Saturday, April 1, 2017

BALADA SWANDARU GENI - Sebuah Perjalanan - Babak-7


“ Adalah tidak sopan dan tidak tahu diri kalau aku menolak kebaikan kakang Agung Sedayu,” – batin Swandaru bergolak -, ”Ia memang pantas dan berhak menggantikan sosok guru baik dari kepribadiannya maupun dari sisi kemampuan olah kanuragannya. Tetapi aku sungguh merasa tidak nyaman seandainya harus menerima petunjuknya. Aku akan benar-benar seperti anak kecil yang harus menurut dan mengagumi kemampuannya tanpa bisa berbuat sesuatu yang melebihinya”
Bilik itu kembali hening, Sekar Mirah yang sedari tadi hanya terdiam itu tiba-tiba saja menjadi berdebar-debar.
Meskipun yang mendampingi kakaknya sehari-hari adalah Pandan Wangi sebagai seorang istri, tetapi ia merasa bahwa ia lebih mengenal watak kakaknya itu dibandingkan semua yang hadir di bilik itu. Sebagai seorang adik kandung, ia mengakui bahwa ada kesamaan watak antara dirinya dengan Swandaru Geni. Hanya saja pergaulan dan pengenalannya atas Agung Sedayu selama ini telah menuntunnya sehingga ia bisa jauh lebih mengendap dibandingkan kakaknya itu.
Sekar Mirah seolah-olah bisa menjenguk hati kakaknya itu dan melihat ada keengganan untuk menerima tawaran Agung Sedayu. Agaknya kakaknya itu masih belum sepenuhnya bisa menghilangkan rasa tinggi hati dan rasa untuk selalu menang atas orang-orang disekitarnya.
Meskipun Swandaru tidak bisa menolak kenyataan tentang kemampuan Agung Sedayu dan berusaha bersikap sebagai layaknya seorang adik seperguruan, tetapi Sekar Mirah masih melihat ada sepercik api yang terpendam sangat dalam dan suatu saat bisa saja berkobar tanpa kendali.
Tetapi Sekar Mirah memilih untuk diam, ia sadar bahwa di saat seperti ini saran dan perkataannya tidak akan mampu melunakkan dan menenangkan hati Swandaru.
Sementara itu, pikiran Swandaru seolah menerawang tidak menentu.
“ Aku pasti bisa melakukan olah laku dengan tidak kalah baik meskipun tanpa bimbingan kakang Agung Sedayu. Aku bukan lagi seorang anak kecil yang harus selalu di bimbing apalagi ditunggui untuk mencapai sebuah keberhasilan,” – hatinya tiba-tiba saja mengeras,” - Atau mungkin sebaiknya aku menyisihkan waktuku beberapa bulan ke depan untuk melakukan sebuah pengembaraan. Guru pernah bercerita betapa di daerah bang wetan adalah lumbungnya orang-orang berilmu. Bahkan bukankah eyang Windujati adalah sosok yang lebih banyak menghabiskan waktunya di wilayah wetan itu setelah keruntuhan Majapahit? Jika aku bisa melakukan sebuah napak tilas, maka aku pasti akan memperoleh hal-hal yang berharga dalam hidupku”
Tiba-tiba wajah Swandaru berseri-seri dan itu bisa ditangkap oleh hampir semua yang ada di bilik itu.
“ Tetapi aku harus melakukannya dengan niat yang baik,” – Swandaru masih bergelut dengan kata hatinya,”- aku ingat pesan guru bahwa apapun tindakan kita maka harus diawali dengan sebuah niat baik, untuk keluarga kita, orang-orang di sekitar kita dan manyarakat luas. Aku harus bisa menghargai niat baik kakang Agung Sedayu itu apalagi ini untuk kebaikanku dan keluargaku”
Mata Swandaru tanpa sengaja menatap wajah istrinya yang duduk tepat disampingnya.
“ Pandan Wangi adalah seorang istri yang baik dan selama ini mendukungku dengan tulus. Aku harus menghargainya dan sebaiknya aku tidak menjadikan kemampuan kakang Agung Sedayu yang tinggi itu sebagai sebuah ukuran keberhasilanku,” – pikiran sadar Swandaru seolah ingin menindas suara bawah sadarnya.
Hati Swandaru menjadi tenang, tangannya menggenggam telapak tangan Pandan Wangi lebih erat dan matanya terlihat sayu seolah sedang memancarkan rasa terimakasih kepada istrinya itu.
“ Wangi,” – desisnya pelan,” – apakah kau yakin akan mampu melakukan semua itu seorang diri sementara aku tergolek di pembaringan?”
Wajah Pandan Wangi terlihat sedikit merah, agaknya remasan tangan suaminya dihadapan banyak orang itu membuat hatinya sedikit jengah.
“ Tentu saja kakang, bukankah aku tidak akan berbuat banyak? Sementara aku juga sudah sering berpuasa dan bahkan sambil berlatih di sanggar. Hanya kali ini mungkin akan lebih bersungguh-sungguh dan memusatkan perhatian pada titik angan tertentu yang agaknya memang lebih menguras tenaga. Sementara soal rambut, kalau semuanya lancar, aku kira dalam hitungan bulan rambutku akan sudah tumbuh seperti sediakala”
Swandaru tersenyum, hatinya tiba-tiba saja menjadi lebih lapang.
“Terimakasih Wangi, aku sepenuhnya percaya padamu,” – Swandaru berhenti sejenak,” – tetapi kalau kau tidak keberatan aku ingin kau melakukan sesuatu sekalian, itupun kalau kakang Agung Sedayu setuju dan mengijinkan”
Pandan Wangi mengerutkan dahinya, demikian pula semua yang hadir di ruangan itu. Wajah Swandaru yang kadang pucat dan kadang dihiasi sebuah senyuman seolah menghadirkan sebuah teka-teki.
“ Apa maksudmu adi Swandaru,” – Agung Sedayu tidak sadar bertanya.
Pertanyaan Agung Sedayu yang diisampaikan dengan suara pelan itu seolah mewakili suara hati semua yang hadir di bilik itu. Sementara mereka melihat Swandaru mencoba memperbaiki posisi berbaringnya sebelum kemudian menjawab pertanyaan kakak seperguruannya itu.
“ Kakang, aku tentu saja sangat berterimakasih dan ingin menjalani laku yang kakang Agung Sedayu tawarkan kepadaku itu,”- Swandaru berhenti sebentar sambil menelan ludah,” – tetapi jujur saat ini hatiku sedang dipenuhi rasa penyesalan yang sangat dalam atas beberapa tingkah lakuku yang membawa dampak kerugian yang cukup besar. Perang yang baru saja terjadi yang melibatkan pasukan Mataram melawan pasukan Ki Saba Lintang membawa korban yang tidak sedikit dan itu aku ikut andil didalamnya. Aku merasa sangat bersalah kepada Guru”
Dengan cepat wajah Swandaru yang tadi sempat dihiasi sebuah senyuman itu kini berubah menjadi muram.
“ Karena itu kakang, bukannya aku menolak, tetapi dalam masa penyembuhanku ini, aku ingin memusatkan seluruh perhatianku untuk mendalami dan meresapi Kidung Panguripan sesuai yang tertulis di kitab Guru itu. Bukankah di halaman belakang kitab itu tertulis beberapa syair tentang hidup dan kehidupan, dan sayangnya selama ini belum aku baca secara menyeluruh ataupun aku cerna. Aku ingin memperbaiki diriku dari dalam tidak hanya sekedar mengutamakan olah kanuragan yang selama ini menjadi perhatianku”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam, demikian juga semua yang ada di ruangan itu.
“Ah, syukurlah kalau kau punya keinginan seperti itu adi Swandaru. Kidung Panguripan mempunyai makna yang dalam dan aku yakin itu akan meningkatkan kesadaranmu dan baik pula untuk mempercepat kesembuhanmu,” – Agung Sedayu menjawab dengan nada yang tulus tanpa berpikir alasan lebih jauh dibalik penolakan Swandaru untuk melakukan olah laku yang disarankan.
Sebenarnyalah Agung Sedayu ingin menyarankan agar Swandaru tetap menempuh laku yang disarankan untuk menguasai ajian Asta Sewu, sambil mendalami syair Kidung Panguripan. Ini akan bisa berjalan beriringan, tetapi ia enggan untuk memaksa Swandaru.
“Tetapi, aku minta satu hal kepadamu kakang,”- tiba-tiba Swandaru menyusuli dengan sebuah permintaan.
“ Apa maksudmu adi Swandaru?”
Swandaru meraih telapak tangan Pandan Wangi sambil menjawab pertanyaan itu.
“ Kakang, aku sangat yakin Pandan Wangi adalah perempuan yang kuat dan tangguh. Ia juga berhati mulia dan bertanggung jawab atas keluarga. Selama ini aku kurang bisa memberi perhatian dan kebahagian yang lebih kepadanya karena sibuk dengan diriku sendiri,” – Swandaru berhenti sejenak, sementara semua orang yang mendengar perkataan Swandaru menjadi berdebar-debar.
“ Aku mohon, mumpung sekarang Pandan Wangi akan menjalani sebuah laku untuk kesembuhanku dan untuk mempertajam apa yang selama ini sudah ia miliki, maka tolong kakang Agung Sedayu sekalian bisa menitipkan ajian Asta Sewu itu kepada Panda Wangi. Aku yakin hal itu akan sangat berarti bagi Pandan Wangi dan keluarga ini kakang,” – suara Swandaru seolah memelas.
Pandan Wangi sedikit terkejut dengan ucapan suaminya, demikian juga semua yang ada di bilik itu, hatinya tiba-tiba saja berdebar-debar kencang.
Tetapi Pandan Wangi memilih diam dan menundukkan kepalanya.
Sementara punggung Agung Sedayu tiba-tiba saja berkeringat.

Salam,

No comments:

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...