi ia yakin bahwa udara panas yang ia hembuskan itu akan berpengaruh pada lawannya.
Kiai Garda yang menyadari betapa berbahayanya hembusan panas itu kini terpaksa harus bekerja lebih keras. Meskipun ia lepas dari serangan Hantu Laut itu, tetapi garis serangan itu mulai menyulitkannya karena ia harus berjuang untuk mengatasi rasa panas yang semakin lama semakin meningkat.
Tubuh dan pakaian Kiai Garda kini basah oleh keringat.
Sementara itu, dilingkaran yang lain Swandaru mulai lebih mapan dalam menghadapi Watu Gempal. Keadaan para pengawal yang sudah bisa mengatasi keadaan itu membuatnya lebih tenang dalam menghadapi serangan-serangan raksasa itu.
Swandaru sebenarnya sangat penasaran dengan kekuatan yang tersimpan di tubuh Watu Gempal. Di awal-awal pertempuran ia sudah merasakan benturan yang membuatnya jatuh terguling-guling, padahal itu masih sekedar kekuatan wadag. Kini, setelah bertarung beberapa lama Swandaru mulai merasakan betapa tubuh raksasa itu memang menyimpan kekuatan yang sangat besar dan bahkan menakutkan.
Beberapa kali Swandaru sengaja membentur serangan Watu Gempal dan setiap kali ia selalu menambah tenaganya pada benturan demi benturan. Swandaru sengaja ingin menjajagi kekuatan Watu Gempal itu mulai dari tataran demi tataran dan tidak tergesa-gesa.
Sebenarnya ini bukan watak atau kebiasaan Swandaru, tetapi kemampuan Watu Gempal dengan tubuh raksasanya itu sangat menarik bagi Swandaru. Ia seolah-olah sedang menemukan seorang kawan latih tanding yang sesuai untuk bisa mengukur kemampuan dan kekuatannya sendiri.
Sekilas ia teringat seorang pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang bernama Wrahasta yang juga mempunyai tubuh raksasa. Tetapi kemampuan dan kekuatan Wrahasta sangat jauh dibandingkan dengan Watu Gempal ini.
Setelah bertarung beberapa lama, kini keduanya bahkan mulai merambah menggunakan tenaga cadangan dalam setiap serangannya. Ayunan tangan maupun tendangan kaki keduanya kini menimbulkan angin yang menderu-deru sebelum kemudian saling berbenturan.
Lingkaran pertempuran itu menjadi sangat menarik karenanya. Keduanya bertubuh lebih besar dari orang dewasa pada umumnya dan seolah-olah sepakat untuk mengadu kekuatan. Akibatnya sering terjadi benturan-benturan yang menimbulkan suara-suara gemuruh keras susul menyusul bagai ledakan.
Betapa masing-masing tidak dapat menyembunyikan kekagumannya atas lawannya, dan harus mengakui bahwa kekuatan mereka agaknya tidak berselisih jauh. Kini tulang belulang mereka mulai terasa nyeri akibat seringnya berbenturan. Kalau cara bertarung ini dilanjutkan, agaknya mereka berdua akan terlebih dahulu jatuh lemas akibat kelelahan tanpa mengetahui siapa yang akan keluar sebagai pemenang kemudian.
Hampir pada saat yang bersamaan kedua orang yang sedang bertempur itu berpikir untuk merubah cara bertarungnya.
Meski tanpa berjanji, tiba-tiba saja tubuh keduanya terlontar mundur beberapa langkah.

Salam,

No comments:

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...