Mata Ki Among Rogo menjadi merah menakutkan, sementara senyum sinis yang biasanya selalu menghiasi bibir Ki Among Roso sudah lenyap bagai tersaput angin.
“Among Roso”,-suara Ki Among Rogo terdengar berat dan terdengar agak ragu,-“ Apakah kau yakin kita harus menggunakan Aji Susuhing Bantala? Kita belum puasa mutih, apalagi pati geni”
Terdengar gemeretak gigi Ki Among Roso menahan amarah.
“Tidak ada pilihan lain kakang, waktu kita tidak banyak. Kita sudah di rumah ini hampir lima hari dan mungkin tetangga cecurut yang baru saja mati itu akan datang mencari. Masih ada waktu, kita harus selesaikan pekerjaan malam ini juga. Kita ganti laku mutih dan pati geni itu dengan darah kita!”
Ki Among Rogo mendengus keras, ia tidak lagi menjawab atau membantah. Selama ini meskipun ia adalah saudara tua, tetapi adiknya atau Ki Among Roso itulah yang lebih banyak mengambil keputusan karena ia mengakui kecerdikan dan kelicinannya.
Kedua orang saudara seperguruan itu tidak lagi banyak bicara melainkan segera menyiapkan peralatan dan ubo-rampe yang diperlukan. Meskipun langit masih tersaput mendung tipis, tetapi mereka bisa memperkirakan bahwa bintang gubug penceng masih belum banyak bergeser, sehingga fajar masih agak lama.
Selama petualangan mereka di dunia hitam, ini akan menjadi kali ketiga dalam menggunakan aji andalan perguruan mereka untuk melawan musuh yang tangguh. Korban terakhir mereka adalah dari sesama golongan hitam yang harus menerima kenyataan ketika akhirnya tubuhnya lumpuh dan membusuk dengan cepat sebelum nyawanya melayang.
Mereka menggeser beberapa perabot rumah yang memang tidak banyak itu menepi. Agaknya diperlukan tempat yang lebih luas untuk menerapkan ajian andalan mereka.
Selanjutnya peralatan dan ubo-rampe itupun digelar diatas tikar, sebuah tampah agak besar berisi beberapa jenis bunga kering, anglo menyala yang ditaburi kemenyan, kendi berisi air yang sudah bercampur dengan bulu kucing hitam dan putih serta dua buah keris kecil yang berwarna kemerahan akibat diletakkan dekat anglo sehingga terlihat bersinar.
Masih ada beberapa benda yang bertebaran di atas tikar itu dan terlihat aneh serta tidak di mengerti oleh kebanyakan orang. Terlihat beberapa bungkus kain terbuka yang berisi bubuk, entah itu bubuk dari tulang atau mungkin bercampur dengan tanah pekuburan. Empat buah telur busuk, dua buah carang bambu pendek penuh cabang serta gulungan rambut diletakkan di pinggiran tikar itu.
Disamping kedua orang itu masing-masing tergeletak mangkuk kosong terbuat dari besi kuningan.
Setelah ubo rampe dirasa lengkap, kedua saudara seperguruan itu segera duduk bersila dan kembali tenggelam dalam gumam mantra-mantra. Sambil menahan nafas, kini kedua tangan mereka melakukan gerak putaran dan terkadang memukul udara kosong ke atas berulang kali.
Nampaknya ini adalah gerak untuk membuka cakra atau simpul-simpul dalam tubuh mereka sebagai landasan penerapan Aji Susuhing Bantala.
Kedua orang itu terus bergerak dan dalam waktu yang terhitung pendek, tubuh kedua orang itu sudah bersimbah peluh. Tetapi hal itu justru membuat gerak mereka semakin cepat dan bahkan kini mulai di ikuti geraman keras.
Letak rumah yang jauh dari tetangga agaknya sudah diperhitungkan sehingga mereka tidak perlu menahan diri lagi.
Suasana semakin menegangkan ketika sambil menggeram, tangan kedua orang itu secara bergantian mencampur dan mengaduk aneka bunga kering yang ada di tampah itu. Telur di pecah, bubukan di tabur, gulungan rambut di tebar lalu diaduk menggunakan carang bambu. Kini mereka menggunakan carang bambu yang penuh cabang itu untuk mengaduk. Adukan itu dilakukan dengan cepat dengan membentuk lingkaran dari arah kiri ke kanan dan tidak pernah sebaliknya.
Sekejab kemudian, hampir berbarengan mereka memecahkan kendi yang berisi air dan bulu kucing itu diatas tampah sehingga hampir menggenang. Mereka masih mengaduk isinya dan mengumpulkannya di tengah tampah sehingga membentuk gundukan.
Ketika air sudah menyusut, tangan Ki Among Roso menyambar anglo dan kemenyan yang menyala itu dan menumpahkannya di atas gundukan campuran ubo-rampe itu.
Terdengar suara mendesis panjang akibat bercampurnya arang membara dengan bahan campuran yang masih basah.
Setelah saling bertukar pandang sejenak, hampir bersamaan tangan kedua orang itu kemudian mengambil masing-masing sebilah keris kecil yang kemudian tergenggam di tangannya.
Tanpa keraguan sedikitpun keduanya kemudian menggoreskan keris itu ke lengan kiri masing-masing. Tiga goresan berturut-turut dan cukup dalam. Darah segera mengucur deras dan mereka menampungnya ke dalam mangkuk yang terbuat dari besi kuningan.
Sambil menekan-nekan tangan agar darah lebih cepat mengalir, mulut mereka masih tetap menggumamkan mantra-mantra.
Sebuah pemandangan yang mengerikan.
Pelan-pelan mangkuk itu terisi darah merah meskipun belum terlalu kental. Tidak sampai setengah penginangan mangkuk sudah terisi penuh dan kedua saudara seperguruan itu segera menancapkan keris kecil itu di gunungan ubo-rampe yang ada di tampah.
Kini mereka saling bertukar mangkuk, sehingga mangkuk yang berisi darah Ki Among Rogo di pegang oleh adiknya Ki Among Roso. Demikian sebaliknya.
Kini keduanya menghadap ke gunungan yang ada di tampah itu sambil terus menggumamkan mantra-mantra. Sekejab kemudian, mereka menenggak isi mangkuk kuningan itu ke dalam mulutnya, berkumur-kumur dan kemudian menyemburkannya ke arah gunungan dimana tertancap dua keris kecil di bagian atasnya.
Demikian dilakukan berulang kali sampai darah dalam mangkuk kuningan itu habis. Bahkan pada kumuran dan semburan terakhir, sebagian darah itu mereka telan masuk ke tenggorokannya.
Cairan darah itu muncrat kesegala arah dan sebagian membasahi baju yang mereka kenakan. Mulut kedua orang itu terlihat merah dan bahkan sebagian wajah merekapun terciprat oleh darah.
Siapapun yang melihat pemandangan ini pastilah bergidik.
Sesaat kemudian, Ki Among Roso membungkuk dan memukul tanah dengan tangan kanannya sebanyak tiga kali, sementara Ki Among Rogo justru menghentakkan kaki kanannya ke tanah juga tiga kali.
“ Sekarang! ”
Salam,
No comments:
Post a Comment