BALADA
SWANDARU GENI
Bab 3 : Gilang
Pamungkas
Babak - 08
Perempuan
yang membawa nampan itu berjalan masuk sambil sedikit menundukkan kepalanya.
Saat itulah hati Swandaru berguncang hebat, mulutnya ternganga tanpa
mengeluarkan suara. Anehnya, matanya menatap tajam seolah tak berkedip dan
membuat penilaian atas perempuan yang baru masuk biliknya itu.
Wajah
sedikit lonjong dengan anak rambut yang jatuh disisi telinga kirinya, hidung
yang tidak terlalu mancung seolah membentuk dua lembah di sisi kanan kirinya.
Dagu yang ujungnya sedikit meruncing seolah enggan menopang kedua pipinya yang
sedikit tirus. Terlebih pesona bibir perempuan itu yang cenderung tipis
menawarkan kenakalan seorang perempuan dewasa.
Paras wajah
itu pernah begitu lekat di benaknya meski bukan dihatinya.
“Wiyati?”, -
Swandaru berdesis
lirih antara sadar dan tidak sadar.
Kiai Garda
dan perempuan yang baru masuk itu terlihat sedikit tertegun. Agaknya mereka
tidak terlalu mendengar jelas akan desisan Swandaru itu sehingga mereka berdua
justru memandang wajah Swandaru yang kemudian terlihat semakin memucat.
Sebagai
laki-laki yang sudah berumur, meskipun selama ini Swandaru lebih banyak
menuruti perasaannya, tetapi di saat-saat terakhir setelah kekalahannya dengan
kakak seperguruannya Agung Sedayu, ia telah banyak melakukan perenungan. Karena
itu, segera ia sadar bahwa agaknya sikapnya kurang pantas dan telah mengundang keheranan pada Kiai Garda
maupun perempuan yang baru masuk itu.
Ia bermaksud
untuk bersikap normal sebagai seorang yang memang baru berkenalan. Hanya saja watak
dasar Swandaru yang cenderung terbuka dan tidak ingin berteka-teki memang tidak
bisa dikesampingkan. Meskipun ia kemudian bisa menjaga sikapnya agar tidak
terlihat kurang sopan, tetapi pandangan matanya masih tetap menatap Wiyati untuk
meneruskan penilaiannya.
“Ah, mata
ini lain, tatapan matanya lebih banyak menawarkan duka daripada godaan. Juga perempuan
ini tidak mempunyai tahi lalat di bawah bibir kirinya”, - Swandaru berkata
dalam hatinya dan masih tenggelam dalam penilaiannya -,”Selain tatapan mata dan
tahi lalat dibawah bibir kiri itu, semuanya ada pada diri Wiyati. Bahkan
caranya berjalan juga tidak jauh berbeda. Ah, mengapa aku harus menemuinya lagi
disini?”
Tanpa sadar
Swandaru mengeluh dalam hati. Sesungguhnya ia telah bertekad melakukan sebuah
perjalanan yang tidak jelas tujuannya itu dengan harapan untuk memperbaiki
dirinya. Meskipun pemicu awalnya adalah untuk memperoleh sebuah kemampuan ilmu
kanuragan yang lebih tinggi agar bisa menyamai atau bahkan melebihi kemampuan
kakak seperguruannya, tetapi jauh dilubuk hatinya ia juga ingin menebus
kesalahannya kepada Pandan Wangi dengan menjadi pribadi yang lebih baik sebagai
seorang suami dan ayah bagi anaknya.
Tetapi kini,
belum lagi jauh perjalanannya, ia harus mengalami goncangan perasaan karena
kehadiran seorang perempuan yang kini berdiri dihadapannya sambil membawa
nampan.
“Maaf, aku
membawakan bubur dan wedang sere untuk Ki Gupala”, - terdengar suara halus yang
membuyarkan lamunan Swandaru.
Swandaru
benar-benar terkesiap sehingga ia sedikit gelagapan untuk menanggapinya. Meskipun
disuarakan dengan penuh kesopanan tanpa ada nada manja, tetapi suara itu
sungguh sama persis dengan milik Wiyati.
“Terima
kasih Nyi”, - dengan tergagap Swandaru berusaha memperbaiki sikapnya dan
berusaha menenangkan hatinya.
Semua
kejadian itu hanya berlangsung dalam waktu yang singkat, tetapi tidak lepas
dari pengamatan Kiai Garda. Sebagai seorang yang berpengalaman, ia bisa menduga
bahwa agaknya tamunya yang bernama Gupala itu mempunyai penilaian tersendiri
atas diri perempuan yang baru masuk ke dalam biliknya itu.
Segera Kiai
Garda menyela dengan suara rendah untuk mengurai kekakuan sikap diantara
mereka.
“Ki Gupala,
ini adalah Nyi Sulastri, menantu dari Ki Demang Krikilan”
“O”, -
Swandaru berusaha menenangkan dirinya sebaik mungkin - ,”Maafkan sikapku Nyi,
jujur aku merasa pernah mengenal seseorang yang mirip dengan Nyi Sulastri. Tetapi
agaknya itu memang hanya kemiripan saja”
Terlihat Nyi
Sulastri itu mengerutkan keningnya. Sambil meletakkan nampan yang dibawanya ke meja
kecil disebelah amben, ia mengambil bangku dan duduk di sebelah Kiai Garda
dekat dengan kaki Swandaru yang masih terbaring.
“Siapakah
orang yang mirip aku itu Ki Gupala?”
“Darimanakah
kau berasal Nyi?”, - Swandaru tidak menjawab melainkan justru bertanya.
“Aku lahir
dan besar di Kademangan Krikilan ini Ki, sejak kecil aku tidak pernah bepergian
jauh. Apalagi setelah menjadi menantu Ki Demang dan mempunyai momongan, aku
lebih banyak tinggal di rumah”
“Apakah kau
mempunyai saudara Nyi?”, - watak Swandaru yang terbuka tidak mencegahnya untuk
terus mengejar menantu Ki Demang itu dengan pertanyaan lanjutan.
“Ya, aku punya
seorang saudara laki-laki yang kini juga tinggal di Kademangan ini sebagai
pengawal Ki. Sedang kedua orangtuaku sudah meninggal beberapa tahun yang lalu”
Swandaru
menarik nafas dalam-dalam, ia berdiam sejenak sebelum kemudian tersenyum kecil sambil
berkata.
“Maafkan
kalau aku terlalu banyak bertanya Nyi, tadinya aku berpikir mungkin perempuan
yang aku kenal itu adalah saudara kembar Nyi Lastri. Tetapi agaknya memang hanya
kemiripan wajah dan fisik belaka”
Kiai Garda
dan menantu Ki Demang itupun tersenyum hampir bersamaan.
“Sudahlah”, – Kiai Garda kembali menyela -,”Mumpung masih
hangat, Ki Gupala bisa menghabiskan bubur dan wedang sere itu. Baru nanti sore
Ki Gupala harus minum cairan daun pepaya gantung dan kenikir, dicampur dengan kunir
yang tadi sudah di tumbuk Nyi Lastri”
Bagi Nyi Sulastri,
Swandaru yang dikenalnya dengan nama sebagai Ki Gupala itu dianggapnya sebagai
pahlawan penyelamat. Dari cerita mertua dan suaminya, ia mengerti bahwa tanpa
kehadiran Ki Gupala, maka akhir dari pertarungan di halaman banjar padukuhan
itu akan berbeda dan bisa jadi nasibnya lebih ternista. Karena itu, melihat
usia Swandaru yang hampir dua kali lipat usianya, maka ia seolah menganggapnya
sebagai orangtuanya sendiri.
Sambil
mengambil nampan yang berisi bubur dan wedang sere, Nyi Sulastri segera
mendekat dan mengatakan sebuah kalimat yang kemudian mengguncangan dada
Swandaru.
“Marilah, Ki
Gupala masih belum bisa bangkit. Ijinkan aku menyuapi Ki Gupala!”
oo0oo
Sementara
itu matahari terus bergulir tanpa menghiraukan kejadian di muka bumi. Wahana
yang berkuda bersebelahan dengan Ki Widura terlihat mengerutkan keningnya dan
kemudian berbisik pelan.
“Ki Widura”,
- desisnya pelan sekali - ,”Hatiku merasa tidak tenang, agaknya didepan ada
yang menunggu”
Ki Widura
terlihat menganggukkan kepalanya.
“Benar
ngger, sebentar lagi kita akan memasuki sebuah daerah terbuka yang dinamakan
Lemah Cengkar. Daerah itu memang sering menjadi pilihan orang-orang yang
berniat jahat. Agaknya Pandan Wangi juga menyadarinya sehingga ia berhenti
menunggu kita bersama Gilang”
Demikianlah,
mereka terus maju sambil meningkatkan kewaspadaan. Pandan Wangi tidak
henti-hentinya mengingatkan Gilang untuk selalu berdekatan dengannya, sementara
wajah Gilang justru menunjukkan keingin-tahuan yang besar atas apa yang akan
terjadi nanti. Sama sekali tidak tersirat ketakutan diwajahnya meskipun ia
sudah diberitahu ibundanya bahwa kali ini akan ada orang-orang yang berniat
jahat untuk mengambilnya.
Sementara dibelakang
mereka, dua orang prajurit yang mengawani masih berjalan pelan diatas kudanya.
Menjelang
matahari berada tepat di puncak kepala, mereka mulai memasuki daerah terbuka di Lemah
Cengkar. Ki Widura dan yang lain berusaha bersikap biasa seolah tidak terjadi
apa-apa meskipun panggraita mereka merasakan adanya beberapa pasang mata yang
mengamati.
Mendadak suasana
siang yang terang benderang itu dipenuhi oleh kilatan-kilatan tebal yang berwarna
gelap dan menghalangi jarak pandang mereka. Matahari seolah sedang terhalang
oleh jaring-jaring hitam yang muncul secara mendadak.
Bersamaan
dengan itu, terdengar suara riuh rendah yang memekakkan telinga dan udara di atas
Lemah Cengkar itu kini penuhi oleh belasan kepak sayap burung yang berukuran
sangat besar.
Betapa
terkejutnya Ki Widura dan juga Wahana melihat apa yang nampak dihadapannya itu.
Mereka segera sadar bahwa agaknya keterangan yang mereka dapatkan dari para
telik sandi sama sekali tidak utuh. Sejauh yang mereka tahu, kawanan yang
mencegat mereka di jalanan ini di pimpin oleh seorang yang bernama Ki Juwana
yang mereka sudah dapat menakar kemampuannya.
Sama sekali
diluar perhitungan mereka bahwa Ki Juwana agaknya telah mengundang sahabatnya
yang tinggal di Pulau Karimun dan kini sedang mempertontonkan kehebatan hewan
peliharaannya untuk menakut-nakuti lawan.
Burung-burung
itu berukuran cukup besar dengan bulu berwarna hitam kehijauan. Bentuknya mirip
Rajawali, tetapi paruhnya berukuran lebih panjang dan lebih besar dengan ujung
yang melengkung tajam. Mata burung itu bulat berwarna kuning terang layaknya
burung hantu, tetapi kukunya yang tajam justru berwarna merah menyala, seakan sedang
menunjukkan banyaknya darah lawan yang sudah mereka cacah.
“Kakek
Widura, burung itu semua ada tigabelas!”
Sementara
yang lain masih terkejut dengan kehadiran burung-burung raksasa yang mendadak
itu, ternyata Gilang sudah sempat menghitungnya.
Ki Widura
tidak sempat menjawab, karena ia harus menghindar dan menundukkan kepalanya
ketika salah satu dari burung itu hampir saja menyambar kepalanya. Demikian
pula burung-burung lain yang tadinya terbang agak meninggi itu tiba-tiba melesat
rendah sambil kukunya menunjukkan gerak mencengkeram.
Pandan Wangi
tidak mau berpikir panjang, segera dicabutnya kedua pedang tipisnya hendak
menyambut burung yang mengarah kepada Gilang. Ia sama sekali tidak mengijinkan
anak semata wayangnya itu terluka meskipun hanya sekedar cakaran burung. Ia
bermaksud menebas dan merontokkan sayap burung yang mulai meluncur rendah itu.
Tetapi
sebelum pedang tipis Pandan Wangi menebas, tiba-tiba Gilang justru mengayunkan
tangannya dengan sebat. Dari tangan kanannya meluncurlah dua buah batu seukuran
telur, melesat secepat tatit ke arah burung yang menyerangnya.
“Kena!”
Salam,
1 comment:
Assalamubalaikum wrbwb
Trimakasih banyak atas kesempatan dan keluangan waktu yang telah ki Pudjo Riswantoro luangkan untuk menggurat keindahan cerita ini sebagai pelepas dahaga kami yang haus dilembah gersang kerinduan kepada sang maestro SHM yang sama sangat kita rindukan
Trimakasih yang sebesarnya buat ki Pudjo Riswantoro
Semoga ki gede selalu dalam kebahagiaan selalu dalam keluarga berkeluarga, amin
Post a Comment