Saturday, July 8, 2017

BSG - BAB.IV - HSSG - Babak-02

BALADA SWANDARU GENI
Bab IV: Hilangnya Seorang Swandaru Geni
Babak – 02



Malam itu pertemuan perangkat Kademangan Krikilan yang di adakan di pendapa baru saja usai. Wayah sepi uwong baru saja terlewati dan semua kembali ke rumah masing-masing. Agaknya mereka semua sepakat bahwa dengan meninggalnya Hantu Laut dan adik seperguruannya yang bernama Watu Gempal akan membuat Kademangan ini lebih tenang setidaknya untuk sementara waktu.


Kiai Garda masih duduk di pendapa di temani oleh Ki Demang dan anak Ki Demang yang tertua. Bahkan Nyi Sulastri baru saja menambah dan menyajikan wedang sere untuk ketiganya yang nampaknya tidak segera masuk ke dalam bilik masing-masing.


“Apakah kau juga setuju bahwa gerombolan Hantu Laut bukan lagi ancaman bagi kita adi Garda?”, - tanya Ki Demang sambil menyeruput wedang sere yang masih panas.


“Nampaknya memang demikian kakang”, - jawab Kiai Garda tanpa ragu - ,”Sepengetahuanku, dibawahnya Watu Gunung tidak ada lagi orang yang menonjol. Sementara anak murid yang kemarin ikut menyerang dan akhirnya terbunuh di halaman banjar Padukuhan itu merupakan murid pilihan, sehingga aku yakin bahwa gerombolan itu bisa dikatakan bagai anak ayam yang kehilangan induknya”


“Akan tetapi Ayah, agaknya kemampuan pengawal Kademangan ini harus mendapatkan perhatian lebih bersungguh-sungguh. Ternyata puluhan orang dari kita sama sekali tidak mampu melindungi Kademangan ini seandainya tidak hadir paman Garda berserta ketiga muridnya serta Ki Gupala”, - anak tertua Ki Demang ikut bersuara.


Ki Demang mengangguk-angguk sambil memandangi Kiai Garda yang merupakan adik kandungnya - ,”Aku setuju, itulah yang akan kita bicarakan. Bagaimana pendapatmu tentang permintaanku tempo hari adi Garda?”


Kiai Garda terlihat menarik nafas dalam-dalam sebelum akhirnya menjawab.


“Baiklah, aku setuju kakang. Sementara ini biarlah dua orang atau bahkan tiga orang muridku itu berada disini untuk melatih dan meningkatkan kemampuan para pengawal. Sementara itu, kita akan memilih sekitar lima atau enam orang yang memiliki bakat lebih untuk dikirimkan ke lereng Muria. Sepulang dari lereng Muria, mereka wajib menularkan kemampuan mereka itu kepada teman-temannya disini”

Kiai Garda tiba-tiba saja menghentikan kalimatnya, punggungnya diangkat tegak sambil memiringkan kepalanya seolah ia sedang memusatkan sesuatu pada pendengarannya.


“Siapa yang memacu kuda sedemikian kencang di malam buta seperti ini”, - desisnya pelan sambil berdiri tegak.


Ki Demang dan anak tertuanya yang heran terpaksa ikut berdiri, tetapi sejenak kemudian mereka berdua juga ikut mendengar derap kaki kuda yang berlari sedemikian kencang. Bahkan mereka segera turun dari pendapa ketika meyakini bahwa derap kuda itu berlari justru mengarah ke halaman Kademangan ini. Dengan wajah tegang ketiganya berdiri menunggu, sementara beberapa pengawal di gardu ronda depan juga berloncatan turun ketika melihat ketiganya turun dari pendapa.


Tidak lama kemudian, nampak seekor kuda yang berlari melaju kencang ke arah halaman Kademangan itu. Nyala obor di gardu yang nampaknya kurang terang itu tidak mampu menerangi keadaan di sekelilingnya. Akan tetapi mata Kiai Garda yang tajam segera bisa melihat kuda itu dengan jelas.


“Tanpa penunggang, kemanakah Ki Swandaru?”, - desisnya pelan sambil melangkah maju.


Ki Demang dan anak tertuanya mendengar desisan Kiai Garda akan tetapi mereka masih belum mengerti maksudnya. Barulah sejenak kemudian, mereka memahaminya ketika kuda itu berlari cepat memasuki halaman dan berhenti mendadak sambil meringkik keras dan mengangkat kedua kaki depan-nya beberapa kali. Kuda itu kembali ke Kademangan tanpa penunggangnya!


“Turangga Kliwon!”


Anak Ki Demang yang tertua itu menyebut nama kudanya, sambil melangkah maju ia berusaha menenangkan kuda yang masih meringkik berkali-kali sambil mengangkat kedua kaki depannya. Beberapa saat kemudian kuda itu berhasil ditenangkan, agaknya tangan anak Ki Demang tertua yang terus mengelus-elus lehernya membuat kuda itu tidak meringkik terus menerus.


“Kemanakah Ki Gupala itu, kenapa si Kliwon malah kembali pulang?”, - desis Ki Demang.


Belum sempat Kiai Garda menjawab, anak tertua Ki Demang itu justru berkata agak keras yang ditujukan kepada mereka berdua.


“Ayah, Paman Garda, lihatlah, bukankah ini buntalan kain dan bekal milik Ki Gupala? Kemanakah Ki Gupala sebenarnya”, - suaranya seolah mengandung kecemasan.


Wajah Kiai Garda tiba-tiba saja menampakkan sebuah kecemasan yang sangat dalam. Ia segera membuka dan meneliti bungkusan kain yang di yakininya milik Swandaru itu. Selain menemukan beberapa lembar pakaian, ada sebuah pedang berukuran besar dengan gagang yang terbuat dari gading. Sangat indah dan menarik.


“Agaknya Ki Swandaru mengalami kejadian di tengah jalan dan tidak sempat berbuat banyak sehingga bekal pakaian dan bahkan pedang ini tertinggal di pelana kuda”, - Kiai Garda berkata dalam hati - ,” Walaupun luka yang di derita Ki Swandaru sudah hampir sembuh sama sekali, akan tetapi seandainya ia berhadapan dengan lawan sekelas Watu Gempal lagi, agaknya luka itu akan kambuh dan dengan cepat akan mengeluarkan darah lagi”


Malam itu, tanpa menunda sedikitpun Kiai Garda segera mengumpulkan ketiga muridnya dan memberi pesan-pesan untuk sementara agar tinggal di Kademangan terlebih dahulu. Tidak lama kemudian ia sudah berada diatas kuda yang bernama Turangga Kliwon, setelah kuda itu beristirahat dengan makan dan minum secukupnya.


“Kakang Demang”, - kata Kiai Garda - ,”Aku belum tahu kapan akan kembali, mungkin besok sore tetapi mungkin lusa atau bahkan sepekan dua pekan lagi aku baru kembali. Aku akan mencoba melacak jejak Ki Swandaru hingga ketemu, tetapi jangan menunggu aku”


Ki Demang dan anak tertuanya serta beberapa pengawal Kademangan itu hanya bisa mengangguk. Ki Demang dan anak tertuanya itu sangat mengenal Kiai Garda yang sebenarnya sejak muda adalah seorang pengembara yang menjelajah tanah Jawa khususnya di tlatah pesisir utara. Agaknya kini Kiai Garda akan mencari keberadaan Ki Swandaru hingga ketemu hingga waktu yang tidak terbatas.


Tidak lama kemudian Kiai Garda memacu kuda Turangga Kliwon meskipun dengan perlahan-lahan. Hari sudah melewati tengah malam dan Kiai Garda tidak ingin membuat warga Kademangan gelisah dengan memacu kudanya terlalu kencang. Selain itu ia sengaja memberi kesempatan agar kuda yang sudah berlari bolak-balik itu tidak terlalu berat bebannya.


Sambil mengelus-elus leher kudanya, Kiai Garda berkata.


“Kliwon, meskipun kau mungkin tidak bisa menjawab permintaanku, tetapi aku yakin kau tahu maksudku. Bawalah aku ke tempat terakhir kali kau di tinggalkan oleh Ki Swandaru kemarin siang”, - sesekali Kiai Garda mengulangi kalimatnya dengan berbisik dekat di telinga kuda itu.


Turangga Kliwon menderapkan langkah kakinya dengan ajeg seolah tidak memperdulikan perkataan Kiai Garda.


Menjelang pagi dan saat matahari naik sepengalah, Kiai Garda melewati bulak yang teramat panjang. Kuda tunggangan Kiai Garda alias Turangga Kliwon tiba-tiba mempercepat derap langkahnya hingga sampai ke ujung bulak dan langsung berhenti mendadak serta menepi. Ia meringkik keras beberapa kali sebelum kemudian minum air di parit yang airnya cukup jernih itu.


Kuda itu kini seolah tidak perduli lagi dengan sekitarnya, setelah minum ia sibuk memakan rumput yang tumbuh di sekitarnya.


Kiai Garda yang sudah turun, segera beranjak mendekati pohon preh yang tumbuh di sebelah parit itu. Dari tingkah laku kuda itu, ia menduga bahwa inilah tempat terakhir Swandaru berpisah dengan kuda tunggangannya itu.


“Juga menurut perhitungan waktu, ini adalah tempat yang paling mungkin Ki Swandaru beristirahat lalu berpisah dari Turangga Kliwon. Agaknya aku cukup yakin, karena setelah ini, meskipun ada lagi sebuah bulak pendek akan tetapi didepan adalah sebuah hutan yang meskipun tidak terlalu lebat tetapi cukup panjang. Mudah-mudahan aku bisa menemukan jejaknya disini”, - Kiai Garda membatin dalam hati.


Kiai Garda segera meneliti keadaan di sekitar pohon preh yang rimbun itu. Dipastikannya batang dan akar besar pohon preh yang biasanya menjadi sandaran duduk bagi mereka yang singgah untuk beristirahat di bawah pohon ini. Sejenak kemudian langkahnya membawanya untuk menelusuri jalan setapak di sisi parit yang kemudian berbelok ke kanan lalu masuk lebih dalam. Ada bekas ranting patah dan daun-daun kering yang agaknya terinjak seseorang.


Jejak itu ternyata menuntun Kiai Garda untuk melangkah lebih jauh dan sejenak tubuhnya hilang tertutup oleh tingginya rumput ilalang. Tetapi Kiai Garda sama sekali tidak kuatir dengan kuda yang ia tinggalkan karena ia yakin kuda itu akan menunggunya hingga kembali ke jalan utama bulak panjang itu. Ia terus bergerak maju dan setelah puluhan tombak, ia menemukan jalan yang menurun cukup tajam. Jejak itu masih nampak meskipun mulai samar-samar, di sekitar jalan setapak itu terlihat rumput dan tanaman merambat tumbuh liar yang menandakan daerah ini jarang di lewati orang.


Telinga Kiai Garda yang tajam tiba-tiba saja mendengar suara aliran sungai tidak jauh dari tempatnya berdiri. Setelah menuruni jalanan yang cukup tajam, mata Kiai Garda segera menangkap pemandangan di depannya. Sebuah sungai yang cukup lebar mengalir searah dengan jalan di bulak panjang itu, meskipun aliran airnya tidak terlalu deras akan tetapi Kiai Garda justru menduga itu karena kedalamannya yang agak susah diperkirakan. Akan tetapi ternyata ada sebuah arus sungai lain yang memotong tegak lurus sehingga sebenarnya Kiai Garda kini sedang melihat sebuah pertemuan sungai dimana  arus airnya mengalir tenang akan tetapi bisa menghanyutkan.


Pertemuan aliran dari sungai utama yang membentang searah dengan jalan bulak panjang dengan aliran sungai yang memotong tegak lurus itu seolah menciptakan gemuruh di bawah permukaan. Sesungguhnya akan sulit bagi seseorang untuk bisa membayangkan dan merasakan betapa tenaga dahsyatnya tenaga yang muncul akibat pertemuan kedua arus sungai itu.


Kiai Garda terpaksa berhenti dan melihat semua keadaan di depannya itu dengan teliti sambil berpikir keras. Jejak yang di ikutinya juga sudah tidak nampak ketika ia menuruni jalan yang cukup curam itu. Agak jauh diseberang, Kiai Garda melihat di kanan dan kiri sungai yang memotong arus pertemuan itu, ada dua buah pohon beringin kembar yang sudah sangat tua berdiri dengan angkernya. Sementara tepat di samping kanan ia berdiri tumbuh serumpun bambu kuning yang rimbun dan agaknya juga sudah berumur cukup tua.


Hari sebenarnya masih cukup pagi dan panas matahari belumlah terlalu menyengat di kulit. Akan tetapi, dahi dan wajah Kiai Garda tiba-tiba saja muncul bintik-bintik keringat yang akhirnya membasahi wajah dan ikat kepalanya. Bahkan pakaian di bagian punggung Kiai Garda rasanya sudah basah kuyup.


Tanpa disadari wajah Kiai garda menegang, sesungguhnya ia merasakan ada sesuatu yang sangat tidak wajar dan bahkan membuat bulu kuduknya merinding ketika ia berdiri di pertemuan arus sungai yang cukup deras ini. Akan tetapi, ia berusaha menenangkan diri dan kemudian mencari tempat yang cukup nyaman untuk digunakan duduk sambil berdiam diri.


Kiai Garda itu kemudian duduk bersila sambil menyilangkan kedua tangannya. Perlahan-lahan matanya terpejam sementara nafasnya mengalir perlahan-lahan dan halus.


Kiai Garda adalah seorang yang sangat percaya dan punya keyakinan yang tinggi atas kuasa Yang Membuat Hidup, karena itu ia memasrahkan semua keadaan dirinya sambil memohon agar bisa diberi petunjuk untuk mengetahui apa yang ada di sekitar tempat ini.


Rumpun bambu yang tumbuh subur di sebelah kanan Kiai Garda itu bergerak liar ketika angin pagi meniupnya dengan cukup keras. Suaranya bagaikan sorak gemuruh ratusan pasukan tempur yang berlari hendak menyerang lawan. Diantara suara gemuruh itu kadang terdengar lengkingan yang tajam dan tinggi seolah adalah jerit seseorang yang sedang menderita kesakitan atau bahkan sedang mati sekarat.


Kiai Garda mencoba untuk bertahan beberapa saat, akan tetapi ia kemudian terpaksa membuka matanya. Nafasnya kini justru agak terengah-engah, sementara keringat yang membasahi punggungnya justru lebih deras lagi.


Perlahan-lahan ia bangkit dan melangkah naik menuju jalan utama yang merupakan bulak panjang itu. Wajahnya terlihat risau dan dipenuhi rasa kuatir.
“Tidak ada pilihan lain, aku terpaksa harus minta bantuan”, desis Kiai Garda dalam hati.



Salam,

No comments:

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...