BALADA
SWANDARU GENI
Bab IV:
Hilangnya Seorang Swandaru Geni
Babak – 02
Malam itu pertemuan
perangkat Kademangan Krikilan yang di adakan di pendapa baru saja usai. Wayah
sepi uwong baru saja terlewati dan semua kembali ke rumah masing-masing. Agaknya
mereka semua sepakat bahwa dengan meninggalnya Hantu Laut dan adik
seperguruannya yang bernama Watu Gempal akan membuat Kademangan ini lebih
tenang setidaknya untuk sementara waktu.
Kiai Garda
masih duduk di pendapa di temani oleh Ki Demang dan anak Ki Demang yang tertua.
Bahkan Nyi Sulastri baru saja menambah dan menyajikan wedang sere untuk
ketiganya yang nampaknya tidak segera masuk ke dalam bilik masing-masing.
“Apakah kau
juga setuju bahwa gerombolan Hantu Laut bukan lagi ancaman bagi kita adi Garda?”,
- tanya Ki Demang sambil menyeruput wedang sere yang masih panas.
“Nampaknya
memang demikian kakang”, - jawab Kiai Garda tanpa ragu - ,”Sepengetahuanku,
dibawahnya Watu Gunung tidak ada lagi orang yang menonjol. Sementara anak murid
yang kemarin ikut menyerang dan akhirnya terbunuh di halaman banjar Padukuhan
itu merupakan murid pilihan, sehingga aku yakin bahwa gerombolan itu bisa
dikatakan bagai anak ayam yang kehilangan induknya”
“Akan tetapi
Ayah, agaknya kemampuan pengawal Kademangan ini harus mendapatkan perhatian
lebih bersungguh-sungguh. Ternyata puluhan orang dari kita sama sekali tidak
mampu melindungi Kademangan ini seandainya tidak hadir paman Garda berserta
ketiga muridnya serta Ki Gupala”, - anak tertua Ki Demang ikut bersuara.
Ki Demang
mengangguk-angguk sambil memandangi Kiai Garda yang merupakan adik kandungnya -
,”Aku setuju, itulah yang akan kita bicarakan. Bagaimana pendapatmu tentang
permintaanku tempo hari adi Garda?”
Kiai Garda
terlihat menarik nafas dalam-dalam sebelum akhirnya menjawab.
“Baiklah,
aku setuju kakang. Sementara ini biarlah dua orang atau bahkan tiga orang
muridku itu berada disini untuk melatih dan meningkatkan kemampuan para
pengawal. Sementara itu, kita akan memilih sekitar lima atau enam orang yang
memiliki bakat lebih untuk dikirimkan ke lereng Muria. Sepulang dari lereng
Muria, mereka wajib menularkan kemampuan mereka itu kepada teman-temannya
disini”
Kiai Garda tiba-tiba
saja menghentikan kalimatnya, punggungnya diangkat tegak sambil memiringkan
kepalanya seolah ia sedang memusatkan sesuatu pada pendengarannya.
“Siapa yang memacu kuda sedemikian kencang di malam buta seperti ini”, - desisnya pelan sambil berdiri tegak.
Ki Demang
dan anak tertuanya yang heran terpaksa ikut berdiri, tetapi sejenak kemudian
mereka berdua juga ikut mendengar derap kaki kuda yang berlari sedemikian
kencang. Bahkan mereka segera turun dari pendapa ketika meyakini bahwa derap
kuda itu berlari justru mengarah ke halaman Kademangan ini. Dengan wajah tegang
ketiganya berdiri menunggu, sementara beberapa pengawal di gardu ronda depan
juga berloncatan turun ketika melihat ketiganya turun dari pendapa.
Tidak lama
kemudian, nampak seekor kuda yang berlari melaju kencang ke arah halaman
Kademangan itu. Nyala obor di gardu yang nampaknya kurang terang itu tidak mampu
menerangi keadaan di sekelilingnya. Akan tetapi mata Kiai Garda yang tajam
segera bisa melihat kuda itu dengan jelas.
“Tanpa
penunggang, kemanakah Ki Swandaru?”, - desisnya pelan sambil melangkah maju.
Ki Demang
dan anak tertuanya mendengar desisan Kiai Garda akan tetapi mereka masih belum
mengerti maksudnya. Barulah sejenak kemudian, mereka memahaminya ketika kuda
itu berlari cepat memasuki halaman dan berhenti mendadak sambil meringkik keras
dan mengangkat kedua kaki depan-nya beberapa kali. Kuda itu kembali ke
Kademangan tanpa penunggangnya!
“Turangga
Kliwon!”
Anak Ki
Demang yang tertua itu menyebut nama kudanya, sambil melangkah maju ia berusaha
menenangkan kuda yang masih meringkik berkali-kali sambil mengangkat kedua kaki
depannya. Beberapa saat kemudian kuda itu berhasil ditenangkan, agaknya tangan
anak Ki Demang tertua yang terus mengelus-elus lehernya membuat kuda itu tidak
meringkik terus menerus.
“Kemanakah
Ki Gupala itu, kenapa si Kliwon malah kembali pulang?”, - desis Ki Demang.
Belum sempat
Kiai Garda menjawab, anak tertua Ki Demang itu justru berkata agak keras yang
ditujukan kepada mereka berdua.
“Ayah, Paman
Garda, lihatlah, bukankah ini buntalan kain dan bekal milik Ki Gupala?
Kemanakah Ki Gupala sebenarnya”, - suaranya seolah mengandung kecemasan.
Wajah Kiai
Garda tiba-tiba saja menampakkan sebuah kecemasan yang sangat dalam. Ia segera membuka
dan meneliti bungkusan kain yang di yakininya milik Swandaru itu. Selain
menemukan beberapa lembar pakaian, ada sebuah pedang berukuran besar dengan
gagang yang terbuat dari gading. Sangat indah dan menarik.
“Agaknya Ki
Swandaru mengalami kejadian di tengah jalan dan tidak sempat berbuat banyak
sehingga bekal pakaian dan bahkan pedang ini tertinggal di pelana kuda”, - Kiai
Garda berkata dalam hati - ,” Walaupun luka yang di derita Ki Swandaru sudah
hampir sembuh sama sekali, akan tetapi seandainya ia berhadapan dengan lawan
sekelas Watu Gempal lagi, agaknya luka itu akan kambuh dan dengan cepat akan mengeluarkan
darah lagi”
Malam itu, tanpa
menunda sedikitpun Kiai Garda segera mengumpulkan ketiga muridnya dan memberi
pesan-pesan untuk sementara agar tinggal di Kademangan terlebih dahulu. Tidak
lama kemudian ia sudah berada diatas kuda yang bernama Turangga Kliwon, setelah
kuda itu beristirahat dengan makan dan minum secukupnya.
“Kakang
Demang”, - kata Kiai Garda - ,”Aku belum tahu kapan akan kembali, mungkin besok
sore tetapi mungkin lusa atau bahkan sepekan dua pekan lagi aku baru kembali.
Aku akan mencoba melacak jejak Ki Swandaru hingga ketemu, tetapi jangan
menunggu aku”
Ki Demang
dan anak tertuanya serta beberapa pengawal Kademangan itu hanya bisa
mengangguk. Ki Demang dan anak tertuanya itu sangat mengenal Kiai Garda yang sebenarnya
sejak muda adalah seorang pengembara yang menjelajah tanah Jawa khususnya di tlatah
pesisir utara. Agaknya kini Kiai Garda akan mencari keberadaan Ki Swandaru
hingga ketemu hingga waktu yang tidak terbatas.
Tidak lama kemudian
Kiai Garda memacu kuda Turangga Kliwon meskipun dengan perlahan-lahan. Hari
sudah melewati tengah malam dan Kiai Garda tidak ingin membuat warga Kademangan
gelisah dengan memacu kudanya terlalu kencang. Selain itu ia sengaja memberi
kesempatan agar kuda yang sudah berlari bolak-balik itu tidak terlalu berat
bebannya.
Sambil
mengelus-elus leher kudanya, Kiai Garda berkata.
“Kliwon,
meskipun kau mungkin tidak bisa menjawab permintaanku, tetapi aku yakin kau
tahu maksudku. Bawalah aku ke tempat terakhir kali kau di tinggalkan oleh Ki
Swandaru kemarin siang”, - sesekali Kiai Garda mengulangi kalimatnya dengan
berbisik dekat di telinga kuda itu.
Turangga
Kliwon menderapkan langkah kakinya dengan ajeg seolah tidak memperdulikan
perkataan Kiai Garda.
Menjelang
pagi dan saat matahari naik sepengalah, Kiai Garda melewati bulak yang teramat
panjang. Kuda tunggangan Kiai Garda alias Turangga Kliwon tiba-tiba mempercepat
derap langkahnya hingga sampai ke ujung bulak dan langsung berhenti mendadak
serta menepi. Ia meringkik keras beberapa kali sebelum kemudian minum air di
parit yang airnya cukup jernih itu.
Kuda itu
kini seolah tidak perduli lagi dengan sekitarnya, setelah minum ia sibuk
memakan rumput yang tumbuh di sekitarnya.
Kiai Garda
yang sudah turun, segera beranjak mendekati pohon preh yang tumbuh di sebelah
parit itu. Dari tingkah laku kuda itu, ia menduga bahwa inilah tempat terakhir
Swandaru berpisah dengan kuda tunggangannya itu.
“Juga menurut
perhitungan waktu, ini adalah tempat yang paling mungkin Ki Swandaru
beristirahat lalu berpisah dari Turangga Kliwon. Agaknya aku cukup yakin, karena
setelah ini, meskipun ada lagi sebuah bulak pendek akan tetapi didepan adalah
sebuah hutan yang meskipun tidak terlalu lebat tetapi cukup panjang.
Mudah-mudahan aku bisa menemukan jejaknya disini”, - Kiai Garda membatin dalam
hati.
Kiai Garda
segera meneliti keadaan di sekitar pohon preh yang rimbun itu. Dipastikannya batang
dan akar besar pohon preh yang biasanya menjadi sandaran duduk bagi mereka yang
singgah untuk beristirahat di bawah pohon ini. Sejenak kemudian langkahnya
membawanya untuk menelusuri jalan setapak di sisi parit yang kemudian berbelok
ke kanan lalu masuk lebih dalam. Ada bekas ranting patah dan daun-daun kering
yang agaknya terinjak seseorang.
Jejak itu
ternyata menuntun Kiai Garda untuk melangkah lebih jauh dan sejenak tubuhnya
hilang tertutup oleh tingginya rumput ilalang. Tetapi Kiai Garda sama sekali
tidak kuatir dengan kuda yang ia tinggalkan karena ia yakin kuda itu akan
menunggunya hingga kembali ke jalan utama bulak panjang itu. Ia terus bergerak
maju dan setelah puluhan tombak, ia menemukan jalan yang menurun cukup tajam.
Jejak itu masih nampak meskipun mulai samar-samar, di sekitar jalan setapak itu
terlihat rumput dan tanaman merambat tumbuh liar yang menandakan daerah ini
jarang di lewati orang.
Telinga Kiai
Garda yang tajam tiba-tiba saja mendengar suara aliran sungai tidak jauh dari
tempatnya berdiri. Setelah menuruni jalanan yang cukup tajam, mata Kiai Garda
segera menangkap pemandangan di depannya. Sebuah sungai yang cukup lebar
mengalir searah dengan jalan di bulak panjang itu, meskipun aliran airnya tidak
terlalu deras akan tetapi Kiai Garda justru menduga itu karena kedalamannya
yang agak susah diperkirakan. Akan tetapi ternyata ada sebuah arus sungai lain
yang memotong tegak lurus sehingga sebenarnya Kiai Garda kini sedang melihat
sebuah pertemuan sungai dimana arus
airnya mengalir tenang akan tetapi bisa menghanyutkan.
Pertemuan
aliran dari sungai utama yang membentang searah dengan jalan bulak panjang dengan
aliran sungai yang memotong tegak lurus itu seolah menciptakan gemuruh di bawah
permukaan. Sesungguhnya akan sulit bagi seseorang untuk bisa membayangkan dan
merasakan betapa tenaga dahsyatnya tenaga yang muncul akibat pertemuan kedua
arus sungai itu.
Kiai Garda
terpaksa berhenti dan melihat semua keadaan di depannya itu dengan teliti sambil
berpikir keras. Jejak yang di ikutinya juga sudah tidak nampak ketika ia
menuruni jalan yang cukup curam itu. Agak jauh diseberang, Kiai Garda melihat
di kanan dan kiri sungai yang memotong arus pertemuan itu, ada dua buah pohon
beringin kembar yang sudah sangat tua berdiri dengan angkernya. Sementara tepat
di samping kanan ia berdiri tumbuh serumpun bambu kuning yang rimbun dan agaknya
juga sudah berumur cukup tua.
Hari
sebenarnya masih cukup pagi dan panas matahari belumlah terlalu menyengat di
kulit. Akan tetapi, dahi dan wajah Kiai Garda tiba-tiba saja muncul
bintik-bintik keringat yang akhirnya membasahi wajah dan ikat kepalanya. Bahkan
pakaian di bagian punggung Kiai Garda rasanya sudah basah kuyup.
Tanpa
disadari wajah Kiai garda menegang, sesungguhnya ia merasakan ada sesuatu yang
sangat tidak wajar dan bahkan membuat bulu kuduknya merinding ketika ia berdiri
di pertemuan arus sungai yang cukup deras ini. Akan tetapi, ia berusaha
menenangkan diri dan kemudian mencari tempat yang cukup nyaman untuk digunakan duduk
sambil berdiam diri.
Kiai Garda
itu kemudian duduk bersila sambil menyilangkan kedua tangannya. Perlahan-lahan
matanya terpejam sementara nafasnya mengalir perlahan-lahan dan halus.
Kiai Garda
adalah seorang yang sangat percaya dan punya keyakinan yang tinggi atas kuasa
Yang Membuat Hidup, karena itu ia memasrahkan semua keadaan dirinya sambil
memohon agar bisa diberi petunjuk untuk mengetahui apa yang ada di sekitar
tempat ini.
Rumpun bambu
yang tumbuh subur di sebelah kanan Kiai Garda itu bergerak liar ketika angin
pagi meniupnya dengan cukup keras. Suaranya bagaikan sorak gemuruh ratusan pasukan
tempur yang berlari hendak menyerang lawan. Diantara suara gemuruh itu kadang
terdengar lengkingan yang tajam dan tinggi seolah adalah jerit seseorang yang
sedang menderita kesakitan atau bahkan sedang mati sekarat.
Kiai Garda
mencoba untuk bertahan beberapa saat, akan tetapi ia kemudian terpaksa membuka
matanya. Nafasnya kini justru agak terengah-engah, sementara keringat yang
membasahi punggungnya justru lebih deras lagi.
Perlahan-lahan
ia bangkit dan melangkah naik menuju jalan utama yang merupakan bulak panjang
itu. Wajahnya terlihat risau dan dipenuhi rasa kuatir.
“Tidak ada
pilihan lain, aku terpaksa harus minta bantuan”, desis Kiai Garda dalam hati.
Salam,
No comments:
Post a Comment