Wednesday, July 12, 2017

BSG - BAB.IV - HSSG - Babak-06

BALADA SWANDARU GENI
Bab IV: Hilangnya Seorang Swandaru Geni
Babak – 06



Sebenarnyalah gelap sudah turun dan mulai menyelimuti Padepokan kecil di Jati Anom itu. Lampu minyak mulai di nyalakan di bagian depan sudut-sudut padepokan.


Akan tetapi Agung Sedayu tetap membawa Gilang ke sungai di belakang padepokan itu bahkan tanpa membawa penerangan sama sekali.


“Gilang, ini sebenarnya juga untuk melatih penglihatanmu agar bisa lebih tajam dan tetap melihat meskipun dalam gelap. Bahkan dalam keadaan yang lebih gelap sekalipun, sebenarnya kita masih mampu membidik sasaran dengan tepat asalkan kau sudah mengetahui titik sasaran itu dan memaku-nya dalam benakmu”, - berkata Agung Sedayu ketika mereka sudah sampai ditepian sungai yang dipenuhi batu kali dan pasir hitam.


“Bagaimana cara kita memaku sasaran agar tetap dalam benak kita paman”, - tanya Gilang polos.


“Malam ini kita akan melatihnya bersama-sama. Juga kau harus mampu mempergunakan macam-macam senjata bidik yang bisa kau temukan di sekitarmu dan jangan hanya mengandalkan batu ataupun pisau-pisau kecil di pinggangmu itu saja. Kita akan berlatih kalau perlu hingga pagi sampai kau betul-betul menguasainya”, - suara Agung Sedayu terdengar bersungguh-sungguh.


Gilang mengerutkan keningnya, meskipun masih disebut bocah, akan tetapi ia dapat merasakan bahwa pamannya itu sedang di liputi perasaan cemas atau tidak nyaman. Itu terlihat dari sikapnya yang begitu bersungguh-sungguh seolah sedang dikejar waktu, sementara selingan dengan nada bergurau yang selama ini kenjadi kebiasaan mereka berdua malam ini sama sekali tidak terlontar dari mulut Agung Sedayu.


“Marilah Gilang, duduklah diatas batu besar ini. Aku akan membimbingmu agar mampu mengendalikan, mempertajam dan memaku sasaran dan daya bidikmu agar kau dapat melakukan dengan lebih baik. Diperlukan pemusatan nalar budi, kesungguhan dan niat serta keinginan yang kuat untuk berhasil dan aku harap kau memanfaatkan ini dengan baik”, - berkata Agung Sedayu sambil mendahului duduk diatas sebuah batu yang cukup besar.


Sekali lagi Gilang bisa merasakan suasana hati Agung Sedayu yang sedang risau itu dan karenanya ia tidak menjawab melainkan segera duduk bersila berhadapan di depan Agung Sedayu. Punggungnya tegak, sementara kedua telapak tangannya diletakkan di kedua lututnya.


Agung Sedayu meminta agar Gilang mengendorkan seluruh urat syaraf maupun perasaannya.


“Tegakkan punggungmu, tetapi jaga agar perasaan dan urat syaraf dalam tubuh kita tidak tegang Gilang. Kuatkan niatmu, lalu tarik nafas perlahan lewat hidung, perlahan saja. Setelah menyimpan udara itu sejenak di dalam dada, keluarkanlah udara itu lewat mulut dengan sangat perlahan. Jangan kau keluarkan semua, simpan sebagian kecil udara itu di dadamu untuk nantinya kita sebarkan menyusuri seluruh bagian tubuh kita melalui aliran darah maupun syaraf-syaraf kecil yang akan mulai kita kenali secara perlahan”, - Agung Sedayu mulai memberi aba-aba dan menuntun Gilang untuk memusatkan nalar dan budi.


Sungai di belakang padepokan itu sebenarnya tidak terlalu besar, akan tetapi air-nya mengalir cukup deras dan menimbulkan suara gemuruh yang ajeg meskipun tidak terlalu keras. Gilang sudah menutup mata dan mulai melakukan petunjuk Agung Sedayu. Ternyata suara gemuruh air sungai yang mengalir ajeg ini justru mendukung Gilang lebih cepat mencapai titik hening dalam pemusatan nalar dan budinya.


Agung Sedayu bisa melihat dan merasakan ketika nafas Gilang mulai teratur dan tubuhnya tegak tidak bergeming. Agaknya Gilang sudah mulai mencapai keseimbangan dalam tubuh dan perasaannya.


“Gilang, kita akan belajar dan mengenali seluruh bagian-bagian tubuh kita meskipun mungkin selama ini ada bagian yang tidak atau belum kita kenali dan rasakan. Sekarang, letakkan jiwamu dalam titik tengah jantungmu, kemudian dengan jiwamu itu, susurilah bagian-bagian tubuhmu melalui aliran darah secara perlahan. Jangan tergesa-gesa, perlahan saja dan sapa-lah serta ucapkan salam pada setiap bagian tubuhmu itu. Ucapkan pula rasa terimakasih karena selama ini bagian itu telah mendukung keseharian gerak tubuh dan jiwamu. Mintalah maaf jika selama ini kau mungkin mengabaikan-nya dan ajaklah bagian-bagian tubuhmu itu agar ke depan bisa bekerja sama melalui niat, pikiran dan perasaan yang tergelar dalam hatimu. Ingatlah, sampaikan epada semua bagian tubuh bahwa niat dan hatimu-lah yang akan menjadi pemimpin dalam setiap gerak langkah”


Suara Agung Sedayu yang perlahan itu ternyata merupakan sebuah gaung halus yang terus membimbing jiwa Gilang menyusuri seluruh bagian tubuhnya.


Ketika dirasa saatnya tepat, dengan lembut Agung Sedayu kemudian meletakkan kedua tangannya di kedua pundak Gilang, sehingga bocah itu sama sekali tidak terkejut. Gilang hanya merasakan sebuah sentuhan yang lembut akan tetapi mengandung energi yang kuat, ikut bergerak menuntun jiwanya untuk menyapa bagian-bagian tubuhnya yang mekar menyambut sapaan-nya.


Awalnya keheningan yang dirasakan Gilang itu begitu luas tak berbatas, sunyi dan menenangkan. Jiwa Gilang seolah melayang-layang tanpa tujuan. Akan tetapi seiring sentuhan lembut tangan Agung Sedayu dipundaknya, gerak jiwa Gilang yang menyusuri seluruh urat syaraf tubuhnya itu menjadi begitu bertenaga,  keheningan semakin lama menjadi semakin pampat, menyempit dan bahkan kemudian mengkristal penuh energi tak terbatas.


“Gilang, sekarang pusatkan jiwa, hati dan perasaanmu yang berupa keheningan yang mengkristal itu pada kedua matamu. Ya, sekali lagi, benamkan titik energi yang mengkristal itu pada kedua matamu hingga yang kau lihat dan rasakan hanyalah Kristal energi itu. Lalu pindah dan rasakan getaran energi Kristal itu di kedua tanganmu. Itulah yang menjadi dua syaraf bidik yang utama kita. Lakukan berulang kali, sehingga getar energi yang mengkristal itu bergerak terus menerus menyusuri kedua mata dan tanganmu secara bergantian tanpa kau perintah lagi. Lakukan berulang kali, seolah itu sudah menjadi gerak alamiah syaraf bidikmu”


Air dalam sungai di belakang padepokan itu mengalir ajeg tanpa memperdulikan dua orang yang duduk di batu besar yang kini agaknya mulai berkeringat.  Keduanya masih tenggelam dalam pemusatan nalar budi sehingga tidak sadar akan munculnya keringat yang semakin lama semakin banyak membasahi tubuh dan wajahnya.


“Jangan tergesa-gesa Gilang, rasakan gerak energi kristal itu dengan penuh kesadaran untuk kemudian hal itu justru akan tersimpan di bawah alam bawah sadar kita”, - suara Agung Sedayu terdengar sayup-sayup di telinga Gilang, sesaat kemudian ia melanjutkan - ,”Nah, sekarang sudah saatnya kita mengunci kondisi dimana syaraf bidik kita sedang berada dalam kondisi puncak yang ditandai dengan mengalirnya energi kristal itu bolak-balik mengalir deras diantara kedua mata dan tangan kita. Gilang, aku akan memberi aba-aba dan kau harus segera menutup seluruh lubang dalam tubuh kita yang jumlahnya sembilan itu. Cegah jangan sampai ada udara dalam tubuh kita mengalir keluar sedikitpun alias bocor. Meskipun mungkin kau akan merasakan sedikit panas dalam tubuhmu, tetapi itu tidak berbahaya karena kita akan melakukannya tidak lama”


Demikianlah, tidak terasa malam sudah mendekati wayah sepi uwong dan Agung Sedayu terus membimbing Gilang agar mampu membangkitkan dan menguasai syaraf bidik dalam tubuhnya. Ia sendiri sebenarnya menguasai ilmu bidik itu sebagai anugrah dari Yang Maha Agung, tanpa laku khusus seperti yang sekarang di ajarkan kepada Gilang. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu dan melalui perenungan yang cukup lama, Agung Sedayu mampu menyusuri dan menemukan getar yang seharusnya dibangkitkan agar seseorang mampu menguasai ilmu bidik dengan baik. Hal ini tidak lepas dari tertariknya Agung Sedayu atas bakat dan kemauan Gilang yang besar, sehingga Agung Sedayu memutuskan untuk menurunkan cara ini kepadanya.


Sesungguhnya cara ini akan berhasil baik justru pada bocah laki-laki yang belum dewasa atau pada gadis yang masih perawan.


Perlahan-lahan Agung Sedayu menuntun Gilang agar melepas dan keluar dari pemusatan nalar dan budinya. Suaranya yang pelan itu telah menuntun Gilang untuk kembali dalam kesadaran yang penuh. Ketika sudah membuka mata sepenuhnya, nafas Gilang agak terengah-engah tetapi wajahnya justru berseri penuh semangat.

“Gilang, kita nanti akan mengulangi hal ini beberapa kali lagi, kalau perlu hingga pagi. Sekarang kita coba kemampuan bidikmu, apakah kau bisa meningkatkannya meskipun di kegelapan malam seperti ini”, - sambil berkata Agung Sedayu bangkit dan turun ke tepian sungai.


“Baik paman”, - seru Gilang sambil melompat turun.


Sekali lagi Gilang merasakan betapa malam ini Agung Sedayu begitu tergesa-gesa seolah sedang berpacu dengan gelap dan malam hari.


Ditepian sungai itu, Agung Sedayu segera mengambil beberapa butir batu yang ukurannya lebih kecil dari telur ayam, bahkan sedikit lebih kecil dari telur burung puyuh. Gilang segera mengikuti apa yang di lakukan Agung Sedayu itu dengan ikut mengambil beberapa batu kerikil dengan ukuran yang kurang lebih sama.


Melihat apa yang di lakukan Gilang itu, Agung Sedayu justru menggelengkan kepalanya.


“Tidak Gilang, kali ini kau tidak akan membidiknya dengan batu kerikil sebagaimana biasanya”,- desis Agung Sedayu pelan.


Gilang terlihat termangu-mangu - ,” Jadi aku harus membidiknya dengan apa paman?”


Agung Sedayu menebarkan pandangan matanya di sekitar sungai itu, kemudian perlahan-lahan ia melangkah ke bawah sebuah pohon sono yang letaknya agak jauh dari mereka berdiri. Gilang melihat beberapa kali Agung Sedayu membungkukkan badannya mengambil sesuatu di tanah.


Ketika melangkah kembali, Agung Sedayu itu memperlihatkan sesuatu ditangannya - ,”Kau akan membidiknya dengan ini Gilang”


Mata Gilang agak terbelalak karenanya, meskipun malam cukup gelap akan tetapi ia bisa melihat dengan jelas apa yang ada di tangan Agung Sedayu itu.


“Ranting, paman?”

“Ya”




Salam,

No comments:

BSG - BAB.V - AUP - Babak-16

BALADA SWANDARU GENI Bab V: Ajaran Untuk Pulang Babak – 16 Sebenarnyalah, malam hari itu menjadi sebuah malam yang tidak terlup...