Monday, April 24, 2017

BSG - Bab 3 : Gilang Pamungkas - Babak - 08

BALADA SWANDARU GENI
Bab 3 : Gilang Pamungkas
Babak - 08


Perempuan yang membawa nampan itu berjalan masuk sambil sedikit menundukkan kepalanya. Saat itulah hati Swandaru berguncang hebat, mulutnya ternganga tanpa mengeluarkan suara. Anehnya, matanya menatap tajam seolah tak berkedip dan membuat penilaian atas perempuan yang baru masuk biliknya itu.

Wajah sedikit lonjong dengan anak rambut yang jatuh disisi telinga kirinya, hidung yang tidak terlalu mancung seolah membentuk dua lembah di sisi kanan kirinya. Dagu yang ujungnya sedikit meruncing seolah enggan menopang kedua pipinya yang sedikit tirus. Terlebih pesona bibir perempuan itu yang cenderung tipis menawarkan kenakalan seorang perempuan dewasa.

Paras wajah itu pernah begitu lekat di benaknya meski bukan dihatinya.

“Wiyati?”, -

Swandaru berdesis lirih antara sadar dan tidak sadar.

Kiai Garda dan perempuan yang baru masuk itu terlihat sedikit tertegun. Agaknya mereka tidak terlalu mendengar jelas akan desisan Swandaru itu sehingga mereka berdua justru memandang wajah Swandaru yang kemudian terlihat semakin memucat.

Sebagai laki-laki yang sudah berumur, meskipun selama ini Swandaru lebih banyak menuruti perasaannya, tetapi di saat-saat terakhir setelah kekalahannya dengan kakak seperguruannya Agung Sedayu, ia telah banyak melakukan perenungan. Karena itu, segera ia sadar bahwa agaknya sikapnya kurang pantas dan  telah mengundang keheranan pada Kiai Garda maupun perempuan yang baru masuk itu.

Ia bermaksud untuk bersikap normal sebagai seorang yang memang baru berkenalan. Hanya saja watak dasar Swandaru yang cenderung terbuka dan tidak ingin berteka-teki memang tidak bisa dikesampingkan. Meskipun ia kemudian bisa menjaga sikapnya agar tidak terlihat kurang sopan, tetapi pandangan matanya masih tetap menatap Wiyati untuk meneruskan penilaiannya.

“Ah, mata ini lain, tatapan matanya lebih banyak menawarkan duka daripada godaan. Juga perempuan ini tidak mempunyai tahi lalat di bawah bibir kirinya”, - Swandaru berkata dalam hatinya dan masih tenggelam dalam penilaiannya -,”Selain tatapan mata dan tahi lalat dibawah bibir kiri itu, semuanya ada pada diri Wiyati. Bahkan caranya berjalan juga tidak jauh berbeda. Ah, mengapa aku harus menemuinya lagi disini?”

Tanpa sadar Swandaru mengeluh dalam hati. Sesungguhnya ia telah bertekad melakukan sebuah perjalanan yang tidak jelas tujuannya itu dengan harapan untuk memperbaiki dirinya. Meskipun pemicu awalnya adalah untuk memperoleh sebuah kemampuan ilmu kanuragan yang lebih tinggi agar bisa menyamai atau bahkan melebihi kemampuan kakak seperguruannya, tetapi jauh dilubuk hatinya ia juga ingin menebus kesalahannya kepada Pandan Wangi dengan menjadi pribadi yang lebih baik sebagai seorang suami dan ayah bagi anaknya.

Tetapi kini, belum lagi jauh perjalanannya, ia harus mengalami goncangan perasaan karena kehadiran seorang perempuan yang kini berdiri dihadapannya sambil membawa nampan.

“Maaf, aku membawakan bubur dan wedang sere untuk Ki Gupala”, - terdengar suara halus yang membuyarkan lamunan Swandaru.

Swandaru benar-benar terkesiap sehingga ia sedikit gelagapan untuk menanggapinya. Meskipun disuarakan dengan penuh kesopanan tanpa ada nada manja, tetapi suara itu sungguh sama persis dengan milik Wiyati.

“Terima kasih Nyi”, - dengan tergagap Swandaru berusaha memperbaiki sikapnya dan berusaha menenangkan hatinya.

Semua kejadian itu hanya berlangsung dalam waktu yang singkat, tetapi tidak lepas dari pengamatan Kiai Garda. Sebagai seorang yang berpengalaman, ia bisa menduga bahwa agaknya tamunya yang bernama Gupala itu mempunyai penilaian tersendiri atas diri perempuan yang baru masuk ke dalam biliknya itu.

Segera Kiai Garda menyela dengan suara rendah untuk mengurai kekakuan sikap diantara mereka.

“Ki Gupala, ini adalah Nyi Sulastri, menantu dari Ki Demang Krikilan”

“O”, - Swandaru berusaha menenangkan dirinya sebaik mungkin - ,”Maafkan sikapku Nyi, jujur aku merasa pernah mengenal seseorang yang mirip dengan Nyi Sulastri. Tetapi agaknya itu memang hanya kemiripan saja”

Terlihat Nyi Sulastri itu mengerutkan keningnya. Sambil meletakkan nampan yang dibawanya ke meja kecil disebelah amben, ia mengambil bangku dan duduk di sebelah Kiai Garda dekat dengan kaki Swandaru yang masih terbaring.

“Siapakah orang yang mirip aku itu Ki Gupala?”

“Darimanakah kau berasal Nyi?”, - Swandaru tidak menjawab melainkan justru bertanya.

“Aku lahir dan besar di Kademangan Krikilan ini Ki, sejak kecil aku tidak pernah bepergian jauh. Apalagi setelah menjadi menantu Ki Demang dan mempunyai momongan, aku lebih banyak tinggal di rumah”

“Apakah kau mempunyai saudara Nyi?”, - watak Swandaru yang terbuka tidak mencegahnya untuk terus mengejar menantu Ki Demang itu dengan pertanyaan lanjutan.

“Ya, aku punya seorang saudara laki-laki yang kini juga tinggal di Kademangan ini sebagai pengawal Ki. Sedang kedua orangtuaku sudah meninggal beberapa tahun yang lalu”

Swandaru menarik nafas dalam-dalam, ia berdiam sejenak sebelum kemudian tersenyum kecil sambil berkata.

“Maafkan kalau aku terlalu banyak bertanya Nyi, tadinya aku berpikir mungkin perempuan yang aku kenal itu adalah saudara kembar Nyi Lastri. Tetapi agaknya memang hanya kemiripan wajah dan fisik belaka”

Kiai Garda dan menantu Ki Demang itupun tersenyum hampir bersamaan.

“Sudahlah”,  – Kiai Garda kembali menyela -,”Mumpung masih hangat, Ki Gupala bisa menghabiskan bubur dan wedang sere itu. Baru nanti sore Ki Gupala harus minum cairan daun pepaya gantung dan kenikir, dicampur dengan kunir yang tadi sudah di tumbuk Nyi Lastri”

Bagi Nyi Sulastri, Swandaru yang dikenalnya dengan nama sebagai Ki Gupala itu dianggapnya sebagai pahlawan penyelamat. Dari cerita mertua dan suaminya, ia mengerti bahwa tanpa kehadiran Ki Gupala, maka akhir dari pertarungan di halaman banjar padukuhan itu akan berbeda dan bisa jadi nasibnya lebih ternista. Karena itu, melihat usia Swandaru yang hampir dua kali lipat usianya, maka ia seolah menganggapnya sebagai orangtuanya sendiri.

Sambil mengambil nampan yang berisi bubur dan wedang sere, Nyi Sulastri segera mendekat dan mengatakan sebuah kalimat yang kemudian mengguncangan dada Swandaru.

“Marilah, Ki Gupala masih belum bisa bangkit. Ijinkan aku menyuapi Ki Gupala!”


                                                                                 oo0oo


Sementara itu matahari terus bergulir tanpa menghiraukan kejadian di muka bumi. Wahana yang berkuda bersebelahan dengan Ki Widura terlihat mengerutkan keningnya dan kemudian berbisik pelan.

“Ki Widura”, - desisnya pelan sekali - ,”Hatiku merasa tidak tenang, agaknya didepan ada yang menunggu”

Ki Widura terlihat menganggukkan kepalanya.

“Benar ngger, sebentar lagi kita akan memasuki sebuah daerah terbuka yang dinamakan Lemah Cengkar. Daerah itu memang sering menjadi pilihan orang-orang yang berniat jahat. Agaknya Pandan Wangi juga menyadarinya sehingga ia berhenti menunggu kita bersama Gilang”

Demikianlah, mereka terus maju sambil meningkatkan kewaspadaan. Pandan Wangi tidak henti-hentinya mengingatkan Gilang untuk selalu berdekatan dengannya, sementara wajah Gilang justru menunjukkan keingin-tahuan yang besar atas apa yang akan terjadi nanti. Sama sekali tidak tersirat ketakutan diwajahnya meskipun ia sudah diberitahu ibundanya bahwa kali ini akan ada orang-orang yang berniat jahat untuk mengambilnya.

Sementara dibelakang mereka, dua orang prajurit yang mengawani masih berjalan pelan diatas kudanya.

Menjelang matahari berada tepat di puncak kepala,  mereka mulai memasuki daerah terbuka di Lemah Cengkar. Ki Widura dan yang lain berusaha bersikap biasa seolah tidak terjadi apa-apa meskipun panggraita mereka merasakan adanya beberapa pasang mata yang mengamati.

Mendadak suasana siang yang terang benderang itu dipenuhi oleh kilatan-kilatan tebal yang berwarna gelap dan menghalangi jarak pandang mereka. Matahari seolah sedang terhalang oleh jaring-jaring hitam yang muncul secara mendadak.

Bersamaan dengan itu, terdengar suara riuh rendah yang memekakkan telinga dan udara di atas Lemah Cengkar itu kini penuhi oleh belasan kepak sayap burung yang berukuran sangat besar.

Betapa terkejutnya Ki Widura dan juga Wahana melihat apa yang nampak dihadapannya itu. Mereka segera sadar bahwa agaknya keterangan yang mereka dapatkan dari para telik sandi sama sekali tidak utuh. Sejauh yang mereka tahu, kawanan yang mencegat mereka di jalanan ini di pimpin oleh seorang yang bernama Ki Juwana yang mereka sudah dapat menakar kemampuannya.

Sama sekali diluar perhitungan mereka bahwa Ki Juwana agaknya telah mengundang sahabatnya yang tinggal di Pulau Karimun dan kini sedang mempertontonkan kehebatan hewan peliharaannya untuk menakut-nakuti lawan.

Burung-burung itu berukuran cukup besar dengan bulu berwarna hitam kehijauan. Bentuknya mirip Rajawali, tetapi paruhnya berukuran lebih panjang dan lebih besar dengan ujung yang melengkung tajam. Mata burung itu bulat berwarna kuning terang layaknya burung hantu, tetapi kukunya yang tajam justru berwarna merah menyala, seakan sedang menunjukkan banyaknya darah lawan yang sudah mereka cacah.

“Kakek Widura, burung itu semua ada tigabelas!”

Sementara yang lain masih terkejut dengan kehadiran burung-burung raksasa yang mendadak itu, ternyata Gilang sudah sempat menghitungnya.

Ki Widura tidak sempat menjawab, karena ia harus menghindar dan menundukkan kepalanya ketika salah satu dari burung itu hampir saja menyambar kepalanya. Demikian pula burung-burung lain yang tadinya terbang agak meninggi itu tiba-tiba melesat rendah sambil kukunya menunjukkan gerak mencengkeram.

Pandan Wangi tidak mau berpikir panjang, segera dicabutnya kedua pedang tipisnya hendak menyambut burung yang mengarah kepada Gilang. Ia sama sekali tidak mengijinkan anak semata wayangnya itu terluka meskipun hanya sekedar cakaran burung. Ia bermaksud menebas dan merontokkan sayap burung yang mulai meluncur rendah itu.

Tetapi sebelum pedang tipis Pandan Wangi menebas, tiba-tiba Gilang justru mengayunkan tangannya dengan sebat. Dari tangan kanannya meluncurlah dua buah batu seukuran telur, melesat secepat tatit ke arah burung yang menyerangnya.

“Kena!”


Salam,

1 comment:

muhammad efendi said...

Assalamubalaikum wrbwb

Trimakasih banyak atas kesempatan dan keluangan waktu yang telah ki Pudjo Riswantoro luangkan untuk menggurat keindahan cerita ini sebagai pelepas dahaga kami yang haus dilembah gersang kerinduan kepada sang maestro SHM yang sama sangat kita rindukan

Trimakasih yang sebesarnya buat ki Pudjo Riswantoro
Semoga ki gede selalu dalam kebahagiaan selalu dalam keluarga berkeluarga, amin

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...