BALADA
SWANDARU GENI
Bab IV:
Hilangnya Seorang Swandaru Geni
Babak – 06
Sebenarnyalah
gelap sudah turun dan mulai menyelimuti Padepokan kecil di Jati Anom itu. Lampu
minyak mulai di nyalakan di bagian depan sudut-sudut padepokan.
Akan tetapi
Agung Sedayu tetap membawa Gilang ke sungai di belakang padepokan itu bahkan
tanpa membawa penerangan sama sekali.
“Gilang, ini
sebenarnya juga untuk melatih penglihatanmu agar bisa lebih tajam dan tetap
melihat meskipun dalam gelap. Bahkan dalam keadaan yang lebih gelap sekalipun,
sebenarnya kita masih mampu membidik sasaran dengan tepat asalkan kau sudah
mengetahui titik sasaran itu dan memaku-nya dalam benakmu”, - berkata Agung
Sedayu ketika mereka sudah sampai ditepian sungai yang dipenuhi batu kali dan
pasir hitam.
“Bagaimana
cara kita memaku sasaran agar tetap dalam benak kita paman”, - tanya Gilang
polos.
“Malam ini kita
akan melatihnya bersama-sama. Juga kau harus mampu mempergunakan macam-macam
senjata bidik yang bisa kau temukan di sekitarmu dan jangan hanya mengandalkan batu
ataupun pisau-pisau kecil di pinggangmu itu saja. Kita akan berlatih kalau
perlu hingga pagi sampai kau betul-betul menguasainya”, - suara Agung Sedayu
terdengar bersungguh-sungguh.
Gilang
mengerutkan keningnya, meskipun masih disebut bocah, akan tetapi ia dapat
merasakan bahwa pamannya itu sedang di liputi perasaan cemas atau tidak nyaman.
Itu terlihat dari sikapnya yang begitu bersungguh-sungguh seolah sedang dikejar
waktu, sementara selingan dengan nada bergurau yang selama ini kenjadi
kebiasaan mereka berdua malam ini sama sekali tidak terlontar dari mulut Agung
Sedayu.
“Marilah
Gilang, duduklah diatas batu besar ini. Aku akan membimbingmu agar mampu
mengendalikan, mempertajam dan memaku sasaran dan daya bidikmu agar kau dapat
melakukan dengan lebih baik. Diperlukan pemusatan nalar budi, kesungguhan dan
niat serta keinginan yang kuat untuk berhasil dan aku harap kau memanfaatkan
ini dengan baik”, - berkata Agung Sedayu sambil mendahului duduk diatas sebuah
batu yang cukup besar.
Sekali lagi Gilang
bisa merasakan suasana hati Agung Sedayu yang sedang risau itu dan karenanya ia
tidak menjawab melainkan segera duduk bersila berhadapan di depan Agung Sedayu.
Punggungnya tegak, sementara kedua telapak tangannya diletakkan di kedua
lututnya.
Agung Sedayu
meminta agar Gilang mengendorkan seluruh urat syaraf maupun perasaannya.
“Tegakkan
punggungmu, tetapi jaga agar perasaan dan urat syaraf dalam tubuh kita tidak
tegang Gilang. Kuatkan niatmu, lalu tarik nafas perlahan lewat hidung, perlahan
saja. Setelah menyimpan udara itu sejenak di dalam dada, keluarkanlah udara itu
lewat mulut dengan sangat perlahan. Jangan kau keluarkan semua, simpan sebagian
kecil udara itu di dadamu untuk nantinya kita sebarkan menyusuri seluruh bagian
tubuh kita melalui aliran darah maupun syaraf-syaraf kecil yang akan mulai kita
kenali secara perlahan”, - Agung Sedayu mulai memberi aba-aba dan menuntun
Gilang untuk memusatkan nalar dan budi.
Sungai di
belakang padepokan itu sebenarnya tidak terlalu besar, akan tetapi air-nya
mengalir cukup deras dan menimbulkan suara gemuruh yang ajeg meskipun tidak
terlalu keras. Gilang sudah menutup mata dan mulai melakukan petunjuk Agung
Sedayu. Ternyata suara gemuruh air sungai yang mengalir ajeg ini justru mendukung
Gilang lebih cepat mencapai titik hening dalam pemusatan nalar dan budinya.
Agung Sedayu
bisa melihat dan merasakan ketika nafas Gilang mulai teratur dan tubuhnya tegak
tidak bergeming. Agaknya Gilang sudah mulai mencapai keseimbangan dalam tubuh
dan perasaannya.
“Gilang,
kita akan belajar dan mengenali seluruh bagian-bagian tubuh kita meskipun
mungkin selama ini ada bagian yang tidak atau belum kita kenali dan rasakan.
Sekarang, letakkan jiwamu dalam titik tengah jantungmu, kemudian dengan jiwamu
itu, susurilah bagian-bagian tubuhmu melalui aliran darah secara perlahan.
Jangan tergesa-gesa, perlahan saja dan sapa-lah serta ucapkan salam pada setiap
bagian tubuhmu itu. Ucapkan pula rasa terimakasih karena selama ini bagian itu
telah mendukung keseharian gerak tubuh dan jiwamu. Mintalah maaf jika selama
ini kau mungkin mengabaikan-nya dan ajaklah bagian-bagian tubuhmu itu agar ke
depan bisa bekerja sama melalui niat, pikiran dan perasaan yang tergelar dalam
hatimu. Ingatlah, sampaikan epada semua bagian tubuh bahwa niat dan hatimu-lah
yang akan menjadi pemimpin dalam setiap gerak langkah”
Suara Agung
Sedayu yang perlahan itu ternyata merupakan sebuah gaung halus yang terus
membimbing jiwa Gilang menyusuri seluruh bagian tubuhnya.
Ketika
dirasa saatnya tepat, dengan lembut Agung Sedayu kemudian meletakkan kedua
tangannya di kedua pundak Gilang, sehingga bocah itu sama sekali tidak
terkejut. Gilang hanya merasakan sebuah sentuhan yang lembut akan tetapi mengandung
energi yang kuat, ikut bergerak menuntun jiwanya untuk menyapa bagian-bagian
tubuhnya yang mekar menyambut sapaan-nya.
Awalnya keheningan
yang dirasakan Gilang itu begitu luas tak berbatas, sunyi dan menenangkan. Jiwa
Gilang seolah melayang-layang tanpa tujuan. Akan tetapi seiring sentuhan lembut
tangan Agung Sedayu dipundaknya, gerak jiwa Gilang yang menyusuri seluruh urat
syaraf tubuhnya itu menjadi begitu bertenaga, keheningan semakin lama menjadi semakin pampat,
menyempit dan bahkan kemudian mengkristal penuh energi tak terbatas.
“Gilang, sekarang
pusatkan jiwa, hati dan perasaanmu yang berupa keheningan yang mengkristal itu
pada kedua matamu. Ya, sekali lagi, benamkan titik energi yang mengkristal itu
pada kedua matamu hingga yang kau lihat dan rasakan hanyalah Kristal energi
itu. Lalu pindah dan rasakan getaran energi Kristal itu di kedua tanganmu.
Itulah yang menjadi dua syaraf bidik yang utama kita. Lakukan berulang kali,
sehingga getar energi yang mengkristal itu bergerak terus menerus menyusuri
kedua mata dan tanganmu secara bergantian tanpa kau perintah lagi. Lakukan
berulang kali, seolah itu sudah menjadi gerak alamiah syaraf bidikmu”
Air dalam
sungai di belakang padepokan itu mengalir ajeg tanpa memperdulikan dua orang
yang duduk di batu besar yang kini agaknya mulai berkeringat. Keduanya masih tenggelam dalam pemusatan nalar
budi sehingga tidak sadar akan munculnya keringat yang semakin lama semakin
banyak membasahi tubuh dan wajahnya.
“Jangan
tergesa-gesa Gilang, rasakan gerak energi kristal itu dengan penuh kesadaran
untuk kemudian hal itu justru akan tersimpan di bawah alam bawah sadar kita”, -
suara Agung Sedayu terdengar sayup-sayup di telinga Gilang, sesaat kemudian ia
melanjutkan - ,”Nah, sekarang sudah saatnya kita mengunci kondisi dimana syaraf
bidik kita sedang berada dalam kondisi puncak yang ditandai dengan mengalirnya
energi kristal itu bolak-balik mengalir deras diantara kedua mata dan tangan
kita. Gilang, aku akan memberi aba-aba dan kau harus segera menutup seluruh
lubang dalam tubuh kita yang jumlahnya sembilan itu. Cegah jangan sampai ada udara
dalam tubuh kita mengalir keluar sedikitpun alias bocor. Meskipun mungkin kau
akan merasakan sedikit panas dalam tubuhmu, tetapi itu tidak berbahaya karena
kita akan melakukannya tidak lama”
Demikianlah,
tidak terasa malam sudah mendekati wayah sepi uwong dan Agung Sedayu terus
membimbing Gilang agar mampu membangkitkan dan menguasai syaraf bidik dalam
tubuhnya. Ia sendiri sebenarnya menguasai ilmu bidik itu sebagai anugrah dari
Yang Maha Agung, tanpa laku khusus seperti yang sekarang di ajarkan kepada
Gilang. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu dan melalui perenungan yang
cukup lama, Agung Sedayu mampu menyusuri dan menemukan getar yang seharusnya
dibangkitkan agar seseorang mampu menguasai ilmu bidik dengan baik. Hal ini
tidak lepas dari tertariknya Agung Sedayu atas bakat dan kemauan Gilang yang besar,
sehingga Agung Sedayu memutuskan untuk menurunkan cara ini kepadanya.
Sesungguhnya
cara ini akan berhasil baik justru pada bocah laki-laki yang belum dewasa atau pada
gadis yang masih perawan.
Perlahan-lahan
Agung Sedayu menuntun Gilang agar melepas dan keluar dari pemusatan nalar dan
budinya. Suaranya yang pelan itu telah menuntun Gilang untuk kembali dalam
kesadaran yang penuh. Ketika sudah membuka mata sepenuhnya, nafas Gilang agak
terengah-engah tetapi wajahnya justru berseri penuh semangat.
“Gilang,
kita nanti akan mengulangi hal ini beberapa kali lagi, kalau perlu hingga pagi.
Sekarang kita coba kemampuan bidikmu, apakah kau bisa meningkatkannya meskipun
di kegelapan malam seperti ini”, - sambil berkata Agung Sedayu bangkit dan
turun ke tepian sungai.
“Baik paman”,
- seru Gilang sambil melompat turun.
Sekali lagi
Gilang merasakan betapa malam ini Agung Sedayu begitu tergesa-gesa seolah sedang
berpacu dengan gelap dan malam hari.
Ditepian
sungai itu, Agung Sedayu segera mengambil beberapa butir batu yang ukurannya
lebih kecil dari telur ayam, bahkan sedikit lebih kecil dari telur burung puyuh.
Gilang segera mengikuti apa yang di lakukan Agung Sedayu itu dengan ikut
mengambil beberapa batu kerikil dengan ukuran yang kurang lebih sama.
Melihat apa
yang di lakukan Gilang itu, Agung Sedayu justru menggelengkan kepalanya.
“Tidak
Gilang, kali ini kau tidak akan membidiknya dengan batu kerikil sebagaimana biasanya”,-
desis Agung Sedayu pelan.
Gilang
terlihat termangu-mangu - ,” Jadi aku harus membidiknya dengan apa paman?”
Agung Sedayu
menebarkan pandangan matanya di sekitar sungai itu, kemudian perlahan-lahan ia
melangkah ke bawah sebuah pohon sono yang letaknya agak jauh dari mereka
berdiri. Gilang melihat beberapa kali Agung Sedayu membungkukkan badannya
mengambil sesuatu di tanah.
Ketika
melangkah kembali, Agung Sedayu itu memperlihatkan sesuatu ditangannya - ,”Kau
akan membidiknya dengan ini Gilang”
Mata Gilang agak
terbelalak karenanya, meskipun malam cukup gelap akan tetapi ia bisa melihat
dengan jelas apa yang ada di tangan Agung Sedayu itu.
“Ranting,
paman?”
“Ya”
Salam,
No comments:
Post a Comment